This is default featured slide 1 title

BEBAL:"FPI"

Kebebalan FPI Banyuwangi yang membubarkan ritual tradisi Sedekah Laut di daerahnya

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Minggu, 10 Juni 2018

"Sekolah Sastra" Umbu Landu Paranggi, Begini Gebrakannya yang Perlu Anda Tahu


Minggu, 10 Juni 2018 20:08
Oleh: Willem B Berybe
Mantan guru, peminat sastra


Ada dua peristiwa sastra yang terjadi pada bulan Mei 2018 dalam konteks sastra Indonesia dan sastra NTT.

Pertama, pemberian Anugerah Kebudayaan 2018 kepada Umbu Landu Paranggi oleh Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia pada tanggal 3 Mei 2018. Ia meraih kategori seniman modern (m.mediaindonesia.com).

Penghargaan ini menandakan sebuah bentuk legitimasi dunia seni budaya Indonesia dalam hal ini sastra terhadap sastrawan nasional Umbu Landu Paranggi.

Pria kelahiran Sumba, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) ini lebih lama menetap dan tinggal di luar NTT untuk menggeluti bidang tulis-menulis dan bersastra.

Kedua, sastrawan NTT, Vincentius Jeskiel Boekan, birokrat dan penulis novel tutup usia pada tanggal 16 Mei 2018. Begitu banyak kerabat dan masyarakat sastra NTT mengirim ungkapan turut berduka cita atas kepergian beliau melalui media.

Menurut pengamat sastra NTT dan dosen senior Universitas Flores Ende, Yohanes Sehandi, beliau telah menerbitkan tiga buah novel yaitu "Loe Betawi Aku Manggarai", "Membadai Pukuafu", dan "Cinta Terakhir" semuanya terbit tahun 2011.

Buletin Nurani yang terbit awal tahun 2000-an, setahu penulis, merupakan salah satu buah karya jurnalisme beliau dengan misi pewartaan untuk kalangan umat Katolik Kota Kupang khususnya Paroki Katedral Kristus Raja Kupang.

Teori Taine

Peristiwa pemberian anugerah budaya kepada Umbu Landu Paranggi tak lepas dari geliat pengarang-pengarang asal Nusa Tenggara Timur yang mampu berbicara dan berkontribusi untuk sastra Indonesia.

Beberapa nama seperti Gerson Poyk (Rote), Dami N Toda (Manggarai), Virga Belan (Rote), Umbu Landu Paranggi (Sumba), Julius R. Sijaranamual (Sumba), Fanny Poyk (Rote) dapat dikatakan telah menjadi referensi para pekerja seni sastra di negeri ini.

Bahkan karya-karya Gerson Poyk telah dipilih untuk kajian (studi) ilmiah sastra oleh lembaga perguruan tinggi asing seperti di Jerman dan Australia.

Ada lima aspek yang dipakai untuk menilai para kandidat penerima anugerah kebudayaan 2018 yaitu komitmen, konsistensi, produktivitas, orisinalitas, dan signifikansi.

Hasil akhir memunculkan tiga orang pemenang dengan kategori seniman tradisi atas nama Iman Rahman Anggawiria Kusumah, seniman modern untuk Umbu Landu Paranggi, dan pembina seni diberikan kepada Eddie Marzuki Nalapraya.

Kalangan pemerhati dan pengamat sastra dan masyarakat awam di NTT sepantasnya mengacungkan jempol untuk Umbu. Panca pilar sebagai elemen eksistensi tumbuhnya sebuah karya besar sastra sejatinya berorientasi pada pilar-pilar tersebut.

Pertanyaan menggelitik mengusik rasa ingin tahu. Mengapa dan bagaimana orang-orang NTT ini dan lain-lain mampu menembus ruang pergumulan dan pergaulan sastra Indonesia (nasional)?

Andai saja mereka tetap berkutat dan "meringkuk" dalam periuk bumi Nusa Tenggara Timur kecil (kosong) kemungkinan bisa mencapai titik puncak seperti sekarang.

Sebaliknya, tanpa faktor ke-nusatenggaratimur-an, mustahilkah mereka mampu menggapainya? Tesis ini setidaknya menggugat maraknya wacana dan studi sastra NTT dan beredarnya karya sastra putra-putri NTT berupa puisi, cerpen, novel, parodi, sajak.

Buku "Sastra Indonesia di NTT dalam Kritik dan Esai" (2017) oleh Yohannes Sehandi adalah cerminan yang kuat bahwa sastra ada di Nusa Tenggara Timur. Dan, sastra itulah (sastra etnik) yang menjadi bagian penting dari sastra nasional (Indonesia).

Hippolyte Taine (1828-1893), seorang pemikir, kritikus, sejarawan, penganut aliran positivisme asal Prancis mengatakan ada tiga faktor utama yang mendorong munculnya sebuah karya seni yaitu ras, milieu, dan momen (waktu).

Teori ini amat penting yang memberi efek terhadap seluk beluk kehidupan dan pertumbuhan sastra yang bersifat universal.

Ras (race), kata Taine, faktor kualitas daya pikir (nalar) dan karakter seseorang yang bersifat inherited (diturunkan sejak lahir); milieu (circumstance) adalah lingkungan yang membentuk, memodifikasi ras tadi; sedangkan momen (momentum), waktu, adalah momentum tradisi-tradisi budaya masa lampau dan sekarang `momentum of past and present cultural traditions.

The literature of a culture will show the most sensitive and unguarded displays of motive and the psychology of a people' (Encyclopaedia Britanica).

Jadi, sastra dalam bingkai budaya merupakan tampilan motivasi dan psikologi seseorang yang paling sensitif dan bebas pengekangan. Teori Taine ini, dalam pandangan penulis, mengena pada sastrawan asal NTT tersebut di atas yang, suka atau tidak suka, harus keluar dari kampung NTT. 
"Yogyakarta menempa Umbu Landu Paranggi menjadi penyair" tulis Korrie Layun Rampan, sastrawan Indonesia kelahiran Samarinda, Kalimantan, dalam Majalah sastra Horison edisi XXXXI,2006, No. T3.3.

Presiden Malioboro

Di Yogya, Umbu, biasa disapa demikian, mendirikan grup "sekolah sastra". PSK (Persada Studi Klub) namanya. Beranggotakan 1.555 orang dan ia sendiri pembinanya.

Bergabung antara lain sastrawan-sastrawan yang kemudian terkenal seperti Ragil Suwarno Pragolapati, Linus Suryadi AG, Emha Ainun Nadjib, Agus Dermawan T, Korrie Layun Rampan, Yudhistira ANM Massardi, dan lain lain. Sejak dekade 1960-an hingga 80-an, Yogya mirip sebuah kota sastra yang unik.

Titik kegiatan di Jalan Malioboro. Trotoar disulap jadi panggung terbuka untuk baca puisi. Di sana setiap anggota bebas memberi komentar. Memuji ataupun menghakimi. Jadi sebuah arena belajar untuk berkemampuan berdiskusi.

Diberi ruang dan waktu untuk menyerang tetapi juga mempertahankan ide. Tujuan akhir supaya terjadi persaingan kreativitas dan dari situlah karya-karya sastra (puisi/sajak) yang bermutu tersaring untuk ditampilkan dalam mingguan Pelopor Yogya asuhan Umbu.

Sebuah "sekolah sastra" yang praktis, efektif dan produktif. Dari aktivitas di kawasan Malioboro Yogya inilah, kelompok PSK kemudian memberi gelar kepada Umbu dengan "Presiden Malioboro" (ibid; Kakilangit, 117 .10).

Jika banyak sastrawan besar Indonesia terlahir dan berproses jadi penyair terkenal dari rahim Yogya misalnya Rendra, Umar Kayam, Sapardi Djoko Damono, Danarto, Motinggo Busye, dan lain lain yang lebih suka berhijrah ke Jakarta, tidak demikian halnya dengan Umbu yang lebih memilih Denpasar.

Sebuah keputusan dengan dasar pertimbangan milieu (lingkungan) yang sangat ideal dan tepat. Karenanya, dia bersaksi dalam puisinya yang berjudul Ni Reneng (bait kedua), "....di sini, di pusaran jantung Bali/ ibu, biar bersimpuh rohku/pada kedua tapak tanganmu/... (ibid; Kakilangit, 117 .3).

Simbolisasi diksi "ibu" untuk sebuah Denpasar (Bali) menunjukkan keseluruhan pribadi dan kehidupan Umbu yang telah membumi di ibu pertiwi, pulau dewata. Di pulau "sejuta pura" ini, tak henti-hentinya Umbu menjadi guru "sekolah sastra".

Nama-nama sastrawan seperti Raudal Tanjung Banua, Oka Rusmini, Putu Fajar Arcana, Tan Lioe Ie dan lain-lain lahir dari kerja keras seorang Umbu. Sejak tahun 2013, ia menghidupkan sebuah komunitas sastra di Denpasar, Bali dengan nama Komunitas Jatijagat Kampung Puisi.

Keteladanan di bidang seni dan budaya telah melekat pada pribadi Umbu sebagai "guru sastra". Kegigihan dalam bersaing dengan sastrawan-sastrawan besar Indonesia terbukti.

Sajak-sajaknya masuk rubrik remaja majalah Mimbar Indonesia asuhan Sudjatmoko, Rosihan Anwar, Rivai Apin, H.B. Jassin (1962). Selain itu, sajak-sajak Umbu sering muncul di sejumlah media sastra budaya dan surat kabar seperti Basis, Pusara, Kompas, Sinar Harapan, Mimbar/Tribun dan lain-lain (ibid; Kakilangit, 117 .14).

Umbu sebagai sastrawan yang berhasil justru ketika berada di luar NTT. Akankah generasi muda NTT seperti penyair Mario Lawi yang puisi-puisinya lolos dalam kategori Kompas, Tempo, Sinar Harapan menelusuri jejak Umbu dan kawan-kawan? Mengapa tidak! 

Editor: Putra