Minggu, 29 April 2018

Saat “Jago Tengsiang” SRMB diusung ke Festival TBRS


28 April 2018

TBRS: Pementasan repertoar "Jago Tengsiang" produksi SRMB Kebumen pada Festival Pertunjukan Rakyat (28/4) di TBRS Semarang [Foto: K-04]

Semarang - Putaran akhir Festival Pertunjukan Rakyat 2018 yang difasilitasi Forum Komunikasi Media Tradisional (FK-Mitra) Jawa Tengah sukses digelar di Taman Budaya Raden Saleh (TBRS) Semarang, Sabtu (28/4). Sebanyak 6 delegasi daerah yakni dari Semarang, Magelang, Purworejo, Kebumen, Purbalingga dan Wonosobo; sebagai peserta festival usai menyajikan pertunjukannya di hadapan ratusan penonton yang memadati gedung.

Nuansa tradisional sebagai ciri masing-masing daerah mewarnai konten pertunjukan, meskipun beberapa terkesan lebih banyak mengusung pesan-pesan promosi pemerintah sebagai warna cukup “dominan” dalam komposisi misi pertunjukannya. Beban “moral” titipan seperti ini, pada batas ekspresi tertentu, serasa menyisakan celah kosong dengan penonton sebuah festival rakyat yang menempatkan penonton pada obyek yang pasif.


PENONTON TBRS: Penonton festival di Taman Budaya Raden Saleh (TBRS) Semarang, berbaur dengan peserta festival yang menunggu gilitan tampil [Foto: K-04]

Alih-alih menciptakan komunikasi yang intens atas pertunjukan, beberapa penonton dalam kuantitas cukup signifikan malah lebih memilih buat menyimak layar gadget yang dibawanya, ketimbang berfokus pada panggung meskipun pertunjukan tengah dan terus berjalan. Audiens seakan berkilah dari suapan pesan-pesan profan, sebuah situasi yang rasanya malah jadi menjauhkan panggung dari eksplora problem-problem keseharian rakyat yang makin kompleks.  
“Pertunjukan yang awalnya asik, tiba-tiba berubah karakternya”, komentar jengah Indriotomo dari barisan penonton festival pertunjukan rakyat pagi hingga siang itu.   
Dilihatnya antara panggung dan penonton sebagai dua dunia yang berdiri sendiri-sendiri, meski pada mulanya telah terbangun suasana yang mulai menautkan keduanya; situasi bagi terbangunnya interpretasi kreatif. Pada acara yang sekaligus menjadi ajang deklarasi anti-hoax itu, menjadikan indepensi sebuah festival pertunjukan rakyat jadi berkurang kekuatannya.


Drama “Jago Tengsiang” dan Aplaus itu

Restorasi kecil atas lakon “Jago Tengsiang” yang sebelumnya dipentaskan di Kebumen (13/4), sedikit memecahkan celah berjarak itu. Repertoar yang diusung SRMB memang mendapatkan apllaus penontonnya di TBRS Semarang. Tetapi bukan melulu itu ukurannya, jika mau berfikir seputar estetika bertutur melalui panggung pertunjukan.

Lakon ini memang bertutur soal skeptisme publik atas pemilu yang jadi bingkai tema pihak penyelenggara. Gagasan yang terumuskan dalam jargon gelaran Pemilu Becik tur Nyenengake (Pemilu yang baik dan menyenangkan_Red) itu, telah mengalami “daur ulang” pemikiran dari sisi yang lain. Dari kacamata publik pemilih, pendekatan perspektifnya berbeda.

Intervensi kalangan tertentu dalam tradisi “pesta demokrasi” yang boleh jadi menyenangkan itu, dipersonifikasikan melalui peran politik korporasi pada awal narasi dramatiknya. Dalam konteks gelaran pemilu, dimana ada penyimpangan dan bahkan kejahatan moral-etika berdemokrasi, selalu hanya bermuara dan menghasilkan rejime oligarki baru yang secara substansi tak berbeda dengan hasil-hasil politik elektoral formal sebelumnya.

Meskipun SRMB sulit lepas dari kewajiban moral yang mesti dipikul atas pesanan pihak resmi, sebagaimana 6 peserta festival lain menyuarakan; namun memang terasa bahwa “Jago Tengsiang” tak bertutur dengan gaya menggurui penontonnya... [ap]     

0 komentar:

Posting Komentar