Minggu, 21 Juli 2019

Catatan Penyerta Repertoar Dangsak [2]


Tradisi Tutur dan Gugon-tuhon

REPERTOAR DANGSAK: Repertoar Dangsak yang disajikan Sekolah Rakyat MeluBae (SRMB) di Pendopo Bupati Kebumen (20/7/2019) melibatkan tak kurang dari 70-an talent, penabuh dan crew; juga melibatkan kelompok seni tradisi dari desa Watulawang dan kelompok penari Victory Dance Crew dalam suatu kolaborasi panggung. [Photo Credit: Sigit Asmodiwongso)

Kisah Cepet Alas era fasisme Jepang yang diacu satu-dua seniman tradisi memang menempatkan “cepet” pada konotasi negatif, dalam arti bahwa ia tak lebih golongan mahluk pengganggu manusia yang acap menyesatkan anak-anak. Mitos tentang cepet yang diasumsikan demikian ini muncul melalui dongeng ninabobo dengan segala stigma negatif yang melekat dan terpiara distorsinya.

Tanpa maksud memuja -ataupun sebaliknya- narasumber pelaku tradisi, lantas mengabaikan referensi lainnya, penelusuran lebih mengarah pada abu sejarah yang lebih tua, tak berhenti pada kisah pageblug, paceklik panjang dan kemiskinan parah era fasisme Jepun; sebagaimana dituturkan mBah Lamidjan tentang solusi ekstensifikasi lahan dengan cara “bubah kawah” hutan untuk lahan dan hunian baru.

Kisah ini lalu diacu sebagai babad kemunculan Cepet Alas. Implikasi penuturan mana seakan telah menyudutkan Cepet Alas semata sebagai kebenaran semu; kesahihan gugon-tuhon tentang mahluk halus pengganggu yang menentang bubah-kawah itu.

Atau yang dalam versi lanjutannya, Cepetan dikonotasikan sebagai ekspresi resistensi penganut kepercayaan adat pada masuknya -ajaran- agama baru. Agama baru dimaksud dalam konteks ini adalah islam Persiy sebagaimana dikisahkan pada hikayat Syech Subachir sebagai duta pembawa ajaran kasultanan Roem. (Asma, 2004).

Jika kisah Cepetan Alas Martaredja, manten lurah Karangtengah, yang juga pelopor tradisi Cepetan Alas ini memiliki tuturan yang berbeda. Maka itu makin membuat beragam warna tradisionalnya.

Repetoar Dangsak

Photo-Credit: Imam Muthoha

Repertoar Dangsak ini tak bicara dan tak pula menggiring audiens pada wilayah penghakiman benar-salah; baik ada maupun tanpa referensinya. Referensi yang paling dapat ditemukan pun, barangkali hanya mampu menjelaskan kejumbuhan situasi umum masa seputar kolonial hingga fasisme era pendudukan Dai-Nipon itu. Tentang pageblug, soal paceklik; yang tanpa membaca teks buku pun banyak orang merasakan, mengalami dan melakoninya.

Dalam konteks tradisi Cepetan Alas Martaredja, Roeslan dan Asma; adalah pengecualian. Selain sebagai pewaris dan pelaku tradisi, ketiganya memeras dan meremas kearifan yang diwarisi lengkap dengan tuturan sejarahnya.
“Upami wonten pemanggih benten, lha nggih nyumanggaaken”, jelas mBah Roeslan dari Kajoran 2004.
 “Niki omongan kula kenging direkam, ditulis..”, tandas mBah Asma dari Kalipancur, desa hulu lainnya.

Keduanya memang berbeda, namun ada perekat pengalaman empiris yang menyatukannya; yakni bahwa tradisi Cepetan Alas telah ada sejak era kolonialisme Hindia-Belanda. Tengara yang ditangkap kedua tetua adat ini dan diamini Martaredja perintis Cepetan dari tradisi menjadi pertunjukan seni; mengarah pada masa culture-stelsel pasca Perang Jawa (1825-1830).

Repertoar Dangsak membidik ini sebagai bentangan sejarah tradisi tanpa bermaksud mengabaikan sejarah tutur lain yang jadi temuan sebelumnya. Itu sebabnya adegan membakar kemenyan lengkap dengan japa-mantra menjadi bagian utuh narasi panggung di permulaan pentas. Sementara ritual nyekar, jabelan dan kirab ‘wulu-wetu’ menyusul di pengadegan lainnya.

Dua aspek, sejarah yang ada dan tradisi yang membentuk serta melihara, menjadi aras repertoar yang dipersepsikan untuk kemudian dibawah tata penyutradaraan para talent re-interpretasi serta memvisualisasikannya.

Kesedaran Semesta

Proses serupa ini terasa benar pendalaman dan kebersamaannya. Dan mendapatkan respons penonton sekaligus pelaku pertunjukan sastra yang banyak melanglangi simpul-simpul komunitas seni.
 “Anak-anak panggung dan semua yang terlibat di repertoar ini, menurut pandangan saya, telah lulus menjadi murid alam langsung dan menjadi bagian seutuhnya dari semesta”, komentar Bambang Eka Prasetya.
Sepintas, komentar ini lebih terkesan berlebihan. Tetapi pembelajar di studi budaya "Nittramaya" dari lembah Tidar ini tak meralat ucapannya sejak awal ia menyampaikan review pendek atas repertoar yang digelar.

Kesedaran semesta, barangkali, bisa ditafsiri sebagai capaian laku batin -dan fisik- dari orang yang melakoni sebuah atau beberapa peran. Para pelaku tradisi, meski mungkin tak pintar berbicara secara teori; adalah laut yang tak butuh garam buat rasa asin pada airnya.

Itu sebabnya, Dawintana dan Ali Pawira tak jua mau bicara di panggung repertoar dangsaknya; panggung yang barusan dipenuhi kiprah anak-anak asuhnya.. [ap]

ORKESTRA: Dalam pertunjukannya "Repertoar Dangsak" berkolaborasi dengan anak-anak yang memainkan biola dan tergabung dalam Kebumen Violin Orchestra [Photo-Credit: Sigit Asmodiwongso)

0 komentar:

Posting Komentar