This is default featured slide 1 title

BEBAL:"FPI"

Kebebalan FPI Banyuwangi yang membubarkan ritual tradisi Sedekah Laut di daerahnya

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Kamis, 31 Agustus 2017

Pengikut Diponegoro Berserakan di Matraman, Pohon Sawo Penandanya

Penulis: Noviyanto Aji | 31 Agustus 2017


Lukisan Pangeran Diponegoro ditangkap dan diasingkan oleh De Kock.

Mataraman – Sejak penangkapan Pangeran Diponegoro oleh De Kock dan kemudian diasingkan, pahlawan Goa Selarong ini menghembuskan nafas dalam kesunyian. Benar-benar tragis. Ia dijauhkan dari peradaban pasca perang Jawa yang terkenal itu. Ia jauh dari sanak dan pengikutnya.

Hingga akhirnya pangeran yang memiliki nama asli Ontowiryo ini wafat pada Senin 8 Januari 1855, di usia 73 tahun (versi lain usia 69 tahun). Jenazahnya dikuburkan di luar Benteng Rotterdam, di kampung Melayu sebelah utara Ujungpandang (sekarang Makasar).

Sejak perang Jawa pecah tahun 1825-1830, pamor Pangeran Diponegoro telah naik dari bangsawan Mataram menjadi messiah tanah Jawa. Betapa tidak, ia telah memimpin gerakan perlawananan sporadis alias kraman terbesar sepanjang sejarah kolonialisme Hindia Belanda di tanah Jawa.

Tidak hanya jatuh korban besar di kedua belah pihak, tetapi akibat perang tersebut telah menghabiskan pundi-pundi kerajaan Belanda. Selama perang kerugian pihak Belanda tidak kurang dari 15.000 tentara dan 20 juta gulden.

Perang Jawa ini setidaknya telah memakan korban di pihak pemerintah Hindia sebanyak 8.000 serdadu berkebangsaan Eropa, 7.000 pribumi, dan 200.000 orang Jawa. Setelah perang berakhir, jumlah penduduk Yogyakarta menyusut separuhnya dalam kurun 5 tahun peperangan.

Pasca perang, pengikut Pangeran Diponegoro banyak meninggalkan jejak. Sejak itu pula sejarah penyebaran agama Islam di abad ke-19 tidak bisa dilepaskan dengan sejarah perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajah Belanda di berbagai daerah.

Yah, para pengikut Pengeran Diponegoro kemudian melanjutkan perjuangan sambil menyebarkan agama Islam ke masyarakat yang masih kental dengan budaya dan agama Hindu Majapahit.

Tidak bisa dipungkiri, perang Jawa telah mengakibatkan banyak ulama pengikut Diponegoro mati syahid. Namun sisanya menyingkir ke pedalaman, membuka perkampungan, mendirikan masjid, mengajar ngaji para penduduk kampung. dan merintis pesantren. Sebagian besar para ulama dan santri ini mengganti nama dan identitas untuk menghindari kejaran Belanda yang terus menerus memantau pergerakan sisa-sisa laskar Diponegoro.

Raden Mas Ontowiryo atau dikenal Pangeran Diponegoro.

Sisa-sisa prajurit Diponegoro dalam taktik mengundurkan diri ini bergerak menyusuri Kali Progo melalui daerah Sentolo, Godean, Borobudur, Bandongan, Secang Temanggung, dan akhirnya Parakan, sebuah persimpangan tapal batas Karesidenan Banyumas, Kedu, Pekalongan, Semarang, Yogyakarta dan Magelang, lalu beralih ke wilayah timur atau Matraman. Dipilihnya daerah Matraman karena umurnya sudah 208 tahun sejak penyerbuan Kerajaan Mataram ke Batavia.

Langkah strategis seperti ini ditempuh untuk mengimbangi taktik benteng stelsel(mendirikan banyak benteng kecil untuk menjepit gerak langkah pasukan Diponegoro), dalam Perang Jawa, yang sebelumnya mereka alami. Mereka membuka lahan baru (mbabat alas) bersama pengikutnya maupun menempati desa-desa yang miskin nilai agamanya.

Di Matraman ini, para pengikut Diponegoro terlebih dahulu mencari tokoh-tokoh setempat yang dianggap mengetahui asal-usul Matraman dan akhirnya memperkenalkan diri kepada mereka tentang keberadaan Pangeran Mataram (tidak menyebutkan nama asli) dan menceriterakan secara umum kondisi kejadian saat itu.

Adalah Pangeran Djonet atau Raden Mas Djonet Dipomenggolo, adalah putera pertama Pangeran Diponegoro yang diterima dengan tangan terbuka dan perlindungan masyarakat Matraman. Di situlah sang pangeran beserta pengikutnya menetap di Matraman lebih kurang selama dua tahun.

Ikatan Keluarga Pangeran Diponegoro (IKPD) dalam blog-nya menyebut, Pangeran Djonet sudah sejak kecil ikut rombongan pengungsi bersama keluarga besarnya ke Goa Selarong, setelah Puri Tegalrejo digempur oleh pasukan Belanda.

Sehingga dia sudah bisa merasakan bagaimana susahnya hidup dalam pengungsian dan hanya tinggal di dalam Goa bersama ibu dan saudara-saudaranya.

Selama menetap di Matraman dalam rangka mempertahankan diri dari kejaran tentara Belanda, Pangeran Djonet membentuk pasukan (semacam pengawal Raja) dengan merekrut pemuda-pemuda yang mayoritas keturunan prajurit Kerajaan Mataram walaupun ada juga dari etnis lain yang juga bergabung dengan suka rela.


Mendirikan Masjid dan Pesantren

Dari pesantren kembali ke pesantren, demikian semangat historis pengikut sang messiah ini. Memang tidak banyak diketahui bagaimana para ulama dan kyai menjadi elemen penting pengikut Diponegoro. Padahal masa sebelumnya ulama dan keraton berbatas garis demarkasi gara-gara kedekatan keraton dengan kolonial yang dicap kafir.

Namun sejarawan asal Inggris yang menekuni penulisan sejarah Pangeran Diponegoro, Peter Carey menyebut, sebenarnya laskar Pangeran Diponegoro terdiri dari berbagai elemen. Di samping prajurit yang dilatih militer, pasukan juga terdiri dari kyai dan ulama yang notabene mempunyai kemampuan ilmu kanuragan.

Dalam naskah Jawa dan Belanda, Carey menemukan 108 kyai, 31 haji, 15 syeikh, 12 penghulu Yogyakarta dan 4 kyai guru yang turut berperang bersama Diponegoro.

Ya, setelah pengikut Diponegoro menempati wilayah Matraman, mereka lantas mendirikan masjid dan pesantren. Jejak-jejak itu dapat dilihat dengan masih berdirinya pondok pesantren tua di Jawa, terutama Jawa Timur yang banyak menyimpan kronik-kronik sejarah ini.

Sebut saja di Magetan, terdapat Pesantren Takeran yang menjadi peninggalan pengikut Diponegoro. Pesantren ini yang didirikan oleh Kyai Kasan Ngulama (Kyai Hasan Ulama), seorang guru Tarekat Syattariyah, yang juga merupakan putera Kyai Khalifah, pengikut setia Pangeran Diponegoro. Kyai Khalifah alias Pangeran Kertopati usai perang mengungsi ke arah timur Gunung Lawu, Magetan, dan membangun sebuah padepokan agama di Bogem, Sampung, Ponorogo.

Di pondok yang merupakan cikal bakal Pesantren Sabilil Muttaqin (PSM), Kyai Hasan melakukan kaderisasi para santri yang kelak juga banyak mendirikan pesantren lain di berbagai daerah. Berasal dari Bagelen, Purworejo, trio veteran Perang Jawa: Kyai Nur Qoiman, Nuriman dan Ya’qub, memutuskan mbabat alas di Desa Gondang, Kecamatan Tugu, Kabupaten Trenggalek.

Di desa ini, tiga bersaudara tersebut mendirikan sebuah masjid. Keberadaan masjid sederhana ini kemudian berkembang menjadi sebuah pesantren salaf di era kepemimpinan Kyai Murdiyah alias Kyai Muhammad Asrori, yang merupakan murid Kyai Kholil Bangkalan. Di era Kyai Asrori, banyak santri yang datang berguru. Kebanyakan berasal dari wilayah Mataraman dan Jawa Tengah. Pesantren berusia tua ini sekarang menggunakan nama PP. Qomarul Hidayah.

Sezaman dengan Kyai Khalifah, tak jauh dari situ ada masjid kuno bernama masjid KH Abdurrahman. Lokasinya di Dusun Tegalrejo, Desa Semen, Kecamatan Nguntoronadi. Seperti namanya, masjid KH Abdurahman didirikan oleh KH Abdurrahman pada tahun 1835 Masehi.
“Waktu itu setelah kalah perang melawan penjajah Belanda, para pengikut Pangeran Diponegoro ini menyebar dan mendirikan masjid yang dijadikan sebagai tempat pendidikan dan perjuangan termasuk di masjid ini,” jelas keturunan kelima KH Abdurrahman, KH Gunawan Hanafi.

Masjid KH Abdurrahman Tegalrejo, peninggalan pengikut Pangeran Diponegoro.

Gunawan menuturkan bahwa KH Abdurrahman merupakan keturunan keluarga Kraton Padjajaran, Jawa Barat, dan hijrah ke Pacitan, Jawa Timur, yang waktu itu berada di bawah kekuasaan Kraton Solo. “Beliau itu memang berganti-ganti nama sebagai strategi perjuangan agar sulit dicari penjajah,” kata ketua ta’mir masjid setempat ini.

Demikian pula dengan Pondok Pesantren Tambakberas Jombang. Keberadaannya tak bisa lepas dari keterkaitan historis dengan perang Diponegoro. Sebab pendiri dan pembabat alas desa dan Pondok Tambakberas adalah Kyai Abdus Salam atau lebih dikenal dengan sebutan Mbah Soihah. Dia tak lain pengikut setia Pangeran Diponegoro.

Ketika mbabat alas, Kyai Abdus Salam bersama pengikutnya mendirikan sebuah langgar kecil dan pemondokan di sampingnya untuk 25 pengikutnya. Jumlah santrinya dibatasi 25 orang. Pondok ini dikenal dengan nama pondok selawe alias “pesantren dua puluh lima” atau disebut pondok telu karena hanya ada tiga unit bangunan.

Di kemudian hari, Bani Abdus Salam mendominasi jaringan ulama di wilayah Jombang, Kediri, dan sekitarnya. Hal ini dikarenakan mayoritas silsilah para kiai di wilayah ini mengerucut pada namanya. Salah seorang puterinya, Layyinah, dipersunting Kyai Usman yang kemudian menurunkan Kiai Asy’ari, ayah dari KH. M. Hasyim Asy’ari. Adik Layyinah yang bernama Fatimah menikah dengan Kiai Said. Pasangan ini dikaruniai putera bernama Chasbullah Said.

Nama terakhir ini adalah ayah dari KH. A. Wahab Chasbullah, salah satu pendiri NU. Sedangkan adik Kyai Wahab menikah dengan KH. Bisri Syansuri, ulama yang berasal dari Pati. Kyai Bisri kemudian berbesanan dengan gurunya, Kyai Hasyim Asy’ari. Di kemudian hari, pesantren ini menjadi cikal bakal pesantren besar lain di wilayah Jombang, seperti Tebuireng, Rejoso, Denanyar, Seblak, dan sebagainya.

Kyai Abdus Salam pengikut setia Pangeran Diponegoro sekaligus pendiri Pesantren Tambakberas, awalnya mendirikan sebuah langgar kecil dan pemondokan dengan jumlah santri dibatasi 25 orang.

Di Kediri, ada saudara tiri Diponegoro, Sabar Iman alias Kyai Bariman bin Hamengkubowono III. Dia menyingkir dari keratonnya dan memilih tinggal di kota ini. Dari silsilah Kiai Sabar Iman ini lahir Abdul Ghofur. Di kemudian hari salah satu putra Abdul Ghofur, Mukhtar Syafa’at, menjadi salah seorang ulama terkemuka di Banyuwangi. Pesantren yang dirintis, Darussalam, berkembang dengan ribuan santri. Saat ini, pesantren yang didirikan oleh Kyai Mukhtar Syafaat diasuh oleh putranya, KH. Ahmad Hisyam Syafaat.

Di Kediri juga terdapat Pesantren Kapurejo yang didirikan oleh Kyai Hasan Muhyi. Setelah bergerilya di lereng Gunung Lawu, Wilis, dan Kelud, Kyai Hasan Muhyi (Raden Mas Ronowidjoyo), seorang perwira tinggi dalam Detasemen Sentot Alibasah Prawirodirdjo, akhirnya mendirikan Pesantren Kapurejo, di Kecamatan Pagu. Pesantren tua ini banyak menelurkan alumni yang kemudian mendirikan pesantren di wilayah Nganjuk dan Kediri. Kyai Ahmad Sangi mendirikan Pesantren Jarak di Plosoklaten, Kyai Nawawi merintis Pesantren Ringinagung, Kyai Sirojuddin merintis pendirian Pesantren Jombangan, dan beberapa kyai lain juga mendirikan masjid di berbagai tempat tinggal masing-masing.

Selain itu, ada juga Pesantren Miftahul Ulum, Jombangan, Tertek, Pare, Kediri, yang didirikan oleh Kyai Sirojuddin, kurang lebih limabelas tahun setelah penangkapan Pangeran Diponegoro. Kyai Sirojuddin kelahiran Kudus, bergabung dengan pasukan gerilya Diponegoro beberapa saat menjelang Perang Jawa pecah. Hingga saat ini, Pesantren Miftahul Ulum dilanjutkan oleh keturunannya dan fokus pada pengembangan kajian al-Qur’an dan kitab kuning.

Di Nganjuk, terdapat Pesantren Miftahul Ula, Nglawak, Kertosono. Pendirinya adalah Kyai Abdul Fattah Djalalain. Ayahnya, Kyai Arif, adalah cucu Pangeran Diponegoro, karena Kyai Arif adalah putera Kyai Hasan Alwi, yang merupakan putera Diponegoro dari selirnya. Kyai Arif semasa hidupnya diburu serdadu Belanda dan sering berpindah tempat. Terakhir, ia menetap di desa Banyakan, Grogol, Kediri.

Di kemudian hari, Kyai Arif menikah dengan Sriyatun binti Kyai Hasan Muhyi, pengasuh Pesantren Kapurejo. Dari pasangan ini, Kyai Fattah lahir. Pada era revolusi fisik, Kyai Fattah yang juga santri Kyai Hasyim Asyari ini menjadi magnet para laskar rakyat, termasuk Hizbullah dan Sabilillah. Sebab, beliau banyak memberikan wirid, amalan keselamatan, serta kekebalan bagi para pasukan yang mau terjun ke medan perang. Kyai kelahiran 9 April 1909 ini juga menjadikan pesantren asuhannya sebagai markas Hizbullah dan Sabilillah.


Para Pengikut Menanam Pohon Sawo

Pada akhir perang, para kyai pengikut Pangeran Diponegoro memang berkumpul dan bersepakat untuk merubah arah perjuangan mereka. Dari perang fisik menjadi perjuangan di bidang pendidikan.

Mereka berpencar untuk menyebarkan pendidikan Islam di berbagai penjuru mata angin. Namun ada satu komitmen yang menarik dari pengikut Pangeran Diponegoro, yakni untuk menandakan semangat persatuan melawan kemungkaran, setiap lokasi yang mereka diami ditanami pohon sawo. Pohon sawo ini menjadi penanda jaringan Pangeran Diponegoro masih ada. Makna filosofinya, pohon sawo dilambangkan sebagai “sawwu sufufakum” yang artinya “rapatkan barisanmu”.
“Pohon sawo itu tanda jaringan Pangeran Diponegoro. Bila kemudian muncul perintah untuk bergerak lagi, maka tinggal dicek siapa yang memerintahkannya itu. Dan bila di depan kediamannya ada pohon sawo, maka itu menjadi tanda bahwa sang pemiliknya masih merupakan anggota jaringannya,” kata Carey.
Di kawasan Selatan Jawa atau wilayah Matraman, banyak sekali anak keturunan Pangeran Diponegoro yang masuk dalam jaringan ulama karena mereka kemudian menjadi ulama sera mengasuh pesantren. Karena itu di beberapa pesantren tua di wilayah tersebut biasanya dapat dijumpai pohon sawo yang usianya sangat tua.

Seperti pohon sawo yang berdiri di Pesantren Al Kahfi Somalangu, Kebumen. Di sini dapat ditemukan pohon sawo tua, baik jenis sawo kecik maupun sawo biasa.

Menurut Hidayat Aji Pambudi, pengurus Yayasan Pesantren Al Kahfi, 
“Pohon sawo keciknya baru saja ditebang terkena perluasan halaman pesantren. Sedangkan, pohon sawo jenis yang biasa masih tumbuh subur di samping masjid,” katanya.

Pohon sawo yang berdiri kokok di Pesantren Al Kahfi Somalangu, Kebumen. Di pesantren-pesantren tua pohon sawo menjadi penanda jaringan Pangeran Diponegoro.

Di tempat lain, tepatnya di Masjid Pathok Negara Ploso Kuning, Sleman, Yogyakarta, pohon sawo kecik raksasa hingga kini masih berdiri dengan kokohnya. Masjid ini menjadi salah satu tempat mengaji Pangeran Diponegoro ketika menjadi santri Kyai Mustofa. 
“Dunia orang Jawa kan penuh perlambang atau isyarat. Di setiap pesantren di wilayah ini memang lazim di tanam pohon sawo sebagai perlambang dari perintah untuk taat ketika ada perintah: sami’na wa ato’na (saya mendengar, saya laksanakan),” kata peneliti dunia pesantren di kawasan Selatan Jawa, Ahmad Khoirul Fahmi.
Fahmi mengutip kata-kata ayahnya soal kalimat sami’na wa ato’na terutama ketika menjelang dilaksanakannya shalat berjamaah di masjid. 
“Kata Ayah saya, ingat di depan masjid kita itu ada pohon sawo. Itulah artinya: segera laksanakan ketika kamu dengar perintah!”
Di antara cicit Pangeran Diponegoro atau berdarah bangsawan Keraton Yogyakara yang kemudian menjadi ulama berpengaruh di wilayah ini adalah KH Muhammad Ilyas dan KH Abdul Malik (di Sokaraja), KH Badawi (di Kesugihan Cilacap), KH Masurudi (di Baturaden Purwokerto). Fahmi menambahkan, di pesantren tua yang diasuh kyai-kyai tersebut pasti ditemukan pohon sawo. Ini memang menjadi perlambang masih kuatnya jaringan antar ulama yang notabene mantan pengikut Pangeran Diponegoro.
“Jadi wajar bila banyak pesantren tua yang ada kawasan ini banyak di tanam pohon sawo, yang ternyata itu isyarat adanya jaringan ulama,” pungkas Fahmi.
Domini BB. Hera yang kerap dipanggil Sisco, keturunan eks pasukan Diponegoro yang menyingkir ke Ngantang, perbatasan Blitar-Kediri, menceritakan di Tegalrejo (Magetan), pohon sawo menjadi representasi sang pangeran.

Bukan hanya sebagai kode rahasia, lanjut Sisco, para pengikut Diponegoro mempercayai sawo kecik akan mendatangkan kebaikan bagi penanamnya. 
“Bagi orang Jawa, sawo kecik memiliki arti sarwa becik atau serba baik. Keraton-keraton pecahan Kerajaan Mataram, seperti Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta, menanam sawo kecik. Kedudukannya sejajar dengan pohon beringin, asam, dan gayam. Pakubuwana X (memerintah 1893-1939) menanam 76 sawo kecik di lingkungan Kasunanan Surakarta. Sawo kecik juga banyak ditemukan di Kesultanan Yogyakarta,” terangnya.
Pada masa revolusi kemerdekaan, pohon sawo kecik di belakang keraton Yogyakarta pernah menjadi tempat berkumpul para pejuang. Menurut Hardi, salah satu tokoh Partai Nasional Indonesia dan pernah menjabat wakil perdana menteri I, jika hendak melapor Sultan Hamengkubuwana IX di keraton, para pejuang menyamar sebagai abdi dalem dengan berpakaian Jawa, lalu berkumpul di bawah pohon sawo kecik di belakang keraton.
“Jika suasana dianggap aman dari incaran intelijen Belanda, baru kami buru-buru masuk keraton,” kata Hardi.
Hingga kini tidak terhitung ribuan santri yang menjadi alumni dan kelak menjadi penerus perjuangan Diponegoro; melawan penindasan dan kemungkaran. Karena memang begitulah semangat Pangeran Diponegoro seharusnya diwariskan.[]

Sumber: Nusantara.News 

Kamis, 24 Agustus 2017

Mengenal Sunda Wiwitan dan Agama Sunda yang Lain

Oleh: Irfan Teguh - 24 Agustus 2017

Terdapat klaim Sunda adalah Islam, tapi mengapa kepercayaan lama bertahan di beberapa wilayah Sunda?

Anak-anak Baduy dalam turut hadir dalam acara Seba Baduy di Pendopo Rangkasbitung. tirto.id/Arimacs Wilander 
“Islam itu Sunda, Sunda itu Islam”. Jargon ini dicetuskan H. Endang Saifuddin Anshari, putra Isa Anshari (tokoh penting Masyumi). Kenapa jargon tersebut bisa muncul? 
Jakob Sumardjo dalam Paradoks Cerita-cerita Si Kabayan (2014) menerangkan hal itu dilandasi karakter masyarakat Sunda yang berbasis huma atau ladang. Dibanding kerajaan-kerajaan Jawa berbasis masyarakat sawah yang menetap, kebudayaan istana di kerajaan-kerajaan Sunda hanya berkembang di lingkungan terbatas masyarakat negara. 

Masyarakat negara adalah masyarakat Sunda di wilayah yang benar-benar dikuasai kerajaan secara langsung. Di luar wilayah kekuasaan kerajaan, masih terdapat kampung-kampung Sunda yang berpindah-pindah akibat hidup dari berladang.

Hidup yang berpindah-pindah membuat ikatan istana dan rakyat di luar wilayah kekuasaan sangat longgar. Ini membuat ulama leluasa keluar-masuk kampung-kampung Sunda. Tidak mengherankan bila kenangan terhadap zaman kebudayaan Hindu amat tipis bagi kalangan masyarakat Sunda. Hal ini tercermin dalam mitos-mitos rakyat terhadap penyebar Islam seperti Kian Santang.
“Mereka percaya bahwa agama Islam itu sudah sejak awal ada di Sunda. Sunda itu Islam,” tulis Sumardjo.

Kanékés dan Ajaran Sunda Wiwitan

Jika menilik agama mayoritas etnis Sunda hari ini, paparan Jakob Sumardjo tersebut bisa jadi benar. Namun kenyataannya, beberapa daerah di Jawa Barat dengan mayoritas etnis Sunda sampai sekarang masih ada sistem kepercayaan lain di luar Islam atau agama-agama lain yang diakui pemerintah. Salah satunya, dan mungkin yang paling terkenal, adalah Sunda Wiwitan.

Edi S. Ekadjati dalam Kebudayaan Sunda: Suatu Pendekatan Sejarah (1995), dengan mengambil contoh masyarakat Kanékés di Banten, mencoba menjelaskan tentang Sunda Wiwitan. 
Wiwitan berarti mula, pertama, asal, pokok, jati. Dengan kata lain, agama yang dianut oleh orang Kanékés ialah agama Sunda asli. Menurut Carita Parahiyangan adalah agama Jatisunda,” tulisnya seraya mengakui informasi yang ia dapatkan terhitung sedikit karena orang Kanékés cenderung tertutup membicarakan kepercayaannya. 
Ia menambahkan, jika isi agama Sunda Wiwitan dideskripsikan, tampak keyakinan kepada kekuasaan tertinggi pada Sang Hiyang Keresa (Yang Maha Kuasa) atau Nu Ngersakeun (Yang Menghendaki). Disebut pula Batara Tunggal (Tuhan Yang Maha Esa), Batara Jagat (Penguasa Alam), dan Batara Seda Niskala (Yang Gaib), yang bersemayam di Buana Nyungcung. Semua dewa dalam konsep agama Hindu (Brahma, Wisnu, Syiwa, Indra, Yama, dan lain-lain) tunduk kepada Batara Séda Niskala.

Dalam mitologi orang Kanékés, ada tiga macam alam: (1) Buana Nyungcung, tempat bersemayam Sang Hiyang Keresa, yang letaknya paling atas; (2) Buana Panca Tengah, tempat manusia dan makhluk lain berdiam; dan (3) Buana Larang, yaitu neraka yang letaknya paling bawah. 

Antara Buana Nyungcung dan Buana Panca Tengah terdapat 18 lapisan alam, tersusun dari atas ke bawah. Lapisan teratas bernama Bumi Suci Alam Padang atau menurut kropak 630 bernama Alam Kahiyangan atau Mandala Hiyang. Lapisan alam ini tempat tinggal Nyi Pohaci Sanghiyang Asri dan Sunan Ambu.

Sang Hiyang Keresa menurunkan tujuh batara di Sasaka Pusaka Buana. Salah satu dari 7 batara itu ialah Batara Cikal, yang dipercaya paling tua, yang dianggap leluhur orang Kanékés. Keturunan batara yang lain memerintah di daerah-daerah lain (Karang, Jampang, Sajira, Jasinga, Bongbang, dan Banten).
“Kata menurunkan (nurunkeun) pada hubungan Sang Hiyang Keresa dengan 7 batara, bukan berarti melahirkan seperti layaknya orangtua kepada anaknya, melainkan mendatangkan (dari Buana Nyungcung ke Buana Tengah). Dari nama-nama batara (Wisawara, Wisnu, Brahma), tampak masuknya pengaruh agama Hindu ke dalam sistem kepercayaan orang Kanékés,” tulisnya. 
Orang Kanékés juga percaya tanah atau daerah di dunia ini (Buana Panca Tengah) dibedakan berdasarkan tingkatan kesucian. Tempat paling suci adalah Sasaka Pusaka Buana. Selanjutnya, berturut-turut, kampung dalam, kampung luar panamping), Banten, Tanah Sunda, dan luar Sunda. Pusat dunia serta pusat dalam lingkungan Desa Kanékés adalah Sasaka Pusaka Buana. Dan Desa Kanékés adalah pusat dalam lingkungan daerah Banten. Sedangkan Banten adalah pusat dalam lingkungan Tanah Sunda.

Masih eksisnya Sunda Wiwitan, menurut Dadan Wildan dalam artikel "Perjumpaan Islam dengan Tradisi Sunda" (Pikiran Rakyat, 26 Maret 2003) lantaran komunitas penganut taat ajaran Sunda Wiwitan dengan sepenuh sadar memisahkan diri dari masyarakat Sunda lain ketika Islam masuk ke Kerajaan Pakuan Pajajaran. Ini terdapat dalam cerita Budak Buncireung, Dewa Kaladri, dan pantun Bogor versi Aki Buyut Baju Rambeng dalam lakon Pajajaran Seureun Papan.

Kepercayaan Sunda yang Lain

Selain Sunda Wiwitan di Kanékés, masih ada agama lokal etnis Sunda lain yang masih dianut sampai sekarang oleh beberapa kelompok masyarakat. Salah satunya ajaran Madrais di Cigugur, Kabupaten Kuningan.

Meski awalnya dibesarkan dalam tradisi Islam, pada 1921, Madrais melahirkan ajaran baru yang mengajarkan paham Islam dengan kepercayaan lama (pra-Islam) masyarakat Sunda yang agraris. Ia menyebutnya sebagai Ajaran Djawa Sunda atau masyhur dengan sebutan Madraisme.

Dadan Wildan menambahkan, Madrais menetapkan tanggal 1 Sura sebagai hari besar sérén taun yang dirayakan secara besar-besaran. Dewi Sri atau Sanghyang Sri atau Dewi Padi dalam ajaran ini adalah sosok amat dihormati melalui upacara-upacara religius daur ulang penanaman padi serta ajaran budi pekerti dengan mengolah hawa nafsu agar hidup selamat.

Ajaran Madrais menyebar ke beberapa daerah di Jawa Barat, salah satunya di Kampung Cireundeu, Cimahi. Hal ini tampak dari keberadaan foto Madrais di aula pertemuan kampung tersebut. Masyarakat Cireundeu yang masih memeluk teguh kepercayaan lama ini sehari-hari memakan singkong dalam berbagai bentuk olahan. 

Pada 17 September 1927, seorang tokoh kebatinan Mei Kartawinata (1898-1967) mendapat wangsit di Subang untuk berjuang melalui pendidikan, kerohanian, dan pengobatan melalui perkumpulan Perjalanan yang mengibaratkan hidup manusia seperti air dalam perjalanannya menuju laut dan bermanfaat sepanjang jalan. 

Mei Kartawinata kemudian mendirikan aliran kepercayaan perjalanan yang dikenal “Agama Kuring” (Agamaku) dan pendiri Partai Permai di Ciparay, Kabupaten Bandung. Di Ciparay, hingga kini, terdapat bangunan serupa aula, tempat penghaturan ibadat dari Agama Kuring. 

Kartawinata juga menulis buku Budi Daya pada 1935 yang dijadikan “kitab suci” oleh para pengikutnya. Ajaran yang memadukan sinkretisme antara ajaran Sunda Wiwitan, Hindu, Buddha, dan Islam, ini masih dianut oleh beberapa kalangan sampai sekarang.

Imam Mudrika, misalnya, sempat menulis Filsafat Sunda Wiwitan: Niskala Purbajatiyang disajikan dalam bentuk puisi Sunda Kuna. Asep Salahudin, kolumnis dan salah satu penerima Anugerah Budaya Kota Bandung 2016, mencoba menafsirkan secara umum apa yang tersaji di buku tersebut. 

Menurutnya, spiritualisme dalam konteks Purbajati harus dimaknai sebagai iman yang lintas batas kepercayaan. Iman yang tidak dilembahakan ke dalam agama yang eksklusif, tapi lebih kepada religiositas yang bergerak dalam getar-getar alam penghayatan batin yang justru melampaui "lembaga agama". Asep menganggapnya lebih sebagai spiritualitas yang membebaskan dan membawa perubahan (transformatif).

“Iman yang mendebarkan karena seseorang masuk dalam intimasi sekujur jiwanya, atau Pascal menyebutnya du couer. Iman yang ‘hidup dalam kekudusan’ untuk menyebarkan terang ke segala arah penjuru mata angin tatar Pasundan,” tulisnya.

Asep menambahkan spiritualisme Purbajati bukanlah pengalaman iman sebagaimana dimaknai banyak orang dengan istilah "kepercayaan transenden" yang pasif dan cenderung memaknai kebenaran hanya sebagai miliknya. Ia menilainya lebih sebagai iman yang memberi peluang bagi pemaknaan kebenaran majemuk dan memberikan penghargaan tinggi terhadap realitas sosial yang plural.

Infografik Agama Lokal Etnis sunda

Persoalan Sosial yang Dihadapi Agama Lokal

Masih bertahannya agama dan sistem kepercayaan lokal di masyarakat Sunda memantik problem tersendiri. Sejak awal sampai kiwari, mereka kerap menghadapi pelbagai tantangan sosial yang serius dan tak kunjung selesai. Tiadanya pengakuan pemerintah terhadap kepercayaan mereka kerap berimbas pada aktivitas sehari-hari yang bersentuhan langsung dengan hajat masyarakat.

Contohnya, sebagian masyarakat Kampung Cireundeu yang memeluk ajaran Madrais kerap kesulitan ketika hendak mengurus kepentingan administratif. Hal ini dituturkan dua pemuda kampung tersebut, Yana dan Tri. Saya berbincang-bincang dengannya pada pertengahan 2016 dalam gelaran Asia Tourism Forum.

Sekali waktu, Tri hendak membuka rekening di salah satu bank swasta di Cimahi. Ketika mengisi formulir, ia dihadapkan pada isian kolom agama. Dengan ringan ia kemudian mengisi pilihan “agama lainnya” yang memang tersedia di formulir tersebut. 

Namun, ketika diberikan kepada petugas, ia disuruh memilih agama yang diakui pemerintah. Tentu hal ini membuatnya heran dan bertanya-tanya. Ia mencoba menjelaskan bahwa apa yang dianutnya bukanlah enam agama resmi yang diakui pemerintah (Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu). Tapi si petugas bersikukuh. Akhirnya untuk kelancaran administrasi, ia mengalah. 

Contoh terbaru dan tengah memanas pekan ini adalah apa yang dihadapi oleh penganut ajaran Madrais di Cigugur, Kabupaten Kuningan. Mereka menghadapi persoalan agraria yang cukup pelik.

Pada acara Kongres Masyarakat Adat Nusantara V yang digelar di Medan, 15-19 Maret 2017, Dewi Kanti—salah satu penganut ajaran Madrais—menyampaikan apa yang tengah dihadapi komunitas adatnya. 

Ia menerangkan hukum di Indonesia tidak melihat pengakuan hak-hak hukum komunal adat. Hakim lebih cenderung pada hak-hak warisan, faktor biologis. Itu berbeda dalam komunitas adat, yang membangun masyarakat berbasis kebersamaan. Antara pemimpin dan masyarakatnya sama-sama punya peran.
“Jadi sebagai pemimpin adat, leluhur kami memutuskan: Dulu, untuk seluruh aset itu, tidak ada istilah pembagian waris untuk anak-cucu. Jadi ini sudah menjadi hak komunal. Nah, ketika kami mengargumentasikan dalam argumentasi hukum, kami dianggap aneh. ‘Memang di Sunda ada masyarakat adat?’ katanya [mengutip perkataan hakim]. Apakah hakim tidak pernah tahu tentang masyarakat adat, atau memang dia hanya berkiblat pada hukum barat, sehingga dia tidak memahami situasi sosial masyarakat adat?” ujarnya.
Kasus yang kini mereka hadapi adalah satu objek tanah di mana tanah itu diberikan hak guna pakai kepada salah satu warga adat yang berjasa untuk pengembangan tradisi oleh sesepuh adat. Hak guna pakai ini diberikan secara lisan.
“Kalau dulu, kan, berdasarkan dawuh saja, belum tertulis, tidak tertulis, secara lisan. Dan sudah terjadi tiga puluh puluh tahun lebih, dan itu tidak pernah ada masalah. Nah, tiba-tiba, ada satu pengakuan mantan sekretaris lurah yang mengatakan mendapat wasiat dari leluhur kami, sesepuh adat kami, untuk tanah tersebut dibagikan kepada keturunan. Nah, hanya berdasarkan surat keterangan seorang sekretaris lurah itu jadi pertimbangan hakim."


Dewi Kanti menambahkan, komunitas adat telah menghadirkan sesepuh adat yang sekarang memimpin untuk memberikan keterangan. Tetapi, karena saat memberikan kesaksian ditanya agamanya, dan hakim seolah-olah kebingungan bagaimana menyumpah atau mengambil janji untuk yang memberikan kesaksian, akhirnya kesaksian tersebut tidak dipakai sebagai pertimbangan hakim.

Kasus ini sampai sekarang masih belum selesai. Persoalan-persoalan seperti beberapa contoh inilah yang sampai hari ini terus mengintai beberapa komunitas adat dan para penganut agama dan kepercayaan lokal di Jawa Barat.
“Kami tidak putus asa. Kami berpikir dengan atau tanpa negara mengakui kami, kami tetap bisa menjaga keutuhan komunitas. Di era globalisasi, kita masih bisa meneguhkan eksistensi komunitas masyarakat adat karuhun Sunda Wiwitan di Jawa Barat,” ujarnya.
***
Ralat: Dalam inti berita, sebelumnya ditulis lima agama resmi. Itu keliru. Yang akurat: pemerintah hanya mengakui enam agama resmi (Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu), yang menjadi basis dan celah diskriminasi negara terhadap penganut kepercayaan-kepercayaan lokal dan agama minoritas.

Reporter: Irfan Teguh
Penulis: Irfan Teguh
Editor: Zen RS

Sumber: Tirto.Id 

Minggu, 20 Agustus 2017

Sekolah sampai Tua dan Selamanya

Reporter: Yulaika Ramadhani | 20 Agustus, 2017

Kimlan Jinakul diwisuda dan mendapat gelar sarjana dari Universitas Terbuka Sukhothai Thammathirat setelah menghabiskan waktu lebih dari 10 tahun. FOTO/bbc.com
Pendidikan seharusnya dinikmati manusia sampai akhir hayatnya.

Perempuan tua itu duduk di kursi rodanya saat memasuki ruangan upacara wisuda. Ia kemudian bangkit, dituntun oleh anak di sampingnya ketika beberapa orang menyalaminya dan memberinya selamat atas kelulusannya mendapat gelar sarjana.

Ia adalah Kimlan Jinakul, seorang nenek berusia 91 tahun dari Phayao, Thailand Utara. Pada Rabu (9/8/2017), ia diwisuda bersama ribuan mahasiswa lain yang jauh lebih muda dibanding dirinya. Kimlan Jinakul mendapat gelar sarjana dari Universitas Terbuka Sukhothai Thammathirat setelah menghabiskan waktu lebih dari 10 tahun untuk belajar.

Sang nenek mengambil studi Human Ecology, sebuah studi mengenai pembangunan manusia dan keluarga. Kimlan tertarik mengambil kuliah di Universitas Terbuka Sukhothai Thammathirat University ketika usianya sudah 72 tahun, bersama salah seorang putrinya yang kuliah di universitas yang sama.

Studi Kimlah terhenti beberapa tahun setelah putrinya meninggal dunia. Ia baru melanjutkan lagi kuliahnya saat berusia 85 tahun.

"Tidak pernah terlambat untuk belajar. Pikiran saya selalu bangun untuk belajar. Setelah pulih dari kesedihan dan kehilangan putri saya, saya mendorong diri sendiri untuk menyelesaikan program studi ini dengan harapan roh putri saya senang," ungkapnya kepada BBC.
 
Mahasiswa yang diwisuda saat berusia lanjut juga ada di Indonesia. Tahun 2014 lalu, Universitas Padjajaran telah meluluskan wisudawan Hermain Tjiknang, saat berusia 91 tahun 7 bulan.

Setelah melalui proses yang panjang, Hermain pun berhasil meraih gelar Doktor pada Sidang Terbuka Promosi Doktor pada 17 Januari 2014 lalu. Disertasinya berjudul “Perlindungan Hukum Atas Pekerja Alih Daya (Outsourcing) Berdasarkan Keadilan dalam Perselisihan Hubungan Industrial Akibat Pemutusan Hubungan Kerja Sepihak”.

Di usia yang tidak lagi muda, ia mampu menyelesaikan program Doktornya dalam waktu 5 tahun. Namun, ia mengakui banyak kendala yang ditemui tatkala menyelesaikan disertasinya.

“Disertasi saya sampai 7 kali direvisi oleh promotor. Namun, saya tidak bisa berhenti mencari ilmu. Sebagai seorang dosen wajib untuk menambah ilmu lalu menuangkannya kembali ke para mahasiswa. Meskipun sudah tua, jangan lupa belajar,” cerita Hermain.

Sebelumnya pada 23 November 2010, Unpad juga mewisuda Siti Maryam Salahuddin yang meraih gelar doktor pada usia 83 tahun.

Sementara, pemilik Mustika Ratu, Mooryati Soedibyo pernah tercatat sebagai peraih gelar doktor tertua di Indonesia menurut Museum Rekor Dunia-Indonesia (Muri) ketika lulus S3 dari Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia pada tahun 2007, atau ketika berusia 79 tahun. Jika tidak ada data baru lagi, maka Hermain Tjiknang adalah peraih gelar doktor tertua di Indonesia saat ini.

 
Sekolah sampai Tua dan Selamanya

Motivasi Orang Tua Melanjutkan Sekolah


Kebanyakan orang yang sudah berusia lanjut tidak lagi banyak beraktivitas, dan hanya ingin menikmati masa-masa tuanya. Hanya segelintir orang yang masih gigih untuk mencari ilmu setinggi-tingginya, seperti contoh di atas.

Sri Sukaesih, seorang magister pendidikan dari Universitas Pendidikan Indonesia yang kini menjadi dosen di Universitas Negeri Semarang menjelaskan kepada Tirto bahwa secara umum terdapat beberapa alasan berbeda yang memotivasi seseorang untuk melanjutkan kuliah.

Beberapa di antaranya adalah untuk meningkatkan karier atau jabatan, tuntutan lembaga tempat seseorang tersebut bekerja, mencapai keinginan pribadi untuk memenuhi target tertentu, dan semangat belajar tinggi dalam memperdalam bidang keilmuan yang dimiliki.

“PNS, terutama dosen yang berstatus PNS memang dituntut untuk melanjutkan kuliah sampai dengan doktoral. Bagi mereka pribadi, kuliah adalah salah satu persyaratan untuk naik jabatan dan naik gaji, sedang bagi lembaga atau kampus sendiri, status tersebut diperlukan untuk kebutuhan akreditasi universitas. Semakin banyak dosen yang jadi doktor, tentu akreditasi kampus menjadi semakin tinggi,” terang Sukaesih.

Namun, menurut Sukaesih, melanjutkan kuliah tidak hanya semata-mata untuk meningkatkan jabatan seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS), tetapi juga kepuasan dan semangat pribadi untuk mengejar target seorang pembelajar dalam memperdalam keilmuan yang ia miliki.

“Teman saya, seorang dosen matematika bahkan melanjutkan kuliah doktoralnya di usianya yang ke-60. Setelah lulus wisuda, ia hanya sempat melakukan pengabdian (mengajar di universitas) selama setahun, dan setelahnya beliau diharuskan pensiun,” cerita Sukaesih.

Terlepas dari hal tersebut, Sukaesih juga menjelaskan bahwa pendidikan tetap merupakan satu hal penting untuk dilakukan sepanjang hidup, baik itu mendapat gelar ataupun tidak. Karena sejatinya pendidikan adalah proses belajar seseorang untuk mempertinggi kualitas hidupnya sebagai manusia. 

Sarjana di Indonesia

Di ranah pendidikan formal, Hermain Tjiknang dan Kimlan Jinakul adalah sosok yang mempunyai semangat dalam menempuh Pendidikan Tinggi. Pendidikan Tinggi sendiri menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi adalah jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program diploma, program sarjana, program magister, program doktor, dan program profesi, serta program spesialis, yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi berdasarkan kebudayaan bangsa Indonesia. Pendidikan tinggi ini diselenggarakan oleh Perguruan Tinggi.

Program sarjana merupakan pendidikan akademik yang diperuntukkan bagi lulusan pendidikan menengah atau sederajat sehingga mampu mengamalkan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi melalui penalaran ilmiah.

Di Indonesia sendiri tidak ada batasan umur untuk melanjutkan Pendidikan Tinggi. Sama seperti Hermain Tjiknang dan Mooryati Soedibyo yang masih bisa melanjutkan pendidikan saat sudah lanjut usia.

Hanya saja, terdapat aturan khusus untuk bidang studi yang terkait dengan pengabdian masyarakat. Misalnya untuk Fakultas Kedokteran, Universitas Gadjah Mada, batas usia peserta maksimal dihitung saat mulai pendidikan pascasarjana (S2) adalah maksimal 35-40 tahun, (bergantung program studi yang diminati). Hal tersebut bertujuan agar setelah menempuh masa studi, mahasiswa dapat melanjutkan pengabdian masyarakat, dalam hal ini sebagai dokter, sebelum masa pensiun.

Yang diatur di Indonesia adalah batas lama belajar atau masa studi maksimum Perguruan Tinggi. Masa studi dan beban belajar penyelenggaraan program pendidikan tersebut diatur dalam Pasal 16 Permenristekdikti 44 tahun 2015.

Dalam aturan tersebut ditentukan bahwa untuk D1 masa studi adalah selama dua tahun akademik dengan beban belajar mahasiswa paling sedikit 36 SKS. Untuk D2, paling lama tiga tahun akademik, dengan beban belajar mahasiswa paling sedikit 108 SKS. Sedangkan untuk program sarjana, paling lama tujuh tahun, dengan beban belajar mahasiswa paling sedikit 144 SKS. Untuk program magister, paling lama empat tahun akademik, dengan beban belajar mahasiswa paling sedikit 36 SKS, dan untuk doktor, paling lama tujuh tahun akademik dengan beban belajar mahasiswa paling sedikit 42 SKS.

Seorang mahasiswa dapat dihentikan studinya atau drop out apabila tidak memenuhi ketentuan akademik yang ditetapkan oleh masing-masing perguruan tinggi. Untuk itu, kita perlu melihat lagi pada peraturan akademik masing-masing perguruan tinggi.

Seperti yang dikatakan oleh Sukaesih, seorang PNS akan dibebani tugas belajar atau tugas melanjutkan pendidikan. Hal ini dilakukan dalam rangka mengembangkan potensi Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Departemen Pendidikan Nasional.

Terkait hal tersebut, terdapat Peraturan Menteri Pendidikan Nasional tentang Pedoman Pemberian Tugas Belajar Bagi Pegawai Negeri Sipil Di Lingkungan Departemen Pendidikan Nasional.

Dalam peraturan tersebut, batas usia maksimal pegawai pelajar adalah 25 tahun untuk Diploma I, Diploma II, Diploma III, dan Sarjana atau Diploma IV, 37 tahun untuk Magister atau yang setara, dan 40 tahun untuk Doktor.

Aturan-aturan tersebut sejatinya merupakan usaha pemerintah untuk memberi semangat dan mendukung masyarakatnya melanjutkan pendidikan. Karena seperti termaktub dalam Pembukaan UUD 1945, pendidikan adalah hak segala bangsa. Terlepas dari kepentingan institusional dan upaya prestisius untuk mendapatkan gelar, pendidikan sejatinya adalah hal yang sudah seharusnya dinikmati seseorang sampai di akhir hayatnya. 

Sumber: Tirto.Id 

Minggu, 13 Agustus 2017

Energi Baik dari Musik

Yulaika Ramadhani | 13 Agustus, 2017

Ilustrasi bernyanyi. Getty Images/iStockphoto

Musik tidak hanya hadir di panggung hiburan, akan tetapi juga di lapangan sepakbola sampai dengan balai perkumpulan tentara

  • Dengan bernyanyi, tubuh akan mensekresikan hormon kebahagiaan berupa endorfin dan oksitosin
  • Ingatan musikal adalah ingatan paling independen dan paling kuat dibanding sistem memori lainnya

Badan Ekonomi Kreatif (BEKRAF) sempat mengutarakan keinginannya untuk mengundang girlband Korea Selatan, Girls Generation atau SNSD dalam acara hitung mundur Asian Games yang akan berlangsung di Jakarta dan Palembang 2018 besok. Pro dan kontra bermunculan atas rencana tersebut.

Menurut Wakil Kepala Bekraf Ricky Joseph Persik, kedatangan SNSD akan membuat reputasi baik bagi Indonesia sebagai tuan rumah kompetisi olahraga empat tahunan di Asia tersebut. Terlebih lagi, SNSD sendiri mempunyai banyak penggemar di Asia.
Girlband yang piawai menari dengan lagu-lagu easy listening-nya tersebut tidak hanya hadir di panggung hiburan dan di depan para penggemarnya saja. Pemerintah Korea pernah mengundang mereka untuk menghadiri kamp tentara para wajib militer di Korea Selatan.

SNSD memberikan kejutan dalam konser eksklusif di depan para tentara yang tidak bisa pulang ke rumah untuk liburan Natal. Konser tersebut merupakan bagian dari acara "SNSD’s Christmas Fairytale" yang disiarkan stasiun televisi MBC.

Ratusan tentara tampak menanti kehadiran bintang tamu di sebuah ruangan besar. Hingga kemudian, para personel SNSD satu per satu memasuki ruangan tersebut melalui pintu utama. Tentara-tentara yang ada pun langsung bersorak kegirangan.

Seluruh tentara beranjak dari barisan mereka ketika SNSD kemudian membawakan lagu "Gee". Tidak hanya SNSD, sejumlah idol lain juga pernah diundang ke acara-acara serupa.

Acara musik memang tidak sebatas hiburan, tetapi juga mempunyai relevansi di banyak bidang, dari olahraga sampai dengan militer. Hal ini tentu saja karena musik adalah salah satu hal yang sangat mudah digemari banyak orang.

Mudahnya musik digemari di banyak kalangan tersebut ditengarai karena mereka dapat menemukan kebahagiaan dengan bermusik. Menyanyi dengan teknik pernapasan yang tepat akan membuat darah penuh dengan oksigen. Awalnya, kita mungkin akan pusing, namun seiring dengan hal tersebut, fungsi kerja jantung dan pernafasan meningkat. Menyanyi ringan juga bisa meringankan asma bronkial, bronkhitis kronis, dan tonsilitis.

Menyanyi akan memaksa otot wajah untuk selalu aktif. Ini menghasilkan efek antipenuaan karena otot selalu terjaga kekencangannya. Selain itu, orang yang gemar menyanyi  mempunyai kecenderungan lebih bisa mengontrol emosinya. Dia memiliki emosi yang lebih stabil dan cenderung dalam mood baik.

Sebuah penelitian menemukan, mereka yang bernyanyi akan merasa lebih bahagia, kecemasan dan depresi mereka berkurang.

Dengan bernyanyi, tubuh akan bereaksi untuk mensekresikan hormon endorfin dan oksitosin. Endorfin adalah hormon yang meningkatkan perasan eforia dan kesenangan. Oksitosin juga dikenal sebagai hormon cinta karena menimbulkan rasa nyaman, gairah dan empati pada pasangan. Hormon ini diketahui bisa mengurangi stres dan rasa cemas. Kedua hormon ini membuat kita merasa lebih baik dan mengurangi rasa sakit yang tengah dirasakan.
Girlband yang piawai menari dengan lagu-lagu easy listening-nya tersebut tidak hanya hadir di panggung hiburan dan di depan para penggemarnya saja. Pemerintah Korea pernah mengundang mereka untuk menghadiri kamp tentara para wajib militer di Korea Selatan.

SNSD memberikan kejutan dalam konser eksklusif di depan para tentara yang tidak bisa pulang ke rumah untuk liburan Natal. Konser tersebut merupakan bagian dari acara "SNSD’s Christmas Fairytale" yang disiarkan stasiun televisi MBC.

Ratusan tentara tampak menanti kehadiran bintang tamu di sebuah ruangan besar. Hingga kemudian, para personel SNSD satu per satu memasuki ruangan tersebut melalui pintu utama. Tentara-tentara yang ada pun langsung bersorak kegirangan.

Seluruh tentara beranjak dari barisan mereka ketika SNSD kemudian membawakan lagu "Gee". Tidak hanya SNSD, sejumlah idol lain juga pernah diundang ke acara-acara serupa.

Acara musik memang tidak sebatas hiburan, tetapi juga mempunyai relevansi di banyak bidang, dari olahraga sampai dengan militer. Hal ini tentu saja karena musik adalah salah satu hal yang sangat mudah digemari banyak orang.

Mudahnya musik digemari di banyak kalangan tersebut ditengarai karena mereka dapat menemukan kebahagiaan dengan bermusik. Menyanyi dengan teknik pernapasan yang tepat akan membuat darah penuh dengan oksigen. Awalnya, kita mungkin akan pusing, namun seiring dengan hal tersebut, fungsi kerja jantung dan pernafasan meningkat. Menyanyi ringan juga bisa meringankan asma bronkial, bronkhitis kronis, dan tonsilitis.

Menyanyi akan memaksa otot wajah untuk selalu aktif. Ini menghasilkan efek antipenuaan karena otot selalu terjaga kekencangannya. Selain itu, orang yang gemar menyanyi  mempunyai kecenderungan lebih bisa mengontrol emosinya. Dia memiliki emosi yang lebih stabil dan cenderung dalam mood baik.

Sebuah penelitian menemukan, mereka yang bernyanyi akan merasa lebih bahagia, kecemasan dan depresi mereka berkurang.

Dengan bernyanyi, tubuh akan bereaksi untuk mensekresikan hormon endorfin dan oksitosin. Endorfin adalah hormon yang meningkatkan perasan eforia dan kesenangan. Oksitosin juga dikenal sebagai hormon cinta karena menimbulkan rasa nyaman, gairah dan empati pada pasangan. Hormon ini diketahui bisa mengurangi stres dan rasa cemas. Kedua hormon ini membuat kita merasa lebih baik dan mengurangi rasa sakit yang tengah dirasakan.

Dalam penelitian yang diterbitkan di Journal of Neurology, dijelaskan bahwa ingatan musikal adalah ingatan paling independen dibanding sistem memori lainnya. Hal ini menyebabkan memori musik menjadi memori terkuat para penderita penyakit neurodegeneratif seperti alzheimer dan demesia.

Dalam penelitian tersebut, peneliti mengambil 32 subyek normal manusia muda 16 laki-laki dan 16 perempuan, dengan usia rata-rata 28 tahun. Mereka melakukan penelitian pencitraan resonansi magnetik yang menguji respons otak terhadap cuplikan musik yang tidak diketahui, baru diketahui, dan sudah lama dikenal.

Hasilnya menunjukkan adanya peran penting bagian otak caudal anterior cingulate dan ventral pre-supplementary motor dalam pengkodean saraf terkait musik yang baru dikenal dan tidak dikenal.


Energi Baik dari Musik

Seperti kita tahu, otak merupakan organ pengontrol pergerakan tubuh yang merespon setiap reaksi yang terjadi di sekitar kita, termasuk juga dengan kegiatan mengingat. Sehingga, penurunan kinerja otak dan kehilangan memori menjadi sebuah hal yang sangat mengerikan.

Penyakit alzheimer dan demensia merupakan penyakit yang berhubungan dengan hal tersebut. Dua penyakit tersebut dapat menyebabkan menurunnya memori, kemampuan berpikir, perilaku sampai menurunkan kemampuan untuk melakukan pekerjaan sehari-hari.

Salah satu cara meningkatkan kualitas hidup pasien alzheimer dan dementia adalah dengan menjalani terapi musik. Terapi musik untuk pasien alzheimer sangat berguna untuk menjaga kesehatan otak, yang berarti bisa menunda kerusakan lebih lanjut.

Menurut penelitian dalam Journal of Music Therapy, Oxford Academic, lagu yang didengarkan dalam terapi musik baik bagi kesehatan otak pasien.

Dennis Ruston kepada The Guardian menceritakan perihal almarhum istrinya yang juga menderita alzheimer. Ia menyatakan bahwa istrinya rajin bergabung dalam sebuah kelompok paduan suara yang menyanyikan lagu-lagu pujian. Kelompok tersebut juga memberikan kesempatan para pasien untuk menyanyikan lagu-lagu di zaman muda mereka.

Ruston juga menyatakan bahwa periset dan tenaga medis yang menangani istrinya telah menemukan bahwa jalur musik otak tetap relatif tanpa cedera oleh penyakit alzheimer, demensia, stroke dan penyakit lainnya.

Di sepanjang sejarah, kita tahu bahwa banyak kalangan yang telah menciptakan musik. Beberapa dari mereka bahkan mengakui bahwa pengalaman emosional mereka dalam bermusik adalah satu hal penting untuk kelangsungan hidup mereka. Terlebih lagi dengan pengalaman bermusik bersama, baik bersama teman satu grup musik maupun bersama para penonton dan penikmat musik mereka.

Hal ini ditunjukkan juga dalam sebuah temuan yang menyatakan bahwa anggota paduan suara yang baru terbentuk selama satu bulan, merasa lebih dekat satu sama lain dibanding dengan anggota kelompok seni lainnya yang juga baru terbentuk.

Selain itu, beberapa penelitian menyimpulkan bahwa orang-orang yang biasa bernyanyi memiliki IQ lebih tinggi dibanding mereka yang tidak berhubungan dengan musik. Bernyanyi bisa meningkatkan fungsi otak secara keseluruhan dan membantu kita berpikir secara lebih jernih.

Jadi tidak ada salahnya jika kebanyakan kalangan memilih menghadirkan musik, baik di acara pernikahan sampai dengan acara olahraga dan agenda militer suatu negara. Karena secara umum, musik memang media paling efektif untuk menghasilkan energi dan perasaan-perasaan baik. 
Sumber: Tirto.Id