This is default featured slide 1 title

BEBAL:"FPI"

Kebebalan FPI Banyuwangi yang membubarkan ritual tradisi Sedekah Laut di daerahnya

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Sabtu, 19 Mei 2018

Kemendikbud Segera Revitalisasi Rumah Pramoedya Ananta Toer

May 19, 2018 | 12:23 PM


Kunjungan tim dari Ditjen Kebudayaan Kemendikbud di rumah Pramoedya Ananta Toer guna melakukan survey dan merencanakan revitalisasi, Kamis lalu (17/5/2018). (foto: dok-ib)
Cita-cita Pemkab Blora untuk menjadikan rumah masa kecil sastrawan dunia Pramoedya Ananta Toer (Pram) sebagai daya tarik wisata sastra mendapatkan dukungan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).

Setelah bulan lalu Dinas Kepemudaan Olahraga Kebudayaan dan Pariwisata (Dinporabudpar) melakukan kerja bakti penataan lingkungan dan mengadakan sarasehan Blora Menuju Kota Sastra di halaman rumah Pram. Kini giliran Direktorat Kebudayaan Kemendikbud, yang mendatangi rumah sederhana di Jl.Sumbawa nomor 40 Kelurahan Jetis, Kecamatan Blora itu.

Tepatnya Kamis lalu (17/5/2018), tim dari Ditjen Kebudayaan Kemendikbud melakukan kunjungan ke rumah Pram didampingi Kepala Dinporabudpar Blora, Drs. Kunto Aji dan Kepala Bidang Kebudayaan Wahyu Tri Mulyani, AP untuk berdialog, survey dan merencanakan revitalisasi rumah masa kecil Pram.
“Kemarin yang datang Direktur Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman dari Ditjen Kebudayaan, Kemendikbud, Pak Dr. Harry Widianto dan beberapa tim pendamping. Beliau dan rombongan merencanakan perbaikan atau revitalisasi rumah Pram agar bisa dijadikan daya tarik wisata sastra,” ucap Drs. Kunto Aji, kemarin.
Dalam survey yang dilaksanakan selama tiga hari sejak Kamis (17/5/2018) itu, menurut Kunto Aji, sudah dilakukan pengukuran di beberapa titik kawasan rumah masa kecil Pram.
“Hanya saja, bagaimana bentuk perencanaannya, kami belum tahu. Sebab itu dilakukan oleh tim pusat. Yang jelas revitalisasi rumah masa kecil Pram dimulai bulan Agustus 2018,” ujarnya.
Atas nama Pemerintah Kabupaten Blora, pihaknya mengucapkan terimakasih kepada tim dari Ditjen Kebudayaan Kemendikbud yang telah memberi perhatian dan menindaklanjuti revitalisasi rumah masa kecil Pram yang kini ditempati adik kandungnya, Soesilo Toer.
“Tentu saja kami mengucapkan terimakasih. Harapannya, setelah direvitalisasi, akan menjadi daya tarik bagi warga masyarakat Kabupaten Blora, Indonasia bahkan manca negara yang ingin mengetahui serta ingin nostalagia dengan karya sastra dan rumah masa kecil Pram,” tandasnya.
Masih menurut Kepala Dinporabudpar Blora Kunto Aji, direncanakan pula mengembangkan perpustakaan dan informasi tentang karya dan biografi Pramoedya.

Kepala Bidang Kebudayaan Dinporabudpar Wahyu Tri Mulyani, AP menambahkan kedatangan Direktur Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman ke rumah masa kecil Pram juga didampingi Kepala BPCB Jawa Tengah, perwakilan lembaga terkait dari Provinsi Jawa Tengah, staf khusus dari Ditjen Kebudayaan Kemendikbud, tim dari Dinas Perpustakaan dan Kearsipan (DPK) Blora, dan tokoh budaya Blora.

“Sempat diusulkan pembangunan joglo untuk kegiatan temu sastra dan olah karya sastra. Sebab anak-anak di Blora sudah ada yang punya bakat menjadi sastrawan, ” ujarnya.
Rumah masa kecil Pram, kata dia, belum ditetapkan menjadi cagar budaya dan sedang dilakukan pendataan hingga pengkajian. Meski demikian, dalam revitalisasi nanti diusulkan agar bagian dan bentuk asli tidak dipugar. 

Sumber: InfoBlora 

Sabtu, 12 Mei 2018

Meneropong “Sang Bintang” dari Dataran Tiga Pengadegan [2]


SANG BINTANG: Kesima “sang bintang” Dewi Aminah yang jadi magnet penonton pementasannya [Foto: Ridho Kedung]

Entah apa yang diraih penonton seusai menyimak pertunjukan teater monolog ini. Keterhenyakannya sepanjang 31’06” durasi pementasan malam itu tak menggeser fokusnya. Nyata bahwa kesima “Sang Bintang” sukses menyita perhatian ke dalam lansekap panggung yang ditata dengan kesan semi dekoratif biasa. Namun siraman lighting mendukungnya menjadi komposisi yang cukup sarat dengan pesan situasi, meski tak semua properti menjadi bagian kekuatan dalam membangun dan menyatukan narasinya.  

Sementara Dewi Aminah mampu melampaui narasi verbal “Sang Bintang” dan mereaktualisasi ekspresi naratifnya, dari sisi panggung mengalirkan suara musik yang menutupi celah-celah agar ekspektasi pentasnya bisa terjaga. Talenta Dewi Aminah memang berhasil mengatasi kendala narasi tekstual yang panjang dan mengular. Namun pada saat yang sama dan di fase berikutnya; ia tak cukup padat membangun diksi-diksi di sepanjang durasi lakon monolognya. Sesuatu yang akan membedakan sebuah teater monolog dan menjauhkannya dari jebakan story-telling biasa.

AKTING: Sedikit properti yang bisa dimanfaatkan talent guna lebih menghidupkan panggungnya, menjadi catatan dalam proses elaborasi keaktoran selanjutnya [Foto: Ridho Kedung]
   
Itu sebabnya kenapa ada terminologi “dataran tiga pengadegan” dalam pementasan monolog “Sang Bintang” di panggung (9/5/18) malam itu.

Tentu saja, ini hanya lah sebuah catatan belaka; tanpa tendensi kritis. Satu-satunya tendensi yang mesti dibangun adalah meminimalisir celah-celah agar bangunan cerita tidak menjadi datar-datar saja. Meksi dalam konteks ini, komposisi musik dan pencahayaan dapat menolong; namun secara esensial ia menjadi bagian utuh dari kekuatan sang talent.  

Bagaimana mematangkan talenta, selain bukan perkara instan; barangkali ini masuk dalam wilayah rejim penyutradaraan. Tetapi saya ingin mengembalikan simpulan ini dengan mendekati latar proses ketimbang paparan ceritera pentasnya. Dengan begitu, jagad teater akan menempati realitas estetik yang dapat dijadikan wahana pembelajaran bersama.

Menyorot Dewi “Sang Bintang” Aminah malam itu, nampak telah memiliki bekal dasar kuat, terlebih jika mengingat ia adalah talent pemula. Mulutnya bertenaga, daya imagineirnya tak rendah; demikian pula nalar estetiknya. Tentu, dasar-dasar ini tak lepas dari proses bagaimana ia dipersiapkan Sangkanparan untuk itu...  [ap]


APRESIAN: Sejumlah penonton mengapresiasi pementasan monolog "Sang Bintang" (9/5) dalam sesi dialog yang digelar pasca pementasannya [Foto: Ridho Kedung] 

Kamis, 10 Mei 2018

Meneropong “Sang Bintang” dari Dataran Tiga Pengadegan [1]


- Catatan Pentas Monolog “Sang Bintang” Dewi Aminah




Sebagai sebuah ekspresi dan peristiwa seni, pementasan teater monolog “Sang Bintang” yang diusung komunitas pembelajar Sangkanparan dari Cilacap ke Kebumen (9/5) malam itu; menjadi momentum yang berbeda dari pentas di ruang publik biasanya. Aula Ronggowarsito di lingkungan kampus STIE Putra Bangsa menjadi saksi, saat lebih dari 150 penonton menyimak pentasnya. Jumlah audiens yang selain besar secara kuantitas, juga menjadi catatan tersendiri karena memang kegembiraan apresian umum seperti ini jarang terjadi.

Tak berlebihan untuk mengatakan bahwa pementasan monolog “Sang Bintang” malam itu terbilang sukses. Kesungguhan Dewi Aminah dalam mengeksplorasi bakat keaktorannya menghasilkan kesima kuat yang secara umum mampu membikin ratusan penonton tak beranjak pergi dari duduknya; hingga usai pertunjukan. Tentu, dalam konteks pertunjukan seutuhnya, anasir pendukung lain hasil kerja-kerja dalam proses yang membentuknya demikian; tak bisa dimenafikkan.

Catatan kecil ini tak dimaksudkan untuk menilai aspek-aspek teknis dari tetek-bengek disiplin dramaturgi yang jembar medan aktualisasinya. Saya membuatnya semata karena mengimani bahwa proses berkesenian itu sungguh suatu kenikmatan religius. Kedalaman yang hanya bisa diukur secara sense of arts dan bukan dengan melulu kerangka sains teoritik.

Selain secara faktual “Sang Bintang” memang mengharu penonton malam itu, sesungguhnya, proses simultan komunikasi kreatifnya masih terjadi, meski pentasnya sendiri telah usai.
Itulah takdir lakon “Sang Bintang” nya Whani Darmawan setelah pada 2016 ia selesai menulis dan merangkumnya Sampai Depan Pintu.    


SANG BINTANG: Keaktoran Dewi Aminah saat memainkan monolog "Sang Bintang" menjadi magnet ratusan penontonnya di aula Ronggowarsito kompleks kampus STIE Putra Bangsa Kebumen (9/5) - Foto: Ridho Kedung


Re-interpretasi teks dan konteksnya


Bagaimana talenta Dewi Aminah mengaktualisasikan kembali narasi cerita melampaui teks-teks verbal penulis lakonnya, dengan asistensi Nyak Dewi Kusumawati sebagai sutradara yang membantu membidaninya. Adalah sebuah perjalanan “Sang Bintang” yang secara tekstual telah ditakdirkan.

Secara tekstual memang lakon yang ditulis Whani Darmawan ini memuat manifestasi keinginan sebagai sebuah fenomena; akan tetapi yang tak berdiri sendiri secara konteks. Dia -manifestasi keinginan- itu tentu tak bersifat instan, melainkan dikonstruksi oleh hubungan-hubungan dialektis dalam hidup dengan tradisi -sistemik- tertentu yang membentuknya menjadi dan menemui realisme kekinian.  

Manakala perwujudan “Sang Bintang” ini hendak dibumikan (baca: dipanggungkan), maka muatan konteksnya mesti ikut dihadirkan secara jelas. Jelas di sini bermakna bukan sekedar mengganti seting pentas yang terbagi dalam tiga fase pengadegan, melainkan lebih pada tendensi karakter dan bangunan situasi pada setiap bagian narasinya, yang secara wutuh diaktualisasikan melalui kerja visual pentas monolognya.  

Transformasi teks-teks ke dalam pentas monolog memang mensyaratkan interpretasi dasar yang kuat dari sang talent. Nampak betapa tak ringannya misi milenial keaktoran “Sang Bintang” ini dalam mengusung konten dengan muatan visioner yang melihat lompatan ke depan, agar sampai ke dalam ruang kosmik penontonnya hari ini... [arp]

Rabu, 02 Mei 2018

Komnas HAM Catat 4 Kondisi Darurat Pendidikan

Penulis: Thomas Harming Suwarta - 01 May 2018, 17:53 WIB

MI/Susanto

KOMISI Nasional Hak Asasi Manusia memberikan catatan khusus tentang peringatan hari Pendidikan Nasional yang jatuh setiap 2 Mei. Komnas HAM mencatat setidaknya terdapat 4 kondisi darurat pendidikan di Indonesia saat ini.
"Komnas HAM mencatat ada 4 kondisi darurat pendidikan Indonesia yaitu darurat karena banyak kasus pelanggaran HAM; darurat karena ranking pendidikan Indonesia yang buruk; darurat karena banyak kasus korupsi terhadap anggaran pendidikan; dan darurat karena sistem pendidikan yang belum berjalan dengan baik,” kata Koordinator Subkomisi Pendidikan dan Penyuluhan Komnas HAM RI Beka Ulung Hapsara dalam keterangan pers yang diterima di Jakarta, Selasa (1/5). 
Dia menjelaskan, pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla memiliki sembilan agenda prioritas yang disebut dengan istilah nawa cita.
Pada nawa cita nomor delapan tertulis “Melakukan revolusi karakter bangsa”, Perubahan karakter bangsa salah satunya ditempuh melalui jalur pendidikan. 
"Namun itu sebenarnya yang masih menjadi persoalan kita saat ini," ungkap Ulung. 
Empat catatan darurat tersebut kata dia adalah pelanggaran HAM, rangking pendidikan, korupsi, dan sistem pendidikan.

Untuk konteks pelanggaran HAM kata dia terlihat dalam beragam tindakan pelanggaran HAM di sekolah dan perguruan tinggi dari tahun ke tahun yang terus meningkat jumlahnya termasuk bentuk pelanggarannya, pelaku, korban dan modus operandinya.

Ia menjelaskan, Badan PBB untuk Anak (Unicef) menyebutkan, 1 dari 3 anak perempuan dan 1 dari 4 anak laki-laki di Indonesia mengalami kekerasan. 
"Data ini menunjukkan kekerasan di Indonesia lebih sering dialami anak perempuan,"jelasnya.
Hasil riset Plan International dan International Center for Research on Women (ICRW) pada Maret 2015 menyatakan kata dia, mencatat bajwa 84% anak di Indonesia mengalami kekerasan di sekolah. Angka tersebut lebih tinggi dari tren di kawasan Asia yakni 70%.

Menurut data Komnas HAM, kasus dugaan pelanggaran HAM terkait isu pendidikan cenderung meningkat. Pada 2017 ada 19 kasus, sedangkan 2018 sampai April 2018 sudah ada 11 kasus. Hak-hak yang dilanggar, antara lain hak atas pendidikan, hak memperoleh keadilan, hak mengembangkan diri, hak atas kesejahteraan, dan hak atas hidup.
Tempat kejadiannya ada di Sumatra, Jawa, Sulawesi, Kalimantan, Maluku, Papua, Bali dan Nusa Tenggara.

Selain itu persoalan ranking pendidikan Indonesia, menurut Programme for Internasional Student Assessment (PISA) pada 2015, indonesia berada pada posisi 64 dari 72 negara anggota Organization for Economic Cooperation and Development (OECD). Di ASEAN, ranking pendidikan Indonesia nomor 5 di bawah Singapura, Brunei Darusssalam, Malaysia dan Thailand.
“Harusnya ranking pendidikan Indonesia bisa sejajar dengan negara-negara maju karena anggaran pendidikannya besar mencapai 20% dari APBN atau lebih dari Rp 400 triliun,” ucapnya.
Angka partisipasi pendidikan (APS) di Indonesia juga masih terjadi ketimpangan besar antara pendidikan dasar-menengah dengan pendidikan tinggi. Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2017 APS di pendidikan formal, sebagai berikut: APS Sekolah Dasar (7-12 tahun) mencapai 99,08%; APS Sekolah Menengah Pertama (13-15 tahun) sebanyak 94,98%; APS Sekolah Menengah Atas (16-18 tahun) ada 71,20%; APS Perguruan Tinggi (19-24 tahun) hanya 24,67%. 
“Pendidikan yang berkualitas, inklusif, adil, setara dan merata merupakan amanat yang tercantum di Sustainable Development Goals (SDGs). Pemerintah harus bisa memenuhi amanat tersebut,” ucap Beka Ulung Hapsara Komisioner Komnas HAM.
Darurat Pendidikan yang lain kata Ulung adalah persoalan korupsi.
Bidang pendidikan kata dia masih dan terus terjangkiti tikus-tikus koruptor. Anggaran untuk pendidikan pada 2016 mencapai Rp 424,7 triliun.
"Tetapi ternyata menurut catatan Indonesia Corruption Watch (ICW) pada rentang waktu 2005 – 2016 terdapat 425 kasus korupsi terkait anggaran pendidikan dengan negara Rp 1,3 triliun dan nilai suap Rp 55 miliar," kata Ulung.
Persoalan lain lagi adalah sistem pendidikan Indonesia belum berjalan optimal karena kualitas guru yang rendah, suasana pembelajaran di sekolah yang tidak kondusif, dan kurikulum pendidikan yang membebani murid dan belum mengakomodir keragaman budaya yang ada di masyarakat.


Situasi yang dihadapi misalnya Sekolah dan perguruan tinggi belum inklusif karena diskriminasi masih terjadi terhadap penyandang disabilitas dan belum mampu menyediakan fasilitas sesuai kebutuhan penyandang disabilitas. Bukan hanya itu, masih terus terjadi kasus plagiatisme untuk meraih gelar sarjana (S1), master (S2), dan doktor (S3).(X-10)

Sumber: M.MediaIndonesia