This is default featured slide 1 title

BEBAL:"FPI"

Kebebalan FPI Banyuwangi yang membubarkan ritual tradisi Sedekah Laut di daerahnya

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Kamis, 25 Juli 2019

SRMB Terbitkan Buku Antologi Puisi “Kuputarung-2”


Sukses menggelar “Repertoar Dangsak” pada Sabtu (20/7) kini Sekolah Rakyat MeluBae (SRMB) menggeber prepair perhelatan berikutnya, yakni launching buku antologi puisi “Kuputarung-2”. Buku yang memuat kumpulan 77 puisi karya 13 penyair Kebumen ini tengah diregistrasi dan menunggu proses validasi guna mendapatkan International Standard Book Number (ISBN) serta Katalog Dalam Terbitan (KDT) pada perpustakaan nasional lengkap dengan kodefikasi barcode.

Cover Buku "Kuputarung-2", Masindro

Keseluruhan proses penerbitannya ditangani SRMB yang resminya telah memiliki divisi penerbitan buku.
“Buku ini adalah penerbitan ketiga dari SRMB”, tutur salah satu pamong komunitas ini.
Buku antologi puisi pertama yang diterbitkan SRMB adalah “Kuputarung-1” antologi bersama (2009), kemudian “Bulan Menggantung”, Pitra Suwita (2014) dan “Kuputarung-2” antologi bersama (2019).

Ke 13 penyair yang karyanya masuk dalam antologi ini diantaranya: Daryono Cengkim, Dodottiro, Dwi Agus Setiawan, Eko Sajarwo, Fajar Muzaki, Masindro, Nasikhatun Sulfiyani, Teguh Hindarto, Pekik Sat Siswonirmolo, Kata Hankena, Pitra Suwita, Naomi dan Bambang Indrajeet.


Tradisi perbukuan

Penerbitan buku, terutama buku puisi dan karya sastra lainnya, diupayakan menjadi agenda rutin dan dilakukan secara berkelanjutan. Upaya ini dinilai paralel dengan tradisi komunitas pembelajar yang berdiri pada Januari 2003, dimana mayoritas pegiatnya memiliki latar belakang aktivitas seni sastra, selain musik dan teater.

Selain itu, ada keinginan untuk melakukan upaya-upaya pemajuan kegiatan seni pada kalangan yang lebih luas, termasuk di kalangan muda terdidik di sekolah; pelajar, mahasiswa serta kalangan umum.

Terbitan ketiga, antologi puisi “Kuputarung-2” sendiri menjadi bagian lanjut penerbitan buku, yang akan launching pada Sabtu, 3 Agustus 2019 mendatang.

Penyeliaan materi puisi dilakukan melalui Komunitas Penyair Kebumen (KPK) yang diproyeksikan menjadi “bank naskah” dan akan bekerja menghimpun karya-karya penulisan di Kebumen.

Untuk waktu yang akan datang, akumulasi karya sastra dimungkinkan dengan pendekatan tematik, atau dihimpun melalui lomba penulisan sastra selain lomba baca puisi yang memang sudah dilakukan berkali-kali. [ap]

Senin, 22 Juli 2019

Kebudayaan Keturunan Wangsa Bonokeling yang Masih Kental

22 Juli 2019 16.23 WIB - Kevin Naufal

Keturunan Wangsa Bonokeling © commons

Suatu wangsa penganut kepercayaan Jawa kuno yang sangat menjunjung tinggi terhadap leluhurnya, sering menggelar ritual unggahan atau berziarah ke pusara makam keramat leluhurnya.

Wangsa itu sendiri berarti kelanjutan atau keturunan dari suatu kekuasaan pemerintahan yang dipegang oleh satu garis keturunan kerajaan itu sendiri. Bonokeling, yang diambil dari nama seorang Kyai yang konon mempunyai penghormatan tertinggi yang dianggap leluhur pada masanya di sebuah Desa di Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah.

Konon, Kyai Bonokeling yang dipercaya berasal dari daerah Pasirluhur, mempunyai pengaruh yang kuat terhadap warga sekitar. Karena hal tersebut, nama Bonokeling menjadi identitas warga sekitar.

Hal ini juga ditegaskan ketua pengikut Bonokeling, yakni barang siapa yang ingin mengetahui sosok Kyai Bonokeling secara jelas, maka dia harus mutlak menjadi pengikut setiannya.

Wangsa ini mempunnyai tradisi yang hampir serupa dengan tradisi nyadran atau unggahan unggahan yang sama-sama berkunjung ke makam leluhur yang biasa dilakukan umat muslim setempat saat menjelang bulan Ramadan tiba.

Perbedaan mencolok pada tradisi nyadran dan unggahan yakni prosesi ritus adat dari unggahan yang masih menjunjung tinggi kebudaayan lokal yang menjadikan masyarakat Bonokeling tetap melestarikan turun menurun ini.

Tradisi ini biasa di gelar di Desa Cagar Budaya Pekuncen, Kabupaten Banyumas yang ditemput sekitar 1 jam perjalanan dari pusat kota Purwokerto, Jawa Tegah.

Sumber: Mongabay

Hal mencolok yang terlihat dari budaya adiluhung Bonokeling ini masih terwujudnya tanah agraris dan wujud kebudayaan Jawa kuno.

Ritual unggahan ini masih dilaksanakan rutin oleh anak cucu dari Kyai Bonokeling setiap tahun di hari Jumat yang bertepatan sebelum bulan Ramadan tiba. Ritual ini melibatkan hingga seribu penganut kepercayaan Bonokeling dari berbagai desa di Kabupaten Cilacap dan Kabupaten Banyumas.

Dimulai dari Desa Adiraja, sebuah desa kecil yang terletak di Kabupaten Cilacap yang masyarakatnya masih banyak menganut ajaran wangsa Bonokeling. Ritual ini biasanya dilakukan pada pagi hari saat matahari baru muncul, dengan memulai dengan melakukan caos bekti atau yang berarti salam penghormatan pada para tokoh pemangku yang paling dihormati dalam rumah adat pasemuan.

Pada prosesi caos bekti, para penganut Bonokeling dari yang muda hingga yang tua, semua akan berjalan kaki puluhan kilometer menuju Desa Pekuncen yang ada di wilayah Kabupaten Banyumas.

Berjalan kaki menyimbolkan napak tilas dari perjalanan leluhur dari wangsa ini, yakni Kyai Bonokeling saat menyebarkann ajarannya.
Sembari berjalan, beberapa warga akan terlihat memanggul wadah yang berisi sesaji dan uba rampe yang berisi hasil panen dari ladang dan ternak mereka sebagai persembahan dan rasa syukur.

Selama prosesi tersebut, para kelompok itu akan dipimpin oleh ketua adat selama beberapa hari ke depan. Makam keramat Kyai Bonokeling, mendadak ramai dan diserbu oleh ribuan wangsanya. Semua desa akan ramai dan meriah sebuah hajatan agung tapi tetap sakral.

Saat pertengahan malam hingga pagi tiba, suasana desa akan dipenuhi nyanyian tembang-tembang Jawa, yang berisi pujian-pujian atau perkataan baik yang dipanjatkan kepada Kyai Bonokeling.

Sumber: The Jakarta Post

Menjelang siang, para pria dari wangsa ini akan berbondong-bondong menyembelih hewan ternak hasil mereka sebagai wujud persembahan yang dibawa dari Desa Adiraja, Kabupaten Cilacap. Hasil bumi itu akan dipersembahkan kepada sesama penganut Bonokeling dan memasaknya bersama-sama secara masal untuk dimakan bersama di sekitar area makam Kyai Bonokeling.

Ratusan perempuan dengan berbalut kemban putih akan memasuki makam Kyai Bonokeling satu per satu dengan khitmad. Para perempuan akan membasuh anggota badannya satu per satu, mulai dari kaki, tangan, wajah sambil mengucap doa atau mantra yang dipercaya akan membawa keberkahan.

Kemudian mereka akan duduk sambil mengatupkan kedua telapak tangan yang diangkat tinggi oleh mereka. Hal itu bertujuan menghaturkan kehormatan di depan makan keramat.

Sumber: media cagak budaya

Dalam kepercayaan Bonokeling, perempuan mempunyai kedudukan yang lebih dihormati daripada pria, sedangkan saat sore hari, kaum pria akan menyusul sambil membawa hasil masakan mereka kedalam pusara makam.

Minggu, 21 Juli 2019

Catatan Penyerta Repertoar Dangsak [2]


Tradisi Tutur dan Gugon-tuhon

REPERTOAR DANGSAK: Repertoar Dangsak yang disajikan Sekolah Rakyat MeluBae (SRMB) di Pendopo Bupati Kebumen (20/7/2019) melibatkan tak kurang dari 70-an talent, penabuh dan crew; juga melibatkan kelompok seni tradisi dari desa Watulawang dan kelompok penari Victory Dance Crew dalam suatu kolaborasi panggung. [Photo Credit: Sigit Asmodiwongso)

Kisah Cepet Alas era fasisme Jepang yang diacu satu-dua seniman tradisi memang menempatkan “cepet” pada konotasi negatif, dalam arti bahwa ia tak lebih golongan mahluk pengganggu manusia yang acap menyesatkan anak-anak. Mitos tentang cepet yang diasumsikan demikian ini muncul melalui dongeng ninabobo dengan segala stigma negatif yang melekat dan terpiara distorsinya.

Tanpa maksud memuja -ataupun sebaliknya- narasumber pelaku tradisi, lantas mengabaikan referensi lainnya, penelusuran lebih mengarah pada abu sejarah yang lebih tua, tak berhenti pada kisah pageblug, paceklik panjang dan kemiskinan parah era fasisme Jepun; sebagaimana dituturkan mBah Lamidjan tentang solusi ekstensifikasi lahan dengan cara “bubah kawah” hutan untuk lahan dan hunian baru.

Kisah ini lalu diacu sebagai babad kemunculan Cepet Alas. Implikasi penuturan mana seakan telah menyudutkan Cepet Alas semata sebagai kebenaran semu; kesahihan gugon-tuhon tentang mahluk halus pengganggu yang menentang bubah-kawah itu.

Atau yang dalam versi lanjutannya, Cepetan dikonotasikan sebagai ekspresi resistensi penganut kepercayaan adat pada masuknya -ajaran- agama baru. Agama baru dimaksud dalam konteks ini adalah islam Persiy sebagaimana dikisahkan pada hikayat Syech Subachir sebagai duta pembawa ajaran kasultanan Roem. (Asma, 2004).

Jika kisah Cepetan Alas Martaredja, manten lurah Karangtengah, yang juga pelopor tradisi Cepetan Alas ini memiliki tuturan yang berbeda. Maka itu makin membuat beragam warna tradisionalnya.

Repetoar Dangsak

Photo-Credit: Imam Muthoha

Repertoar Dangsak ini tak bicara dan tak pula menggiring audiens pada wilayah penghakiman benar-salah; baik ada maupun tanpa referensinya. Referensi yang paling dapat ditemukan pun, barangkali hanya mampu menjelaskan kejumbuhan situasi umum masa seputar kolonial hingga fasisme era pendudukan Dai-Nipon itu. Tentang pageblug, soal paceklik; yang tanpa membaca teks buku pun banyak orang merasakan, mengalami dan melakoninya.

Dalam konteks tradisi Cepetan Alas Martaredja, Roeslan dan Asma; adalah pengecualian. Selain sebagai pewaris dan pelaku tradisi, ketiganya memeras dan meremas kearifan yang diwarisi lengkap dengan tuturan sejarahnya.
“Upami wonten pemanggih benten, lha nggih nyumanggaaken”, jelas mBah Roeslan dari Kajoran 2004.
 “Niki omongan kula kenging direkam, ditulis..”, tandas mBah Asma dari Kalipancur, desa hulu lainnya.

Keduanya memang berbeda, namun ada perekat pengalaman empiris yang menyatukannya; yakni bahwa tradisi Cepetan Alas telah ada sejak era kolonialisme Hindia-Belanda. Tengara yang ditangkap kedua tetua adat ini dan diamini Martaredja perintis Cepetan dari tradisi menjadi pertunjukan seni; mengarah pada masa culture-stelsel pasca Perang Jawa (1825-1830).

Repertoar Dangsak membidik ini sebagai bentangan sejarah tradisi tanpa bermaksud mengabaikan sejarah tutur lain yang jadi temuan sebelumnya. Itu sebabnya adegan membakar kemenyan lengkap dengan japa-mantra menjadi bagian utuh narasi panggung di permulaan pentas. Sementara ritual nyekar, jabelan dan kirab ‘wulu-wetu’ menyusul di pengadegan lainnya.

Dua aspek, sejarah yang ada dan tradisi yang membentuk serta melihara, menjadi aras repertoar yang dipersepsikan untuk kemudian dibawah tata penyutradaraan para talent re-interpretasi serta memvisualisasikannya.

Kesedaran Semesta

Proses serupa ini terasa benar pendalaman dan kebersamaannya. Dan mendapatkan respons penonton sekaligus pelaku pertunjukan sastra yang banyak melanglangi simpul-simpul komunitas seni.
 “Anak-anak panggung dan semua yang terlibat di repertoar ini, menurut pandangan saya, telah lulus menjadi murid alam langsung dan menjadi bagian seutuhnya dari semesta”, komentar Bambang Eka Prasetya.
Sepintas, komentar ini lebih terkesan berlebihan. Tetapi pembelajar di studi budaya "Nittramaya" dari lembah Tidar ini tak meralat ucapannya sejak awal ia menyampaikan review pendek atas repertoar yang digelar.

Kesedaran semesta, barangkali, bisa ditafsiri sebagai capaian laku batin -dan fisik- dari orang yang melakoni sebuah atau beberapa peran. Para pelaku tradisi, meski mungkin tak pintar berbicara secara teori; adalah laut yang tak butuh garam buat rasa asin pada airnya.

Itu sebabnya, Dawintana dan Ali Pawira tak jua mau bicara di panggung repertoar dangsaknya; panggung yang barusan dipenuhi kiprah anak-anak asuhnya.. [ap]

ORKESTRA: Dalam pertunjukannya "Repertoar Dangsak" berkolaborasi dengan anak-anak yang memainkan biola dan tergabung dalam Kebumen Violin Orchestra [Photo-Credit: Sigit Asmodiwongso)

Catatan Penyerta Repertoar Dangsak [1]


DANGSAK: Repertoar Dangsak yang digelar SRMB mengangkat aspek lain berupa ritual tradisi yang menyertainya. Dangsak atau Cepetan Alas dan disebut juga dengan "Tongbreng" dipercaya bukan sekedar sebuah tarian, tapi memiliki kaitan tradisi yang memelihara keberadaannya [Foto: Imam Muthoha] 

Setelah dihadang masalah opsi panggung pementasan yang semula akan menggunakan panggung terbuka Diskominfo di kompleks Ratih TV; akhirnya pada Sabtu (20/7) helatan “Repertoar Dangsak” digelar di Pendopo Bupati Kebumen. Penyelenggara pementasan ini, Sekolah Rakyat MeluBae (SRMB) memadukan seni topeng tradisi ini dengan musik puisi dan orkestra biola.  

Tak kurang dari 70 an partisipan terdiri dari talent dan crew terlibat aktif memanggungkan repertoar dangsak, menebalkan apa yang pernah dilakukan Dewan Kesenian Daerah (DKD) Kebumen beberapa tahun silam yang mengkolaborasikan “Ketoprak Dangsak”, sebuah dekomposisi seni tradisi ini dengan ketoprak sebagai seni tradisi lainnya.   

Keduanya memperoleh sambutan hangat audiens sebagai sebuah karya panggung yang membukakan kisi-kisi pembaharu. Lepas dari bagaimana proses menarasikan masih menyisakan celah-celah yang luput dari ekplorasi garapan; namun sajian repertoar dangsak telah bisa diterima kehadirannya.

Narasi

Kredit Foto: BY Handoko

Pentas “Repertoar Dangsak” ini minus narasi. Dalam perbincangan yang digelar pasca pementasan, ihwal ini mengemuka, setidaknya melalui 2 penanggap yang mengkritiknya; yakni Sigit Asmodiwongso (Gombong) dan Tofik Suseno (Cilacap). 
“Tak ada teks yang mengantar pemahaman awal buat audiens”, kritik Sigit. Prolog yang dapat menjembatani penonton “meniti jalan” cerita memang tak ada. Pernyataan senada ditajamkan oleh Tofik Suseno.
“Saya bahkan tak melihat dimana konflik jadi bagian konstruksi repertoar”, ungkap pamong musik Tabuh Singmoni; sebuah kelompok musik kontempo yang mewadahi anak-anak jalanan, punk dan pemuda masjid.
Narasi memang masih menjadi prasyarat awal konsepsi pementasan. Sayangnya, kegilaan kolektif di SRMB tengah berkecamuk pasca tundanya Monolog Kampungasu yang sejak lama terencana. Ihwal ini diakui penulis abstraksi repertoar dangsak yang lebih mengimani kemerdekaan proses re-interpretasi para talent ketimbang belenggu “naskah” layaknya drama.

Repertoar Dangsak juga bukan pentas tari Cepetan Alas yang di kawasan tumbuhnya ada disebut dengan Tongbreng. Repertoar ini memuat aspek-aspek religiusitas yang mistis, mulai dari ritual tradisi, pundhen; hingga aspek sejarah awal kemunculannya. Dalam konteks ini, penulisan tak bisa percaya pada tuturan pihak yang paling merasa dirinya benar.

Tak ada jejak literasi dalam bentuk teksbook yang bisa didapat langsung dari sumbernya, namun penuturan para tetua adat tentu tak elok buat diabaikan begitu saja; karena tradisi tutur turun-temurun itu lah manifest literasinya. Itu sebabnya repertoar menyertakan pewaris kearifan dan perekat tradisi seperti Dawintana beserta Ali Pawira dari Watulawang. Tentu saja, masih ada beberapa local-genius pelaku tradisi lainnya.

Jauh sebelum era keduanya, Kalipancur-Karanggayam, Karangtengah, Kajoran, Silampeng, Gunungsari, Karangjoho-Karangmaja, Kalireja, Peniron dan belasan desa-desa bertahan merawat tradisi Cepetan Alas ini menjadi bagian kehidupan budaya agraris kita.   

Resistensi

 Kredit Foto: Sigit Asmodiwongso
“Uwis Kaang.. Mandheg gole seneng-seneng. Kahanan lagi kontrang-kantringan malah dhewek kaya ora eling..”, seru talent pasutri terengah meluncur ke area panggung. Talent pasutri malam itu diperankan Wiwid Bigmom dan Pekik Sat; yang berimprovisasi menarasikan situasinya.  
Pengadegan kedua repertoar ini menjadi bagian yang membuka lembar sejarah kemunculannya menurut temuan penelitian tradisi. Penutur bernama mBah Ruslan dari Kajoran dan mBah Asma dari tlatah Kalipancur menukil kisah Cepetan Alas yang diperoleh dari waris leluhur cepetnya di Kalipancur dan Karangtengah.

Dari versi ini didapat periwayatan dalam konteks masa yang menyejarah, yang bisa saja menjadi berbeda di daerah atau pedukuhan lainnya. Pegiat SRMB yang juga aktif jadi relawan dewan kesenian daerah merangkai simpul bahwa pada masa awal kemunculannya, Cepetan Alas adalah manifestasi dari perlawanan kultural masyarakat terhadap ekspansi perkebunan onderneming kala itu; yang merangsek hingga pedesaan hulu. (Roeslan, 2004)

Rupanya, Repertoar Dangsak ingin bertutur soal resistensi kultural pada pengadegan ini. Tetapi celah masanya kelewat lebar. Sang narsum bahkan menyeretnya hingga jauh ke mitologi awang-uwung Jawa. (Asma, 2004).

Sampai pada batas ini tak ada lagi referensi selain Babad Tanah Jawi dan dongeng tutur kasultanan Roem. Sedangkan dari angkatan pewaris tradisi hanya mampu membaca jejak hingga masa pendudukan Jepang yang menyebabkan bencana kelaparan karena kelangkaan pangan lokal..  [ap]

Bersambung  

Sabtu, 20 Juli 2019

Repertoar Dangsak SRMB Diminta Pentas di Kampung Jawa Kebumen


Saturday, July 20, 2019

Pergelaran kolosal yang melibatkan puluhan seniman itu merupakan kolaborasi antara seni tradisional cepetan, musikalisasi puisi dan kelompok musik Kebumen Violine Orchestra  (KVO). Mulai dari musisi, penyair dan para penari cepetan dari Desa Watulawang Kecamatan Pejgoan.

Penari cepetan

KEBUMEN - Pementasan kolaborasi yang diselenggarakan oleh Sekolah Rakyat Melu Bae (SRMB) Kebumen di Pendopo Rumdin Bupati Kebumen, Jumat malam, 20 Juli 2019 berlangsung meriah. Acara bertajuk “Repertoar Dangsak” ini memukau ratusan penonton yang memadati tempat tersebut.

Selain dihadiri oleh para seniman dan budayawan, pergelaran itu juga disaksikan oleh sejumlah pejabat di lingkungan Pemkab Kebumen. Yakni Asisten I Sekda Hery Setyanto, Kepala Dinas Pendidikan Moh Amirudin, Kepala Dispermades P3A Frans Haidar hingga Kepala Kesbangpol Kebumen Nurtaqwa Setyabudi.

Pergelaran kolosal yang melibatkan puluhan seniman itu merupakan kolaborasi antara seni tradisional cepetan, musikalisasi puisi dan kelompok musik Kebumen Violine Orchestra  (KVO). Mulai dari musisi, penyair dan para penari cepetan dari Desa Watulawang Kecamatan Pejgoan.

"Pentas berdurasi sekitar dua jam itu melibatkan puluhan seniman," ujar salah satu Pamong SRMB Kebumen Bambang Indrajeet.

Bambang menjelaskan pementasan Repertoar Dangsak ini bermula dari diskusi ringan. Bahwa selama 16 tahun bergerak di bidang seni dan budaya, muncul gagasan bagaimana mengemas kesenian tradisional agar disukai oleh generasi milenial.

"Munculah ide dengan melakukan kolaborasi antara kesenian tradisional cepetan dengan musikalisasi puisi dan violine orchestra," kata dia.

Meski dikemas dengan lebih modern, tetapi kesenian tradisional khas Kebumen itu tidak hilang keasliannya. Kearifan lokal yang ada dalam kesenian tersebut masih tetap terjaga.

Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Kebumen, Moh Amirudin, menyampaikan apresiasinya atas pementasan tersebut. Menurutnya, pementasan tersebut harus diberi tempat di Kabupaten Kebumen.

 "Harapan kami ini dapat dipentaskan di Kampung Jawa, yang selama ini setiap 35 hari ada wayangan, ini kita harap bisa tampil disana (Kampung Jawa)," kata Amirudin. (*)

Sumber: Ini Kebumen