This is default featured slide 1 title

BEBAL:"FPI"

Kebebalan FPI Banyuwangi yang membubarkan ritual tradisi Sedekah Laut di daerahnya

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Senin, 14 Januari 2019

Ki Dalang Basuki: “Penonton adalah Guru Yang Baik”

  • Catatan Ulang Tahun SRMB Ke-16

WAYANG GOLEK: Dalang Ki Basuki Hendro Prayitno tengah memainkan wayang golek corak "kebumenan" di sela Sarasehan Seni Pedalangan yang digelar dalam rangka Milad 16 Tahun Sekolah Rakyat MeluBae (SRMB, 13/1/2019) [Foto: BY Hand] 

Seni Pedalangan di Kebumen ternyata memiliki genre, gaya atau gagrag tersendiri, yang karakternya agak berbeda dengan seni pedalangan yang berkembang secara umun di Jawa atau bahkan di Indonesia. Secara umum kita mengenal ada seni pedalangan Gagrag Surakarta, Yogyakarta, Tegalan, Banyumasan dan banyak lagi lainnya.

Akan tetapi seni pedalangan Gagrag Kebumen, yang disinyalir sebagai cikal bakalnya seni pedalangan gagrag banyumasan itu, justru kurang dikenal. Barangkali salah satu penyebabnya adalah minimnya penelitian dan tidak adanya forum-forum yang secara intens berusaha membedah adanya seni pedalangan gagrag kebumenan.

Ini dipandang sebagai memprihatinkan. Bagi Sekolah Rakyat MeluBae (SRMB) kondisi seperti ini perlu disikapi oleh berbagai elemen masyarakat Kebumen, dengan melakukan berbagai upaya untuk secara intens berusaha menggali, mendedah dan membedah keberadaan seni tradisi pedalangan gagrag kebumenan.  

Dalam kerangka pemikiran ini, SRMB menggelar Rubungan dengan Dopokan Gayeng Maton dalam ulang tahunnya yang ke 16. Secara khusus, dalam milad dwi-windu SRMB menghadirkan pembicara praktisi pedalangan Ki Basuki Hendro Prayitno dari Amalresmi. Sebagaimana diketahui, dalang Basuki bukan hanya seniman wayang kulit melainkan juga piawai memainkan wayang golek Menak.


Menyegarkan Ingatan

Terhadap sinyalemen seni pedalangan gagrag kebumenan ini, Ketua pelaksana Milad SRMB ke 16, Darmawan Riyadi dalam sambutannya berharap rubungan yang digelar di Balai Kelurahan (13/1) malam itu dapat menyegarkan kembali ingatan masyarakat akan keberadaan seni tradisi pedalangan gagrag kebumenan, baik wayang kulit maupun wayang golek menak.

Pemahaman terhadap ingatan sejarah seni tradisi ini pada gilirannya akan dapat menumbuhkan kebanggaan di kalangan masyarakat terutama pada generasi muda.  

Sejalan dengan itu, Jatmiko Krisnajati mengulas aspek sejarah lokal seni dengan apa yang pada masanya disebut wayang gagrag pesisiran. Pada masa lampau, wayang gagrag pesisiran ini memiliki banyak perbedaan dengan wayang gagrag lainnya. Baik dari aspek garap, tokoh-tokoh wayang, narasi lakon maupun gending-gending pengiringnya.
“Wayang gagrag kebumenan memiliki karakter sendiri”, ungkapnya.   

POTONG TUMPENG: Ultah SRMB Ke-16 ditandai pemotongan salah satu dari 16 tumpeng oleh Daryono Cengkim dan diserahkan kepada dalang Ki Basuki Hendro Prayitno yang pada peringatan malam itu didaulat menjadi pembicara sarasehan [Foto: Arpan]


Penonton Sebagai Guru

Ihwal corak pewayangan yang khas dan berbeda dengan wayang-wayang yang ada ini banyak diungkap oleh Ki Basuki Hendro Prayitno. Dalang senior dari Ambal ini bahkan membawa serta beberapa koleksi tokoh wayang golek miliknya. Tak hanya itu, praktisi pedalangan yang tak henti belajar ini pun memainkan penggalan episode sejarah Kebumenan di masa lampau.

Wayang terutama wayang golek di tangan Ki Basuki lebih bisa berbicara banyak hal sesuai dengan konteks jaman. Dalam kaitan sejarah lokal, ia mengangkat penggalan cerita Bupati Kebumen pada masanya Kolopaking, yang tengah menerima tamu koleganya Bupati Purworejo; Cokronegoro IV. Adegan menariknya, tema yang dibahas dalam pertemuan 2 tokoh sejarah “menak” malam itu adalah seputar sikap para punggawa terhadap pemerintah kolonial Hindia Belanda pada masanya.
“Narasi ini kan berisi sejarah perjuangan, bernilai kepahlawanan”, ungkap Ki Basuki di depan peserta sarasehan.
“Penonton sekarang itu lebih pinter dari dalang. Bedanya hanya penonton tak bisa mendalang. “Penonton itu guru yang baik”, sambungnya.
Filosofi ini mengandung tuntutan dan konsekuensi pada para praktisi pedalangan untuk bukan saja memahami keahlian mendalangnya, melainkan juga belajar menguasasi pengetahuan tentang ilmu-ilmu lainnya; seperti ilmu sosial, sejarah, pendidikan dan lainnya.  

Artinya, jika seni pedalangan ingin berkembang, maka mau tak mau ia mesti menyesuaikan dengan konteks zaman. Karena, menurut seniman yang kini berusia 75 tahun ini; jika tidak memiliki korelasi dengan perkembangan jaman, maka ia –seni pedalangan itu- tak mustahil bakal ditinggalkan penontonnya.



Proyeksi Ke Depan

Jagad pewayangan, khususnya wayang golek “menak” merupakan bentuk kesenian wayang golek yang sangat khas. Kekhasan ini tidak ditemukan di daerah lain. Ki Basuki merefleksikan semasa mendiang mertua beliau Ki Sindhu Jotaryono, ihwal wayang golek menak gagrag pesisiran ini sudah pernah dikaji oleh peneliti.

Hasil penelitian akademik ini kemudian didokumentasikan menjadi tulisan ilmiah yang bahkan menjadi materi pengajaran di ISI (Institut Seni Indonesia) Surakarta dan ISI Yogyakarta yang semula dikenal sebagai ASRI Yogya. Bahkan tulisan tersebut telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Sayangnya, hasil penelitian sejarah seni ini tak juga dipublikasikan misalnya dalam bentuk buku cetak yang bisa jadi referensi bagi masyarakat secara luas.

REFLEKSI: Perjalanan 16 tahun SRMB diulas dalam refleksi singkat yang disampaikan Aris Panji Ws. Refleksi menyiratkan suatu tantangan "PR" ke depan bagi komunitas ini dalam memelihara keberadaan dan sumbangsihnya bagi upaya pengembangan berkesenian [Foto: BY Hand]

Barangkali ini lah tantangan bagi pengembangan seni tradisi di masa mendatang. Sebagaimana harapan Ki Basuki Hendro Prayitno yang pada malam sarasehan itu sempat berimprovisasi memainkan wayang golek menak dengan corak atau gagrag pesisiran.

Menurutnya, menjadi dalang harus memiliki keberanian untuk melakukan inovasi, selain kesediaan untuk menghargai masyarakat penontonnya. Pengembangan seni tradisi, dalam konteks yang lebih luas, bukan melulu kewajiban pemerintah; meski memang masih relatif kecil perhatiannya. Ia mencontohkan profil tokoh wayang golek Marmoyo atau Umar Maya maupun Menak Jayengrono.

Dalam pakem pedhalangan wayang golek yang bersumber pada babon seperti Serat Menak misalnya pun tak ada disebut kedua tokoh wayang ini. Artinya, ini murni hasil inovasi atau pembaharuan yang dikorelasikan pada konteks jaman dan kebudayaan dimana seni tradisi itu tumbuh.
“Mengadakan sesuatu yang baru (pembaharuan_Red) berdasarkan bahan yang sudah ada”, demikian pesan Ki Basuki menutup sarasehan dalam rangka Milad Dwi-Windu SRMB.  
_____

Penulis: Pekik Sat Siswonirmolo
Editor: Aris Panji Ws

Kamis, 03 Januari 2019

Dalam Tualang dan Puisi

Hawe Setiawan

ROMANSA Perjalanan karya Kirjomulyo.*/DOK. PR

MENDIANG Kirjomulyo mewariskan Romansa Perjalanan (1955). Kumpulan puisi ini menghimpun 73 judul puisi, yang terbagi ke dalam tiga bagian. Bagian “Romansa Perjalanan” I dan II berlatar Pulau Jawa sedangkan bagian ketiga berlatar Pulau Bali.

Kata “romansa” mengingatkan kita kepada judul kumpulan puisi lainnya, Romansa Kaum Gitana (1973) karya penyair Federico Garcia Lorca dari Spanyol.

Itulah terjemahan mendiang Ramadhan KH dari Romancero Gitano. Semula, ketika buku puisi Kirjomulyo pertama kali muncul, kata itu ditulis dengan ejaan “romance” seperti yang kita kenal dalam bahasa Inggris.

Romance, romancero, romansa—saya tidak tahu artinya yang tepat. Namun, jika kita berkaca kepada karya Kirjomulyo, kata itu kiranya mengacu kepada curahan perasaan, yang penuh cinta dan ketakjuban, dalam latar tertentu.
Dalam buku ini sang aku lirik mendendangkan perasaan dan pikirannya seraya menempuh perjalanan.

Terbayang sosok penyair kelana yang mengunjungi kota dan desa, gunung dan pantai, pulau dan laut. Ia bergerak dari barat ke timur, dari Tatar Sunda dan Jakarta ke Yogyakarta, Malang, Surabaya, terus melintasi selat Bali. Puisinya seperti jadi jejak perjalanannya.

Sebuah petikan puisi, yang bertajuk “Ulang Tahun”, disertakan di luar daftar isi. Dengan itu timbul kesan bahwa bagi penyairnya sendiri, barangkali, buku ini merupakan sebentuk retrospeksi.

Sajak-sajak berlatar Jawa umumnya panjang, sarat renungan sedangkan sajak-sajak berlatar Bali jauh lebih singkat.

Sajak pertama, “Romansa Kecapi Sunda” terdiri atas 24 bait sedangkan sajak terakhir, “Akhir Bulan Delapan”, terdiri atas enam bait.
Jika dibaca dari kiri ke kanan, dari Sunda Besar ke Sunda Kecil, menuruti susunan isi buku, tampak pula semacam perjalanan yang penuh melodi menuju kepadatan lirik.

Samar-samar terdengar gema suara para penyair terdahulu. Dalam “Anak Sapi dan Pura” misalnya, terdengargema Amir Hamzah: “Rindu sebenar rindu/dendam sebenar dendam”. Begitu pula dalam “Kapal-kapal di Pelabuhan”, kita mendengar gema Chairil Anwar:  “sejauh derai angin, derai cemara”.

Kirjomulyo segenerasi dengan Rendra. Dalam sajak Rendra, “Lelaki Sendirian”, yang dimuat dalam antologi Empat Kumpulan Sajak (1961), kita ikut membayangkan Kirjomulyo duduk seraya “memandang ke luar jendela”. Sosok “lelaki” dalam sajak itu dilukiskan “bagai kerbau kelabu” yang diam “tapi di hatinya ada hutan/dilanda topan”.

Dalam Romansa Perjalanan pun kita mendapat gambaran tentang seorang lelaki soliter yang membawa kerusuhan hatinya sendiri dari satu ke lain tempat.

Apa gerangan yang mendorongnya? Dalam puisi “Surabaya” kita menangkap isyaratnya:

Aku pergi terdesak kesunyian
ingin mengujudkan cinta
dalam tualang dan puisi
dalam pelukan dan pergulatan

Dalam puisi “Surabaya”, sebagaimana dalam puisi “Malam di Kereta Api”, sang petualang sunyi, yang menumpang kereta malam, “melihat muka sendiri” pada kaca jendela.

Ia bergerak sendirian ketika “langit serasa akan menutup” dan alam di luar jendela menghilang dalam kegelapan.

Di satu pihak, hasrat bertualang, sebagaimana yang isyaratnya tertangkap dari puisi “Kota Kelahiran”, rupanya jadi perlawanan tersendiri terhadap “kedamaian tua”.

Sang petualang melihat “kemiskinan melekat di dinding-dinding” dan “kegelisahan mengarat di rumah-rumah tua”. Ia merasa asing dan sunyi di kotanya sendiri. Ia tak mau membenamkan diri di “rumah hantu”.

Di lain pihak, gugatan dalam diri tidak sampai memupus cinta kepada “tanah air”. Dalam puisi “Tumpah Darah”, yang didedikasikan kepada penyair Sitor Situmorang, kegelisahan rupanya tidak sampai membersitkan niat buat “lari” ataupun “lupa”.

Ia sudah “terlanjur” cinta, bahkan di antara sesama penyair rupanya disampaikan “salam sekandung”.

Cinta kepada “tumpah darah” kiranya lazim pada penyair dasawarsa 1950-an sebagaimana kesanggupan mengarahkan diri kepada alam. Dalam puisi Kirjomulyo, alam itu bisa berupa pegunungan, muara sungai, laut, jalan, danau, bulan, pura, dan sebagainya. Dikatakan bahwa “jalanan waktu serupa jalanan alam”. Bahkan ia mendapatkan “rumah alam”.

Alam pun jadi cermin buat diri.Sang penyair “menemui diri ... dalam tualang alam”. Simak, misalnya, puisi “Danau Pagi” berikut ini:

Kulempar batu ke tengah danau
pecah di air sebuah lingkaran
pudar di tepi, pudar di cahaya
tak beda antara diri
ada saat
terlempar hati
Pecah satu getar lingkar
hanya pudar di saat lupa
lahir di saat duka

Demikianlah sang penyair datang, mengucap salam, melihat alam, dan merenungi diri. Ia bergelut dengan waktu dan peristiwa, juga dengan dirinya sendiri.Dan perjalanannya, barangkali seperti yang dikatakannya sendiri, pada dasarnya merupakan perjalanan untuk “mencapai kematangan puisi”.

***