Minggu, 21 Juli 2019

Catatan Penyerta Repertoar Dangsak [1]


DANGSAK: Repertoar Dangsak yang digelar SRMB mengangkat aspek lain berupa ritual tradisi yang menyertainya. Dangsak atau Cepetan Alas dan disebut juga dengan "Tongbreng" dipercaya bukan sekedar sebuah tarian, tapi memiliki kaitan tradisi yang memelihara keberadaannya [Foto: Imam Muthoha] 

Setelah dihadang masalah opsi panggung pementasan yang semula akan menggunakan panggung terbuka Diskominfo di kompleks Ratih TV; akhirnya pada Sabtu (20/7) helatan “Repertoar Dangsak” digelar di Pendopo Bupati Kebumen. Penyelenggara pementasan ini, Sekolah Rakyat MeluBae (SRMB) memadukan seni topeng tradisi ini dengan musik puisi dan orkestra biola.  

Tak kurang dari 70 an partisipan terdiri dari talent dan crew terlibat aktif memanggungkan repertoar dangsak, menebalkan apa yang pernah dilakukan Dewan Kesenian Daerah (DKD) Kebumen beberapa tahun silam yang mengkolaborasikan “Ketoprak Dangsak”, sebuah dekomposisi seni tradisi ini dengan ketoprak sebagai seni tradisi lainnya.   

Keduanya memperoleh sambutan hangat audiens sebagai sebuah karya panggung yang membukakan kisi-kisi pembaharu. Lepas dari bagaimana proses menarasikan masih menyisakan celah-celah yang luput dari ekplorasi garapan; namun sajian repertoar dangsak telah bisa diterima kehadirannya.

Narasi

Kredit Foto: BY Handoko

Pentas “Repertoar Dangsak” ini minus narasi. Dalam perbincangan yang digelar pasca pementasan, ihwal ini mengemuka, setidaknya melalui 2 penanggap yang mengkritiknya; yakni Sigit Asmodiwongso (Gombong) dan Tofik Suseno (Cilacap). 
“Tak ada teks yang mengantar pemahaman awal buat audiens”, kritik Sigit. Prolog yang dapat menjembatani penonton “meniti jalan” cerita memang tak ada. Pernyataan senada ditajamkan oleh Tofik Suseno.
“Saya bahkan tak melihat dimana konflik jadi bagian konstruksi repertoar”, ungkap pamong musik Tabuh Singmoni; sebuah kelompok musik kontempo yang mewadahi anak-anak jalanan, punk dan pemuda masjid.
Narasi memang masih menjadi prasyarat awal konsepsi pementasan. Sayangnya, kegilaan kolektif di SRMB tengah berkecamuk pasca tundanya Monolog Kampungasu yang sejak lama terencana. Ihwal ini diakui penulis abstraksi repertoar dangsak yang lebih mengimani kemerdekaan proses re-interpretasi para talent ketimbang belenggu “naskah” layaknya drama.

Repertoar Dangsak juga bukan pentas tari Cepetan Alas yang di kawasan tumbuhnya ada disebut dengan Tongbreng. Repertoar ini memuat aspek-aspek religiusitas yang mistis, mulai dari ritual tradisi, pundhen; hingga aspek sejarah awal kemunculannya. Dalam konteks ini, penulisan tak bisa percaya pada tuturan pihak yang paling merasa dirinya benar.

Tak ada jejak literasi dalam bentuk teksbook yang bisa didapat langsung dari sumbernya, namun penuturan para tetua adat tentu tak elok buat diabaikan begitu saja; karena tradisi tutur turun-temurun itu lah manifest literasinya. Itu sebabnya repertoar menyertakan pewaris kearifan dan perekat tradisi seperti Dawintana beserta Ali Pawira dari Watulawang. Tentu saja, masih ada beberapa local-genius pelaku tradisi lainnya.

Jauh sebelum era keduanya, Kalipancur-Karanggayam, Karangtengah, Kajoran, Silampeng, Gunungsari, Karangjoho-Karangmaja, Kalireja, Peniron dan belasan desa-desa bertahan merawat tradisi Cepetan Alas ini menjadi bagian kehidupan budaya agraris kita.   

Resistensi

 Kredit Foto: Sigit Asmodiwongso
“Uwis Kaang.. Mandheg gole seneng-seneng. Kahanan lagi kontrang-kantringan malah dhewek kaya ora eling..”, seru talent pasutri terengah meluncur ke area panggung. Talent pasutri malam itu diperankan Wiwid Bigmom dan Pekik Sat; yang berimprovisasi menarasikan situasinya.  
Pengadegan kedua repertoar ini menjadi bagian yang membuka lembar sejarah kemunculannya menurut temuan penelitian tradisi. Penutur bernama mBah Ruslan dari Kajoran dan mBah Asma dari tlatah Kalipancur menukil kisah Cepetan Alas yang diperoleh dari waris leluhur cepetnya di Kalipancur dan Karangtengah.

Dari versi ini didapat periwayatan dalam konteks masa yang menyejarah, yang bisa saja menjadi berbeda di daerah atau pedukuhan lainnya. Pegiat SRMB yang juga aktif jadi relawan dewan kesenian daerah merangkai simpul bahwa pada masa awal kemunculannya, Cepetan Alas adalah manifestasi dari perlawanan kultural masyarakat terhadap ekspansi perkebunan onderneming kala itu; yang merangsek hingga pedesaan hulu. (Roeslan, 2004)

Rupanya, Repertoar Dangsak ingin bertutur soal resistensi kultural pada pengadegan ini. Tetapi celah masanya kelewat lebar. Sang narsum bahkan menyeretnya hingga jauh ke mitologi awang-uwung Jawa. (Asma, 2004).

Sampai pada batas ini tak ada lagi referensi selain Babad Tanah Jawi dan dongeng tutur kasultanan Roem. Sedangkan dari angkatan pewaris tradisi hanya mampu membaca jejak hingga masa pendudukan Jepang yang menyebabkan bencana kelaparan karena kelangkaan pangan lokal..  [ap]

Bersambung  

0 komentar:

Posting Komentar