Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.
REPERTOAR DANGSAK: Repertoar Dangsak yang disajikan Sekolah Rakyat MeluBae (SRMB) di Pendopo Bupati Kebumen (20/7/2019) melibatkan tak kurang dari 70-an talent, penabuh dan crew; juga melibatkan kelompok seni tradisi dari desa Watulawang dan kelompok penari Victory Dance Crew dalam suatu kolaborasi panggung. [Photo Credit: Sigit Asmodiwongso)
Kisah Cepet Alas
era fasisme Jepang yang diacu satu-dua seniman tradisi memang menempatkan “cepet” pada konotasi negatif, dalam
arti bahwa ia tak lebih golongan mahluk pengganggu manusia yang acap
menyesatkan anak-anak. Mitos tentang cepet
yang diasumsikan demikian ini muncul melalui dongeng ninabobo dengan segala stigma negatif yang melekat dan terpiara
distorsinya.
Tanpa maksud memuja -ataupun sebaliknya- narasumber
pelaku tradisi, lantas mengabaikan referensi lainnya, penelusuran lebih
mengarah pada abu sejarah yang lebih
tua, tak berhenti pada kisah pageblug,
paceklik panjangdan kemiskinan
parah era fasisme Jepun; sebagaimana dituturkan mBah Lamidjan tentang solusi ekstensifikasi lahan dengan cara “bubah kawah” hutan untuk lahan dan
hunian baru.
Kisah ini lalu diacu sebagai babad kemunculan Cepet Alas. Implikasi
penuturan mana seakan telah menyudutkan Cepet
Alas semata sebagai kebenaran semu; kesahihan gugon-tuhon tentang mahluk halus pengganggu yang menentang bubah-kawah itu.
Atau yang dalam versi lanjutannya, Cepetan dikonotasikan sebagai ekspresi resistensi penganut
kepercayaan adat pada masuknya -ajaran- agama baru. Agama baru dimaksud dalam
konteks ini adalah islam Persiy sebagaimana dikisahkan pada hikayat Syech Subachir sebagai duta pembawa
ajaran kasultanan Roem. (Asma, 2004).
Jika kisah Cepetan
Alas Martaredja, manten lurah
Karangtengah, yang juga pelopor tradisi Cepetan
Alas ini memiliki tuturan yang
berbeda. Maka itu makin membuat beragam warna tradisionalnya.
Repetoar Dangsak
Photo-Credit: Imam Muthoha
Repertoar Dangsak ini tak bicara dan tak pula menggiring audiens pada wilayah penghakiman benar-salah;
baik ada maupun tanpa referensinya. Referensi yang paling dapat ditemukan pun,
barangkali hanya mampu menjelaskan kejumbuhan
situasi umum masa seputar kolonial hingga fasisme era pendudukan Dai-Nipon
itu. Tentang pageblug, soal paceklik; yang
tanpa membaca teks buku pun banyak orang merasakan, mengalami dan melakoninya.
Dalam konteks tradisi Cepetan
Alas Martaredja, Roeslan dan Asma; adalah pengecualian. Selain sebagai
pewaris dan pelaku tradisi, ketiganya memeras dan meremas kearifan yang
diwarisi lengkap dengan tuturan sejarahnya.
“Upami wonten pemanggih benten, lha nggih nyumanggaaken”,
jelas mBah Roeslan dari Kajoran 2004.
“Niki omongan kula kenging direkam, ditulis..”, tandas
mBah Asma dari Kalipancur, desa hulu lainnya.
Keduanya memang berbeda, namun ada perekat pengalaman
empiris yang menyatukannya; yakni bahwa tradisi Cepetan Alas telah ada sejak era kolonialisme Hindia-Belanda. Tengara
yang ditangkap kedua tetua adat ini dan diamini Martaredja perintis Cepetan dari tradisi menjadi pertunjukan
seni; mengarah pada masa culture-stelsel pasca
Perang Jawa (1825-1830).
Repertoar Dangsak membidik ini sebagai bentangan sejarah
tradisi tanpa bermaksud mengabaikan sejarah
tutur lain yang jadi temuan sebelumnya. Itu sebabnya adegan membakar
kemenyan lengkap dengan japa-mantra menjadi
bagian utuh narasi panggung di permulaan pentas. Sementara ritual nyekar, jabelan dan kirab ‘wulu-wetu’ menyusul di pengadegan lainnya.
Dua aspek, sejarah yang ada dan tradisi yang membentuk serta
melihara, menjadi aras repertoar yang dipersepsikan untuk kemudian dibawah tata
penyutradaraan para talent re-interpretasi
serta memvisualisasikannya.
Kesedaran Semesta
Proses serupa ini terasa benar pendalaman dan
kebersamaannya. Dan mendapatkan respons penonton sekaligus pelaku pertunjukan
sastra yang banyak melanglangi simpul-simpul komunitas seni.
“Anak-anak panggung dan semua yang terlibat di repertoar
ini, menurut pandangan saya, telah lulus menjadi murid alam langsung dan
menjadi bagian seutuhnya dari semesta”, komentar Bambang Eka Prasetya.
Sepintas, komentar ini lebih terkesan berlebihan. Tetapi
pembelajar di studi budaya "Nittramaya"dari
lembah Tidar ini tak meralat ucapannya sejak awal ia menyampaikan review pendek
atas repertoar yang digelar.
Kesedaran semesta, barangkali, bisa ditafsiri sebagai
capaian laku batin -dan fisik- dari orang yang melakoni sebuah atau beberapa
peran. Para pelaku tradisi, meski mungkin tak pintar berbicara secara teori;
adalah laut yang tak butuh garam buat rasa asin pada airnya.
Itu sebabnya, Dawintana dan Ali Pawira tak jua mau bicara
di panggung repertoar dangsaknya; panggung yang barusan dipenuhi kiprah anak-anak
asuhnya.. [ap]
ORKESTRA: Dalam pertunjukannya "Repertoar Dangsak" berkolaborasi dengan anak-anak yang memainkan biola dan tergabung dalam Kebumen Violin Orchestra [Photo-Credit: Sigit Asmodiwongso)
DANGSAK: Repertoar Dangsak yang digelar SRMB mengangkat aspek lain berupa ritual tradisi yang menyertainya. Dangsak atau Cepetan Alas dan disebut juga dengan "Tongbreng" dipercaya bukan sekedar sebuah tarian, tapi memiliki kaitan tradisi yang memelihara keberadaannya [Foto: Imam Muthoha]
Setelah dihadang masalah opsi panggung pementasan yang
semula akan menggunakan panggung terbuka Diskominfo di kompleks Ratih TV; akhirnya
pada Sabtu (20/7) helatan “Repertoar Dangsak” digelar di Pendopo Bupati
Kebumen. Penyelenggara pementasan ini, Sekolah Rakyat MeluBae (SRMB) memadukan
seni topeng tradisi ini dengan musik puisi dan orkestra biola.
Tak kurang dari 70 an partisipan terdiri dari talent dan crew terlibat aktif memanggungkan repertoar dangsak, menebalkan apa
yang pernah dilakukan Dewan Kesenian Daerah (DKD) Kebumen beberapa tahun silam yang
mengkolaborasikan “Ketoprak Dangsak”, sebuah dekomposisi seni tradisi ini
dengan ketoprak sebagai seni tradisi lainnya.
Keduanya memperoleh sambutan hangat audiens sebagai sebuah karya panggung yang membukakan kisi-kisi
pembaharu. Lepas dari bagaimana proses menarasikan masih menyisakan celah-celah
yang luput dari ekplorasi garapan; namun sajian repertoar dangsak telah bisa
diterima kehadirannya.
Narasi
Kredit Foto: BY Handoko
Pentas “Repertoar Dangsak” ini minus narasi. Dalam perbincangan
yang digelar pasca pementasan, ihwal ini mengemuka, setidaknya melalui 2
penanggap yang mengkritiknya; yakni Sigit Asmodiwongso (Gombong) dan Tofik
Suseno (Cilacap).
“Tak ada teks yang mengantar pemahaman awal buat audiens”, kritik Sigit. Prolog yang
dapat menjembatani penonton “meniti jalan” cerita memang tak ada. Pernyataan senada
ditajamkan oleh Tofik Suseno.
“Saya bahkan tak melihat dimana konflik jadi bagian konstruksi
repertoar”, ungkap pamong musik Tabuh
Singmoni; sebuah kelompok musik kontempo yang mewadahi anak-anak jalanan, punk dan pemuda masjid.
Narasi memang masih menjadi prasyarat awal konsepsi pementasan.
Sayangnya, kegilaan kolektif di SRMB tengah berkecamukpasca tundanya Monolog
Kampungasu yang sejak lama terencana. Ihwal ini diakui penulis abstraksi
repertoar dangsak yang lebih mengimani kemerdekaan proses re-interpretasi para talent ketimbang belenggu “naskah”
layaknya drama.
Repertoar Dangsak juga bukan pentas tari Cepetan Alas yang di kawasan tumbuhnya ada
disebut dengan Tongbreng. Repertoar
ini memuat aspek-aspek religiusitas yang mistis, mulai dari ritual tradisi, pundhen; hingga aspek sejarah awal kemunculannya.
Dalam konteks ini, penulisan tak bisa percaya pada tuturan pihak yang paling
merasa dirinya benar.
Tak ada jejak literasi dalam bentuk teksbook yang bisa didapat langsung dari sumbernya, namun penuturan
para tetua adat tentu tak elok buat diabaikan begitu saja; karena tradisi tutur
turun-temurun itu lah manifest literasinya. Itu sebabnya repertoar menyertakan
pewaris kearifan dan perekat tradisi seperti Dawintana beserta Ali Pawira dari Watulawang.
Tentu saja, masih ada beberapa local-genius
pelaku tradisi lainnya.
Jauh sebelum era keduanya, Kalipancur-Karanggayam, Karangtengah,
Kajoran, Silampeng, Gunungsari, Karangjoho-Karangmaja, Kalireja, Peniron dan
belasan desa-desa bertahan merawat tradisi Cepetan
Alas ini menjadi bagian kehidupan budaya agraris kita.
Resistensi
Kredit Foto: Sigit Asmodiwongso
“Uwis Kaang..
Mandheg gole seneng-seneng. Kahanan lagi kontrang-kantringan malah dhewek kaya
ora eling..”, seru talent pasutri
terengah meluncur ke area panggung. Talent
pasutri malam itu diperankan Wiwid Bigmom dan Pekik Sat; yang
berimprovisasi menarasikan situasinya.
Pengadegan kedua repertoar ini menjadi bagian yang membuka
lembar sejarah kemunculannya menurut temuan penelitian tradisi. Penutur bernama
mBah Ruslan dari Kajoran dan mBah Asma dari tlatah
Kalipancur menukil kisah Cepetan Alas
yang diperoleh dari waris leluhur cepetnya di Kalipancur dan Karangtengah.
Dari versi ini didapat periwayatan dalam konteks masa yang
menyejarah, yang bisa saja menjadi berbeda di daerah atau pedukuhan lainnya. Pegiat
SRMB yang juga aktif jadi relawan dewan kesenian daerah merangkai simpul bahwa
pada masa awal kemunculannya, Cepetan
Alas adalah manifestasi dari perlawanan kultural masyarakat terhadap
ekspansi perkebunan onderneming kala
itu; yang merangsek hingga pedesaan hulu. (Roeslan,
2004)
Rupanya, Repertoar Dangsak ingin bertutur soal resistensi
kultural pada pengadegan ini. Tetapi celah masanya kelewat lebar. Sang narsum
bahkan menyeretnya hingga jauh ke mitologi awang-uwung
Jawa. (Asma, 2004).
Sampai pada batas ini tak ada lagi referensi selain Babad Tanah Jawi dan dongeng tutur kasultanan
Roem. Sedangkan dari angkatan pewaris
tradisi hanya mampu membaca jejak hingga masa pendudukan Jepang yang
menyebabkan bencana kelaparan karena kelangkaan pangan lokal.. [ap]
TRIBUTE TO KUNES: Repertoar Ronggeng Kunes digelar oleh komunitas "Titik Kumpul" di Roemah Martha Tilaar Gombong (16/3) mengingatkan pada tragedi politik 1965 yang memicu gelombang "genosida" dan merambah wilayah budaya di Banyumas [Foto: Ar]
Keberanian mbarang
lengger komunitas “Titik Kumpul” di Roemah Martha Tilaar, pantas
mendapatkan apresiasi luas. Pilihan mengangkat repertoar berbingkai Tribute to Kunes yang dipersiapkan bagi
panggung Asia di Taiwan April-Mei mendatang; membuat penonton terpengarah
(16/3/2019) malam itu. Namun sedikit dari yang terpengarah itu memahami kesima
“Kunes” dalam konteks sejarah dan lokalitasnya. Penari tradisi bumi Banyumas
selatan yang lahir seabad lalu, sedikit diketahui, pada zaman berikutnya telah
menjadi bagian langsung dari sejarah kelam kejahatan atas kemanusiaan (crimes against humanity) pada medio
dekade 60-an.
Dalam perspektif genosida
dimana pembasmian meluas atas sekelompok tertentu manusia di sebuah negara,
makatragedi yang dalam idiom lokal
disebut Geger Gestok 65, telahmerambah masuk pula ke dalam wilayah
budaya sebagai obyek penghancurannya. Perjalanan penari RonggengKunes yang
berhilir tragis; memang jadi linier dengan apa yang pernah ditulis novelis Ahmad
Tohari pada novel triloginya Ronggeng
Dukuh Paruk (berikut 2 novel lainnya, Lintang
Kemukus Dinihari, Jentera Bianglala) yang usai melampaui batas bahasa di beberapa
negara itu.
Pada kasus booming novel
karya sastranya Ahmad Tohari mengakui realitas masih lekatnya communisto-phobia, yang pada gilirannya telah
cukup membuat repot penulisnya. Bahwa masa itu telah lewat, ya. Tetapi sejarah
memiliki cara tutur dan jalan takdirnya sendiri, termasuk dalam berhadapan
dengan segala phobia; yang mungkin hari ini pun masih ada karena memang
dipelihara. Tak terkecuali perjalanan tragik Ronggeng Kunes yang sepintas nampak sebagai kisah personal yang
literer dengan segala romantismenya.
Namun Ronggeng
Kunes dalam dimensi sejarah memiliki alur dan memori kolektif yang lebih dari
sekedar magnet ingatan akan segala kisahnya. Karena “karir dan marwah” Kunes sebagai penari tradisi tidak lah
berdiri sendiri. Meskipun -boleh jadi- komunitas “Titik Kumpul” tak bertendensi
lebih jauh, tetap saja kisah tragis Ronggeng
Kunes yang dipanggungkan, lepas dari apakah kisi-kisi kelam ini tersingkap;
repertoar ini akan menemukan pijak dan kekuatan konteksnya yang menyejarah itu.
Kedaulatan
Panggung
Pemahaman atas Tribute
to Ronggeng Kunes boleh datang kemudian dalam berbagai interpretasinya. Demikian
ini bukan hanya berlaku bagi siapa pun yang menonton repertoar ini, namun juga
bagi komunitas “titik kumpul” dalam proses kreatifnya. Proses yang telah
menghasilkan perform seputar kebiasaan-kebiasaan ronggeng seperti gilir sampur
hingga kedaulatannya dalam menghidupkan gairah panggung.
Ronggeng Kunes yang
dinarasikan tak terpisah dengan fenomena indang
seperti tersirat melalui properti ambeng
yang dibawa keluar penarinya telah cukup menjelaskan kekuatan magis
tradisionalnya. Kebanyakan seni tradisi memang senantiasa lekat dengan aspek
itu. Kesinambungannya terjaga melalui ritual-ritual sebagai manifestasi
nilai-nilai yang berlaku di masyarakat kebudayaanya.
Repertoar Ronggeng
Kunes mengangkat relasi di lapangan kebudayaan itu dari timbulnya ketimpangan
yang menjadi bidikannya. Bagaimana Ronggeng
membangun kedaulatan gender dengan
mengeksplorasi tata nilai menjadi bias hegemoni dalam relasi sosialnya ke atas
panggung. Pentas tribute ini
menampilkan Ronggeng Kunes yang
tengah mencapai puncak emasnya, saat sang ronggeng menjadi kiblat puja.
Tapi makin tinggi pohon tumbuh, makin besar tiupan angin
menerpanya; begitu pepatah berkata. Realitas sejarah tak pernah bisa sepenuhnya
lepas dari intervensi berbagai kepentingan, termasuk kepentingan politik. Nah,
pandangan pragmatis akan bisa menjerumuskan perjalanannya. Bias ini dialami Ronggeng Kunes dalam masa yang
menenggelamkannya dan menjadi tonggak yang menandai genosida budaya pasca 1965, khususnya di daerah Banyumas.
Ronggeng Kunes terbelenggu
bukan oleh lintasan balok yang memasung kakinya, melainkan oleh badai politik
yang memicu gelombang genosida budaya yang
mengiringi Geger Gestok pada masa
itu. [ap]
Ratusan penonton memadati tanah lapang pedukuhan Pesanggrahan malam itu, Senin (9/7); tak jauh dari pusat keramaian Karangsambung Kebumen. Sejak lepas isya’ hamparan terpal yang digelar panitia Festival Film Purbalingga (FFP) dipenuhi anak-anak yang tak sabar menunggu film diputar. Model layar tanjleb mengingatkan kenangan publik jaman dulu saat menonton bioskop layar lebar “misbar” di kapangan terbuka. Putaran kedua dari 17 lokasi yang terpilih untuk tempat pemutaraan bioskop dengan sound-system menggelegar, tak hanya dipadati anak-anak. Kalangan muda hingga para orangtua serta penjual jajanan tak ketinggalan memanfaatkan keramaian ini untuk berjualan. Pihak panitia festival yang terdiri dari Cinema Lover’s Community (CLC) Purbalingga, Sangkanparan (Cilacap) dan Komunitas Kedung (Kebumen) menggandeng Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Bukit Pentulu Indah serta Karang Taruna Desa Karangsambung dalam perhelatan malam itu. Rupanya layartanjleb memang jadi pilihan cara menyajikan tontotan film dalam festival tahunan yang kini telah memasuki tahun ke 12 ini.
“Mendekatkan film kepada penonton terutama penduduk di desa yang memiliki hak sama dengan warga perkotaan yang biasa dimudahkan untuk mengakses tontonan di gedung bioskop”, papar Bowo Leksono tentang media pilihan dalam penyajian karya sinema yang diputar. Ia menambahkan bahwa sajian film dalam festival tahunan ini akan dijaga konsistensinya dengan pilihan layar tanjleb sebagai model.
FILM PELAJAR: Anak-anak juga antusias menonton 3 film bikinan pelajar Kebumen di FFP 2018 [Foto: Komunitas Kedung]
Ada 6 Film Ada 6 film diputar di lokasi yang tak jauh dari pusat LIPI Karangsambung ini. Diantaranya ada 3 karya pelajar, masing-masing: “ Di Dasar Air” (Sutradara: Intan Karunia, SMK 1 Gombong), “Batu Badar Besi” (Sutradara: Alfa Khumairoh, SMK Karanggayam) dan “Tanah Tuan Tanah” (Sutradara: Hestika Sari, SMK Karanggayam). Selain film karya para pelajar ini, ada juga film berjudul “Oleh-Oleh (Sutradara: M. Reza Fahriansyah), “Ji Dullah” (Sutradara: Alif Septian) dan “Sekala Niskala” (Sutradara: Kamila Andini). Film terakhir ini telah memperoleh award di berbagai festival bertaraf internasional. Dan baru saja film ini disertakan dalam Asean Film Festival 2018 yang juga menyabet penghargaan tingkat Asia. Pelibatan warga setempat dalam gelaran ini pun akan selalu diupayakan ada di setiap lokasi penyajian.
"Layar tancap ini juga menjadi peluang yang baik untuk mengingatkan kembali potensi geopark LIPI Karangsambung. Para pemuda tentu selalu terbuka terhadap berbagai acara yang ditawarkan dari pihak luar sejauh itu bertujuan positif. Apalagi bagi Karangsambung yang juga mempunyai obyek wisata PI (Pentulu Indah_Red)", ungkap Sutasor dalam sambutannya di sela pemutaran film.
Selaku Ketua Sub-Karangtaruna “Gatra Karsa” yang membawahi 6 dusun sekaligus penanggung jawab keamanan perhelatan, pihaknya sangat mengapresiasi upaya pengangkatan potensi sinema Indonesia; termasuk film karya para pelajar di daerahnya.
Salah satu pengurus pengurus pokdarwis Bukit Pentulu Indah, Supriyanto menambahkan bahwa meskipun Pentulu Indah sudah populer melalui berbagai liputan stasiun televisi, “Tetapi acara seperti ini tetap diperlukan untuk menggiatkan pemuda dan meramaikan lokasi di lingkup sekitaran area wisata yang ada di desa”.
Antusiasme penonton di dusun Pesanggrahan begitu tinggi hingga akhir pemutaran film utama, Sekala Niskala besutan sutradara Kamila Andini. Masih ada satu titik lokasi lagi yang akan disambangi Layar Tanjleb FFP 2018 yaitu Perum Jatisari kecamatan Kebumen kemudian berlanjut ke Banjarnegara. [put]
SANG BINTANG: Kesima “sang bintang” Dewi Aminah
yang jadi magnet penonton pementasannya [Foto: Ridho Kedung]
Entah apa yang diraih penonton seusai menyimak
pertunjukan teater monolog ini. Keterhenyakannya sepanjang 31’06” durasi
pementasan malam itu tak menggeser fokusnya. Nyata bahwa kesima “Sang Bintang”
sukses menyita perhatian ke dalam lansekap
panggung yang ditata dengan kesan semi dekoratif biasa. Namun siraman lighting mendukungnya menjadi komposisi yang cukup sarat dengan
pesan situasi, meski tak semua properti menjadi bagian kekuatan dalam membangun
dan menyatukan narasinya.
Sementara Dewi Aminah mampu melampaui narasi verbal “Sang
Bintang” dan mereaktualisasi ekspresi naratifnya, dari sisi panggung
mengalirkan suara musik yang menutupi celah-celah agar ekspektasi pentasnya
bisa terjaga. Talenta Dewi Aminah memang berhasil mengatasi kendala narasi tekstual
yang panjang dan mengular. Namun pada saat yang sama dan di fase berikutnya; ia
tak cukup padat membangun diksi-diksi di sepanjang durasi lakon monolognya.
Sesuatu yang akan membedakan sebuah teater monolog dan menjauhkannya dari
jebakan story-telling biasa.
AKTING: Sedikit properti yang bisa dimanfaatkan
talent guna lebih menghidupkan panggungnya, menjadi catatan dalam proses
elaborasi keaktoran selanjutnya [Foto: Ridho Kedung]
Itu sebabnya kenapa ada terminologi “dataran tiga
pengadegan” dalam pementasan monolog “Sang Bintang” di panggung (9/5/18) malam itu.
Tentu saja, ini hanya lah sebuah catatan belaka; tanpa
tendensi kritis. Satu-satunya tendensi yang mesti dibangun adalah meminimalisir
celah-celah agar bangunan cerita tidak menjadi datar-datar saja. Meksi dalam
konteks ini, komposisi musik dan pencahayaan dapat menolong; namun secara
esensial ia menjadi bagian utuh dari kekuatan sang talent.
Bagaimana mematangkan talenta, selain bukan perkara
instan; barangkali ini masuk dalam wilayah rejim penyutradaraan. Tetapi saya
ingin mengembalikan simpulan ini dengan mendekati latar proses ketimbang paparan
ceritera pentasnya. Dengan begitu, jagad teater akan menempati realitas estetik
yang dapat dijadikan wahana pembelajaran bersama.
Menyorot Dewi “Sang Bintang” Aminah malam itu, nampak
telah memiliki bekal dasar kuat, terlebih jika mengingat ia adalah talent pemula. Mulutnya bertenaga, daya
imagineirnya tak rendah; demikian pula nalar estetiknya. Tentu, dasar-dasar ini
tak lepas dari proses bagaimana ia dipersiapkan Sangkanparan untuk itu... [ap]
APRESIAN: Sejumlah penonton mengapresiasi pementasan monolog "Sang Bintang" (9/5) dalam sesi dialog yang digelar pasca pementasannya [Foto: Ridho Kedung]
TBRS: Pementasan repertoar "Jago Tengsiang" produksi SRMB Kebumen pada Festival Pertunjukan Rakyat (28/4) di TBRS Semarang [Foto: K-04]
Semarang - Putaran akhir Festival Pertunjukan Rakyat 2018
yang difasilitasi Forum Komunikasi Media Tradisional (FK-Mitra) Jawa Tengah
sukses digelar di Taman Budaya Raden Saleh (TBRS) Semarang, Sabtu (28/4).
Sebanyak 6 delegasi daerah yakni dari Semarang, Magelang, Purworejo, Kebumen,
Purbalingga dan Wonosobo; sebagai peserta festival usai menyajikan
pertunjukannya di hadapan ratusan penonton yang memadati gedung.
Nuansa tradisional sebagai ciri masing-masing daerah
mewarnai konten pertunjukan, meskipun beberapa terkesan lebih banyak mengusung
pesan-pesan promosi pemerintah sebagai warna cukup “dominan” dalam komposisi
misi pertunjukannya. Beban “moral” titipan seperti ini, pada batas ekspresi tertentu,
serasa menyisakan celah kosong dengan penonton sebuah festival rakyat yang
menempatkan penonton pada obyek yang pasif.
PENONTON TBRS: Penonton festival di Taman Budaya Raden Saleh (TBRS) Semarang, berbaur dengan peserta festival yang menunggu gilitan tampil [Foto: K-04]
Alih-alih menciptakan komunikasi yang intens atas
pertunjukan, beberapa penonton dalam kuantitas cukup signifikan malah lebih memilih
buat menyimak layar gadget yang
dibawanya, ketimbang berfokus pada panggung meskipun pertunjukan tengah dan terus
berjalan. Audiens seakan berkilah dari suapan pesan-pesan profan, sebuah situasi
yang rasanya malah jadi menjauhkan panggung dari eksplora problem-problem
keseharian rakyat yang makin kompleks.
“Pertunjukan yang awalnya asik, tiba-tiba berubah
karakternya”, komentar jengah Indriotomo dari barisan penonton festival
pertunjukan rakyat pagi hingga siang itu.
Dilihatnya antara panggung dan penonton sebagai dua dunia
yang berdiri sendiri-sendiri, meski pada mulanya telah terbangun suasana yang mulai
menautkan keduanya; situasi bagi terbangunnya interpretasi kreatif. Pada acara
yang sekaligus menjadi ajang deklarasi anti-hoax itu, menjadikan indepensi
sebuah festival pertunjukan rakyat jadi berkurang kekuatannya.
Drama “Jago
Tengsiang” dan Aplaus itu
Restorasi kecil atas lakon “Jago Tengsiang” yang
sebelumnya dipentaskan di Kebumen (13/4), sedikit memecahkan celah berjarak
itu. Repertoar yang diusung SRMB memang mendapatkan apllaus penontonnya di TBRS Semarang. Tetapi bukan melulu itu
ukurannya, jika mau berfikir seputar estetika bertutur melalui panggung
pertunjukan.
Lakon ini memang bertutur soal skeptisme publik atas
pemilu yang jadi bingkai tema pihak penyelenggara. Gagasan yang terumuskan
dalam jargon gelaran Pemilu Becik tur
Nyenengake (Pemilu yang baik dan menyenangkan_Red) itu, telah mengalami “daur
ulang” pemikiran dari sisi yang lain. Dari kacamata publik pemilih, pendekatan
perspektifnya berbeda.
Intervensi kalangan tertentu dalam tradisi “pesta
demokrasi” yang boleh jadi menyenangkan itu,
dipersonifikasikan melalui peran politik korporasi pada awal narasi
dramatiknya. Dalam konteks gelaran pemilu, dimana ada penyimpangan dan bahkan
kejahatan moral-etika berdemokrasi, selalu hanya bermuara dan menghasilkan
rejime oligarki baru yang secara substansi tak berbeda dengan hasil-hasil
politik elektoral formal sebelumnya.
Meskipun SRMB sulit lepas dari kewajiban moral yang mesti
dipikul atas pesanan pihak resmi, sebagaimana 6 peserta festival lain
menyuarakan; namun memang terasa bahwa “Jago Tengsiang” tak bertutur dengan
gaya menggurui penontonnya... [ap]