This is default featured slide 1 title

BEBAL:"FPI"

Kebebalan FPI Banyuwangi yang membubarkan ritual tradisi Sedekah Laut di daerahnya

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Tampilkan postingan dengan label Catatan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Catatan. Tampilkan semua postingan

Rabu, 08 Januari 2020

Penyair, Identitas, dan Hal-hal yang Membuatnya Kembali Diperbincangkan


January 8, 2020

Ambisi meluap berbarengan dengan dorongan kuat untuk bisa diterima, tapi untuk membentuk suatu arus baru. 
“Bahkan jika kami semua sudah pernah memuat karya di The New Yorker, apakah itu menjadi tujuannya?” 
Namun, peralihan ke arus utama jarang terjadi tanpa adanya turbulensi.
___
JESSE LICHTENSTEIN | Diterjemahkan dari “How Poetry Came to Matter Again”, SEPTEMBER 2018 ISSUE | (p)  Gabriel (ed) Sabiq Carebesth


DUNIA PUISI agaknya bukan tempat ‘adu warna kulit’, atau ‘race row’ menurut koran The Guardian pada 2011, yang isinya lebih ke debat kusir mengenai klaim sastrawi. Seorang kritikus tersohor (dan berkulit putih), Helen Vendler, mencibir seorang penyair terkenal (dan berkulit gelap), Rita Dove, atas karya yang ia seleksi ke dalam seri terbaru Penguin Anthology of Twentieth Century American Poetry. Rita, kata Vendler, lebih mengutamakan “inklusifitas multikultur’ daripada kualitas. Dia disebut “mengubah haluan” dengan menampilkan terlalu banyak penyair dari latar belakang minoritas, dan meminggirkan penulis yang lebih baik (dan lebih dikenal). Puisi dalam antologi tersebut “umumnya pendek” dan “cenderung ditulis dengan perbendaharaan kata yang terbatas,” dakwa Vendler, si kritikus pengawal kanon sastra abad ke-20 ini.  Sementara itu di Boston Review, Marjorie Perloff, kritikus (yang juga berkulit putih) sekaligus ahli poetika avant-garde Amerika, juga tertarik beropini.

Marjorie menyesalkan bahwa penyair baru terpaku pada suatu formula lirik yang pada tahun 1960 dan 70an saja sudah dianggap jadul – biasanya berupa memori pribadi yang “dipuitiskan,” yang memuncak pada “rasa mendalam atau semacam kabut kesadaran.” Dia mengambil contoh sebuah puisi dari penyair terkenal (dan berkulit hitam), Natasha Trethewey, yang menggambarkan rutinitas pelurusan rambut yang terpaksa dilakukan ibunya .

Di sisi lain, Rita menepis persoalan pola yang dikemukakan para kritikus terkenal yang berkulit putih itu. Apakah mereka, tanya dia, sedang mati-matian menyetop gerombolan penyair masa kini yang punya warna kulit dan kesipitan mata berbeda? Apakah kami – kaum Afro-Amerika, suku asli Amerika, Latino-Amerika, Asia-Amerika – harus menghadap para kritikus yang berjaga di depan pintu, yang memeriksa CV kami sebelum mereka mempersilakan kami masuk satu per satu?

Hal ini dimulai sejak dulu, dan sejak itu pula pintu depan itu berusaha dijebol lepas dari engselnya. Coba telusuri daftar isi jurnal sastra ternama, termasuk majalah puisi se-trendi Poetry, dan juga majalah mingguan yang topiknya lebih umum dan beroplah besar macam The New Yorker dan The New York Times Magazine. Lalu, tengoklah penerima berbagai hibah, penghargaan dan undangan mengajar, yang prestisius nan bernominal besar, yang diberikan setiap tahun kepada para penyair muda potensial di Amerika Serikat. Mereka adalah para imigran dan pengungsi dari Tiongkok, El Salvador, Haiti, Iran, Jamaika, Korea, Vietnam. Dari mereka ini ada para lelaki berkulit hitam dan wanita dari Oglala Sioux. Mereka terdiri dari para gay eksentrik, atau kita sebut queer, sekaligus para heteroseksual, dan keduanya bersikap sungguh-sungguh dalam memilih bagaimana mereka harus dipanggil.

Wajah kepuisian di Amerika Serikat terlihat sangat berbeda saat ini ketimbang 10 tahun lalu, dan lebih mencerminkan demografi generasi millennial Amerika. Gampangnya, bakat-bakat penyair muda saat ini bakal menjadi wajah Amerika muda 30 tahun kelak.

Para pendatang ini, sejak awal karir mereka, sudah berada di dalam – dan mereka tidak semata tinggal di dalam kompleks pertapaan puisi yang mendengar namanya diberi hukuman mati setiap bulan April, ketika Bulan Puisi Nasional tiba. Di festival sastra, banyak dari para penyair ini menjadi magnet penonton dalam jumlah besar, seperti yang saya lihat November lalu ketika ratusan orang antri di bawah guyuran hujan untuk mendengar Danez Smith dan Morgan Parker berdiskusi tentang topik “New Black Poetry” di Portland Art.

Musim semi lalu, ketika saya ketemu dengan Danez, yang bersikeras dipanggil dengan kata sebut orang-ketiga jamak, ‘mereka’ (maksud saya, Danez) baru saja kembali dari Inggris untuk tur kumpulan puisi Don’t Call Us Dead, yang merupakan finalis National Book Award. Penerbit di Inggris terkesima pada karya puisi yang mendapat apresiasi kritis di The New Yorker dan ditonton 300.000 kali di Youtube.

“Ada banyak cerita yang kami telah ceritakan, yang kini mulai diceritakan secara lebih terbuka di publik,” kata Danez, tanda ia menyadari energi kolektif generasi masa kini, juga para penyair dengan warna kulit gelap atau queer, secara lebih luas. Tiap buku baru dan apresiasi atasnya memantik kompetisi yang sehat untuk berkarya dengan lebih berani.

“Aku nggak mau jadi satu-satunya bahan perbincangan,” lanjut Danez. “Kemenangan seseorang itu sebenarnya juga kemenangan untuk puisi, untuk para pembaca dan untuk orang-orang yang memiliki latar belakang yang sama.”

Tidak sedikit dari garda depan generasi ini yang pertama kali menemukan puisi melalui pentas pertunjukan, atau yang tumbuh dalam komunitas di mana “bahasa lisan” dan “puisi” adalah dua sejoli. Beberapa penyair telah menunjukkan bakat dalam membangun basis penonton lewat cara-cara yang lebih subtil. Sebelum Kaveh Akbar menerbitkan koleksi debutnya pada tahun 2017, Calling a Wolf a Wolf, dia sudah dikenal lewat seri wawancara di situs web Divedapper, di mana ia menawarkan perkenalan secara dekat dan mendalam tentang para penyair Amerika mutakhir. Dia juga tak kenal lelah dalam berbagi bahan bacaannya ke 28,000 pengikut Twitter-nya. Dia rutin mengunggah tangkapan layar dari halaman buku yang membuat dia terkesan.

Penyair baru dari generasi digital ini siap mengupayakan agar karya dan nama mereka dikenal luas. Mereka memiliki agensi dan juru bicara (dalam sejarahnya, ini bahkan tidak lazim!). Beberapa orang berkarya lintas-genre, melawan keterasingan puisi. Saced Jones (Prelude to Bruise, 2014) sudah dikenal luas sebagai host dari acara BuzzFeed News. Fatimah Asghar (If They Come for Us, 2018). Ia juga menulis dan turut memproduksi web series berjudul Brown Girls, yang sedang diadaptasi ke HBO. Ada pula Eve L Ewing (Electric Arches, 2017), seorang sosiolog dan komentator isu tentang ras yang sangat dikenal di media sosial.

Para penyair yang lebih uzur mungkin akan menggerutu soal membangun jejaring dan menampilkan diri, namun, para junior mereka tanpa ragu menggamit aktivitas ini. Mereka yakin bahwa puisi, lewat kanal yang tepat, mampu “masuk ke arus utama dalam wacana nasional terkini,” seperti kata Saced. Mereka sadar satu hal: sebuah survey terkini dari National Endowment for the Arts mengungkapkan bahwa jumlah pembaca puisi meningkat 2x lipat di antara masyarakat usia 18-34 tahun selama lima tahun terakhir.

Energi yang terlihat ini lebih dari sekadar marketing jitu atau kehebohan sesaat. “Menurut pandanganku,” kata Jeff Shoots, editor utama Graywolf Press yang menyunting tiga dari 10 antologi yang berhasil masuk ke long list National Book Award 2017 bidang puisi, ”ini tanda munculnya suatu renaisans.” Dan yang paling mencolok dari para pelopor kebaruan ini adalah kembalinya puisi liris orang-pertama – suatu hal yang pada era 1970an dianggap ketinggalan jaman oleh para “pujangga bahasa”.

Dakwaan-dakwaan tajam – puisi yang terlalu pribadi, terlalu sentimentil, terlalu gampang dipahami, tak cukup ‘cerdas’ untuk menstimulasi budaya postmodern yang tersaturasi media – ditujukan ke generasi avant-garde yang menanggalkan “si Aku” demi poetika yang buram dan hanya dipahami grup kecil pembaca yang lebih eksklusif lagi. Namun, generasi baru ini – sambil menggandeng teknik avant-garde (lewat penggunaan kolase dan inkoherensi radikal beserta gado-gado acuan budaya “tinggi” dan “rendah” sekaligus) – tidak serta-merta mengusung pesan yang sama. Muncul di tengah suburnya politik identitas, para penyair terkemuka, yang karakternya berlainan, saat ini tengah mengklaim lagi “Aku-yang-demokratis”, seturut ungkapan penyair Edward Hirsch
Si “Aku” ini, yang diasuh dalam berbagai bahasa dan dialek, tak bisa dikatakan terdera perbendaharaan kata yang terbatas, kata Helen Vendler. Puisi liris, bagi generasi ini, tak perlu selalu pendek. Muncul pertama kali lewat kehadiran karya laris Claudia Rankine, Citizen: An American Lyric (2014), para penyair dengan berani mematahkan tren kebanyakan buku, lewat nuansa historis dan bentuk hibrida, sejak awal mula. Si “Aku”, menyadari betapa tersisihkannya “kita” di mana ia berada, menautkan sisi personal ke sisi yang kelewat politis.

Kemunculannya memantik pertanyaan puitis yang menggairahkan mengenai identitas.

Para penyair muda yang berhasil mengemuka, telah turut menjadikan ras, seksualitas dan gender sebagai episentrum kepuisian saat ini, dan mereka memperlebar sebanyak mungkin batas-batas. Mereka sungguh-sungguh dalam mengubah gagasan soal kedirian dan keberadaan seseorang dalam sebuah kelompok. Belajar dari berbagai jenis tradisi, mereka menggali kompleksitas laten dari sisi lirik “Aku”. Pada dasarnya, hal terakhir yang diinginkan si “Aku” adalah pada pengejawantahan dirinya secara utuh.

UPAYA KERAS untuk melepas engsel pintu seleksi ini sebenarnya sudah dimulai sejak puluhan dekade lalu. Ketika para pujangga bahasa sedang memperluas batas kepenyairan Amerika di akhir abad ke-20 – upaya pembalikan konstelasi kuasa dengan mengangkangi adat kesusastraan- penyair-penyair kecil juga sedang mencoba menghubungkan dunia sastra dan kanon sastra, sembari terus mengedepankan cara-cara baru dalam berekspresi. The Black Arts Movement di era 1960an dan ‘70an, dan sejumlah organisasi yang dipantiknya, memperjuangkan kanal penerbitan tersendiri bagi seniman kaum kulit hitam, Asia-Amerika, dan Latino.

Namun, mulai era ‘80an, dorongan telah merambah ke permintaan akan jatah kursi yang lebih banyak bagi kaum tersebut.

Itu tidak mudah terjadi di dalam budaya kepuisian yang lebih merepresentasikan kulit putih, baik sekarang maupun di masa lalu, dan yang tak terlalu niat untuk mempertanyakan fakta tersebut. Di tahun 1988, setelah lelah menjadi sebatas pemandangan ganjil di berbagai workshop penulisan puisi, dua mahasiswa Harvard dan seorang komposer membentuk The Dark Room Collective di sebuah gedung bergaya Victoria di kota Cambridge, yang kelak menjadi ruang untuk memajukan karya penyair-penyair muda kulit hitam. Selama 10 tahun berikutnya, sejumlah bakat menemukan rumahnya di sana, mulai dari Natasha Trethewey dan Tracy K. Smith (keduanya kelak menjadi poet laureate Amerika Serikat), Kevin Young, Carl Phillips dan Major Jackson. Ambisi meluap berbarengan dengan dorongan kuat untuk bisa diterima, tapi untuk membentuk suatu arus baru. “Bahkan jika kami semua sudah pernah memuat karya di The New Yorker, apakah itu menjadi tujuannya?” Kevin, saat itu masih menjadi mahasiswa semester akhir di Harvard, berkata pada koran The Harvard Crimson  di tahun 1992. “Anda tak menangkap maksud kami jika Anda menyangka kami sekadar sopir baru yang mengendarai truk yang lama.”

Dalam beberapa tahun kemudian, wajah-wajah baru ini bila bukan menjadi orang berpengaruh, telah lebih dikenal dan diterima di dunia puisi. DI tahun 1993, Rita Dove menjadi poet laureate Amerika Serikat. Di tahun yang sama, dalam pembukaan antologi The Open Boat, karya yang berisi kumpulan puisi Asia-Amerika pertama yang disunting oleh seorang keturunan Asia-Amerika, Garrett Hongo mengarahkan perhatian pada penerimaan dari arus utama: “Saat ini, beberapa dari kami berkarya di sejumlah yayasan dan panel Hibah Seni Nasional, menjadi juri penghargaan tingkat nasional, mengajar dan membimbing program penulisan kreatif, dan menyunting majalah sastra.”

Di lanskap kepuisian yang saat itu didominasi program M.F.A (Master of Fine Arts, magister seni), sebuah jaringan dari berbagai institusi kemudian menawarkan workshop dan pelatihan gratis bagi para penyair muda dari kelompok terpinggirkan. Cave Canem, yang dibentuk pada 1996 untuk mendukung penyair kulit hitam, kemudian diikuti oleh Kundiman (bagi penulis Asia-Amerika) dan CantoMundo (bagi penyair Latino). Yayasan Sastra Lamda sampai sekarang menyediakan dukungan serupa bagi penyair LGBTQ. Penjaga tradisi dunia puisi – jurnal ternama, penerbit tersohor (baik besar maupun kecil), komite penghargaan – kini tahu ke mana mereka bisa menemukan spektrum yang lebih kaya, yang berisikan karya-karya yang telah menjalani suatu proses saringan sebelumnya.

Namun, peralihan ke arus utama jarang terjadi tanpa adanya turbulensi. Alumni The Dark Room mendapat kritikan tajam setelah mereka duduk kursi mengitari meja yang telah diperluas, hanya saja, masih di ruangan yang didirikan oleh era sebelumnya. Inklusi ke dalam makna dominan dari “kita” memunculkan tekanan untuk mencipta dan mendukung karya yang lebih mudah diakses dan telah di-depolitisasi. Antologi The Open Boat segera didapuk untuk mewakili kepenyairan Asia-Amerika melalui lensa narasi imigrasi dan asimilasi yang tidak asing di telinga.

Kemunculan Kevin Young sebagai penyunting puisi di The New Yorker di usianya yang ke-47 memunculkan pertanyaan: bakal sebaru apa truk yang mereka kendarai ini?

Suasana tegang mulai mengusik bahkan di tempat paling nyaman, paling terbuka di antara berbagai zona minoritas, dimulai dari The Dark Room dan kemudian: mereka menggandeng sapaan “kita” yang telah dipakai dunia luar, beserta narasinya, sambil menyertakan sejumlah tekanan.

Para penyair telah merasa kesal, dan berhasil melampaui, seluruh tekanan itu. Tentu saja: Bagaimana lagi agitasi puitik akan terjadi?
Belakangan Carl Phillips menulis tentang perasaan bahwa ia telah benar-benar diasingkan dari The Dark Room karena ia “tidak menulis puisi ‘kulit hitam’ sejati.” Di esai berjudul “A Politics of Mere Being,” dia bertanya-tanya mengenai dampak dari keharusan untuk benar secara politik, namun juga “tekanan untuk politis secara benar” – yaitu dengan berkarya mengenai “isu identitas, pengasingan, ketidakadilan.” Tidakkah seharusnya, kata dia, “penyair yang terlempar ke luar, dalam konteks apapun,” menolak pandangan bahwa sekadar “resistensi” saja bisa mendefinisikan apa hal-hal yang politis?

Penyair Iran-Amerika, Solmaz Sharif, dua-puluh lima tahun lebih muda dari Phillips – yang buku puisi pertamanya, Look (2016) menjadi finalis National Book Award – juga melihat nilai dari suara “yang terus-menerus berada di luar, mempertanyakan dan menanggapi apapun yang dimaksudkan dari kata ‘di sini’ atau ‘kita’ atau ‘sekarang’.” Idealisme puitisnya adalah semacam “keadaan nomaden, atau pikiran yang terus-menerus terpacu dan mencegah momen politis ini membatu.” Sebagai upaya untuk merangkum si “Aku” yang terus berubah dan mengundang tanya, sangatlah susah untuk berbuat sesuatu yang lebih baik. Upaya untuk mewadahi seluruh keberagaman – untuk meneliti berbagai wajah kedirian (protean self) dan masyarakat yang membentuk dan mengubahnya – dalam suatu bentuk liris yang koheren masihlah sebuah eksperimen yang radikal.

**

Senin, 25 November 2019

PGRI Kritik Pidato Mendikbud, Minta Nadiem Tidak Hanya Retorika



Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Unifah Rosyidi (Foto: Istimewa)

JAKARTA, MJNews – Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Unifah Rosyidi mengritisi isi pidato Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim.

Menurutnya, pidato tersebut sekadar retorika kosong jika tak dilanjutkan dengan aksi nyata. Pasalnya, imbauan serupa sudah disampaikan Presiden Joko Widodo pada puncak Perayaan Hari Guru 2 Desember 2017 lalu.
“Jadi mau ngomong apapun, pak presiden saja sudah ngomong berkali-kali,” katanya di Jakarta baru-baru ini.
Ia menyatakan yang harus dilakukan Nadiem adalah menunjukkan bukti, bukan sekedar perkataan dari mulut.
“Yang kita tunggu setelah berbicara ini Pak Nadiem turun membedah, baru itu punya makna. Selama itu tidak turun membedah, itu tidak akan ada maknanya,” kata Unifah.
Sebagaimana diketahui, pidato Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim yang akan disampaikan dalam peringatan Hari Guru Senin, 25 November 2019 viral di dunia maya.

Di kalangan para guru, pidato singkat itu jadi perbincangan hangat dan mendapat apresiasi sekaligus kritik.

Ia diapresiasi karena kesadarannya soal beban guru atas tugas-tugas administratif, kewajiban mengejar angka-angka penilaian yang tak sepenuhnya bisa mengukur potensi siswa, serta kurikulum yang terlalu padat hingga guru sulit berinovasi dalam proses mengajar.

Tapi di sisi lain, pidato tersebut dianggap sekadar retorika kosong jika tak dilanjutkan dengan aksi nyata. [mkp]

Rabu, 20 November 2019

”Ambyar”


Oleh: SINDHUNATA - 20 November 2019

Sindhunata - KOMPAS/FERGANANTA INDRA RIATMOKO

Ya, terhadap politik kita sekarang, rakyat kiranya boleh merasa patah hati. Rasanya, kita memang sedang hidup di zaman ewuh-pekewuh, di mana banyak hal jadi serba salah, apalagi politiknya, yang wr-wr-wr, ambyar.

Seribu kota sudah kulewati. Seribu hati sudah kutanyai. Tapi tak seorang pun mengerti, ke mana kau pergi. Bertahun-tahun aku mencari, belum kutemukan kau juga sampai hari ini. Seandainya kau sudah hidup bahagia, aku sungguh rela. Namun hanya satu permohonanku, aku ingin bertemu denganmu. Walau hanya sekejap mata, sekadar untuk obat rindu di dalam dada.

Itulah sepenggal lagu di antara sekian lagu Didi Kempot yang akhir-akhir ini telah mengharu biru penggemarnya. Lagu-lagu Didi Kempot tercipta dalam bahasa Jawa. Dan sudah lama ia menyanyikannya. Namun, baru akhir-akhir ini lagu-lagunya meledak. Penggemarnya meluas, tak terbatas mereka yang mengerti bahasa Jawa. Bukan hanya orangtua yang gemar lagu campur sari, melainkan juga anak-anak muda bergaya hidup modern dan jauh dari tradisi.

Mengapa lagu-lagu Didi Kempot bisa memeluk demikian banyak penggemar? Karena lagu-lagunya mendendangkan patah hati, cinta yang dikhianati, dan janji yang mudah diingkari. Luka-luka hati itu banyak dialami orang zaman ini. Dan Didi Kempot dirasa bisa mewakili dan menumpahkan perasaan mereka.

Maka kaum patah hati itu berkelompok. Yang laki-laki menamai diri Sad Bois, yang perempuan Sad Gerls. Keduanya berhimpun di bawah nama Sobat Ambyar. Dan pujaan mereka, Didi Kempot, digelari The Godfather of  The Broken-Heart alias The Lord of Ambyar.

Ribuan penonton menyimak lagu-lagu yang dibawakan penyanyi pop campursari Didi Kempot saat tampil sebagai penutup hari pertama perhelatan Synchronize Fest 2019, Jumat (4/10/2019). Festival musik yang memasuki penyelenggaraan keempat itu semakin beragam menyuguhkan aneka jenis musik, mulai dari dangdut koplo, kasidah, metal, sampai disko. - KOMPAS/HERLAMBANG JALUARDI


Ambyar, kata ini sudah jelas dengan sendirinya. Namun, mengapa kata itu tiba-tiba bisa demikian populer? Lebih-lebih kenapa ambyar itu bisa mewakili perasaan demikian banyak orang? Adakah kata itu hanya menyangkut romantisisme orang di sekitar kesedihan patah hati? Kalau kita bisa bertanya demikian, berarti suatu makna yang dalam ada di dalam kata ambyar. Dan ambyar itu tak bisa hanya dikembalikan ke pengalaman patah hati belaka.

Ambyar seakan adalah kata yang diberikan oleh keadaan zaman agar kita merasakannya secara lebih luas dan mendalam. Ambyar tak cukup dikembalikan pada Didi Kempot lagi. Zaman hanya meminjam ambyar-nya Didi Kempot untuk mengungkapkan gejala dan warta sejarah yang sedang kita alami kini.

Zaman hanya meminjam ambyarnya Didi Kempot untuk mengungkapkan gejala dan warta sejarah yang sedang kita alami kini.

Petaka kemajuan

Dalam khazanah Jawa, sebagai gejala sejarah, ambyar membuka kembali apa yang tersimpan dalam ramalan pujangga Ranggawarsita seperti tertulis dalam Serat Sabda Jati: Para djanma sadjroning djaman pekewuh, kasudranira andadi, dahurune saja darung, keh tyas mirong murang margi, kasetyan wus nora katon—di zaman serba susah dan salah ini, nista budi manusia makin menjadi-jadi, ruwetnya hidup terus terjadi, orang-orang sengaja menempuh jalan yang salah, kesetiaan tiada lagi bisa dilihat mata.

Didi Kempot saat menjadi bintang tamu pada sebuah pentas dangdut di lapangan Desa Wuled, Kecamatan Tirto, Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah, Selasa (30/7/2019). - KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA

Rupanya ramalan Serat Sabda Jati tentang datangnya zaman pekewuh, zaman ruwet, zaman ambyar sedang kita alami sekarang.
Di zaman ambyar ini manusia jadi serba salah. Dan seakan ada sebuah kekuatan tersembunyi yang sedang menjerat manusia untuk jadi serba salah.
Zaman ambyar itu bukanlah ramalan akan masa mendatang. Ambyar itu petaka di zaman sekarang. Dan ambyar itulah yang menentukan apa yang akan terjadi di masa depan, termasuk cita-cita manusia tentang kemajuan.
Maka, kata filsuf Sekolah Frankfurt, Walter Benyamin: pengertian kemajuan itu dasar dan titik berangkatnya adalah petaka. Apa yang terus berjalan maju adalah petaka itu. Dan petaka itu bukan apa yang akan datang, melainkan apa yang terjadi sekarang. Kalau kita bicara penyelamatan, ini hanyalah lompatan-lompatan kecil dari petaka yang terus berkesinambungan itu.

Menurut garis pemikiran itu, masa depan yang gemilang hanya utopia. Yang akan terjadi adalah masa depan sebagai petaka. Atau dalam khazanah Jawa, masa depan itu zaman ewuh-pekewuh, zaman ambyar.

Dalam literatur Barat, tulisan mengenai petaka atau ambyar itu dengan mudah ditemukan, mulai dari tulisan-tulisan filsafat, sosiologi kritis, politik, ekologis, sampai analisis psikologis, sastra, dan refleksi teologis. Jadi, bencana atau ambyar itu tak hanya mengenai alam dan lingkungan hidup, tetapi juga mengenai manusia, pemikiran, rasionalitas, dan kondisi psikisnya.

Warga Jalan Agung Perkasa, Sunter Jaya, Jakarta Utara, memasang spanduk protes terhadap penggusuran yang dilakukan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Senin (18/11/2019) siang.- KOMPAS/STEFANUS ATO

Petaka atau ambyar dibahas dengan tajam, misalnya, oleh Pankaj Mishra, sarjana keturunan India, dalam bukunya yang terkenal Age of Anger: a History of the Present (2017). Ia menunjukkan, akar dari chaos, petaka dan ambyar-nya zaman ini adalah utopia enlightenment masyarakat Barat. Utopia itu impian indah yang akhirnya mendarat sebagai realitas mimpi buruk di zaman sekarang.

Enlightenment dengan buahnya kapitalisme dan demokrasi liberal ditanamkan ke negara-negara yang tak punya akar tradisi 
enlightenment Barat.
Penanamannya sering dengan tindakan paksa: invasi militer, yang percaya, setelah itu demokrasi akan mekar dengan sendirinya.

Zaman ambyar itu bukanlah ramalan akan masa mendatang. Ambyar itu petaka di zaman sekarang. Dan ambyar itulah yang menentukan apa yang akan terjadi di masa depan, termasuk cita-cita manusia tentang kemajuan.

Utopia enlightenment mendambakan kemajuan dan kemodernan. Namun, sebaliknyalah yang terjadi: anti-kemodernan. Di banyak negara, anti-kemodernan ini berhimpun menjadi aksi radikalisme agama, kekerasan, dan teror.


Menurut Mishra, aksi-aksi itu bukan pertama-tama bertujuan merusak kemapanan yang dimiliki kemajuan dan kemodernan. Sebaliknya, aksi-aksi itu ingin menikmati kemapanan itu. Namun, alam semesta sebagai sumber daya yang terbatas ini pasti tak bisa memberikan apa yang ingin mereka nikmati, apalagi semuanya itu sudah berada di tangan mereka yang maju dan modern.

Akibatnya adalah ressentiment, kebencian. Maka, Mishra mengetengahkan pentingnya kita memahami kembali pemikiran filsuf Rousseau dan Nietzsche.
Keduanya berpendapat, ressentiment terjadi karena pengalaman inferior, yang kemudian mengecamukkan perasaan iri hati. Maunya meniru, tetapi tak mampu.

Hasrat meniru itu terus meninggi, sementara kemampuan diri kian tertinggal jauh. Janji-janji kemodernan tentang pemerataan akhirnya hanya mimpi. Si pemimpi kemudian menjumpai realitasnya tak sejalan dengan impiannya.

Hidupnya merana, dalam hal keadilan, pendidikan, status, kekuasaan, dan kesejahteraan. Hidupnya ternyata ambyar. Siapa yang mau ambyar? Maka mereka yang dikecewakan ini frustrasi. Karena frustrasi, mereka lalu marah, protes, jadi radikal, dan tak segan menjalankan aksinya dengan kekerasan. Itulah kemarahan kaum ambyar dalam the age of anger ini.

Polisi menjaga ketat penggeledahan rumah keluarga YF, terduga teroris, di Desa Bojong Lor, Kecamatan Jamblang, Kabupaten Cirebom, Jawa Barat, Senin (14/10/2019). YF merupakan pimpinan Jamaah Ansharut Daulah di Kabupaten dan Kota Cirebon. - KOMPAS/KOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI


Lunturnya kesetiaan

Di zaman ini, ambyar tak hanya menyambar politik, ekonomi, ataupun lingkungan. Hubungan personal pun ikut ambyar. Dalam hal personal itu, lagu-lagu mellow Didi Kempot tentang patah hati seakan membahasakan dan melokalkan krisis kesetiaan yang kini tengah menyebar di mana-mana.

Seperti dilaporkan Stephanie Schramm (die Zeit, 7/4/2011), sebuah studi dari Hamburg dan Leipzig, Jerman, pernah memperlihatkan, 90 persen responden menyatakan ingin tetap setia ke pasangan, tetapi 50 persen mengaku setidaknya sekali pernah melanggar kesetiaan itu. Dewasa ini masuknya ”orang ketiga” jauh lebih mudah daripada dulu.

Di zaman ini, ambyar tak hanya menyambar politik, ekonomi atau lingkungan. Hubungan personal pun ikut ambyar.

Setia dianggap bukan hanya setia pada seorang pasangan seumur hidup. Orang juga bisa merasa setia terhadap ”orang lain” yang sedang jadi pasangannya pada suatu saat. Kesetiaan itu bisa menjadi serial, kesetiaan pada pasangan yang berganti-ganti.

Monogami tampaknya kian dirasakan sebagai upaya kultural yang berlawanan dengan kodrat alami dan manusiawi, yang sulit bersetia pada seorang saja.

Teater Baru membawakan lakon Kisah Bunga Matahari di Gedung Kesenian Jakarta, Jumat (18/10) malam. Para pemain membawakan sketsa-sketsa yang menggambarkan potret kehidupan keseharian manusia urban yang ”gila gawai”, menghabiskan waktu di jalanan macet, di bawah tekanan ekonomi, dan diwarnai perselingkuhan -  KOMPAS/INDIRA PERMANASARI

Karena itu kesetiaan monogami itu sulit dihayati. Juga di kalangan anak muda melebarlah jurang pemisah antara keinginan dan kenyataan di sekitar kesetiaan. Mereka menjunjung tinggi kesetiaan. Namun, praktiknya, dengan mudah mereka berganti pacar atau pasangan.

Fakta ini mengungkapkan sebuah ironi: anak muda ingin berpegang sungguh pada kesetiaan dan mengidealkan kesetiaan sebagai pegangan, justru karena dalam realitas kesetiaan itu sedang ambyar dan sulit dialami.

Studi itu juga memperlihatkan, perselingkuhan banyak terjadi kebanyakan karena si pelaku tertarik akan yang baru. Hubungan dengan pasangannya bisa memuaskan, juga secara seksual. Namun, itu tak menjamin bahwa orang tak bisa tertarik dan kemudian puas dan nikmat dengan yang baru.

Lunturnya kesetiaan semacam ini sering disebabkan oleh sebuah kebetulan, bukan karena disengaja atau direncanakan. Sementara kesempatan untuk jatuh dalam kebetulan itu sekarang tersedia banyak. Sebab, dewasa ini manusia lebih mobile, berpindah dari satu tempat ke tempat lain dengan amat cepat, dan dapat berjumpa dengan ”orang baru” dalam waktu amat singkat.

Lewat internet, orang juga mudah menemukan rangsangan akan yang baru, yang sangat bervariasi dan menarik. Dan itu bisa dialaminya dalam ruang paling privat, bahkan di saat ketika orang berada dekat dengan keluarga atau pasangannya.

Menurut banyak penelitian, psikologi, sosiologi atau antropologi, ketidaksetiaan itu ditentukan banyak faktor. Dan sulitlah memastikan manakah faktor yang paling menentukan.

Kata seorang pakar terapi keluarga, Guy Bodenmann, kesetiaan adalah proses kognitif di mana orang menghasratkan sebuah eksklusivitas. Dan itu mengandaikan bahwa orang mau secara total memberikan komitmennya, emosional dan seksual .

Komitmen demikian butuh kehendak yang kuat dan bulat. Itu artinya untuk menjadi setia, orang harus bersedia dan rela berkorban untuk memberikan dirinya. Justru pengorbanan macam inilah yang sekarang sedang luntur. Tak heran jika kini banyak kesetiaan yang ambyar.
Itu artinya, untuk menjadi setia, orang harus bersedia dan rela berkorban untuk memberikan dirinya.

Sinetron politik ”ambyar”

Seperti dalam cinta, kesetiaan juga merupakan nilai dalam politik. Maka dalam ilmu politik, kesetiaan disebut sebagai keutamaan politik. Politik yang baik tercipta jika politikusnya setia pada janji politiknya, setia pada konstituennya, dan setia pada mitra koalisinya dalam mengejar cita-cita yang disepakati bersama.

Jelas, politik yang baik mengandaikan kesetiaan. Apabila menjunjung tinggi nilai itu, politik serta-merta akan mewujudkan kesetiaan dalam komitmen, serta pemberian dan pengorbanan diri yang jujur dan tulus. Namun, justru dalam politik, orang dengan amat mudah mengkhianati kesetiaan, mengingkari komitmen, dan menjerumuskan diri dalam perselingkuhan politik yang baru.

Presiden Joko Widodo bersama Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto berswafoto dengan wartawan seusai pertemuan keduanya di Istana Merdeka, Jakarta, Jumat (11/10/2019). Pertemuan tersebut membicarakan sejumlah isu aktual, seperti kondisi sosial, politik, ekonomi, dan keamanan. Pertemuan tersebut juga sebagai penjajakan untuk bergabung atau tidaknya Pantai Gerindra dalam kabinet pemerintahan Joko Widodo - KOMPAS/HERU SRI KUMORO


Jadi, persis seperti atau melebihi perkara cinta, kesetiaan dalam politik itu mudah terjangkiti virus ambyar. Cuma kadar akutnya saja berbeda-beda. Kadang akutnya tak seberapa, kadang menggila. Celakanya, ada gejala, berbarengan dengan merebaknya virus ambyar bersama Didi Kempot, akhir-akhir ini politik kita kelihatan juga terkena virus ambyar dengan sangat akut.

Maka, kalau orang percaya pada kawruh Jawa, mewabahnya Sobat Ambyar Didi Kempot itu juga sasmita yang memperbolehkan kita bertanya, jangan-jangan situasi sosial-politik kita juga sedang ambyar.
Dengan mudah, ambyar itu kita temukan dalam tingkah laku politik kita akhir-akhir ini. Kita boleh lega melihat Prabowo Subianto dan Presiden Jokowi bersatu, dan Gerindra masuk dalam Kabinet Indonesia Maju (KIM).

Namun, pertanyaan kritis tetap boleh muncul: sebegitu mudahkah politikus lupa akan pengorbanan pendukungnya. Di manakah kesetiaan dan komitmen politik mereka pada harapan pendukungnya?

Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto dan presiden terpilih, Joko Widodo, saling berjabat tangan seusai bertemu di rumah orangtua Prabowo di Jalan Kertanegara, Jakarta Selatan, Jumat (17/10/2019). KOMPAS/WISNU WIDIANTORO

Maklum, sebelum Pilpres 2019, pendukung kedua kubu demikian terbelah, sampai tak terbayangkan sama sekali bahwa pemimpin mereka mau menjalin sebuah koalisi politik.

Politik memang punya 1001 alasan untuk membenarkan diri. Namun, dalam fenomena politik di atas tetaplah terbukti, politik itu tak setia pada janji. Tepatlah jika para pendukungnya merasakan pahitnya lagu ”Cidra”, Didi Kempot: ”Wis samesthine ati iki nelangsa/wong sing tak tresnani mblenjani janji/Gek apa salah awakku iki, kowe nganti tego mblenjani janji/… (Sudah semestinya hati ini merana karena yang aku cintai mengingkari janji… Apa salahku, sampai kamu tega mengingkari janji).

Politik yang baik tercipta jika politikusnya setia pada janji politiknya, setia pada konstituennya, dan setia pada mitra koalisinya dalam mengejar cita-cita yang disepakati bersama.

Sinetron ambyar di panggung politik itu terus berlanjut. Baru saja menyatakan janji setia pada koalisi, Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh berpelukan mesra dengan Presiden Partai Keadilan Sejahtera Sohibul Iman.

Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh (kanan) bersama Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Sohibul Iman berangkulan di DPP PKS, Jakarta, Rabu (30/10/2019). Pertemuan tersebut dalam rangka silaturahmi kebangsaan dan menjajaki kesamaan pandangan tentang kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. - ANTARA FOTO/PUSPA PERWITASARI

Media pun ramai dengan adegan itu. Presiden Jokowi pun menyindir, Surya Paloh kelihatan lebih cerah dari biasanya sehabis berpelukan dengan Sohibul.

Dan Presiden Jokowi masih memberi komentar, ”Saya tidak tahu maknanya apa. Tetapi rangkulan itu tidak seperti biasanya. Tidak pernah saya dirangkul oleh Bang Surya Paloh seerat dengan Pak Sohibul Iman.”

Belakangan, pada perayaan HUT ke-8 Parta Nasdem, bahasa pelukan itu masih berlanjut. Berulang kali Presiden menegaskan, pelukan itu tak ada salahnya. Toh, Presiden masih menyindir juga, pelukan itu hanya masalah kecemburuan.

Begitulah, diskursus politik kita diturunkan derajatnya menjadi masalah pelukan. Sebagian waktu politik kita disita untuk berspekulasi tentang pelukan. Bahasa politik kita menjadi bahasa Sobat Ambyar. Surya Paloh menyatakan ”sayang” kepada para tokoh. ”Dan jangan ragukan lagi, betapa saya masih sayang kepada Mbak Mega.” Megawati memperlihatkan senyumnya yang tertahan mendengar sapaan itu.

Calon Presiden Joko Widodo dan Prabowo Subianto bergandengan dan melambaikan tangan. KOMPAS/PRADIPTA PANDU

Namun, orang tahu ini sinetron politik, senyum itu boleh ditafsir sebagai senyum sinis tak percaya. Di mata banyak pemirsa, senyum itu seakan mau bilang, ”mbel”. Atau dalam bahasa Sobat Ambyar, senyum itu adalah lagu: Jebule janjimu jebule sumpahmu, ra biso digugu (Janjimu, sumpahmu, ternyata palsu). Jika bersama dengan fenomena ambyar, kita mau diingatkan akan sasmita zaman ewuh-pekewuh kita haruslah waspada, kepalsuan dan ketaksetiaan akan janji kelihatan akan menjadi warna dari politik kita.

Lihat saja, Pemilu dan Pilpres 2019 baru saja berlalu. Tokoh-tokoh politik sama sekali belum membuktikan diri apakah mereka bisa memenuhi janjinya dari kampanye lalu. Kabinet Indonesia Maju juga belum terbukti kerjanya. Di tengah keadaan demikian sudah terbaca bagaimana politik membuat manuver-manuver agar mereka bisa mempertahankan atau meraih kekuasaan di 2024.

Buat politikus kita, demokrasi seakan hanyalah alat mengejar kekuasaan. Ini sungguh politik ambyar. Ambyar karena politik itu menghilangkan jejak dan dasar kelahirannya. Seperti dikatakan filsuf Richard David Precht, politik itu tak lahir dengan sendirinya. Politik itu lahir dari kepercayaan dan kejujuran rakyat.

Satu hari setelah dilantik, para menteri Kabinet Indonesia Maju langsung mengikuti sidang kabinet paripurna yang dipimpin oleh Presiden Joko Widodo bersama Wakil Presiden Ma’aruf Amin di Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (24/10/2019). - KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Rakyat lalu mengharap agar berdasarkan kepercayaan itu politik bertindak bijak, setia, dan tahu diri. Politik yang hanya mengejar kekuasaan berarti menyapu habis dasar kelahirannya itu. Tak peduli dengan kepercayaan dan kejujuran rakyat, prek dengan kesetiaan dan kebijaksanaan. Yang penting, pokoknya, bagaimana meraih kekuasaan.

Politik tak lagi berpikir apa yang terbaik untuk rakyat yang memercayai dan menumpahkan harapan padanya. Yang dipikirkannya hanyalah apa yang terbaik bagi dirinya dan itulah adalah semakin besarnya kekuasaan.
Politik yang hanya mengejar kekuasaan berarti menyapu habis dasar kelahirannya itu.

Politik demikian politik yang tak setia janji. Itulah politik yang sekarang kira rasakan. Maka terhadap politik demikian, bersama Sobat Ambyar, rakyat kiranya boleh memaki: Tak tandur pari, jebul tukule malah suket teki (Padi yang kutanam, ternyata tumbuhnya malah alang-alang).

Ya, terhadap politik kita sekarang, rakyat kiranya boleh merasa patah hati. Rasanya, kita memang sedang hidup di zaman ewuh-pekewuh, di mana banyak hal jadi serba salah, apalagi politiknya, yang wr-wr-wr, ambyar.

Editor, HARYO DAMARDONO

Jumat, 01 November 2019

Butet Manurung 'Gugat' Praktik Pendidikan Indonesia

31 Oct 2019 01:40

Salah satu pendiri Sokola Institute, Butet Manurung. (GATRA/Ardhi Ridwansyah/ft)

Jakarta - Salah satu pendiri Sokola Institute, Butet Manurung, menggugat praktik pendidikan Indonesia yang menurutnya belum berkontribusi untuk mempertahankan pengetahuan lokal atau adat istiadat di setiap daerah.
"Belum, sama sekali belum. Saya terus terang saja menggugat pendidikan kita karena bukan hanya tidak berguna, bahkan kadang-kadang bisa memberi dampak buruk dalam hal tidak membantu adat istiadat, pengetahuan lokal, dan produk-produk budaya kita bertahan," ucapnya saat diwawancarai awak media selepas acara peluncuran buku "Melawan Setan Bermata Runcing" di Auditorium Institut Pengembangan Manajemen Indonesia (IPMI), Kalibata, Jakarta Selatan, Rabu (30/10).
Wanita yang pernah meraih Ramon Magsaysay Award itu menuturkan bahwa pendidikan kita semestinya condong kepada pendidikan yang bersifat kontekstual. Pendidikan kontekstual adalah pendidikan yang sesuai untuk mengatasi permasalahan yang ada di sekitarnya.
"Kalau di sekitar kita ada ular kobra, lebih baik kamu belajar mengatasi bisa (racun) kobra, sebelum kamu belajar kalkulus. Jadi apa yang ada di lokal kita kuatkan dulu, baru kamu bisa ke hal yang lebih luas dari itu," katanya.
Di sisi lain, Dirjen Kesenian Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Restu Gunawan, menyatakan bahwa pendidikan kontekstual sebetulnya sudah ada pada kurikulum 2013, namun dalam praktiknya terdapat hambatan seperti tenaga pendidik yang belum bisa menerapkan cara pengajaran yang sifatnya langsung terjun ke lapangan.
"Kalau untuk belajar ekonomi maka anak-anak diarahkan untuk pergi ke pasar atau ke mall bagi anak-anak kota dan sebagainya. Arahnya ke sana, cuman untuk mendidik guru seperti aktivis-aktivis yang dilakukan Sokola ini, bukanlah pekerjaan yang mudah," jelasnya.
Untuk itu, Restu menilai perlu adanya kolaborasi antar guru untuk bisa menyediakan waktu yang tepat untuk bisa terjun langsung mengajak murid-muridnya belajar dalam rangka mempraktikkan pendidikan kontekstual tersebut.
"Saya kira sumbangan pemikiran dari kawan-kawan Sokola sangat penting bagi Kementerian Pendidikan," ungkapnya.
Sokola Institute merupakan lembaga yang fokus pada isu pendidikan masyarakat adat dan kelompok marjinal. Adapun buku "Melawan Setan Bermata Runcing" merupakan kumpulan pengalaman-pengalaman Sokola Institute selama 16 tahun mendampingi masyarakat adat yang kerap kesulitan mengakses sekolah formal.

Reporter: ARH - Editor: Iwan Sutiawan

Rabu, 30 Oktober 2019

Sekolah Rakyat bagi Mereka yang Termarginalkan


Akmal Uro - 30/10/2019


Pendidikan merupakan salah satu hal penting dalam kehidupan seseorang. Pendidikanlah yang menentukan, menuntun masa depan dan arah hidup seseorang. Dengan pendidikan, dapat menciptakan manusia-manusia yang berkualitas, berintelektual, dan jauh dari kebodohan.

Meskipun tidak semua orang berpendapat seperti itu, namun pendidikan tetaplah menjadi kebutuhan nomor wahid. Bagi Tan Malaka sendiri, pendidikan merupakan perkakas membebaskan rakyat dari keterbelakangan dan kebodohan.

Karena kemajuan suatu bangsa tak lepas dari pendidikan, maka dari itu dituangkanlah beberapa kebijakan yang memberikan peluang bagi seluruh rakyat Indonesia untuk mengenyam pendidikan, seperti pada Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 31 Ayat 1 yang berbunyi: “Setiap Warga Negara Berhak Mendapatkan Pendidikan”.

Selain itu, juga dituangkan dalam cita-cita bangsa ini yang terdapat pada Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yakni “Mencerdaskan Kehidupan Bangsa”.

Namun, hingga saat ini, cita-cita ‘Mencerdaskan Kehidupan Bangsa” masih ‘terasa’ jauh dari kata terwujud. Pasalnya, masih banyaknya anak-anak Indonesia yang belum mengenyam pendidikan formal menjadi salah satu alasan. Berdasarkan Data UNICEF tahun 2016, sebanyak 2,5 Juta anak Indonesia tidak dapat menikmati pendidikan lanjutan, yakni sebanyak 600 Ribu anak usia Sekolah Dasar (SD) dan 1,9 juta anak usia Sekolah Menengah Pertama (SMP).

Memang, ada beberapa faktor yang membuat anak-anak Indonesia tidak dapat menikmati pendidikan, seperti karena faktor ekonomi yang berdampak pada tidak teraksesnya pendidikan bagi rakyat kecil, paradigma masyarakat yang menganggap pendidikan tidak penting, sarana dan prasarana, kurikulum yang diterapkan, dan beberapa faktor yang lain.

Faktor ekonomi menjadi penghambat utama untuk melanjutkan pendidikan.
 Padahal, dalam komitmen tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs) 2030 di Bidang Pendidikan, setiap negara harus bisa memastikan tidak ada seorang pun yang tertinggal dalam hal pendidikan.

Dari hasil survei Badan Pusat Statistik, ada sekitar 73 Persen kasus putus sekolah terjadi akibat faktor ekonomi. Hal ini sangat disayangkan, padahal pemerintah Indonesia sangat serius melaksanaan kebijakan pembangunan di sektor pendidikan yang bertujuan untuk Mencerdaskan Kehidupan Bangsa, terutama pada pengalokasian anggaran pendidikan yang mencapai 20% dari total anggaran pembangunan. 

Program yang diprioritaskan antara lain, untuk pembangunan sarana dan prasarana pendidikan, perpustakaan, pengadaan buku-buku, biaya operasional, beasiswa, pendidikan gratis bagi masyarakat miskin. Tapi toh nyatanya masih banyak anak-anak Indonesia yang belum bisa mengenyam pendidikan.

Pendidikan yang tidak bisa terjangkau karena biayanya yang mahal masih sangat dirasakan bagi rakyat kecil, seperti anak-anak jalanan yang kurang beruntung untuk mendapatkan pendidikan. 

Sangat sulit bagi mereka untuk menghapus dampak pendidikan bagi mereka yang tidak didapatkannya. Karena mereka harus memikirkan bagaimana caranya untuk membayar uang iuran sekolah, untuk membeli perlengkapan-perlengkapan sekolah, sedangkan untuk makan sehari-hari saja sangat susah.

Apakah dengan nilai-nilai yang bagus semasa duduk di bangku sekolah ‘Mencerdaskan kehidupan bangsa’ akan terwujud? Ataukah lulus dengan IPK yang tinggi ‘Mencerdaskan kehidupan bangsa’ akan terwujud? Tentu itu bukanlah sebuah tolok ukur.

Bagi Sultan Ibrahim atau lebih dikenal Tan Malaka sendiri berpendapat bahwa Pendidikan bukanlah semata-mata alat untuk kecerdasaan pribadi saja, tetapi juga sebagai alat kecerdasan sosial agar mengetahui bentuk ketertindasaan di dalam masyarakat. Selain itu, ia juga berpendapat bahwa pendidikan harus bersifat transformatif sebagai alat untuk keluar dari segala jeratan praktik diskriminasi dan penindasan

Lantas, di mana nilai-nilai demokrasi yang menjamin seluruh rakyat Indonesia untuk merasakan bangku sekolah sebagaimana yang tertuang pada Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 31 Ayat 1? Apakah itu hanya sebuah ‘pajangan’ dalam konstitusi negara? 

Tentu, pendidikan yang merata dan bisa diakses oleh semua kalangan rakyat Indonesia adalah bentuk perwujudan nilai-nilai demokrasi dalam ranah Pendidikan.

Oleh karena itu, Sekolah Rakyat bisa menjadi alternatif pendidikan bagi ‘mereka’ yang termarginalkan. Sekolah yang bisa menjadi ‘lumbung’ ilmu bagi anak-anak bangsa yang tidak dapat mengenyam pendidikan layaknya anak sebayanya. Gudang ilmu dan tempat berkreasi bagi pemuda yang ‘terpaksa’ meninggalkan bangku sekolah karena himpitan ekonomi.

Dengan menyusun kurikulum sesuai dengan budaya, kebutuhan, dan kondisi masyarakat, Sekolah Rakyat tersebut diharapkan bisa membangkitkan kesadaran rakyat untuk peduli dan kritis terhadap segala persoalan yang terjadi dalam lingkungan mereka.

Sebut saja seperti persoalan kemiskinan maupun penindasan yang dilakukan penguasa terhadap mereka. Caranya adalah melalui sebuah pembangunan berpikir yang mampu memecahkan persoalan-persoalan yang ada dalam dirinya, yang selanjutnya dibenturkan dengan realitas pahit yang mereka alami.

Salah satu contoh dari Sekolah alternatif yang ada di Indonesia adalah Cahaya Anak Negeri, sebuah wadah kegiatan dan pendidikan untuk membantu anak jalanan meraih cta-cita. Adalah Andi Suhandi dan Nadiah Abidin, aktor di balik lahirnya sekolah jalanan tersebut. Mereka mendirikan sekolah tersebut bermula dari keprihatinan terhadap pendidikan dan masa depan anak-anak jalanan di Kota Bekasi.

Sekolah seperti Cahaya Anak Negeri ini perlu dan semestinya untuk didukung keberadaannya. Agar ke depannya, pemandangan anak-anak jalanan yang berlarian jika dikejar Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) atau anak yang mengulurkan tangan untuk mengisi isi perutnya tak terlihat lagi dengan hadirnya sekolah-sekolah alternatif untuk mereka.

Jika mencerdaskan kehidupan bangsa diukur dari banyaknya sarjana, maka rakyat yang memilih Sekolah Rakyat tidak akan mampu untuk mewujudkannya. Akan tetapi, jika mencerdaskan kehidupan bangsa diukur dari kemajuan pola berpikir rakyat Indonesia, maka Sekolah Rakyat bisa dan mampu untuk mewujudkan itu.

Permasalahan pendidikan bukanlah tugas pokok pemerintah semata, akan tetapi juga pada rakyat yang sadar untuk mewujudkan nilai-nilai demokrasi dalam ranah pendidikan. Terwujudnya pendidikan yang bisa diakses oleh seluruh rakyat Indonesia, tanpa diskriminasi, pendidikan yang tak kenal golongan adalah wujud nyata realisasi konsitusi negara di bidang pendidikan seperti yang diamanatkan pada Pasal 31 Ayat 1.

Senin, 28 Oktober 2019

SRMB dan Literasi Daerah



Penerbitan dan apresiasi karya sastra, khususnya puisi, direncanakan bakal menjadi tradisi tahunan Sekolah Rakyat MeluBae (SRMB). Sinyalemen ini mengemuka dalam banyak diskusi internal yang disebut para pamongnya sebagai tradisi dopokan kelompok.

Sebagai sebuah komunitas pembelajar yang telah berusia 16 tahun sejak pendiriannya pada Januari 2003, meski jatuh bangun, pengalaman empiris memberi cukup kekuatan untuk tetap survive dalam berbagai situasi. Kata kuncinya, berkomunikasi dalam berbagai bentuknya, menjadi perekat komunal yang secara etika dan metodologis jadi sesuatu yang bersifat saling mengikat.

Jargon “Sekolah mBayar Karep” teruji di atas landasan kolektif melalui proses-proses bersamanya, mulai dari dopokan hingga melakukan semua secara bersama. Tetapi kebersamaan yang meskipun tak linier namun pada gilirannya bermanifes melalui “kerja kolektif” siapa melakukan apa.

Penerbitan karya

Penerbitan buku berisi karya puisi para pegiatnya tengah menjadi tren dalam tiga tahun belakangan, terutama sejak komunitas ini menginisiasi pendirian “divisi publishing” dengan marking Senthong Omah Sinau dalam menangkap tema besar literasi pada konteks daerah.

Itu sebabnya pada Senin (28/10) SRMB menemui pengelola Kearsipan dan Perpustakaan Daerah Kebumen. Selain untuk menyerahkan dua serial buku antologi puisi bertajuk “Kuputarung” sebagai satu momentum, juga untuk suatu rintisan komunikasi yang diharapkan bakal berkelanjutan.

KUPUTARUNG: Penyerahan 2 buku antologi puisi “Kuputarung” terbitan SRMB ke pengelola Kearsipan dan Perpustakaan Daerah Kebumen pada Senin (28/10). Kadin Kearsipan dan Perpustakaan Anna Ratnawati, didampingi Bambang Asrori tengah menerima dua buku terbitan SRMB di kantornya [Foto: Arp]

Bagi SRMB sendiri yang barangkali baru memaknai literasi sebagai sebuah tradisi yang mengaktualisasi ke dalam trend penerbitan buku, namun juga berproyeksi mengembangkan produksi pengetahuan lainnya diluar bidang sastra. Jika pun selama ini komunitas berfokus pada sastra itu semata karena mayoritas pegiatnya aktif pada penulisan puisi.

Opsi selain penulisan dan penerbitan adalah apresiasi karya para pegiatnya melalui musikalisasi puisi. Secara spesifik, komunitas ini tengah menyiapkan lomba baca puisi, tingkat pelajar dan umum; yang bakal digelar bulan November.    

Rabu, 23 Oktober 2019

Anak-Anak Memerlukan Cerita, Puisi, Musik, dan Kesenian


23 October 2019 - A.S. Laksana 

Philip Pullman, foto BBC.

ANAK-ANAK membutuhkan kesenian dan cerita dan puisi dan musik sebagaimana mereka memerlukan cinta dan makanan dan udara segar dan bermain-main. Jika kita tidak memberi mereka makanan, kerusakannya akan cepat terlihat. Jika kita melarang anak menikmati udara segar dan bermain-main, kerusakannya juga akan terlihat, tetapi tidak seketika. Jika kita tidak memberi mereka cinta, kerusakannya mungkin tidak akan terlihat sampai bertahun-tahun nanti, tetapi kerusakannya permanen.

Tetapi jika Anda tidak memberi mereka kesenian dan cerita dan puisi dan musik, kerusakannya tidak begitu mudah dilihat. Tubuh mereka cukup sehat; mereka dapat berlari dan melompat dan berenang dan makan dengan lahap dan bersuara berisik, seperti lazimnya anak-anak, tetapi ada sesuatu yang hilang.

Memang benar bahwa sejumlah orang tumbuh tanpa mengenal kesenian dalam bentuk apa pun, dan mereka terlihat bahagia. Mereka menjalani kehidupan yang baik dan berharga, dan tak ada buku di rumah mereka, dan mereka tidak begitu peduli pada lukisan, dan mereka tidak tahu pentingnya musik. Tidak ada masalah. Saya tahu orang-orang yang seperti itu. Mereka tetangga-tetangga yang baik dan warga negara yang bermanfaat.

Tetapi beberapa orang lainnya, pada tahap tertentu di masa kecil atau di masa muda mereka, atau bahkan mungkin di usia tua mereka, mengalami sesuatu yang belum pernah mereka bayangkan sebelumnya. Bagi mereka, pengalaman itu sama asingnya dengan sisi gelap bulan. Suatu hari mereka mendengar pembacaan puisi di radio, atau melewati sebuah rumah dengan jendela terbuka dan melihat seseorang bermain piano, atau melihat poster sebuah lukisan di dinding rumah seseorang, dan pengalaman itu memberi pukulan yang mengejutkan namun lembut sehingga mereka merasa pening. Mereka tidak pernah dipersiapkan untuk mengalami hal ini.

Tiba-tiba mereka menyadari ada rasa lapar, meskipun mereka tak memikirkan hal itu semenit sebelumnya; rasa lapar akan sesuatu yang manis dan lezat sehingga hampir menghancurkan hati mereka. Mereka hampir menangis, mereka merasa sedih dan gembira dan sunyi, disambut oleh pengalaman yang benar-benar baru dan aneh ini.

Mereka ingin mendengarkan radio, mereka tercenung lama di luar jendela, dan mata mereka tidak bisa beralih dari poster lukisan. Mereka menginginkan hal ini, mereka membutuhkan semua ini seperti orang lapar membutuhkan makanan. Dan mereka tidak pernah menyadarinya selama ini. Mereka tidak pernah tahu.

Seperti itulah rasanya bagi anak-anak yang membutuhkan musik atau lukisan atau puisi. Jika tidak ada perjumpaan kebetulan seperti di atas, mereka mungkin tidak akan pernah menyadari rasa lapar mereka. Mungkin mereka akan menjalani saja seluruh hidup dalam keadaan lapar budaya tanpa menyadarinya.

Efek kelaparan budaya memang tidak dramatis dan seketika. Ia tidak mudah terlihat.

Dan sejumlah orang tidak pernah mengalami perjumpaan seperti itu; dan mereka beres-beres saja. Jika semua buku dan semua musik dan semua lukisan di dunia ini lenyap dalam semalam, mereka tidak akan merasa lebih buruk. Mereka bahkan tidak akan tahu.

Tetapi rasa lapar itu dirasakan oleh anak-anak, dan seringkali tak terpenuhi karena tidak ada yang menyadarkan mereka. Banyak anak di berbagai belahan dunia mengalami kelaparan akan sesuatu yang memberi kebugaran dan memelihara jiwa mereka, yang tidak tergantikan oleh hal-hal lain.

Kita mengatakan bahwa setiap anak memiliki hak atas makanan dan tempat tinggal, pendidikan, perawatan medis, dan sebagainya. Kita harus memahami juga bahwa setiap anak memiliki hak untuk menikmati kebudayaan. Kita harus sepenuhnya memahami bahwa tanpa cerita, puisi, lukisan, dan musik, anak-anak akan kelaparan.

***

• Ditulis oleh Philip Pullman pada peringatan kesepuluh Astrid Lindgren Memorial Award, 2012. Tulisan aslinya bisa diakses di Blog Astrid Lindgren Memorial Award.

Blog itu sekarang berhenti. Tulisan terakhir adalah pada 15 Januari 2019, berisi pengumuman bahwa mereka tidak akan menulis lagi untuk blog tersebut.


-------


PHILIP PULLMAN adalah salah satu penulis paling terkenal saat ini. Dia terkenal karena novel triloginya His Dark Materials  (terdiri atas The Golden Compass, The Subtle Knife, dan The Amber Spyglass), yang dinobatkan sebagai salah satu dari 100 novel terbaik sepanjang masa oleh  majalah berita mingguan Newsweek  dan salah satu novel terhebat sepanjang masa oleh  Entertainment.

Dia juga telah memenangi banyak penghargaan, termasuk Medali Carnegie untuk The Golden Compass, Penghargaan Whitbread (sekarang Costa) untuk The Amber Spyglass; nominasi Booker Prize untuk The Amber Spyglass; dan Penghargaan Astrid Lindgren Memorial pada 2005.

Tanya jawab menarik tentang buku favorit, musik dan film kesukaan Philip Pullman, dalam acara BBC Five Minutes With.