This is default featured slide 1 title

BEBAL:"FPI"

Kebebalan FPI Banyuwangi yang membubarkan ritual tradisi Sedekah Laut di daerahnya

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Rabu, 30 Oktober 2019

Sekolah Rakyat bagi Mereka yang Termarginalkan


Akmal Uro - 30/10/2019


Pendidikan merupakan salah satu hal penting dalam kehidupan seseorang. Pendidikanlah yang menentukan, menuntun masa depan dan arah hidup seseorang. Dengan pendidikan, dapat menciptakan manusia-manusia yang berkualitas, berintelektual, dan jauh dari kebodohan.

Meskipun tidak semua orang berpendapat seperti itu, namun pendidikan tetaplah menjadi kebutuhan nomor wahid. Bagi Tan Malaka sendiri, pendidikan merupakan perkakas membebaskan rakyat dari keterbelakangan dan kebodohan.

Karena kemajuan suatu bangsa tak lepas dari pendidikan, maka dari itu dituangkanlah beberapa kebijakan yang memberikan peluang bagi seluruh rakyat Indonesia untuk mengenyam pendidikan, seperti pada Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 31 Ayat 1 yang berbunyi: “Setiap Warga Negara Berhak Mendapatkan Pendidikan”.

Selain itu, juga dituangkan dalam cita-cita bangsa ini yang terdapat pada Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yakni “Mencerdaskan Kehidupan Bangsa”.

Namun, hingga saat ini, cita-cita ‘Mencerdaskan Kehidupan Bangsa” masih ‘terasa’ jauh dari kata terwujud. Pasalnya, masih banyaknya anak-anak Indonesia yang belum mengenyam pendidikan formal menjadi salah satu alasan. Berdasarkan Data UNICEF tahun 2016, sebanyak 2,5 Juta anak Indonesia tidak dapat menikmati pendidikan lanjutan, yakni sebanyak 600 Ribu anak usia Sekolah Dasar (SD) dan 1,9 juta anak usia Sekolah Menengah Pertama (SMP).

Memang, ada beberapa faktor yang membuat anak-anak Indonesia tidak dapat menikmati pendidikan, seperti karena faktor ekonomi yang berdampak pada tidak teraksesnya pendidikan bagi rakyat kecil, paradigma masyarakat yang menganggap pendidikan tidak penting, sarana dan prasarana, kurikulum yang diterapkan, dan beberapa faktor yang lain.

Faktor ekonomi menjadi penghambat utama untuk melanjutkan pendidikan.
 Padahal, dalam komitmen tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs) 2030 di Bidang Pendidikan, setiap negara harus bisa memastikan tidak ada seorang pun yang tertinggal dalam hal pendidikan.

Dari hasil survei Badan Pusat Statistik, ada sekitar 73 Persen kasus putus sekolah terjadi akibat faktor ekonomi. Hal ini sangat disayangkan, padahal pemerintah Indonesia sangat serius melaksanaan kebijakan pembangunan di sektor pendidikan yang bertujuan untuk Mencerdaskan Kehidupan Bangsa, terutama pada pengalokasian anggaran pendidikan yang mencapai 20% dari total anggaran pembangunan. 

Program yang diprioritaskan antara lain, untuk pembangunan sarana dan prasarana pendidikan, perpustakaan, pengadaan buku-buku, biaya operasional, beasiswa, pendidikan gratis bagi masyarakat miskin. Tapi toh nyatanya masih banyak anak-anak Indonesia yang belum bisa mengenyam pendidikan.

Pendidikan yang tidak bisa terjangkau karena biayanya yang mahal masih sangat dirasakan bagi rakyat kecil, seperti anak-anak jalanan yang kurang beruntung untuk mendapatkan pendidikan. 

Sangat sulit bagi mereka untuk menghapus dampak pendidikan bagi mereka yang tidak didapatkannya. Karena mereka harus memikirkan bagaimana caranya untuk membayar uang iuran sekolah, untuk membeli perlengkapan-perlengkapan sekolah, sedangkan untuk makan sehari-hari saja sangat susah.

Apakah dengan nilai-nilai yang bagus semasa duduk di bangku sekolah ‘Mencerdaskan kehidupan bangsa’ akan terwujud? Ataukah lulus dengan IPK yang tinggi ‘Mencerdaskan kehidupan bangsa’ akan terwujud? Tentu itu bukanlah sebuah tolok ukur.

Bagi Sultan Ibrahim atau lebih dikenal Tan Malaka sendiri berpendapat bahwa Pendidikan bukanlah semata-mata alat untuk kecerdasaan pribadi saja, tetapi juga sebagai alat kecerdasan sosial agar mengetahui bentuk ketertindasaan di dalam masyarakat. Selain itu, ia juga berpendapat bahwa pendidikan harus bersifat transformatif sebagai alat untuk keluar dari segala jeratan praktik diskriminasi dan penindasan

Lantas, di mana nilai-nilai demokrasi yang menjamin seluruh rakyat Indonesia untuk merasakan bangku sekolah sebagaimana yang tertuang pada Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 31 Ayat 1? Apakah itu hanya sebuah ‘pajangan’ dalam konstitusi negara? 

Tentu, pendidikan yang merata dan bisa diakses oleh semua kalangan rakyat Indonesia adalah bentuk perwujudan nilai-nilai demokrasi dalam ranah Pendidikan.

Oleh karena itu, Sekolah Rakyat bisa menjadi alternatif pendidikan bagi ‘mereka’ yang termarginalkan. Sekolah yang bisa menjadi ‘lumbung’ ilmu bagi anak-anak bangsa yang tidak dapat mengenyam pendidikan layaknya anak sebayanya. Gudang ilmu dan tempat berkreasi bagi pemuda yang ‘terpaksa’ meninggalkan bangku sekolah karena himpitan ekonomi.

Dengan menyusun kurikulum sesuai dengan budaya, kebutuhan, dan kondisi masyarakat, Sekolah Rakyat tersebut diharapkan bisa membangkitkan kesadaran rakyat untuk peduli dan kritis terhadap segala persoalan yang terjadi dalam lingkungan mereka.

Sebut saja seperti persoalan kemiskinan maupun penindasan yang dilakukan penguasa terhadap mereka. Caranya adalah melalui sebuah pembangunan berpikir yang mampu memecahkan persoalan-persoalan yang ada dalam dirinya, yang selanjutnya dibenturkan dengan realitas pahit yang mereka alami.

Salah satu contoh dari Sekolah alternatif yang ada di Indonesia adalah Cahaya Anak Negeri, sebuah wadah kegiatan dan pendidikan untuk membantu anak jalanan meraih cta-cita. Adalah Andi Suhandi dan Nadiah Abidin, aktor di balik lahirnya sekolah jalanan tersebut. Mereka mendirikan sekolah tersebut bermula dari keprihatinan terhadap pendidikan dan masa depan anak-anak jalanan di Kota Bekasi.

Sekolah seperti Cahaya Anak Negeri ini perlu dan semestinya untuk didukung keberadaannya. Agar ke depannya, pemandangan anak-anak jalanan yang berlarian jika dikejar Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) atau anak yang mengulurkan tangan untuk mengisi isi perutnya tak terlihat lagi dengan hadirnya sekolah-sekolah alternatif untuk mereka.

Jika mencerdaskan kehidupan bangsa diukur dari banyaknya sarjana, maka rakyat yang memilih Sekolah Rakyat tidak akan mampu untuk mewujudkannya. Akan tetapi, jika mencerdaskan kehidupan bangsa diukur dari kemajuan pola berpikir rakyat Indonesia, maka Sekolah Rakyat bisa dan mampu untuk mewujudkan itu.

Permasalahan pendidikan bukanlah tugas pokok pemerintah semata, akan tetapi juga pada rakyat yang sadar untuk mewujudkan nilai-nilai demokrasi dalam ranah pendidikan. Terwujudnya pendidikan yang bisa diakses oleh seluruh rakyat Indonesia, tanpa diskriminasi, pendidikan yang tak kenal golongan adalah wujud nyata realisasi konsitusi negara di bidang pendidikan seperti yang diamanatkan pada Pasal 31 Ayat 1.

Senin, 28 Oktober 2019

SRMB dan Literasi Daerah



Penerbitan dan apresiasi karya sastra, khususnya puisi, direncanakan bakal menjadi tradisi tahunan Sekolah Rakyat MeluBae (SRMB). Sinyalemen ini mengemuka dalam banyak diskusi internal yang disebut para pamongnya sebagai tradisi dopokan kelompok.

Sebagai sebuah komunitas pembelajar yang telah berusia 16 tahun sejak pendiriannya pada Januari 2003, meski jatuh bangun, pengalaman empiris memberi cukup kekuatan untuk tetap survive dalam berbagai situasi. Kata kuncinya, berkomunikasi dalam berbagai bentuknya, menjadi perekat komunal yang secara etika dan metodologis jadi sesuatu yang bersifat saling mengikat.

Jargon “Sekolah mBayar Karep” teruji di atas landasan kolektif melalui proses-proses bersamanya, mulai dari dopokan hingga melakukan semua secara bersama. Tetapi kebersamaan yang meskipun tak linier namun pada gilirannya bermanifes melalui “kerja kolektif” siapa melakukan apa.

Penerbitan karya

Penerbitan buku berisi karya puisi para pegiatnya tengah menjadi tren dalam tiga tahun belakangan, terutama sejak komunitas ini menginisiasi pendirian “divisi publishing” dengan marking Senthong Omah Sinau dalam menangkap tema besar literasi pada konteks daerah.

Itu sebabnya pada Senin (28/10) SRMB menemui pengelola Kearsipan dan Perpustakaan Daerah Kebumen. Selain untuk menyerahkan dua serial buku antologi puisi bertajuk “Kuputarung” sebagai satu momentum, juga untuk suatu rintisan komunikasi yang diharapkan bakal berkelanjutan.

KUPUTARUNG: Penyerahan 2 buku antologi puisi “Kuputarung” terbitan SRMB ke pengelola Kearsipan dan Perpustakaan Daerah Kebumen pada Senin (28/10). Kadin Kearsipan dan Perpustakaan Anna Ratnawati, didampingi Bambang Asrori tengah menerima dua buku terbitan SRMB di kantornya [Foto: Arp]

Bagi SRMB sendiri yang barangkali baru memaknai literasi sebagai sebuah tradisi yang mengaktualisasi ke dalam trend penerbitan buku, namun juga berproyeksi mengembangkan produksi pengetahuan lainnya diluar bidang sastra. Jika pun selama ini komunitas berfokus pada sastra itu semata karena mayoritas pegiatnya aktif pada penulisan puisi.

Opsi selain penulisan dan penerbitan adalah apresiasi karya para pegiatnya melalui musikalisasi puisi. Secara spesifik, komunitas ini tengah menyiapkan lomba baca puisi, tingkat pelajar dan umum; yang bakal digelar bulan November.    

Rabu, 23 Oktober 2019

Anak-Anak Memerlukan Cerita, Puisi, Musik, dan Kesenian


23 October 2019 - A.S. Laksana 

Philip Pullman, foto BBC.

ANAK-ANAK membutuhkan kesenian dan cerita dan puisi dan musik sebagaimana mereka memerlukan cinta dan makanan dan udara segar dan bermain-main. Jika kita tidak memberi mereka makanan, kerusakannya akan cepat terlihat. Jika kita melarang anak menikmati udara segar dan bermain-main, kerusakannya juga akan terlihat, tetapi tidak seketika. Jika kita tidak memberi mereka cinta, kerusakannya mungkin tidak akan terlihat sampai bertahun-tahun nanti, tetapi kerusakannya permanen.

Tetapi jika Anda tidak memberi mereka kesenian dan cerita dan puisi dan musik, kerusakannya tidak begitu mudah dilihat. Tubuh mereka cukup sehat; mereka dapat berlari dan melompat dan berenang dan makan dengan lahap dan bersuara berisik, seperti lazimnya anak-anak, tetapi ada sesuatu yang hilang.

Memang benar bahwa sejumlah orang tumbuh tanpa mengenal kesenian dalam bentuk apa pun, dan mereka terlihat bahagia. Mereka menjalani kehidupan yang baik dan berharga, dan tak ada buku di rumah mereka, dan mereka tidak begitu peduli pada lukisan, dan mereka tidak tahu pentingnya musik. Tidak ada masalah. Saya tahu orang-orang yang seperti itu. Mereka tetangga-tetangga yang baik dan warga negara yang bermanfaat.

Tetapi beberapa orang lainnya, pada tahap tertentu di masa kecil atau di masa muda mereka, atau bahkan mungkin di usia tua mereka, mengalami sesuatu yang belum pernah mereka bayangkan sebelumnya. Bagi mereka, pengalaman itu sama asingnya dengan sisi gelap bulan. Suatu hari mereka mendengar pembacaan puisi di radio, atau melewati sebuah rumah dengan jendela terbuka dan melihat seseorang bermain piano, atau melihat poster sebuah lukisan di dinding rumah seseorang, dan pengalaman itu memberi pukulan yang mengejutkan namun lembut sehingga mereka merasa pening. Mereka tidak pernah dipersiapkan untuk mengalami hal ini.

Tiba-tiba mereka menyadari ada rasa lapar, meskipun mereka tak memikirkan hal itu semenit sebelumnya; rasa lapar akan sesuatu yang manis dan lezat sehingga hampir menghancurkan hati mereka. Mereka hampir menangis, mereka merasa sedih dan gembira dan sunyi, disambut oleh pengalaman yang benar-benar baru dan aneh ini.

Mereka ingin mendengarkan radio, mereka tercenung lama di luar jendela, dan mata mereka tidak bisa beralih dari poster lukisan. Mereka menginginkan hal ini, mereka membutuhkan semua ini seperti orang lapar membutuhkan makanan. Dan mereka tidak pernah menyadarinya selama ini. Mereka tidak pernah tahu.

Seperti itulah rasanya bagi anak-anak yang membutuhkan musik atau lukisan atau puisi. Jika tidak ada perjumpaan kebetulan seperti di atas, mereka mungkin tidak akan pernah menyadari rasa lapar mereka. Mungkin mereka akan menjalani saja seluruh hidup dalam keadaan lapar budaya tanpa menyadarinya.

Efek kelaparan budaya memang tidak dramatis dan seketika. Ia tidak mudah terlihat.

Dan sejumlah orang tidak pernah mengalami perjumpaan seperti itu; dan mereka beres-beres saja. Jika semua buku dan semua musik dan semua lukisan di dunia ini lenyap dalam semalam, mereka tidak akan merasa lebih buruk. Mereka bahkan tidak akan tahu.

Tetapi rasa lapar itu dirasakan oleh anak-anak, dan seringkali tak terpenuhi karena tidak ada yang menyadarkan mereka. Banyak anak di berbagai belahan dunia mengalami kelaparan akan sesuatu yang memberi kebugaran dan memelihara jiwa mereka, yang tidak tergantikan oleh hal-hal lain.

Kita mengatakan bahwa setiap anak memiliki hak atas makanan dan tempat tinggal, pendidikan, perawatan medis, dan sebagainya. Kita harus memahami juga bahwa setiap anak memiliki hak untuk menikmati kebudayaan. Kita harus sepenuhnya memahami bahwa tanpa cerita, puisi, lukisan, dan musik, anak-anak akan kelaparan.

***

• Ditulis oleh Philip Pullman pada peringatan kesepuluh Astrid Lindgren Memorial Award, 2012. Tulisan aslinya bisa diakses di Blog Astrid Lindgren Memorial Award.

Blog itu sekarang berhenti. Tulisan terakhir adalah pada 15 Januari 2019, berisi pengumuman bahwa mereka tidak akan menulis lagi untuk blog tersebut.


-------


PHILIP PULLMAN adalah salah satu penulis paling terkenal saat ini. Dia terkenal karena novel triloginya His Dark Materials  (terdiri atas The Golden Compass, The Subtle Knife, dan The Amber Spyglass), yang dinobatkan sebagai salah satu dari 100 novel terbaik sepanjang masa oleh  majalah berita mingguan Newsweek  dan salah satu novel terhebat sepanjang masa oleh  Entertainment.

Dia juga telah memenangi banyak penghargaan, termasuk Medali Carnegie untuk The Golden Compass, Penghargaan Whitbread (sekarang Costa) untuk The Amber Spyglass; nominasi Booker Prize untuk The Amber Spyglass; dan Penghargaan Astrid Lindgren Memorial pada 2005.

Tanya jawab menarik tentang buku favorit, musik dan film kesukaan Philip Pullman, dalam acara BBC Five Minutes With.

Selasa, 22 Oktober 2019

Penghayat Kepercayaan, Bagian Dari Masyarakat Yang Harus Kita Jaga Dan Hormati


Ariefiani Harahap - 22 Oktober 2019 12.57 WIB

Salah satu Penghayat Kepercayaan, Pahoman Urip Sejati asal Magelang yang sedang melakukan peribadatannya | foto: riauberita.com

Adanya berbagai kepercayaan merupakan salah satu keragaman yang menjadi ciri kemajemukan masyarakat Indonesia. Hal tersebut bisa ditemukan juga pada penghayat kepercayaan sebagai salah satu kelompok yang sering terlupakan bahkan asing bagi sebagian masyarakat.

Penghayat kepercayaan sendiri adalah mereka yang menganut aliran kepercayaan diluar enam agama dominan yang dikenal masyarakat umum di Indonesia seperti Kristen, Katolik, Islam, Hindu, Buddha dan Konghucu. Adanya aliran kepercayaan tersebut merupakan warisan yang diturunkan oleh leluhur berbagai daerah yang ada di Indonesia.

Keberadaan penghayat kepercayaan di Indonesia

Sebelum masuknya agama mayoritas di Indonesia, Arkeolog Agus Widiatmoko menjelaskan pada historia.id bahwa agama atau kepercayaan terdahulu yang dipegang oleh para penghayat memiliki tiga prinsip yaitu hubungan manusia dengan Yang Maha Kuasa, dengan sesama manusia dan dengan tumbuhan, hewan dan lingkungan.

Beberapa contoh aliran yang cukup besar diantaranya seperti; Sunda Wiwitan dan Buhun yang dianut orang-orang Sunda, Kejawen yang dianut masyarakat Jawa, Marapu yang merupakan agama asli dari Pulau Sumba, Kaharingan dan Tolotang yang berasal dari Kalimantan, Ugamo Malim atau Parmalim dari suku Batak dan Madrais yang merupakan agama Jawa-Sunda.

Selain aliran-aliran tersebut masih banyak lagi aliran kecil di Indonesia yang juga merupakan bagian dari penghayat kepercayaan.

Walaupun belum ada jumlah pasti terkait jumlah penghayat kepercayaan, dilansir dari tirto.id beberapa data menunjukkan keberadaan mereka ditengah masyarakat Indonesia. Sensus penduduk 2010 misalnya, mencatat ada 299.617 penghayat kepercayaan atau sekitar 0,13% yang terhitung dari jumlah total penduduk Indonesia.

Selain itu ada juga perkiraan jumlah berkisar sepuluh hingga dua belas juta orang di seluruh Indonesia yang dikeluarkan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) melalui Direktorat Pembinaan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Tradisi Berada.

Melihat kembali kondisi penghayat kepercayaan di Indonesia

Dalam perjalanannya aliran kepercayaan sempat mengalami kondisi yang naik turun. Pada historia.id Sudarto peneliti dari Setara Institute menjelaskan bahwa jumlah penghayat kepercayaan pernah mengalami peningkatan setelah pemilu pertama yang dilakukan pada 1955 .

Saat itu ada sekitar 350 kelompok yang dikonsolidasi oleh mantan wakil perdana menteri KRT Wongsonegoro. Hal tersebut juga terakomodir lewat pasal 29 UUD 1945 yang menyebutkan
 “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk utuk memeluk agama masing-masing dan beribadat menurut agama dan kepercayaan itu”

Namun Pada 1965 juga sempat keluar UU PNPS No. 1 yang berisi tentang penodaan dan perlindungan atas agama-agama yang diakui pemerintah, dari aliran-aliran lain. Hal tersebut pun berimbas pada para penghayat kepercayaan.

Berbagai kendala seringkali muncul, mulai dari sulitnya mendapatkan hak-hak seperti pendidikan atau pekerjaan hingga penerimaan di masyarakat. Hal tersebut kerap membuat beberapa dari mereka berpindah pada agama mayoritas.

Kartu Tanda Penduduk salah seorang penghayat kepercayaan | foto: tirto.id

Setelah berbagai hal yang dilalui oleh masyarakat penghayat kepercayaan, dukungan terhadap mereka akhirnya mulai terlihat. Realisasinya dibuktikan dengan dicetaknya kolom agama penghayat kepercayaan di dalam E-ktp oleh Ditjen Dukcapil pada 2019.

Masyarakat penghayat kepercayaan yang gugatannya dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) | foto: detik.com

Hal tersebut merupakan tindak lanjut dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada November 2017 yang mengabulkan gugatan masyarakat penghayat kepercayaan terkait kewajiban negara untuk mengakui dan menulis (tidak lagi mengosongkan) kolom agama pada KTP yang dimiliki penghayat kepercayaan.

Walaupun secara identitas keberadaannya telah diakui, dibutuhkan edukasi lebih lanjut pada masyarakat luas terkait keberadaan para penghayat kepercayaan. Hal tersebut harus dilakukan untuk mendorong sikap terbuka masyarakat terhadap mereka sehingga tak ada lagi diskriminasi yang diterima oleh para penghayat.

Rabu, 09 Oktober 2019

Eka Kurniawan Tolak Anugerah Kebudayaan dari Kemendikbud


Oleh: Hendra Friana - 9 Oktober 2019

Potret Eka Kurniawan saat hadir di Indonesia International Book Fair di JCC, Jakarta, Sabtu (15/9/18). tirto.id/Hafitz Maulana

Eka Kurniawan menilai negara belum serius menghargai kerja-kerja seni dan kebudayaan, dan menolak penghargaan yang diberikan Kemendikbud kepadanya.

Novelis Eka Kurniawan menolak Anugerah Kebudayaan dan Maestro Seni Tradisi 2019 yang bakal diberikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) kepadanya pada Kamis (10/10/2019) malam.

Sikap yang ia sampaikan secara terbuka melalui akun Facebook pribadinya itu dilandasi sejumlah alasan. Salah satunya, karena pemerintah tak sungguh-sungguh memberi apresiasi kepada pekerja sastra dan seni, dan pegiat kebudayaan secara umum
"Suara saya mungkin terdengar arogan, tapi percayalah, Negara ini telah bersikap jauh lebih arogan, dan cenderung meremehkan kerja-kerja kebudayaan," tulisnya.
Ketidakseriusan negara dalam mengapresiasi kerja-kerja seni dan kebudayaan, kata Eka, pertama-tama terlihat dari kontrasnya hadiah yang ia terima dengan para atlet atau olahragawan yang memenagi olimpiade.

Para penerima anugerah dari Kemendikbud tersebut hanya mendapat, antara lain, pin dan uang Rp50 juta --yang dipotong pajak. Sementara peraih emas dalam Asean Games, misalnya, memperoleh Rp1,5 miliar dan peraih perunggu memperoleh Rp250 juta.
"Kontras semacam itu seperti menampar saya dan membuat saya bertanya-tanya, Negara ini sebetulnya peduli dengan kesusastraan dan kebudayaan secara umum tidak, sih?" keluh Eka.
Tapi, terlepas dari kekesalan dan perasaan dianaktirikan itu, alasan paling penting yang dipaparkan Eka adalah absennya negara dalam melindungi iklim intelektual secara luas. Beberapa waktu, tulis Eka, sejumlah toko buku kecil digeruduk dan buku-buku dirampas oleh aparat. Tapi negara abai dan tak pernah turun tangan untuk menghentikan tindakan "anti-intelektualitas" tersebut.

Padahal, kejadian itu bukan yang pertama dan kemungkinan akan terus terjadi di masa mendatang. Negara juga dinilai mangkir dalam melindungi industri perbukuan, terutama penerbit-penerbit kecil dan para penulis, yang menjerit dalam ketidakberdayaan menghadapi pembajakan buku.

Menurut Eka, jika perlindungan kebebasan berekspresi masih terengah-engah, setidaknya pemerintah bisa memberikan perlindungan secara ekonomi dan meyakinkan semua orang di industri buku bahwa hak-haknya tidak dirampok.
"Memikirkan ketiadaan perlindungan untuk dua hal itu, tiba-tiba saya sadar, Negara bahkan tak punya komitmen untuk melindungi para seniman dan penulis [bahkan siapa pun] atas hak mereka yang paling dasar: kehidupan," lanjutnya.
Lantaran hal-hal itu lah, beberapa hari lalu, Eka membalas surat dari Direktur Warisan dan Diplomasi Budaya Kemendikbud untuk menegaskan dirinya tak akan datang malam penganugerahan dan menolak penghargaan yang diberikan kepadanya.

 Menerima penghargaan tersebut, menurutnya, menjadi semacam "anggukan kepala" untuk kebijakan-kebijakan negara yang sangat tidak mengapresiasi kerja-kerja kebudayaan, bahkan cenderung represif. 
"Kesimpulan saya, persis seperti perasaan yang timbul pertama kali ketika diberitahu kabar mengenai Anugerah Kebudayaan, Negara ini tak mempunyai komitmen yang meyakinkan atas kerja-kerja kebudayaan," tegas Penulis novel Cantik itu Luka tersebut.
Reporter: Hendra Friana 
Penulis: Hendra Friana 
Editor: Gilang Ramadhan
Negara tak punya komitmen untuk melindungi para seniman dan penulis atas hak dasar mereka: kehidupan.

Tirto.ID