This is default featured slide 1 title

BEBAL:"FPI"

Kebebalan FPI Banyuwangi yang membubarkan ritual tradisi Sedekah Laut di daerahnya

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Sabtu, 30 September 2017

Tentang Asyura dan Kita



Hari ini adalah “Hari Asyura”. Sebuah hari peringatan setiap 10 Muharram yang merujuk pada 10 Muharram 61 Hijriah, di mana Sayyidina Husain (cucu Nabi Muhammad dari garis pernikahan Siti Fatimah dan Sayyidina Ali) bersama belasan keluarganya dan puluhan sahabatnya yang diperkirakan jumlahnya 73 orang syahid di Karbala (Irak) dalam sebuah pembantaian.
Pembantainya adalah pasukan Umar bin Sa’ad yang jumlahnya diperkirakan–dalam catatan versi paling sedikit–empat ribu di bawah perintah Yazid bin Muawiyah yang kala itu menjadi khalifah berdasarkan limpahan dari Muawiyah yang mengkhianati kesepakatan dengan Sayyidina Hasan tentang suksesi kekhalifahan yang seharusnya dibentuk semacam dewa syura.
Yazid memang dikenal sebagai penguasa yang zalim dan pribadi yang fasik, sebagaimana dicatat dalam Tarikh al-Khulafa’ karya Imam as-Suyuthi atau tarikh-nya Imam al-Thabari. Kekejamannya pada Sayyidina Husain juga bukan satu-satunya yang mengerikan di mana cucu Nabi itu dipenggal dan keluarganya diarak keliling Arab serta ditawan selama 40 hari. Sebuah peristiwa yang hingga Imam Abdullah bin Alwi Al Haddad dalam Tastbit al-Fuad menegaskan bahwa Hari Asyura adalah hari kesedihan.
Yang juga mengerikan adalah kekejaman Yazid pada sahabat Nabi dan penduduk kota Madinah yang kemudian dikenal dengan Peristiwa Harrah, juga serangan pasukannya ke kota Makkah yang hingga mengancam Ka’bah dan Masjidil Haram untuk melumpuhkan Abdullah bin Zubair. Ketika itu Abdullah dan pasukannya yang menguasai Mekkah berlindung di dua bangunan suci tersebut.
Tragedi Karbala merupakan salah satu peristiwa terpenting dalam sejarah Islam, konflik internal Islam paling mengerikan yang menyiratkan pesan bahwa “Islam” bisa dibajak menjadi semacam label semata untuk nafsu berkuasa. Oleh karena itu, di antara nasihat Husain pada pengikut Yazid: “Kalian adalah orang-orang yang paling besar musibahnya karena kedudukan ulama telah direbut.”
Syekh Abdul Qadir Jailani dalam Al-Ghunya memasukkan Hari Asyura sebagai salah satu “Asyirul Karomah” (Hari Keramat) bersama Nuzulul Quran, Lailatul Qadr, Maulid Nabi, Isra-Mi’raj, Hari Arafah, Idul Fitri, dan Idul Adha. Nabi pun telah jauh-jauh hari mengingatkan akan Hari Asyura tersebut kepada Ummu Salamah, misalnya dicatat dalam Fadhail ash-Shahabah karya Imam Ahmad bin Muhammad bin Hanbal yang ditahkik oleh Washiulllah bin Muhammad Abbas, Profesor Universitas Ummul Qura, Mekkah.
Tentu, Husain tak hendak berperang. Karbala bahkan bukan tujuannya. Ia membawa anak-anak dan wanita dari keluarganya dan keluarga sahabatnya untuk berhijrah ke Kufah menemui pengikut setia ayahnya untuk merencanakan sebuah gerakan menentang kezaliman kekhalifahan Yazid.
Jumlah rombongan hijrah itu pun hanya puluhan. Ia sendiri juga menegaskan: “Aku keluar bukan untuk merusak, melainkan perbaikan bagi umat datukku. Aku ingin beramar ma’ruf dan nahi munkar.” Namun, pasukan Umar bin Sa’ad menggiringnya ke Karbala dan membantainya. Husain mencoba melawan, namun apa daya. Keadaannya dipersulit karena ia dan pasukannya diblokade dari air Sungai Eufrat.
Sebuah episode sejarah yang menampilkan romantika perjuangan, pengorbanan, kesetiaan, kesabaran, yang berhadapan dengan ketertindasan, kekejaman, kebengisan, dan seterusnya dalam sebuah upaya menegakkan nilai-nilai luhur itu kemudian. Sebagaimana memang dicita-citakan oleh Husain sendiri bahwa ia syahid untuk memenangkan sejarah tentang masa lalu: kemenangan nilai-nilai, mendobrak semua sekat yang ada: keagamaan dan kebangsaan, lalu menginspirasi semua pribadi dan komunitas antar agama dan bangsa.
Seorang pendeta dan gerejanya di Syam, ketika rombongan tawanan keluarga dan sahabat Husain melewati daerahnya, membayar pasukan Umar bin Sa’ad untuk “meminjam” dalam waktu semalam kepala Husain karena tahu akan keagungan kepalanya. Malam itu ia mencuci kepala yang dipenuhi darah itu di sebuah batu, batu itu kini terletak di Aleppo (Suriah) dan dibangunkan sebuah masjid bernama “Al-Nuqtah” untuk menghormatinya. Sejarah masjid itu dicatat oleh Sheikh Ibrahim Nasralla dalam The Traces of Ale Mohammad in Aleppo.
Hingga kini, setiap Hari Asyura, para pendeta juga ikut hadir memperingatinya di makam Husain di Irak. Antoine Bara, cendekiawan Kristen, menulis buku berjudul Imam Hussein in Christian Ideology. Dia menegaskan bahwa Husain dan tragedinya bukan hanya “milik” muslim saja, tetapi milik seluruh manusia, karena ia adalah “hati nurani agama-agama” dan “prinsip kemanusiaan”.
Mahatma Gandhi belajar dari Husain tentang bagaimana tertindas namun bangkit menjadi pemenang. Karena itu, Asyura menjadi salah satu inspirasi utama bahwa perang dalam Islam bukan soal agama (dorongan fanatisme), melainkan kemanusiaan, keadilan, dan semangat egalitarian. Termasuk jika ia ada dalam tubuh Islam itu sendiri, seperti tentang Husain dan Yazid.
Di Indonesia, “Tragedi Karbala” menjadi hikayat dan peringatan yang ada dalam berbagai tradisi lokal. Bermula dari Hikayat Soydina Usin yang ditulis sekitar abad ke-17 di Aceh, ada tradisi “Bubur Suro” di Jawa di mana dalam versi hikayat hingga diakulturasikan dengan menyamakan Yazid dan Kurawa, dalam dalam bentuk festival bernama Tabot di Bengkulu.
Adapun di tanah Sunda dan Madura, hikayat tentang Asyura digubah dengan menekankan pada kekejaman Yazid dengan versi Sunda berjudul Wawacan Yaziddan versi Madura: Caretana Yazid Calaka (Kisah Yazid Celaka).
Dalam catatan Ricklefs di A History of Modern Indonesia, abad ke-17-19 M adalah masa-masa maraknya perang anti-kolonial yang dimulai dengan Perang Ternate pada awal abad ke-17 M sampai Perang Aceh yang berlangsung begitu lama pada akhir abad ke-19 M. Dikisahkan bahwa para pemimpin peperangan itu yang sebagian besar adalah tokoh Islam, seperti Pangeran Trunojoyo pada abad ke-17 dan Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa di abad ke-19, kerap menjadikan epos Islam masyhur seperti Asyura sebagai kisah yang diceritakan pada komandan perang dan pembantu dekatnya untuk membangkitkan semangat perang.
Akhirnya, di antara episode dalam Perang Karbala, salah satu komandan pasukan Yazid bernama Hur ar-Riyahi yang berkontribusi dalam menggiring Husain hingga ke Karbala, justru berbalik membela Husain di tengah perang di Karbala. Ia terdorong oleh kata-kata Husain kepadanya bahwa ia dilahirkan sebagai seorang yang merdeka, maka jangan mau diperbudak oleh siapa pun untuk sesuatu yang bertentangan dengan nuraninya. Dan Hur menjadi syahid paling beruntung, husnul khotimah.
Sebuah pelajaran sejarah agar kita tak pernah memvonis siapa pun atas keadaannya saat ini: kafir, fasik, dan lain-lain. Maupun berbangga atas apa yang menjadi keadaan kita saat ini: muslim, saleh, dan lain-lain. Karena kita tak tahu episode-episode apa yang akan terjadi dalam sejarah mereka dan kita di hari-hari esok dan bagaimana ujung dari kehidupan mereka dan kita: husnul khotimah atau su’ul khotimah.

Minggu, 24 September 2017

Kesedihan di Balik Prasasti Batutulis

Reporter: Irfan Teguh | 24 September, 2017

Prasasti Ciaruteun yang terletak di Desa Ciaruteun Ilir, Kabupaten Bogor yang diambil dari buku
Di Bogor Selatan, tepatnya di prasasti Batutulis, kesedihan datang berulang. 

Agustus 2002, belum lindap betul dari ingatan saat Said Agil Husin Al Munawar, Menteri Agama di era Presiden Megawati, menginstruksikan penggalian di lokasi situs bersejarah tersebut. Alasannya hebat nian, atas informasi dari seseorang yang namanya dirahasiakan diduga di lokasi prasasti tersebut terdapat harta karun peninggalan Prabu Siliwangi. Jika harta karun itu berhasil ditemukan, maka akan diserahkan kepada negara untuk membayar utang. Tentu saja orang Sunda, khususnya warga Bogor, meradang.

Dalam proses penggalian, alih-alih mendapatkan harta karun, yang terjadi adalah kerusakan lokasi situs yang lokasinya persis di seberang Istana Batutulis. Dalam kasus ini, kesedihan yang paling membekas bukan terutama kerusakan lokasi, tapi ihwal akal sehat yang terguncang: pejabat negara dengan pangkat mentereng Menteri Agama, meyakini ada harta karun peninggalan zaman kerajaan, dan mencoba menggalinya demi membayar utang negara.

Prasasti Batutulis dibuat Prabu Surawisesa, Raja Sunda yang berkuasa selama 14 tahun (1521-1535 M) untuk mengenang kejayaan ayahnya (Sri Baduga Maharaja/Prabu Siliwangi). Prasasti itu dibuat di tengah kepiluan karena wilayah kekuasaan warisan ayahnya tersebut mulai tanggal satu persatu, direbut hegemoni kekuatan politik baru, yaitu kerajaan Islam.

Perjanjian dengan Portugis

Terdesaknya Kerajaan Sunda yang Hindu dan beribukota di Pakuan Pajajaran, sebetulnya sudah diantisipasi oleh Sri Baduga Maharaja. Bentuk antisipasinya adalah menjalin kerjasama dengan Portugis. Bahkan Surawisesa sendiri yang dua kali diutus pergi ke Malaka menemui Portugis.

Pada 1512, dikutip Hageman dalam Geschiedenis der Sundalanden, menyebutkan ada raja Sunda bernama Samiam datang ke Malaka untuk merundingkan urusan dagang dengan Alfonso d’Albouquerque. Pada 1521, raja tersebut datang untuk yang kedua kali. Karena tertarik menjalin hubungan dagang dengan Sunda, maka Alfonso d’Albouquerque mengutus iparnya, Henrique de Leme, untuk memimpin utusan Portugis pergi ke ibukota Sunda pada 1522 (baca juga: Seabad Kejayaan Malaka dan Kejatuhannya).

Dalam teks yang ditulis orang Portugis itu, ada penumpukan informasi yang bisa mengacaukan persepsi sejarah. Saleh Danasasmita dalam Melacak Sejarah Pakuan Pajajaran dan Prabu Siliwangi menjelaskan bahwa berita Portugis tersebut ditulis dengan jarak yang cukup jauh dari kejadiannya. Mereka menuliskan nama disekaliguskan. Ratu Samiam yang datang ke Malaka pada 1512 dan 1521 disebut “Red e Zunda” (Raja Sunda).

Padahal pada tahun-tahun tersebut, Samiam atau Surawisesa, masih sebagai putera mahkota. Sedangkan pada 1522, ketika utusan Portugis melakukan kunjungan balasan, Samiam telah menggantikan ayahnya sebagai raja Sunda. 

Saleh Danasasmita menambahkan bahwa secara logika tidak mungkin seorang raja pergi berlayar mengarungi samudera yang penuh marabahaya hanya untuk misi dagang dan kerjasama. Jadi, menurutnya, yang pergi ke Malaka adalah Samiam/Surawisesa yang diutus oleh ayahnya. Saat itu, dalam analisis Saleh Danasasmita, ia belum menjadi raja.

Kedatangan utusan Portugis pada 1522 kemudian menghasilkan perjanjian kerjasama yang diabadikan dalam padrão yang tinggalannya masih bisa dilihat sampai sekarang. Perjanjian tersebut bersifat internasional. Naskah perjanjian dibuat rangkap dua (in duplo), dan masing-masing pihak memegang satu lembar.   

Van deze overeenkomst werd een geschrift opgemaakt in dubbel, waarvan elke partij een behield,” (Dari perjanjian ini dibuat tulisan rangkap dua, lalu masing-masing pihak memegang satu), tulis Hageman dari sumber Portugis yang ia kutip.

Isi perjanjian tersebut di antaranya ialah, pertama, Sunda dalam jangka waktu setahun akan memberikan 1.000 karung merica yang ditukar oleh Portugis dengan barang-barang kebutuhan pihak Sunda. Kedua, Portugis diizinkan untuk mendirikan benteng di Pelabuhan Kalapa (Sunda Kelapa). Selain itu, ada satu perjanjian yang sifatnya rahasia, yaitu Sunda dan Portugis akan bersama-sama menghadapi Demak yang mulai merangsek ke barat.

Bertempur dan Terdesak

Dalam naskah Carita Parahiyangan, Surawisesa disebutkan terlibat 15 kali peperangan dalam rangka mempertahankan wilayahnya, terutama di pesisir utara Jawa dari gempuran armada Demak dan Cirebon. Hal itu terjadi hanya dalam kurun waktu 14 tahun kepemimpinannya di Sunda. Perang melawan Demak disinggung dalam naskah tersebut dengan menyebut nama beberapa tempat, di antaranya Wahanten Girang, Ancol Kiyi, dan Kalapa.

Saleh Danasasmita dalam bukunya yang lain, Menemukan Kerajaan Sunda, menjelaskan bahwa perjanjian antara Sunda dan Portugis mencemaskan Trenggana yang waktu itu menjadi Sultan Demak III. Portugis yang berkedudukan di Malaka dan Pasai sudah menguasai Selat Malaka yang menjadi pintu masuk perairan Nusantara sebelah utara. Jika Selat Sunda sebagai pintu masuk yang lain dikuasai juga oleh Portugis akibat perjanjian tersebut, maka otomatis jalur perdagangan laut Demak terputus, padahal jalur tersebut adalah urat nadi kehidupan ekonomi.    

Untuk mengatasi ancaman ini, Trenggana segera mengirimkan armada yang dipimpin senapati Demak, Fadillah Khan. João de Barros (sejarawan Portugis) menyebutnya Faletehan. Sementara Tome Pinto (petualang Portugis) menyebutnya Tagaril yang mungkin ucapan Portugis untuk "Ki Fadil" (julukan Fadillah Khan sehari-hari).

Gabungan pasukan Demak dan Cirebon yang dipimpin Fadillah Khan berjumlah 1.967 orang. Sasaran pertamanya adalah Banten sebagai pintu masuk Selat Sunda. Setahun kemudian, bersama 1452 pasukannya, Fadillah Khan menyerang Pelabuhan Kalapa. Pemimpin yang betugas di Kalapa beserta keluarganya, serta para menteri yang bertugas di pelabuhan, ditemukan tewas. Pasukan bantuan dari Pakuan Pajajaran pun berhasil dipukul mundur.
Kesedihan di Balik Prasasti Batutulis

Portugis yang terikat perjanjian dengan Sunda mencoba mengirimkan bantuan, namun terlambat. Fransisco de Sa yang sedang bertugas membangun benteng di Kalapa diangkat menjadi Gubernur Goa di India. Pasukan yang akan berangkat ke Sunda dengan enam buah kapal dipersiapkan dari Goa. Kapal yang dinaiki De Sa dan berisi peralatan untuk benteng terpaksa ditinggalkan karena diterpa badai di Teluk Benggala.

Bantuan ke Sunda kemudian dilanjutkan dengan bertolak dari Malaka. Karena Banten dikuasai pasukan Hasanudin (Sultan Banten), maka Portugis langsung menuju Pelabuhan Kalapa, yang sialnya — karena situasi telah berubah — kapalnya terlalu menepi terlalu dekat ke pantai, akhirnya langsung dihajar armada Fadillah Khan.

Di sebelah timur, pasukan Cirebon mencoba bergerak lebih jauh ke selatan, berusaha menggerogoti wilayah Sunda. Dengan bantuan Demak, Cirebon berhasil mengalahkan Galuh. Lalu dua tahun kemudian Kerajaan Talaga, benteng terakhir Kerajaan Galuh berhasil direbut. Meski sebelah timur Citarum telah dikuasi Cirebon, namun mereka masih belum bisa menembus ke barat, ke Pakuan Pajajaran.

Meski digempur habis-habisan, Surawisesa berusaha mati-matian untuk mempertahankan wilayahnya. Maka di sekujur perbatasan antara Sunda dan Cirebon diamuk peperangan yang hebat. Tahun 1531, Surawisesa dan pemimpin Cirebon, Syarif Hidayat, menyepakati perdamaian.

Dalam situasi seperti inilah kemudian Surawisesa mempunyai kesempatan untuk mengurusi masalah dalam negerinya. Beberapa pemberontakan dipadamkam, dan ia mencoba menerawang situasi diri dan kerajaannya.

Kepiluan dalam Upacara Srada

Warsa 1533, bertepatan dengan 12 tahun setelah ayahnya wafat, Surawisesa membuat sakakala berupa tanda peringatan bagi mendiang ayahnya dengan menyebutkan karya-karya sang ayah selama beliau memimpin Sunda.

“Mungkin pemasangan batu-tulis itu bertepatan dengan upacara srada yaitu ‘penyempurnaan sukma’ yang dilakukan setelah 12 tahun seorang raja wafat. Dengan upacara itu sukma orang yang meninggal dianggap telah lepas hubungannya dengan dunia materi,” tulis Saleh Danasasmita.

Tanda peringatan itulah yang hari ini dikenal dengan prasasti Batutulis, dengan terjemahan sebagai berikut: 

“Semoga selamat. Inilah tanda peringatan (untuk) Prabu Ratu almarhum, dinobatkan dia dengan nama Prabu Guru Dewataprana, dinobatkan (lagi) dia dengan nama Sri Baduga Maharaja ratu penguasa di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. Dialah yang membuat parit (pertahanan) di Pakuan. Dia anak Rahyang Dewa Niskala yang mendiang di Gunatiga, cucu Rahyang Niskala Wastu Kancana yang mendiang di Nusa Larang. Dialah yang membuat tanda peringatan gunung-gunungan, mengeraskan (jalan) dengan batu, membuat hutan samida, membuat Sanghiyang Talaga Rena Maha Wijaya. Ya dialah (yang membuat semua itu). (ditulis) Dalam tahun Saka lima-pandawa-pangasuh-bumi.” (Menemukan Kerajaan Sunda, hlm 47)

Empat setengah abad kemudian, setelah Surawisesa menuangkan kenangan dan kesedihannya, di sekitar lokasi prasasti Batutulis digali atas perintah Menteri Agama. Harta karun tak didapat, Menteri Agama hanya menabur angin dan menuai badai. 
Sumber: Tirto.Id