This is default featured slide 1 title

BEBAL:"FPI"

Kebebalan FPI Banyuwangi yang membubarkan ritual tradisi Sedekah Laut di daerahnya

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Sabtu, 21 Juli 2018

Menelisik Sejarah Masjid Saka Tunggal di Kebumen

Sabtu, 21 Juli 2018 - 05:43 WIB
Abdul Malik Mubarok

Masjid Saka Tunggal di Desa Pekuncen, Kecamatan Sempor, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah. FOTO/SINDOnews/ABDUL MALIK MUBAROK

Sejarah penyebaran Islam di Nusantara tak bisa dilepaskan dari keberadaan masjid-masjid kuno di sejumlah daerah di Indonesia. Salah satunya Masjid Saka Tunggal di Desa Pekuncen, Kecamatan Sempor, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah.

Sesuai namanya Saka Tunggal, masjid ini hanya ditopang oleh satu tiang (saka) saja. Saka tunggal sebagai penopang utama bangunan ini berbentuk segi empat dengan ukuran 30 x 30 cm. Ia menjulang ke atas sekitar 4 meter tingginya. Di ujung atas soko tersebut terdapat 4 buah kayu melintang sebagai penyangga utama bangunan masjid tersebut. Sementara di tengah-tengah soko terdapat 4 buah danyang atau skur untuk membantu menyangga kayu-kayu yang ada di atasnya.

Kayu yang digunakan sebagai saka merupakan kayu jati pilihan. Karena keunikannya tersebut, Masjid Soko Tunggal kerap menjadi bahan penelitian dan riset dari instansi dan universitas di Indonesia.
Menelisik Sejarah Masjid Saka Tunggal di Kebumen

Menurut Imam Masjid Saka Tunggal Muhammad Ja'far, makna saka tunggal sebenarnya mengandung filosofi tersendiri. Saka tunggal melambangkan ke-Esaan Allah SWT sebagai Sang Pencipta tunggal alam semesta. Makna tunggal tersebut diejawantahkan dengan memaknai Masjid Saka Tunggal sebagai tempat untuk meyakini bahwa Allah SWT itu Tunggal atau Esa. Sedangkan dalam kaitannya dengan sejarah perjuangan, masjid itu juga sebagai simbol satu tekad untuk mengusir penjajah dari bumi Indonesia.

Banyak versi mengenai sejarah berdirinya Masjid Saka Tunggal ini. Menurut Muhammad Jafar, Masjid Soko Tunggal dibangun oleh Adipati Mangkuprojo sekitar 1719 Masehi. Dia merupakan keluarga Keraton Kartasura, Solo yang gigih melawan penjajah Belanda. Karena terdesak Adipati Mangkuprojo kemudian melarikan diri dan memilih bergerilya di daerah Pekuncen. Ia pun kemudian membuat pesanggrahan yang bersifat sementara.

Selain bergerilya, Adipati Mangkuprojo juga giat melakukan syiar agama Islam. Setelah pengikutnya banyak akhirnya Adipati Mangkuprojo mendirikan masjid Saka Tunggal ini. Awalnya atap masjid menggunakan daun bambu yang dianyam dan dindingnya menggunakan tabak bambu. Dalam perkembangannya atap daun bambu tersebut diganti dengan ijuk, tetapi dindingnya masih menggunakan tabak bambu. Kurang lebih seabad kemudian ijuk tersebut diganti dengan genteng. Tahun 1922 dinding bambu diganti dengan bangunan tembok. Dan pada Juli 2005 lalu direnovasi.

Masjid Saka Tunggal Pekuncen ini memiliki kaitan dengan keluarga Soemitro Djojohadikoesoemo, begawan ekonomi Indonesia yang juga ayah dari Prabowo Subianto. Menurut cerita, nenek moyang Soemitro adalah juru kunci (kuncen) makam Adipati Mangkuprojo yang terletak tak jauh dari Masjid Saka Tunggal. Itulah mengapa desa ini disebut Desa Pekuncen.

Karena ada ikatan tersebut, renovasi Masjid Saka Tunggal dilakukan oleh keluarga Soemitro Djojohadikoesoemo. Tidak mengherankan jika setiap bulan ruwah dalam penanggalan Islam, keluarga Sumitro Djoyohadikusumo pasti datang berziarah ke makam ini.

Sejak pertama kali didirikan, setidaknya sudah 10 kiai yang menjadi imam di masjid tersebut. Yaitu Kyai Maja, Kyai Langgeng Dipura, Kyai Madanom, Kyai Abdul Hamid, Kyai Moh Salim, Kyai Moh Ngasem, Kyai M Jafat, Kyai Moh Saeri, Kyai H Abu Jamhari dan sampai saat ini imam Masjid Saka Tunggal dipegang oleh M Jafar.(amm)


Sumber: SindoNews 

Senin, 09 Juli 2018

6 Film FFP 2018 digelar di Karangsambung

  • FFP 2018 Gandeng Pokdarwis dan Karang Taruna


Ratusan penonton memadati tanah lapang pedukuhan Pesanggrahan malam itu, Senin (9/7); tak jauh dari pusat keramaian Karangsambung Kebumen. Sejak lepas isya’ hamparan terpal yang digelar panitia Festival Film Purbalingga (FFP) dipenuhi anak-anak yang tak sabar menunggu film diputar. Model layar tanjleb mengingatkan kenangan publik jaman dulu saat menonton bioskop layar lebar “misbar” di kapangan terbuka.

Putaran kedua dari 17 lokasi yang terpilih untuk tempat pemutaraan bioskop dengan sound-system menggelegar, tak hanya dipadati anak-anak. Kalangan muda hingga para orangtua serta penjual jajanan tak ketinggalan memanfaatkan keramaian ini untuk berjualan.

Pihak panitia festival yang terdiri dari Cinema Lover’s Community (CLC) Purbalingga, Sangkanparan (Cilacap) dan Komunitas Kedung (Kebumen) menggandeng Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Bukit Pentulu Indah serta Karang Taruna Desa Karangsambung dalam perhelatan malam itu.
Rupanya layar tanjleb memang jadi pilihan cara menyajikan tontotan film dalam festival tahunan yang kini telah memasuki tahun ke 12 ini.
“Mendekatkan film kepada penonton terutama penduduk di desa yang memiliki hak sama dengan warga perkotaan yang biasa dimudahkan untuk mengakses tontonan di gedung bioskop”, papar Bowo Leksono tentang media pilihan dalam penyajian karya sinema yang diputar. Ia menambahkan bahwa sajian film dalam festival tahunan ini akan dijaga konsistensinya dengan pilihan layar tanjleb sebagai model.
FILM PELAJAR: Anak-anak juga antusias menonton 3 film bikinan pelajar Kebumen di FFP 2018 [Foto: Komunitas Kedung]

Ada 6 Film 

Ada 6 film diputar di lokasi yang tak jauh dari pusat LIPI Karangsambung ini. Diantaranya ada 3 karya pelajar, masing-masing: “ Di Dasar Air” (Sutradara: Intan Karunia, SMK 1 Gombong), “Batu Badar Besi” (Sutradara: Alfa Khumairoh, SMK Karanggayam) dan “Tanah Tuan Tanah” (Sutradara: Hestika Sari, SMK Karanggayam).

Selain film karya para pelajar ini, ada juga film berjudul “Oleh-Oleh (Sutradara: M. Reza Fahriansyah), “Ji Dullah” (Sutradara: Alif Septian) dan “Sekala Niskala” (Sutradara: Kamila Andini). Film terakhir ini telah memperoleh award di berbagai festival bertaraf internasional. Dan baru saja film ini disertakan dalam Asean Film Festival 2018 yang juga menyabet penghargaan tingkat Asia. Pelibatan warga setempat dalam gelaran ini pun akan selalu diupayakan ada di setiap lokasi penyajian.
"Layar tancap ini juga menjadi peluang yang baik untuk mengingatkan kembali potensi geopark LIPI Karangsambung. Para pemuda tentu selalu terbuka terhadap berbagai acara yang ditawarkan dari pihak luar sejauh itu bertujuan positif. Apalagi bagi Karangsambung yang juga mempunyai obyek wisata PI (Pentulu Indah_Red)", ungkap Sutasor dalam sambutannya di sela pemutaran film.
Selaku Ketua Sub-Karangtaruna “Gatra Karsa” yang membawahi 6 dusun sekaligus penanggung jawab keamanan perhelatan, pihaknya sangat mengapresiasi upaya pengangkatan potensi sinema Indonesia; termasuk film karya para pelajar di daerahnya.
Salah satu pengurus pengurus pokdarwis Bukit Pentulu Indah, Supriyanto menambahkan bahwa meskipun Pentulu Indah sudah populer melalui berbagai liputan stasiun televisi, “Tetapi acara seperti ini tetap diperlukan untuk menggiatkan pemuda dan meramaikan lokasi di lingkup sekitaran area wisata yang ada di desa”.
Antusiasme penonton di dusun Pesanggrahan begitu tinggi hingga akhir pemutaran film utama, Sekala Niskala besutan sutradara Kamila Andini. Masih ada satu titik lokasi lagi yang akan disambangi Layar Tanjleb FFP 2018 yaitu Perum Jatisari kecamatan Kebumen kemudian berlanjut ke Banjarnegara. [put]

Minggu, 08 Juli 2018

Festival Film Purbalingga Merambah Kebumen



Festival Film Purbalingga (FFP) sebagai satu-satunya festival film berskala nasional di provinsi Jawa Tengah yang konsisten dengan program kompetisi untuk pelajar se-Banyumas Raya kembali menyambangi Kebumen. 

Pada tahun 2018 yang merupakan gelaran ke-12, FFP berhasil menjaring 8 film dokumenter dan 5 film fiksi karya pelajar Kebumen dari puluhan film yang masuk mendaftar. Film-film tersebut akan diputar dengan format layar tancap ke 17 titik di kabupaten Purbalingga, Kebumen, Cilacap, Banyumas, dan Banjarnegara. Kabupaten Kebumen mendapat jatah 2 titik lokasi layar tancap yaitu di dusun Pesanggrahan, Karangsambung, Senin (9/07/2018) dan di Perum Jatisari Indah, Kebumen pada Selasa (10/07/2018). 

Pemutaran film dimulai pukul 19.30 hingga 22.00 di setiap titiknya. Tidak hanya memutarkan film pendek kompetisi pelajar se-Banyumas Raya dan karya sineas dari daerah lainnya, program Layar Tanjleb FFP tahun ini juga memutarkan film panjang yang telah diapresiasi di berbagai festival baik nasional maupun internasional besutan sutradara Kamila Andini berjudul Sekala Niskala.
“Proses pendaftaran dan pemilihan lokasi sudah berjalan sebulan sebelum pelaksanaan. Dari 8 titik lokasi yang mendaftarkan, terpilih 3 lokasi yang memenuhi syarat dimana ada panitia lokal yang siap kerjasama di lapangan, biasanya dari kelompok karang taruna desa setempat. Tapi akhirnya hanya 2 lokasi yang dipastikan siap”, demikian tutur Ridho Saputro.  

Diperoleh penjelasan dari fihak koordinator pelaksana FFP 2018, Puput Juang bahwa program "layar tanjleb" FFP dari tahun ke tahun bisa menjadi ajang melatih kecakapan sineas muda dan film-maker di kabupaten Kebumen dan daerah lainnya yang terkait dalam mengelola sebuah festival film berkualitas dan terbukti konsisten bertahan selama belasan tahun dimana banyak volunteer terlibat didalamnya. 
“Dari tahun ke tahun tentu kami ingin terjadi penambahan lokasi titik pemutaran layar tanjleb, tapi tentu itu juga perlu perhitungan matang karena festival ini kan berjalan selama sebulan penuh. Tidak hanya layar tancap yang dilakukan, tapi juga ada lokakarya dan pemutaran film di ruang-ruang yang lebih kecil seperti program Nonton Bersama Tetangga dan pemutaran di komplek pendopo kabupaten Purbalingga yang disertai diskusi bersama para pembuatnya”, tambah Puput Juang, dedongkot Komunitas Kedung. 

Cinema Lovers Community (CLC) Purbalingga sebagai komunitas yang menggagas festival ini berkomitmen untuk terus memajukan perkembangan film lokal terutama film pelajar se-Banyumas Raya. 
“Dulu awalnya kami mulai bergerak dengan menawarkan pemutaran film dan workshop produksi bagi pelajar, setelah lebih dari 10 tahun kami kewalahan karena permintaan semakin banyak hingga datang dari daerah di luar Purbalingga.  Munculnya komunitas-komunitas baru dengan semangat berbagi yang sama menjadi angin segar bagi proses panjang yang telah dilalui selama ini. Apalagi kompetisi film pelajar jelas membutuhkan peningkatan mutu dari segi kualitas, bukan hanya kuantitas”, tegas Bowo Leksono selaku Direktur Festival Film Purbalingga. 

Dimas Jayasrana mewakili Jaringan Kerja Film Banyumas Raya (JKFB) sebagai organisasi tempat bernaung komunitas film di Purbalingga, Kebumen, Cilacap, Banyumas, dan Banjarnegara menambahkan 
“FFP tidak dikerjakan sendiri oleh CLC Purbalingga, tetapi melibatkan komunitas lain; Sangkanparan (Cilacap) serta Komunitas Kedung (Kebumen). Ini sejalan dengan semangat kolektif dan berjejaring yang menjadi kultur dan telah terbangun sejak awal”

Layar tancap sebagai medium pemutaran film dengan cakupan penonton yang luas tentu ampuh meningkatkan jumlah penonton film Indonesia dan mengedukasi dengan pilihan film berkualitas yang disajikan, serta menumbuhkan geliat ekonomi masyarakat. Apalagi di berbagai daerah yang tidak mempunyai bioskop jaringan komersil, hal ini tentu mengobati kerinduan masyarakat untuk menonton film dengan format layar lebar dan audio yang menggelegar. [rid]

Benteng Van der Wijck dan Upaya Meredam Pemberontakan Diponegoro

Minggu, 8 Juli 2018 - 05:11 WIB
Abdul Malik Mubarok

Benteng Van der Wijck peninggalan Belanda di Gombong, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah. FOTO/DOK.KORAN SINDO

ZAMAN pendudukan Belanda di Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah tidak bisa dipisahkan dari Kecamatan Gombong. Wilayah yang terletak sekitar 20 kilometer seberat barat dari ibu kota Kebumen tersebut diyakini pernah dijadikan pusat kegiatan tentara penjajah dari negeri kincir air itu. Terbukti, di jalan Sapta Marga Gombong terdapat sebuah benteng peninggalan kolonial Belanda yang diberi nama Van der Wijck.

Berdasarkan cerita sejarah dari berbagai sumber, Benteng Van der Wijck dibangun pada awal abad 19 atau sekitar 1818 seiring meluasnya pemberontakan Pangeran Diponegoro di beberapa daerah. Pembangunan benteng ini adalah sebagai tempat pertahanan sekaligus perencanaan penyerangan di eks-Karisidenan Kedu Selatan.

Namun dalam versi lain, Benteng Van der Wijck dibangun pada 1844. Sebelum dibangun benteng, gedung ini awalnya merupakan kantor Kongsi Dagang VOC (Vereenigde Ootindische Compagnie). Lantaran kekuatan pasukan Pangeran Diponegoro yang berpusat di Bagelen Selatan (sekarang kota Kebumen) cukup besar, Belanda mendatangkan tentaranya ke Gombong. Mereka kemudian ditempatkan di kantor Kongsi Dagang VOC.

Karena dijadikan pertahanan militer dalam menghadapi perlawanan Pangeran Diponegoro di wilayah Bagelen Selatan, pada 1844 akhirnya Belanda mulai membangun sebuah benteng di kantor Kongsi Dagang VOC tersebut. Empat tahun kemudian benteng ini baru selesai dibangun.
  
Dibandingkan dengan peninggalan Belanda lainnya, Benteng Van der Wijck mempunyai keunikan tersendiri. Bangunannya dua lantai dan berbentuk segi delapan berwarna merah bata. Ketinggian gedung 10 meter. Tebal dindingnya mencapai 1,4 meter dan tebal lantai 1,1 meter. Total luasnya bangunannya sekitar 7.170 meter persegi.

Lantai satu Benteng Van der Wijck mempunyai 4 pintu gerbang. Di dalamnya mempunyai 16 ruangan berukuran 18 x 6,5 meter, serta 27 ruang kecil dengan 72 jendela dan 63 pintu. Sedangkan di lantai dua terdapat 70 pintu penghubung dan 84 jendela.

Ruangan di lantai satu merupakan barak-barak yang dijadikan tempat istirahat bagi para tentara Belanda. Selain itu juga digunakan untuk menyimpan bahan makanan dan amunisi persenjataan. Atap benteng juga dibuat dari bata merah, sangat kuat dan kokoh dibuat menyerupai bukit-bukit kecil digunakan sebagai tempat pertahanan sekaligus untuk mengintai lawan dari atas.

Setelah penjajah Belanda diusir dari bumi pertiwi dan Republik Indonesia mendapatkan kemerdekaannya, Benteng Van Der Wijck pernah difungsikan untuk tempat melatih tentara Indonesia bentukan Jepang yakni PETA sebagai pasukan tambahan menghadapi Sekutu. Di zaman itulah, seluruh tulisan Belanda yang ada di benteng dicat hitam. Kemudian dimanfaatkan untuk tentara Indonesia. Bahkan, semasa KNIL (Koninklijk Nederlandsch-Indische Leger), penguasa Orde Baru, Soeharto, menjadi salah satu penghuni benteng itu.


Sejak tahun 1950 hingga tahun 1984, benteng itu digunakan untuk barak tentara. Tahun 1984 menjadi tempat tinggal anggota TNI Angkatan Darat sampai tahun 2000. Namun sejak 5 Oktober 2000, bangunan peninggalan Belanda ini dikelola oleh pihak swasta PT Indo Power Makmur Sejahtera, untuk dijadikan objek wisata sejarah. Di dalamnya dibangun beberapa sarana permainan anak-anak. Seperti perahu angsa, kincir putar dan berbagai macam permainan anak lainnya.

Tak ketinggalan juga sebuah patung dinosaurus raksasa ikut dibangun untuk meramaikan suasana dan lebih mengakrabkan dengan dunia anak-anak. Bahkan sebuah stasiun kereta api mini dibangun di bagian atas benteng tepat di atas gerbang utama, memungkinkan pengunjung untuk mengitari sisi atas benteng dengan menggunakan kereta mini.


Sumber* Wikipedia, kebumen2013.com, dan beritakebumen.info (amm)

Sumber: SindoNews