This is default featured slide 1 title

BEBAL:"FPI"

Kebebalan FPI Banyuwangi yang membubarkan ritual tradisi Sedekah Laut di daerahnya

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Tampilkan postingan dengan label Pementasan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pementasan. Tampilkan semua postingan

Minggu, 21 Juli 2019

Catatan Penyerta Repertoar Dangsak [2]


Tradisi Tutur dan Gugon-tuhon

REPERTOAR DANGSAK: Repertoar Dangsak yang disajikan Sekolah Rakyat MeluBae (SRMB) di Pendopo Bupati Kebumen (20/7/2019) melibatkan tak kurang dari 70-an talent, penabuh dan crew; juga melibatkan kelompok seni tradisi dari desa Watulawang dan kelompok penari Victory Dance Crew dalam suatu kolaborasi panggung. [Photo Credit: Sigit Asmodiwongso)

Kisah Cepet Alas era fasisme Jepang yang diacu satu-dua seniman tradisi memang menempatkan “cepet” pada konotasi negatif, dalam arti bahwa ia tak lebih golongan mahluk pengganggu manusia yang acap menyesatkan anak-anak. Mitos tentang cepet yang diasumsikan demikian ini muncul melalui dongeng ninabobo dengan segala stigma negatif yang melekat dan terpiara distorsinya.

Tanpa maksud memuja -ataupun sebaliknya- narasumber pelaku tradisi, lantas mengabaikan referensi lainnya, penelusuran lebih mengarah pada abu sejarah yang lebih tua, tak berhenti pada kisah pageblug, paceklik panjang dan kemiskinan parah era fasisme Jepun; sebagaimana dituturkan mBah Lamidjan tentang solusi ekstensifikasi lahan dengan cara “bubah kawah” hutan untuk lahan dan hunian baru.

Kisah ini lalu diacu sebagai babad kemunculan Cepet Alas. Implikasi penuturan mana seakan telah menyudutkan Cepet Alas semata sebagai kebenaran semu; kesahihan gugon-tuhon tentang mahluk halus pengganggu yang menentang bubah-kawah itu.

Atau yang dalam versi lanjutannya, Cepetan dikonotasikan sebagai ekspresi resistensi penganut kepercayaan adat pada masuknya -ajaran- agama baru. Agama baru dimaksud dalam konteks ini adalah islam Persiy sebagaimana dikisahkan pada hikayat Syech Subachir sebagai duta pembawa ajaran kasultanan Roem. (Asma, 2004).

Jika kisah Cepetan Alas Martaredja, manten lurah Karangtengah, yang juga pelopor tradisi Cepetan Alas ini memiliki tuturan yang berbeda. Maka itu makin membuat beragam warna tradisionalnya.

Repetoar Dangsak

Photo-Credit: Imam Muthoha

Repertoar Dangsak ini tak bicara dan tak pula menggiring audiens pada wilayah penghakiman benar-salah; baik ada maupun tanpa referensinya. Referensi yang paling dapat ditemukan pun, barangkali hanya mampu menjelaskan kejumbuhan situasi umum masa seputar kolonial hingga fasisme era pendudukan Dai-Nipon itu. Tentang pageblug, soal paceklik; yang tanpa membaca teks buku pun banyak orang merasakan, mengalami dan melakoninya.

Dalam konteks tradisi Cepetan Alas Martaredja, Roeslan dan Asma; adalah pengecualian. Selain sebagai pewaris dan pelaku tradisi, ketiganya memeras dan meremas kearifan yang diwarisi lengkap dengan tuturan sejarahnya.
“Upami wonten pemanggih benten, lha nggih nyumanggaaken”, jelas mBah Roeslan dari Kajoran 2004.
 “Niki omongan kula kenging direkam, ditulis..”, tandas mBah Asma dari Kalipancur, desa hulu lainnya.

Keduanya memang berbeda, namun ada perekat pengalaman empiris yang menyatukannya; yakni bahwa tradisi Cepetan Alas telah ada sejak era kolonialisme Hindia-Belanda. Tengara yang ditangkap kedua tetua adat ini dan diamini Martaredja perintis Cepetan dari tradisi menjadi pertunjukan seni; mengarah pada masa culture-stelsel pasca Perang Jawa (1825-1830).

Repertoar Dangsak membidik ini sebagai bentangan sejarah tradisi tanpa bermaksud mengabaikan sejarah tutur lain yang jadi temuan sebelumnya. Itu sebabnya adegan membakar kemenyan lengkap dengan japa-mantra menjadi bagian utuh narasi panggung di permulaan pentas. Sementara ritual nyekar, jabelan dan kirab ‘wulu-wetu’ menyusul di pengadegan lainnya.

Dua aspek, sejarah yang ada dan tradisi yang membentuk serta melihara, menjadi aras repertoar yang dipersepsikan untuk kemudian dibawah tata penyutradaraan para talent re-interpretasi serta memvisualisasikannya.

Kesedaran Semesta

Proses serupa ini terasa benar pendalaman dan kebersamaannya. Dan mendapatkan respons penonton sekaligus pelaku pertunjukan sastra yang banyak melanglangi simpul-simpul komunitas seni.
 “Anak-anak panggung dan semua yang terlibat di repertoar ini, menurut pandangan saya, telah lulus menjadi murid alam langsung dan menjadi bagian seutuhnya dari semesta”, komentar Bambang Eka Prasetya.
Sepintas, komentar ini lebih terkesan berlebihan. Tetapi pembelajar di studi budaya "Nittramaya" dari lembah Tidar ini tak meralat ucapannya sejak awal ia menyampaikan review pendek atas repertoar yang digelar.

Kesedaran semesta, barangkali, bisa ditafsiri sebagai capaian laku batin -dan fisik- dari orang yang melakoni sebuah atau beberapa peran. Para pelaku tradisi, meski mungkin tak pintar berbicara secara teori; adalah laut yang tak butuh garam buat rasa asin pada airnya.

Itu sebabnya, Dawintana dan Ali Pawira tak jua mau bicara di panggung repertoar dangsaknya; panggung yang barusan dipenuhi kiprah anak-anak asuhnya.. [ap]

ORKESTRA: Dalam pertunjukannya "Repertoar Dangsak" berkolaborasi dengan anak-anak yang memainkan biola dan tergabung dalam Kebumen Violin Orchestra [Photo-Credit: Sigit Asmodiwongso)

Catatan Penyerta Repertoar Dangsak [1]


DANGSAK: Repertoar Dangsak yang digelar SRMB mengangkat aspek lain berupa ritual tradisi yang menyertainya. Dangsak atau Cepetan Alas dan disebut juga dengan "Tongbreng" dipercaya bukan sekedar sebuah tarian, tapi memiliki kaitan tradisi yang memelihara keberadaannya [Foto: Imam Muthoha] 

Setelah dihadang masalah opsi panggung pementasan yang semula akan menggunakan panggung terbuka Diskominfo di kompleks Ratih TV; akhirnya pada Sabtu (20/7) helatan “Repertoar Dangsak” digelar di Pendopo Bupati Kebumen. Penyelenggara pementasan ini, Sekolah Rakyat MeluBae (SRMB) memadukan seni topeng tradisi ini dengan musik puisi dan orkestra biola.  

Tak kurang dari 70 an partisipan terdiri dari talent dan crew terlibat aktif memanggungkan repertoar dangsak, menebalkan apa yang pernah dilakukan Dewan Kesenian Daerah (DKD) Kebumen beberapa tahun silam yang mengkolaborasikan “Ketoprak Dangsak”, sebuah dekomposisi seni tradisi ini dengan ketoprak sebagai seni tradisi lainnya.   

Keduanya memperoleh sambutan hangat audiens sebagai sebuah karya panggung yang membukakan kisi-kisi pembaharu. Lepas dari bagaimana proses menarasikan masih menyisakan celah-celah yang luput dari ekplorasi garapan; namun sajian repertoar dangsak telah bisa diterima kehadirannya.

Narasi

Kredit Foto: BY Handoko

Pentas “Repertoar Dangsak” ini minus narasi. Dalam perbincangan yang digelar pasca pementasan, ihwal ini mengemuka, setidaknya melalui 2 penanggap yang mengkritiknya; yakni Sigit Asmodiwongso (Gombong) dan Tofik Suseno (Cilacap). 
“Tak ada teks yang mengantar pemahaman awal buat audiens”, kritik Sigit. Prolog yang dapat menjembatani penonton “meniti jalan” cerita memang tak ada. Pernyataan senada ditajamkan oleh Tofik Suseno.
“Saya bahkan tak melihat dimana konflik jadi bagian konstruksi repertoar”, ungkap pamong musik Tabuh Singmoni; sebuah kelompok musik kontempo yang mewadahi anak-anak jalanan, punk dan pemuda masjid.
Narasi memang masih menjadi prasyarat awal konsepsi pementasan. Sayangnya, kegilaan kolektif di SRMB tengah berkecamuk pasca tundanya Monolog Kampungasu yang sejak lama terencana. Ihwal ini diakui penulis abstraksi repertoar dangsak yang lebih mengimani kemerdekaan proses re-interpretasi para talent ketimbang belenggu “naskah” layaknya drama.

Repertoar Dangsak juga bukan pentas tari Cepetan Alas yang di kawasan tumbuhnya ada disebut dengan Tongbreng. Repertoar ini memuat aspek-aspek religiusitas yang mistis, mulai dari ritual tradisi, pundhen; hingga aspek sejarah awal kemunculannya. Dalam konteks ini, penulisan tak bisa percaya pada tuturan pihak yang paling merasa dirinya benar.

Tak ada jejak literasi dalam bentuk teksbook yang bisa didapat langsung dari sumbernya, namun penuturan para tetua adat tentu tak elok buat diabaikan begitu saja; karena tradisi tutur turun-temurun itu lah manifest literasinya. Itu sebabnya repertoar menyertakan pewaris kearifan dan perekat tradisi seperti Dawintana beserta Ali Pawira dari Watulawang. Tentu saja, masih ada beberapa local-genius pelaku tradisi lainnya.

Jauh sebelum era keduanya, Kalipancur-Karanggayam, Karangtengah, Kajoran, Silampeng, Gunungsari, Karangjoho-Karangmaja, Kalireja, Peniron dan belasan desa-desa bertahan merawat tradisi Cepetan Alas ini menjadi bagian kehidupan budaya agraris kita.   

Resistensi

 Kredit Foto: Sigit Asmodiwongso
“Uwis Kaang.. Mandheg gole seneng-seneng. Kahanan lagi kontrang-kantringan malah dhewek kaya ora eling..”, seru talent pasutri terengah meluncur ke area panggung. Talent pasutri malam itu diperankan Wiwid Bigmom dan Pekik Sat; yang berimprovisasi menarasikan situasinya.  
Pengadegan kedua repertoar ini menjadi bagian yang membuka lembar sejarah kemunculannya menurut temuan penelitian tradisi. Penutur bernama mBah Ruslan dari Kajoran dan mBah Asma dari tlatah Kalipancur menukil kisah Cepetan Alas yang diperoleh dari waris leluhur cepetnya di Kalipancur dan Karangtengah.

Dari versi ini didapat periwayatan dalam konteks masa yang menyejarah, yang bisa saja menjadi berbeda di daerah atau pedukuhan lainnya. Pegiat SRMB yang juga aktif jadi relawan dewan kesenian daerah merangkai simpul bahwa pada masa awal kemunculannya, Cepetan Alas adalah manifestasi dari perlawanan kultural masyarakat terhadap ekspansi perkebunan onderneming kala itu; yang merangsek hingga pedesaan hulu. (Roeslan, 2004)

Rupanya, Repertoar Dangsak ingin bertutur soal resistensi kultural pada pengadegan ini. Tetapi celah masanya kelewat lebar. Sang narsum bahkan menyeretnya hingga jauh ke mitologi awang-uwung Jawa. (Asma, 2004).

Sampai pada batas ini tak ada lagi referensi selain Babad Tanah Jawi dan dongeng tutur kasultanan Roem. Sedangkan dari angkatan pewaris tradisi hanya mampu membaca jejak hingga masa pendudukan Jepang yang menyebabkan bencana kelaparan karena kelangkaan pangan lokal..  [ap]

Bersambung  

Senin, 18 Maret 2019

Membongkar Pasung Ronggeng “Kunes”


TRIBUTE TO KUNES: Repertoar Ronggeng Kunes digelar oleh komunitas "Titik Kumpul" di Roemah Martha Tilaar Gombong (16/3) mengingatkan pada tragedi politik 1965 yang memicu gelombang "genosida" dan merambah wilayah budaya di Banyumas [Foto: Ar]

Keberanian mbarang lengger komunitas “Titik Kumpul” di Roemah Martha Tilaar, pantas mendapatkan apresiasi luas. Pilihan mengangkat repertoar berbingkai Tribute to Kunes yang dipersiapkan bagi panggung Asia di Taiwan April-Mei mendatang; membuat penonton terpengarah (16/3/2019) malam itu. Namun sedikit dari yang terpengarah itu memahami kesima “Kunes” dalam konteks sejarah dan lokalitasnya. Penari tradisi bumi Banyumas selatan yang lahir seabad lalu, sedikit diketahui, pada zaman berikutnya telah menjadi bagian langsung dari sejarah kelam kejahatan atas kemanusiaan (crimes against humanity) pada medio dekade 60-an. 

Dalam perspektif genosida dimana pembasmian meluas atas sekelompok tertentu manusia di sebuah negara, maka tragedi yang dalam idiom lokal disebut Geger Gestok 65, telah merambah masuk pula ke dalam wilayah budaya sebagai obyek penghancurannya. Perjalanan penari Ronggeng Kunes yang berhilir tragis; memang jadi linier dengan apa yang pernah ditulis novelis Ahmad Tohari pada novel triloginya Ronggeng Dukuh Paruk (berikut 2 novel lainnya, Lintang Kemukus Dinihari, Jentera Bianglala) yang usai melampaui batas bahasa di beberapa negara itu.

Pada kasus booming novel karya sastranya Ahmad Tohari mengakui realitas masih lekatnya communisto-phobia, yang pada gilirannya telah cukup membuat repot penulisnya. Bahwa masa itu telah lewat, ya. Tetapi sejarah memiliki cara tutur dan jalan takdirnya sendiri, termasuk dalam berhadapan dengan segala phobia; yang mungkin hari ini pun masih ada karena memang dipelihara. Tak terkecuali perjalanan tragik Ronggeng Kunes yang sepintas nampak sebagai kisah personal yang literer dengan segala romantismenya.  

Namun Ronggeng Kunes dalam dimensi sejarah memiliki alur dan memori kolektif yang lebih dari sekedar magnet ingatan akan segala kisahnya. Karena “karir dan marwah” Kunes sebagai penari tradisi tidak lah berdiri sendiri. Meskipun -boleh jadi- komunitas “Titik Kumpul” tak bertendensi lebih jauh, tetap saja kisah tragis Ronggeng Kunes yang dipanggungkan, lepas dari apakah kisi-kisi kelam ini tersingkap; repertoar ini akan menemukan pijak dan kekuatan konteksnya yang menyejarah itu.

Kedaulatan Panggung


Pemahaman atas Tribute to Ronggeng Kunes boleh datang kemudian dalam berbagai interpretasinya. Demikian ini bukan hanya berlaku bagi siapa pun yang menonton repertoar ini, namun juga bagi komunitas “titik kumpul” dalam proses kreatifnya. Proses yang telah menghasilkan perform seputar kebiasaan-kebiasaan ronggeng seperti gilir sampur hingga kedaulatannya dalam menghidupkan gairah panggung.

Ronggeng Kunes yang dinarasikan tak terpisah dengan fenomena indang seperti tersirat melalui properti ambeng yang dibawa keluar penarinya telah cukup menjelaskan kekuatan magis tradisionalnya. Kebanyakan seni tradisi memang senantiasa lekat dengan aspek itu. Kesinambungannya terjaga melalui ritual-ritual sebagai manifestasi nilai-nilai yang berlaku di masyarakat kebudayaanya.

Repertoar Ronggeng Kunes mengangkat relasi di lapangan kebudayaan itu dari timbulnya ketimpangan yang menjadi bidikannya. Bagaimana Ronggeng membangun kedaulatan gender dengan mengeksplorasi tata nilai menjadi bias hegemoni dalam relasi sosialnya ke atas panggung. Pentas tribute ini menampilkan Ronggeng Kunes yang tengah mencapai puncak emasnya, saat sang ronggeng menjadi kiblat puja.

Tapi makin tinggi pohon tumbuh, makin besar tiupan angin menerpanya; begitu pepatah berkata. Realitas sejarah tak pernah bisa sepenuhnya lepas dari intervensi berbagai kepentingan, termasuk kepentingan politik. Nah, pandangan pragmatis akan bisa menjerumuskan perjalanannya. Bias ini dialami Ronggeng Kunes dalam masa yang menenggelamkannya dan menjadi tonggak yang menandai genosida budaya pasca 1965, khususnya di daerah Banyumas.

Ronggeng Kunes terbelenggu bukan oleh lintasan balok yang memasung kakinya, melainkan oleh badai politik yang memicu gelombang genosida budaya yang mengiringi Geger Gestok pada masa itu. [ap]

Senin, 09 Juli 2018

6 Film FFP 2018 digelar di Karangsambung

  • FFP 2018 Gandeng Pokdarwis dan Karang Taruna


Ratusan penonton memadati tanah lapang pedukuhan Pesanggrahan malam itu, Senin (9/7); tak jauh dari pusat keramaian Karangsambung Kebumen. Sejak lepas isya’ hamparan terpal yang digelar panitia Festival Film Purbalingga (FFP) dipenuhi anak-anak yang tak sabar menunggu film diputar. Model layar tanjleb mengingatkan kenangan publik jaman dulu saat menonton bioskop layar lebar “misbar” di kapangan terbuka.

Putaran kedua dari 17 lokasi yang terpilih untuk tempat pemutaraan bioskop dengan sound-system menggelegar, tak hanya dipadati anak-anak. Kalangan muda hingga para orangtua serta penjual jajanan tak ketinggalan memanfaatkan keramaian ini untuk berjualan.

Pihak panitia festival yang terdiri dari Cinema Lover’s Community (CLC) Purbalingga, Sangkanparan (Cilacap) dan Komunitas Kedung (Kebumen) menggandeng Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Bukit Pentulu Indah serta Karang Taruna Desa Karangsambung dalam perhelatan malam itu.
Rupanya layar tanjleb memang jadi pilihan cara menyajikan tontotan film dalam festival tahunan yang kini telah memasuki tahun ke 12 ini.
“Mendekatkan film kepada penonton terutama penduduk di desa yang memiliki hak sama dengan warga perkotaan yang biasa dimudahkan untuk mengakses tontonan di gedung bioskop”, papar Bowo Leksono tentang media pilihan dalam penyajian karya sinema yang diputar. Ia menambahkan bahwa sajian film dalam festival tahunan ini akan dijaga konsistensinya dengan pilihan layar tanjleb sebagai model.
FILM PELAJAR: Anak-anak juga antusias menonton 3 film bikinan pelajar Kebumen di FFP 2018 [Foto: Komunitas Kedung]

Ada 6 Film 

Ada 6 film diputar di lokasi yang tak jauh dari pusat LIPI Karangsambung ini. Diantaranya ada 3 karya pelajar, masing-masing: “ Di Dasar Air” (Sutradara: Intan Karunia, SMK 1 Gombong), “Batu Badar Besi” (Sutradara: Alfa Khumairoh, SMK Karanggayam) dan “Tanah Tuan Tanah” (Sutradara: Hestika Sari, SMK Karanggayam).

Selain film karya para pelajar ini, ada juga film berjudul “Oleh-Oleh (Sutradara: M. Reza Fahriansyah), “Ji Dullah” (Sutradara: Alif Septian) dan “Sekala Niskala” (Sutradara: Kamila Andini). Film terakhir ini telah memperoleh award di berbagai festival bertaraf internasional. Dan baru saja film ini disertakan dalam Asean Film Festival 2018 yang juga menyabet penghargaan tingkat Asia. Pelibatan warga setempat dalam gelaran ini pun akan selalu diupayakan ada di setiap lokasi penyajian.
"Layar tancap ini juga menjadi peluang yang baik untuk mengingatkan kembali potensi geopark LIPI Karangsambung. Para pemuda tentu selalu terbuka terhadap berbagai acara yang ditawarkan dari pihak luar sejauh itu bertujuan positif. Apalagi bagi Karangsambung yang juga mempunyai obyek wisata PI (Pentulu Indah_Red)", ungkap Sutasor dalam sambutannya di sela pemutaran film.
Selaku Ketua Sub-Karangtaruna “Gatra Karsa” yang membawahi 6 dusun sekaligus penanggung jawab keamanan perhelatan, pihaknya sangat mengapresiasi upaya pengangkatan potensi sinema Indonesia; termasuk film karya para pelajar di daerahnya.
Salah satu pengurus pengurus pokdarwis Bukit Pentulu Indah, Supriyanto menambahkan bahwa meskipun Pentulu Indah sudah populer melalui berbagai liputan stasiun televisi, “Tetapi acara seperti ini tetap diperlukan untuk menggiatkan pemuda dan meramaikan lokasi di lingkup sekitaran area wisata yang ada di desa”.
Antusiasme penonton di dusun Pesanggrahan begitu tinggi hingga akhir pemutaran film utama, Sekala Niskala besutan sutradara Kamila Andini. Masih ada satu titik lokasi lagi yang akan disambangi Layar Tanjleb FFP 2018 yaitu Perum Jatisari kecamatan Kebumen kemudian berlanjut ke Banjarnegara. [put]

Sabtu, 12 Mei 2018

Meneropong “Sang Bintang” dari Dataran Tiga Pengadegan [2]


SANG BINTANG: Kesima “sang bintang” Dewi Aminah yang jadi magnet penonton pementasannya [Foto: Ridho Kedung]

Entah apa yang diraih penonton seusai menyimak pertunjukan teater monolog ini. Keterhenyakannya sepanjang 31’06” durasi pementasan malam itu tak menggeser fokusnya. Nyata bahwa kesima “Sang Bintang” sukses menyita perhatian ke dalam lansekap panggung yang ditata dengan kesan semi dekoratif biasa. Namun siraman lighting mendukungnya menjadi komposisi yang cukup sarat dengan pesan situasi, meski tak semua properti menjadi bagian kekuatan dalam membangun dan menyatukan narasinya.  

Sementara Dewi Aminah mampu melampaui narasi verbal “Sang Bintang” dan mereaktualisasi ekspresi naratifnya, dari sisi panggung mengalirkan suara musik yang menutupi celah-celah agar ekspektasi pentasnya bisa terjaga. Talenta Dewi Aminah memang berhasil mengatasi kendala narasi tekstual yang panjang dan mengular. Namun pada saat yang sama dan di fase berikutnya; ia tak cukup padat membangun diksi-diksi di sepanjang durasi lakon monolognya. Sesuatu yang akan membedakan sebuah teater monolog dan menjauhkannya dari jebakan story-telling biasa.

AKTING: Sedikit properti yang bisa dimanfaatkan talent guna lebih menghidupkan panggungnya, menjadi catatan dalam proses elaborasi keaktoran selanjutnya [Foto: Ridho Kedung]
   
Itu sebabnya kenapa ada terminologi “dataran tiga pengadegan” dalam pementasan monolog “Sang Bintang” di panggung (9/5/18) malam itu.

Tentu saja, ini hanya lah sebuah catatan belaka; tanpa tendensi kritis. Satu-satunya tendensi yang mesti dibangun adalah meminimalisir celah-celah agar bangunan cerita tidak menjadi datar-datar saja. Meksi dalam konteks ini, komposisi musik dan pencahayaan dapat menolong; namun secara esensial ia menjadi bagian utuh dari kekuatan sang talent.  

Bagaimana mematangkan talenta, selain bukan perkara instan; barangkali ini masuk dalam wilayah rejim penyutradaraan. Tetapi saya ingin mengembalikan simpulan ini dengan mendekati latar proses ketimbang paparan ceritera pentasnya. Dengan begitu, jagad teater akan menempati realitas estetik yang dapat dijadikan wahana pembelajaran bersama.

Menyorot Dewi “Sang Bintang” Aminah malam itu, nampak telah memiliki bekal dasar kuat, terlebih jika mengingat ia adalah talent pemula. Mulutnya bertenaga, daya imagineirnya tak rendah; demikian pula nalar estetiknya. Tentu, dasar-dasar ini tak lepas dari proses bagaimana ia dipersiapkan Sangkanparan untuk itu...  [ap]


APRESIAN: Sejumlah penonton mengapresiasi pementasan monolog "Sang Bintang" (9/5) dalam sesi dialog yang digelar pasca pementasannya [Foto: Ridho Kedung] 

Minggu, 29 April 2018

Saat “Jago Tengsiang” SRMB diusung ke Festival TBRS


28 April 2018

TBRS: Pementasan repertoar "Jago Tengsiang" produksi SRMB Kebumen pada Festival Pertunjukan Rakyat (28/4) di TBRS Semarang [Foto: K-04]

Semarang - Putaran akhir Festival Pertunjukan Rakyat 2018 yang difasilitasi Forum Komunikasi Media Tradisional (FK-Mitra) Jawa Tengah sukses digelar di Taman Budaya Raden Saleh (TBRS) Semarang, Sabtu (28/4). Sebanyak 6 delegasi daerah yakni dari Semarang, Magelang, Purworejo, Kebumen, Purbalingga dan Wonosobo; sebagai peserta festival usai menyajikan pertunjukannya di hadapan ratusan penonton yang memadati gedung.

Nuansa tradisional sebagai ciri masing-masing daerah mewarnai konten pertunjukan, meskipun beberapa terkesan lebih banyak mengusung pesan-pesan promosi pemerintah sebagai warna cukup “dominan” dalam komposisi misi pertunjukannya. Beban “moral” titipan seperti ini, pada batas ekspresi tertentu, serasa menyisakan celah kosong dengan penonton sebuah festival rakyat yang menempatkan penonton pada obyek yang pasif.


PENONTON TBRS: Penonton festival di Taman Budaya Raden Saleh (TBRS) Semarang, berbaur dengan peserta festival yang menunggu gilitan tampil [Foto: K-04]

Alih-alih menciptakan komunikasi yang intens atas pertunjukan, beberapa penonton dalam kuantitas cukup signifikan malah lebih memilih buat menyimak layar gadget yang dibawanya, ketimbang berfokus pada panggung meskipun pertunjukan tengah dan terus berjalan. Audiens seakan berkilah dari suapan pesan-pesan profan, sebuah situasi yang rasanya malah jadi menjauhkan panggung dari eksplora problem-problem keseharian rakyat yang makin kompleks.  
“Pertunjukan yang awalnya asik, tiba-tiba berubah karakternya”, komentar jengah Indriotomo dari barisan penonton festival pertunjukan rakyat pagi hingga siang itu.   
Dilihatnya antara panggung dan penonton sebagai dua dunia yang berdiri sendiri-sendiri, meski pada mulanya telah terbangun suasana yang mulai menautkan keduanya; situasi bagi terbangunnya interpretasi kreatif. Pada acara yang sekaligus menjadi ajang deklarasi anti-hoax itu, menjadikan indepensi sebuah festival pertunjukan rakyat jadi berkurang kekuatannya.


Drama “Jago Tengsiang” dan Aplaus itu

Restorasi kecil atas lakon “Jago Tengsiang” yang sebelumnya dipentaskan di Kebumen (13/4), sedikit memecahkan celah berjarak itu. Repertoar yang diusung SRMB memang mendapatkan apllaus penontonnya di TBRS Semarang. Tetapi bukan melulu itu ukurannya, jika mau berfikir seputar estetika bertutur melalui panggung pertunjukan.

Lakon ini memang bertutur soal skeptisme publik atas pemilu yang jadi bingkai tema pihak penyelenggara. Gagasan yang terumuskan dalam jargon gelaran Pemilu Becik tur Nyenengake (Pemilu yang baik dan menyenangkan_Red) itu, telah mengalami “daur ulang” pemikiran dari sisi yang lain. Dari kacamata publik pemilih, pendekatan perspektifnya berbeda.

Intervensi kalangan tertentu dalam tradisi “pesta demokrasi” yang boleh jadi menyenangkan itu, dipersonifikasikan melalui peran politik korporasi pada awal narasi dramatiknya. Dalam konteks gelaran pemilu, dimana ada penyimpangan dan bahkan kejahatan moral-etika berdemokrasi, selalu hanya bermuara dan menghasilkan rejime oligarki baru yang secara substansi tak berbeda dengan hasil-hasil politik elektoral formal sebelumnya.

Meskipun SRMB sulit lepas dari kewajiban moral yang mesti dipikul atas pesanan pihak resmi, sebagaimana 6 peserta festival lain menyuarakan; namun memang terasa bahwa “Jago Tengsiang” tak bertutur dengan gaya menggurui penontonnya... [ap]