This is default featured slide 1 title

BEBAL:"FPI"

Kebebalan FPI Banyuwangi yang membubarkan ritual tradisi Sedekah Laut di daerahnya

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Selasa, 14 Juni 2011

Tarmiihim dan Benggala Sains

1. Catatan Kebumen atas Pentas Teater Ego



Proses maju, barangkali benar tak diukur oleh kwantitas waktu. Intensitas, ketidakmenyerahan, lekat konsistensi; menjadi penggalan-penggalan yang membangun tanda. Dan membuat ukuran-ukuran yang baru karenanya. Begitulah simak perjalanan setahun terakhir Teater Ego Kebumen. Hingga pada pementasan produksi ke 2 bertajuk Tarmiihim malam itu. Rabu (8/6) memang menjadi tarikh yang memadatkan dugaan bahwa kelompok teater ini bukan sebuah konten seni peran yang suwung. Selain bahwa perjalanannya meninggalkan jejak sebagai sebuah proses maju.

Adalah Putut AS sang sutradara yang mengeksplorasi pementasan naskah Salim EmDe bersama belasan pelakon di Gedung Haji itu. Malam yang membedakannya dengan “peristiwa budaya” dalam tema yang serupa, pada tempat yang sama; di tahun sebelumnya.

Melempar (yang usang) dalam Otopsi

Bagaimana Pengarusutamaan Gender menjadi eksploran yang wajar tapi menohok, menjadi tema besar yang memungkinkan menyibak kisi-kisi dalam relasi personal dan sosial. Menonton Tarmiihim seperti nyaris membongkar praksis patrialkal yang barangkali hingga hari ini masih menjadi realisme yang tak terjawab. Kasunyatan yang terkungkung dalam cacat budaya yang tak sembuh, terbungkus dalam balutan luka di pondok-pondok. Tarmiihim menguak balutan kumuh itu dan Teater Ego memaparkan dalam pentas keduanya.

Luka yang tak sembuh itu karenanya muncul jadi cacat budaya, relasi dominan Kyai atas Nyai, laki-laki atas perempuan. Dan terjaga dalam referensi teks-teks yang dipiara untuk tak utuh dibedah dalam tafsir. Karena tafsir adalah sesuatu yang harus dimonopoli. Kelas sosial tertentu dianggap menjadi yang paling berhak atas pekerjaan interpretasian itu, bukan kelas yang mewakili para kebanyakan, yang “hanya” bekerja di sudut yang tersekat kubikel pelayanan. Terpuruk beku, berdiam di sana. Lalu Tarmiihim mencairkan dan membunyikannya.