Minggu, 08 Oktober 2017

Sastra Pembebasan : Rendra, Jose Rizal, Neruda dan Vaclav Havel

Penuli: 
Marlin Dinamikanto
8 Oktober 2017

WS. Rendra

Sebenarnya masih banyak lagi sastrawan yang berkisah tentang pembebasan manusia dari penindasan, ketidak-adilan, penghisapan dan seterusnya. Seperti misal Albert Camus, Boris Pasternak, Bertold Brech, Maxim Gorky dan masih banyak lagi.

Namun kali ini nusantara.news tampilkan dulu Rendra, penyair dan ikon teater yang melegenda di Indonesia, juga Jose Rizal, pahlawan nasional Filipina yang multi talenta, selanjutnya Pablo Neruda penyair berbahasa latin yang mahir menuliskan beragam thema kehidupan ke dalam puisi dan Vaclav Havel, penggerak Revolusi Beludru di Cekoslovakia yang membawanya menjadi Presiden.


Rendra

Potret Pembangunan dalam Puisi adalah kumpulan puisinya yang menginspirasi gerakan mahasiswa era 1970-an hingga 1990-an. “Sajak Sebatang Lisong” dan  “Sajak Orang-Orang Kepanasan” banyak dihafal dan dibacakan oleh aktivis gerakan dalam setiap demonstrasi.

Rendra yang lahir dengan nama Willibrordus Surendra Broto Rendra di Solo, Hindia Belanda, 7 November 1935 dan wafat di Depok, Jawa Barat, 6 Agustus 2009 itu menampakkan bakat kepenyairan sekaligus kepemimpinan dalam teater itu sejak SMP. Puisi-puisinya sudah dipublikasikan sejumlah media cetak seperti Siasat, Kisah, Seni, Basis dan Konfontrasi sejak 1952.

Kekayaan puisi-puisi Rendra adalah kepiawaiannya dalam meracik metafora dan kemampuannya dalam bertutur runtut sehingga enak dibawakan para pembaca sajak di atas panggung. Sejak memulai penulisan puisi dalam bentuk pamphlet, sebagaimana dikutip dari “Sejak Sebatang Lisong”, Rendra mengkritik sesama penyair yang hanya mendewakan keindahan bertutur kata

“Aku bertanya,tetapi pertanyaankumembentur jidat penyair-penyair salon,yang bersajak tentang anggur dan rembulan,sementara ketidakadilan terjadi di sampingnyadan delapan juta kanak-kanak tanpa pendidikantermangu-mangu di kaki dewi kesenian.”
Masih dari “Sajak Sebatang Lisong” Rendra juga mengecam dunia perguruan tinggi yang hanya menjadi kepanjangan tangan perguruan tinggi asing dan tidak pernah berdaulat atas dirinya :

“Kita harus berhenti membeli rumus-rumus asing.Diktat-diktat hanya boleh memberi metode,tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan.Kita mesti keluar ke jalan raya,keluar ke desa-desa,mencatat sendiri semua gejala,dan menghayati persoalan yang nyata.”
Selain sajak-sajaknya, terutama dalam kumpulan puisinya yang berjudul “Potret Pembangunan dalam Puisi”, naskah-naskah teater, baik karya asli maupun karya adaptasi yang dipentaskan Bengkel Teater yang dipimpinnya senantiasa menjadi perbincangan hangat di media massa. Bahkan karena sering dianggap menelanjangi penguasa, berkali-kali pementasannya tidak berjalan mulus. 

Bahkan setelah membaca puisi pamfletnya tahun 1972, Rendra sempat merasakan dinginnya penjara.

Sejumlah pementasannya masih dikenang publik hingga sekarang ini, antara lain saat Bengkel Teater membawakan lakon “Mastodon dan Burung Kondor”“Panembahan Reso”“Kisah Perjuangan Suku Naga”“Shalawat Barzanji”, ”Sobrat”, juga naskah-naskah adaptasi dari William Shakespeare “Hamlet” dan “Macbeth”, naskah adaptasi dari Samuel Becket “Menunggu Godot”. Naskah adaptasi dari Sophokles “Oedipus Sang Raja”“Oedipus di Kolonus” dan “Antigone”.

Kendati membawakan naskah terjemahan, namun Rendra mempertemukan tradisi teater barat dengan seni pertunjukan lokal seperti memasukan unsur kethoprak dalam karyanya. Karena Rendra memang dikenal sebagai pelopor teater modern Indonesia. Karya-karyanya, baik puisi maupun teaternya banyak diulas para kritikus dunia sekaliber Profesor Harry Aveling (Australia), Profesor Rainer Carle (Jerman) dan Profesor A. Teeuw (Belanda).

Sepanjang karir kepenyairannya sudah 14 kumpulan puisi yang dilahirkannya, belum termasuk puisi-puisi baru menjelang wafatnya. Karena gaya penulisannya yang epic, bukan lyric sebagaimana umumnya cara penulisan puisi, maka oleh Prof. A. Teeuw puisi-puisi Rendra tidak digolongkan pada angkatan-angkatan baik itu 45, 50-an, Manikebu maupun Lekra. Sebab Rendra adalah penulis yang independen dan tidak terpengaruh oleh kelompok yang ada pada zamannya.

Setidaknya, Rendra pernah meraih delapan penghargaan bergengsing, masing-masing Hadiah Pertama Sayembara Penulisan Drama dari Bagian Kesenian Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Yogyakarta (1954), Hadiah Sastra Nasional BMKN (1956), Anugerah Seni dari Pemerintah Republik Indonesia (1970), Hadiah Akademi Jakarta (1975), Hadiah Yayasan Buku Utama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1976), Penghargaan Adam Malik (1989), The S.E.A. Write Award (1996) dan Penghargaan Achmad Bakri (2006).


Oposan Abadi

Rendra memang dikenal kritis terhadap siapapun penguasa di negeri ini. Seperti halnya Sastrawan Mochtar Lubis, Rendra juga dikenal sebagai Oposan Abadi. Era Orde Lama Rendra tidak sejalan dengan Soekarno. Tapi saat konflik kepemimpinan Orde Lama meruncing, Rendra mengambil tawaran beasiswa dari “American Academy of Dramatical Art” yang dijalaninya antara 1964 hingga 1967. Era Soeharto dia sempat dilarang tampil di muka public dan berkali-kali dicekal, bahkan bukunya “Seni Drama untuk Remaja” meskipun ditulis dengan nama Wahyu Sulaiman tetap saja dilarang terbit.

Paska kejatuhan Soeharto pun Rendra juga belum bisa berdamai dengan penguasa. Saat Aktivis Malari Hariman Siregar mendirikan Indonesia Democracy Monitor (Indemo), Rendra termasuk tokoh yang ikut bergabung. Tokoh lainnya tercatat Profesor Sarbini Somawinata, Ali Sadikin, Muslim Abdurahman, Mulyana W Kusumah, dan Amir Husin Daulay yang kesemuanya sudah almarhum. Tokoh yang ikut membidani Indemo yang hingga kini masih hidup adalah Jusman Syafii Djamal dan Prof. Dr. Malik Fajar yang keduanya bahkan sempat menjadi menteri.

Bersama Indemo Rendra juga melibatkan diri dalam Aksi Cabut Mandat Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono – Jusuf Kalla pada 15 Januari 2006. Maka, begitu Rendra menghembuskan napasnya yang terakhir di Padepokan Bengkel Teater Rendra, di kawasan Citayam, Depok, pada 6 Agustus 2009 bukan saja dunia Sastra dan Teater yang kehilangan, melainkan juga berbagai kalangan termasuk aktivis gerakan.
Sebelum pada episode 2 membahas Jose Rizal, berikut ini sebait sajak Rendra yang ditulisnya pada 22 April 1984 dan masih banyak dihafal oleh berbagai kalangan hingga sekarang :

“Kesadaran adalah Matahari, Kesabaran adalah Bumi, Keberanian menjadi Cakrawala Dan Perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata”


Jose Rizal, seorang dokter yang juga Sejarahwan, Filsuf dan Sastrawan yang karyanya terkenal di Indonesia

Sebenarnya masih banyak lagi sastrawan yang berkisah tentang pembebasan manusia dari penindasan, ketidak-adilan, penghisapan dan seterusnya. Seperti misal Albert Camus, Boris Pasternak, Bertold Brech, Maxim Gorky dan masih banyak lagi.

Setelah mengulas Rendra, penyair Indonesia yang menginspirasi gerakan mahasiswa era 1970-an hingga 1990-an, kali ini mengulas Pahlawan Nasional Filipina Jose Rizal yang puisinya berjudul “Mi Ultimo Adios” menjadi sumber insprasi, bukan saja para pejuang kemerdekaan Filipina, bahkan Bung Karno sendiri pernah menyelipkan nukilan “Mi Altimo Adios” dalam pidatonya.

Jose Rizal adalah pahlawan Filipina yang dihukum mati pada 30 Desember 1896. Intelektual Filipina yang memiliki bermacam gelar akademis itu lahir di Calamba, Provinsi Laguna, Filipina, pada 19 Juni 1861. Selain berprofesi dokter, dia juga dikenal sebagai seniman, pendidik, ekonom, ahli pertanian, sejarahwan, jurnalis, pemusik, sosiolog, penyair, penulis drama dan novelis.

Jose Rizal juga menguasai 22 bahasa lokal maupun internasional,seperti Tagalog, Cebuano, Melayu, Tionghoa, Arab, Ibrani, Inggris, Jepang, Catalan, Italia, Portugis, Latin, Perancis, Jerman, Yunani, Rusia dan Sansekerta. Sebagai seorang pahlawan hari kematiannya pada 30 Desember diperingati sebagai hari libur nasional yang disebut “Rizal Day”.


Mi Ultimo Adios

“Mi Ultimo Adios” adalah karya terakhir Jose Rizal sebelum dieksekusi oleh pemerintahan Kolonial Spanyol pada 30 Desember 1896. Puisi itu berhasil diselundupkan keluar penjara dan diterjemahkan 38 bahasa, selain terjemahan ke dalam 46 bahasa daerah Filipina sendiri. Puisi itu lengkapnya terdiri dari 14 bait yang masing-masing bait terdiri dari 5 baris. Tulisan tangan Jose Rizal tentang puisi itu dapat dilihat di Project Gutenberg, Jerman.

Sebenarnya puisi itu tidak diberi judul oleh penulisnya. “Mi Ultimo Adios” yang selanjutnya dijadikan judul dikutip dari bait pertama puisinya. Kemashuran “Mi Ultimo Adios” dan José Rizal ini juga dibenarkan sastrawan Taufiq Ismail. Bahkan saat berkunjung ke Rizal Park yang tempat Rizal dieksekusi hukuman mati di Filipina pada 1996, Taufiq Ismail sempat menulis puisi tentang penyair besar itu.

Seperti halnya para perintis kemerdekaan Indonesia, Jose Rizal adalah intelektual didikan pemerintahan kolonial yang sadar atas ketertindasan bangsanya. Dia pun aktif melibatkan diri di sejumlah organisasi, terutama saat kuliah di Spanyol, Perancis dan Jerman. Kala itu lahir novel pertamanya berjudul “Noli Me Tangere” atau dalam bahasa Indonesianya “Jangan Sentuh 
Aku” yang sangat terkenal di dunia.

Novel itu dikerjakan selama 4 tahun selama dia kuliah di Madrid, Paris dan Berlin ketika usianya 26 tahun, atau 2 tahun setelah dia meraih gelar doktor Filsafat dan Sastra.  Novel keduanya, El Filibusterismo (Merajalelanya Keserakahan) merupakan kelanjutan dari novel sebelumnya.

Memang, hampir semua karya Rizal ditulis dalam bahasa Spanyol, bahasa penjajah bagi bangsa Filipina. Kedua novel Rizal ini telah diterjemahkan ke Bahasa Indonesia (melalui edisi bahasa Inggris) oleh Tjetje Jusuf dan diterbitkan oleh Pustaka Jaya, masing-masing pada 1975 dan 1994.

Berkebalikan dengan kalkulasi pemerintah jajahan Spanyol, eksekusi mati terhadap Rizal justru semakin meneguhkan kesyahidan (martyrdom) Rizal dan membuat novel-novel dan puisi José Rizal itu bergema lebih keras. Kematiannya justru semakin mengobarkan Revolusi Filipina untuk mencapai pemerintahan sendiri (merdeka). Apalagi di masa penindasan kolonial yang serba-sensor, puisi juga jauh lebih mudah tersebar dan dihapal serta menginspirasi setiap orang yang bergerak.

Meskipun puisi asli “Mi Ultimo Adios” terdiri dari 14 bait namun bait yang terkenal adalah satu bait pertama dan tiga bait terakhir. Terjemahan dalam bahasa Inggris saja terdiri dari 35 versi, namun terjemahan oleh Trinidad T Subido dianggap paling banyak diterjemahkan kembali ke dalam berbagai bahasa, termasuk bahasa Indonesia. Di Indonesia sendiri puisi itu sudah diterjemahan oleh Rosihan Anwar pada 1945.

“Mi Ultimo Adios” hasil terjemahan Rosihan Anwar ke bahasa Indonesia dianggap sangat berhasil. Atas karyanya itu, Rosihan Anwar pernah diundang untuk menerima penghargaan dari pemerintah Filipina. Berikut terjemahan “Mi Ultimo Adios” dalam bahasa Indonesia yang disebut oleh penterjemahnya sebagai karya adaptasi.

Selamat tinggal, Tanah tercinta, kesayangan mentari,Mutiara lautan Timur, Kahyangan yang hilang!Demi kau jiwa-raga kupasrahkan, dengan rela hati;Andai ‘ku lebih indah, lebih segar, lebih utuh dari ini,‘Kan kuserahkan jua, padamu ‘tuk kebahagiaanmu …Bila kau lupakan aku, apalah artinya jika‘Ku bisa susuri tiap jengkal tercinta relungmu?Jadilah seutas nada, berdenyut dan murni; sesudahnyaJadilah aroma, cahya, senandung; lagi jadilah tembang atau tandaDan melalui semua, lagukan kembali keyakinanku.Tanah pujaan, dengarkan selamat tinggalku!Filipina Cintaku, dukamu sangat laraku jua,Kutinggalkan kalian semua, yang sangat kucintai;‘Ku pergi ke sana, di mana tiada hamba tiada tiran berada,Di mana Keyakinan tiada merenggut nyawa,dan Tuhan mahakuasa beradu.Selamat tinggal segala yang dimengerti jiwakuYa sanak-saudara tanah airku yang dirampasi;Syukurilah berakhir hari-hari tertindasku;Selamat tinggal, engkau yang asing nan manis, sukacita dan sahabatku;Selamat tinggal, orang-orang yang kucintai. Mati hanyalah tetirah ini.[]

Sumber: NusantaraNews 

0 komentar:

Posting Komentar