DANGSAK: Repertoar Dangsak yang digelar SRMB mengangkat aspek lain berupa ritual tradisi yang menyertainya. Dangsak atau Cepetan Alas dan disebut juga dengan "Tongbreng" dipercaya bukan sekedar sebuah tarian, tapi memiliki kaitan tradisi yang memelihara keberadaannya [Foto: Imam Muthoha]
Setelah dihadang masalah opsi panggung pementasan yang
semula akan menggunakan panggung terbuka Diskominfo di kompleks Ratih TV; akhirnya
pada Sabtu (20/7) helatan “Repertoar Dangsak” digelar di Pendopo Bupati
Kebumen. Penyelenggara pementasan ini, Sekolah Rakyat MeluBae (SRMB) memadukan
seni topeng tradisi ini dengan musik puisi dan orkestra biola.
Tak kurang dari 70 an partisipan terdiri dari talent dan crew terlibat aktif memanggungkan repertoar dangsak, menebalkan apa
yang pernah dilakukan Dewan Kesenian Daerah (DKD) Kebumen beberapa tahun silam yang
mengkolaborasikan “Ketoprak Dangsak”, sebuah dekomposisi seni tradisi ini
dengan ketoprak sebagai seni tradisi lainnya.
Keduanya memperoleh sambutan hangat audiens sebagai sebuah karya panggung yang membukakan kisi-kisi
pembaharu. Lepas dari bagaimana proses menarasikan masih menyisakan celah-celah
yang luput dari ekplorasi garapan; namun sajian repertoar dangsak telah bisa
diterima kehadirannya.
Narasi
Kredit Foto: BY Handoko
Pentas “Repertoar Dangsak” ini minus narasi. Dalam perbincangan
yang digelar pasca pementasan, ihwal ini mengemuka, setidaknya melalui 2
penanggap yang mengkritiknya; yakni Sigit Asmodiwongso (Gombong) dan Tofik
Suseno (Cilacap).
“Tak ada teks yang mengantar pemahaman awal buat audiens”, kritik Sigit. Prolog yang dapat menjembatani penonton “meniti jalan” cerita memang tak ada. Pernyataan senada ditajamkan oleh Tofik Suseno.
“Saya bahkan tak melihat dimana konflik jadi bagian konstruksi repertoar”, ungkap pamong musik Tabuh Singmoni; sebuah kelompok musik kontempo yang mewadahi anak-anak jalanan, punk dan pemuda masjid.
Narasi memang masih menjadi prasyarat awal konsepsi pementasan.
Sayangnya, kegilaan kolektif di SRMB tengah berkecamuk pasca tundanya Monolog
Kampungasu yang sejak lama terencana. Ihwal ini diakui penulis abstraksi
repertoar dangsak yang lebih mengimani kemerdekaan proses re-interpretasi para talent ketimbang belenggu “naskah”
layaknya drama.
Repertoar Dangsak juga bukan pentas tari Cepetan Alas yang di kawasan tumbuhnya ada
disebut dengan Tongbreng. Repertoar
ini memuat aspek-aspek religiusitas yang mistis, mulai dari ritual tradisi, pundhen; hingga aspek sejarah awal kemunculannya.
Dalam konteks ini, penulisan tak bisa percaya pada tuturan pihak yang paling
merasa dirinya benar.
Tak ada jejak literasi dalam bentuk teksbook yang bisa didapat langsung dari sumbernya, namun penuturan
para tetua adat tentu tak elok buat diabaikan begitu saja; karena tradisi tutur
turun-temurun itu lah manifest literasinya. Itu sebabnya repertoar menyertakan
pewaris kearifan dan perekat tradisi seperti Dawintana beserta Ali Pawira dari Watulawang.
Tentu saja, masih ada beberapa local-genius
pelaku tradisi lainnya.
Jauh sebelum era keduanya, Kalipancur-Karanggayam, Karangtengah,
Kajoran, Silampeng, Gunungsari, Karangjoho-Karangmaja, Kalireja, Peniron dan
belasan desa-desa bertahan merawat tradisi Cepetan
Alas ini menjadi bagian kehidupan budaya agraris kita.
Resistensi
“Uwis Kaang.. Mandheg gole seneng-seneng. Kahanan lagi kontrang-kantringan malah dhewek kaya ora eling..”, seru talent pasutri terengah meluncur ke area panggung. Talent pasutri malam itu diperankan Wiwid Bigmom dan Pekik Sat; yang berimprovisasi menarasikan situasinya.
Pengadegan kedua repertoar ini menjadi bagian yang membuka
lembar sejarah kemunculannya menurut temuan penelitian tradisi. Penutur bernama
mBah Ruslan dari Kajoran dan mBah Asma dari tlatah
Kalipancur menukil kisah Cepetan Alas
yang diperoleh dari waris leluhur cepetnya di Kalipancur dan Karangtengah.
Dari versi ini didapat periwayatan dalam konteks masa yang
menyejarah, yang bisa saja menjadi berbeda di daerah atau pedukuhan lainnya. Pegiat
SRMB yang juga aktif jadi relawan dewan kesenian daerah merangkai simpul bahwa
pada masa awal kemunculannya, Cepetan
Alas adalah manifestasi dari perlawanan kultural masyarakat terhadap
ekspansi perkebunan onderneming kala
itu; yang merangsek hingga pedesaan hulu. (Roeslan,
2004)
Rupanya, Repertoar Dangsak ingin bertutur soal resistensi
kultural pada pengadegan ini. Tetapi celah masanya kelewat lebar. Sang narsum
bahkan menyeretnya hingga jauh ke mitologi awang-uwung
Jawa. (Asma, 2004).
Sampai pada batas ini tak ada lagi referensi selain Babad Tanah Jawi dan dongeng tutur kasultanan
Roem. Sedangkan dari angkatan pewaris
tradisi hanya mampu membaca jejak hingga masa pendudukan Jepang yang
menyebabkan bencana kelaparan karena kelangkaan pangan lokal.. [ap]
Bersambung
0 komentar:
Posting Komentar