Tradisi Tutur dan Gugon-tuhon
REPERTOAR DANGSAK: Repertoar Dangsak yang disajikan Sekolah Rakyat MeluBae (SRMB) di Pendopo Bupati Kebumen (20/7/2019) melibatkan tak kurang dari 70-an talent, penabuh dan crew; juga melibatkan kelompok seni tradisi dari desa Watulawang dan kelompok penari Victory Dance Crew dalam suatu kolaborasi panggung. [Photo Credit: Sigit Asmodiwongso)
Kisah Cepet Alas
era fasisme Jepang yang diacu satu-dua seniman tradisi memang menempatkan “cepet” pada konotasi negatif, dalam
arti bahwa ia tak lebih golongan mahluk pengganggu manusia yang acap
menyesatkan anak-anak. Mitos tentang cepet
yang diasumsikan demikian ini muncul melalui dongeng ninabobo dengan segala stigma negatif yang melekat dan terpiara
distorsinya.
Tanpa maksud memuja -ataupun sebaliknya- narasumber
pelaku tradisi, lantas mengabaikan referensi lainnya, penelusuran lebih
mengarah pada abu sejarah yang lebih
tua, tak berhenti pada kisah pageblug,
paceklik panjang dan kemiskinan
parah era fasisme Jepun; sebagaimana dituturkan mBah Lamidjan tentang solusi ekstensifikasi lahan dengan cara “bubah kawah” hutan untuk lahan dan
hunian baru.
Kisah ini lalu diacu sebagai babad kemunculan Cepet Alas. Implikasi
penuturan mana seakan telah menyudutkan Cepet
Alas semata sebagai kebenaran semu; kesahihan gugon-tuhon tentang mahluk halus pengganggu yang menentang bubah-kawah itu.
Atau yang dalam versi lanjutannya, Cepetan dikonotasikan sebagai ekspresi resistensi penganut
kepercayaan adat pada masuknya -ajaran- agama baru. Agama baru dimaksud dalam
konteks ini adalah islam Persiy sebagaimana dikisahkan pada hikayat Syech Subachir sebagai duta pembawa
ajaran kasultanan Roem. (Asma, 2004).
Jika kisah Cepetan
Alas Martaredja, manten lurah
Karangtengah, yang juga pelopor tradisi Cepetan
Alas ini memiliki tuturan yang
berbeda. Maka itu makin membuat beragam warna tradisionalnya.
Repetoar Dangsak
Photo-Credit: Imam Muthoha
Repertoar Dangsak ini tak bicara dan tak pula menggiring audiens pada wilayah penghakiman benar-salah;
baik ada maupun tanpa referensinya. Referensi yang paling dapat ditemukan pun,
barangkali hanya mampu menjelaskan kejumbuhan
situasi umum masa seputar kolonial hingga fasisme era pendudukan Dai-Nipon
itu. Tentang pageblug, soal paceklik; yang
tanpa membaca teks buku pun banyak orang merasakan, mengalami dan melakoninya.
Dalam konteks tradisi Cepetan
Alas Martaredja, Roeslan dan Asma; adalah pengecualian. Selain sebagai
pewaris dan pelaku tradisi, ketiganya memeras dan meremas kearifan yang
diwarisi lengkap dengan tuturan sejarahnya.
“Upami wonten pemanggih benten, lha nggih nyumanggaaken”, jelas mBah Roeslan dari Kajoran 2004.
“Niki omongan kula kenging direkam, ditulis..”, tandas mBah Asma dari Kalipancur, desa hulu lainnya.
Keduanya memang berbeda, namun ada perekat pengalaman
empiris yang menyatukannya; yakni bahwa tradisi Cepetan Alas telah ada sejak era kolonialisme Hindia-Belanda. Tengara
yang ditangkap kedua tetua adat ini dan diamini Martaredja perintis Cepetan dari tradisi menjadi pertunjukan
seni; mengarah pada masa culture-stelsel pasca
Perang Jawa (1825-1830).
Repertoar Dangsak membidik ini sebagai bentangan sejarah
tradisi tanpa bermaksud mengabaikan sejarah
tutur lain yang jadi temuan sebelumnya. Itu sebabnya adegan membakar
kemenyan lengkap dengan japa-mantra menjadi
bagian utuh narasi panggung di permulaan pentas. Sementara ritual nyekar, jabelan dan kirab ‘wulu-wetu’ menyusul di pengadegan lainnya.
Dua aspek, sejarah yang ada dan tradisi yang membentuk serta
melihara, menjadi aras repertoar yang dipersepsikan untuk kemudian dibawah tata
penyutradaraan para talent re-interpretasi
serta memvisualisasikannya.
Kesedaran Semesta
Proses serupa ini terasa benar pendalaman dan
kebersamaannya. Dan mendapatkan respons penonton sekaligus pelaku pertunjukan
sastra yang banyak melanglangi simpul-simpul komunitas seni.
“Anak-anak panggung dan semua yang terlibat di repertoar ini, menurut pandangan saya, telah lulus menjadi murid alam langsung dan menjadi bagian seutuhnya dari semesta”, komentar Bambang Eka Prasetya.
Sepintas, komentar ini lebih terkesan berlebihan. Tetapi
pembelajar di studi budaya "Nittramaya" dari
lembah Tidar ini tak meralat ucapannya sejak awal ia menyampaikan review pendek
atas repertoar yang digelar.
Kesedaran semesta, barangkali, bisa ditafsiri sebagai
capaian laku batin -dan fisik- dari orang yang melakoni sebuah atau beberapa
peran. Para pelaku tradisi, meski mungkin tak pintar berbicara secara teori;
adalah laut yang tak butuh garam buat rasa asin pada airnya.
Itu sebabnya, Dawintana dan Ali Pawira tak jua mau bicara
di panggung repertoar dangsaknya; panggung yang barusan dipenuhi kiprah anak-anak
asuhnya.. [ap]
ORKESTRA: Dalam pertunjukannya "Repertoar Dangsak" berkolaborasi dengan anak-anak yang memainkan biola dan tergabung dalam Kebumen Violin Orchestra [Photo-Credit: Sigit Asmodiwongso)
0 komentar:
Posting Komentar