This is default featured slide 1 title

BEBAL:"FPI"

Kebebalan FPI Banyuwangi yang membubarkan ritual tradisi Sedekah Laut di daerahnya

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Jumat, 30 Agustus 2019

Bonokeling, Kearifan Lokal Jawa Kuno

TRADISI unggah-unggahan menjadi warisan budaya adiluhung Tanah Banyumas yang berbasis agraris. Pengikut adat Bonokeling meluruhkan nafsu sebagai manusia agar kembali fitri.

Inilah bagian dari kearifan masyarakat adat Jawa kuno yang masih bertahan di tengah hiruk-pikuk modernitas.

Ratusan perempuan berbalut kemban dengan selendang putih melingkari pundak duduk bersimpuh di bawah terik surya. Dalam keheningan, satu per satu membasuh tangan, kaki, dan wajah mereka sambil mengucap mantra.

Mereka bersiap menjalankan ritual unggah-unggahan, mendoakan leluhur, membersihkan batin sebelum Ramadhan, tiga pekan lalu. Mereka berjajar rapi, di kompleks makam Bonokeling, Kecamatan Jatilawang, Banyumas, Jawa Tengah.

Sosok Bonokeling, menurut Tetua Komunitas Adat Bonokeling, Sumitro, konon adalah tokoh spiritual dari Kadipaten Pasir Luhur (sekarang wilayah Karanglewas, Banyumas). Wilayah ini dulu merupakan bagian dari Kerajaan Padjadjaran. Kedatangan Bonokeling ke Pekuncen dalam rangka pembukaan wilayah pertanian.

Oleh karena itu, nuansa agraris menjadi ciri utama tradisi Bonokeling. Tradisi unggah-unggahan awalnya diadakan menjelang musim panen padi. Acara berlangsung lima hari, mulai dari penyambutan tamu, berdoa bersama, ziarah, selamatan, dan pengiringan tamu pulang.

Saat Islam masuk pada abad ke-16, prosesi ini disamakan dengan ritual sadran, tradisi menengok dan membersihkan makam leluhur sebelum bulan puasa.

Dalam prosesi ini, para peziarah adalah pengikut Bonokeling dari beberapa desa di Kabupaten Cilacap. Mereka berjalan tanpa alas kaki dari rumah masing-masing sejauh 30 kilometer-40 kilometer sambil membawa hasil bumi yang akan dimakan bersama seusai ziarah kubur. Ritual jalan kaki atau laku mlampah ini dimaknai sebagai olah rasa, prihatin sebelum memanjatkan doa esok harinya.

Menurut Miswan (60), pengikut komunitas adat Bonokeling asal Desa Kalikudi, Kecamatan Adiraja, Cilacap, hasil bumi dibawa sebagai lambang bakti kepada leluhur. 
”Sebelum bulan puasa, sudah semestinya mohon restu orangtua untuk menjalani bulan yang suci ini. Itulah yang kami lakukan dengan sowan kepada sesepuh dan leluhur, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal,” tuturnya.
Olah batin menjadi penyangga utama arah keyakinan kaum Bonokeling. Mereka meyakini, batin yang bersih merupakan kunci utama mendapatkan kehidupan yang lebih baik di dunia dan akhirat.

Pada malam-malam tertentu, di rumah adat di Desa Pekuncen yang berdinding anyaman bambu dan beralas tanah, mereka sering menggelar kegiatan muji (semacam zikir). Mereka menembangkan lagu-lagu berbahasa Jawa kuno sebagai medium permohonan keselamatan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Hal lain yang unik dalam tradisi Bonokeling, mereka hanya mengucapkan syahadat, puasa, dan zakat. Namun, mereka tidak mempertentangkan tata cara Islam yang sebenarnya. Mereka lebih memandang, beribadah bukan terletak pada cara menjalankannya, melainkan tujuannya, yakni Yang Mahahakiki.

Dalam kehidupan sehari-hari, mereka mengharamkan mo limo, yaitu madat, maling (mencuri), madon (main perempuan), mabuk, dan main (judi). Mereka dianjurkan senantiasa menggali pengetahuan untuk hidup di akhirat. Mengamalkan pepatah Jawa kuno urip kui mung mampir ngombe yang mengandung makna bahwa hidup itu hanya sesaat, yang abadi adalah hidup akhirat.

Warga (40), penganut Bonokeling dari Dusun Daunlumbung, Cilacap Selatan, yang bekerja sebagai pegawai swasta, misalnya, selalu berusaha jujur dalam setiap pekerjaan sekecil apa pun. 
”Saya tidak akan mengambil yang bukan hak saya. Uang lebih kalau disuruh fotokopi ya saya kembalikan. Itu bukan hak saya,” tuturnya.
Selain itu, dalam setiap kesempatan ronda di kampungnya, dia juga selalu menghindar jika ada tetangga yang mengajak main kartu dengan taruhan. Bagi dia, sekecil apa pun taruhannya, itu sudah melanggar keyakinannya.

Dalam berpuasa, komunitas adat ini, mendasarkan pada penanggalan Jawa versi Alif Rebo Wage (Aboge). Tidak seperti penentuan awal puasa pemerintah yang didasarkan pada rukyat atau melihat hilal (bulan sabit). Penghitungan ini, kata Sumitro, sudah dikenalkan pada abad ke-14 oleh Raden Rasid Sayid Kuning dari Kerajaan Pajang.

Keteguhan kaum adat Bonokeling mempertahankan kearifan-kearifan lokal bukan tanpa halangan. Gelombang modernisasi berupa hiburan dan tontonan sedikit menggerus beberapa nilai-nilai hidup mereka.

Sumitro mencontohkan, jika dulu warga Desa Pekuncen dan sekitarnya, tidak diperbolehkan nanggap wayang dan lengger dengan maksud menjauhkan diri dari maksiat. Namun, kini larangan seperti itu sudah sering dilanggar. Arus informasi dari televisi yang menyuguhkan ingar-bingar dunia serba instan juga menggoda nilai kehidupan generasi muda Bonokeling.

Oleh karena itu, menurut juru kunci Bonokeling, Kiai Kartasari, untuk menjadi pengikut Bonokeling, seseorang harus melewati berbagai ujian. Calon pengikut harus mematuhi beberapa syarat utama untuk menjadi anggota.
”Yang ingin menjadi pengikut harus melewati ujian selama tiga tahun digembleng dengan mengikuti kebiasaan adat Bonokeling. Tradisi ngelaku ini dilakukan untuk ’ngisi balung merti’ atau mendalami nilai-nilai Bonokeling hingga ke sumsum tulang. Kalau tidak kuat, ya keluar,” ujar Kartasari.
Sujito (24), salah satu generasi muda Bonokeling, mengakui, gemblengan terberat dalam mengikuti komunitas adat tersebut adalah wajib mengikuti setiap pelaksanan ritual selama periode waktu tertentu. 
”Kalaupun itu hari kerja, harus mengajukan libur. Tapi, itu risiko. Berbeda dengan pergaulan di luar, di sini batin saya tenteram,” tutur pemuda yang mengikuti komunitas adat itu sejak SMA.
Ia mengikuti jejak ayahnya. Namun, hal itu tidak pernah dipaksakan kepada anggota keluarga lain. Adik perempuan dan ibunya tetap menganut keyakinan Islam berkiblat ke Baitullah.

Dalam buku, Islam Kejawen (2008), peneliti Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Purwokerto, Dr Ridwan, MAg, menyebutkan, komunitas adat Bonokeling dalam praktiknya masih memandang adanya simbol sebagai kosmologi dan mitologis yang terkait dengan dunia material dan dunia pikir sebagai fenomena menakjubkan. Hal tersebut menuntut kedewasaan orang luar dalam mengurai bahasa simbol yang sangat bergantung pada sudut pandang penilaiannya.

Namun, budayawan Ahmad Tohari menilai, terlepas dari jalur keyakinan yang dianut, tradisi Bonokeling merupakan kekayaan budaya Jawa kuno yang sangat langka. Ia malah mengkhawatirkan keberlangsungan tradisi tersebut. Pasalnya, hampir 80 persen pengikutnya berusia lanjut sehingga butuh transformasi nilai budaya bagi keturunan selanjutnya.

Bagi Tohari, akulturasi budaya lokal dan Islam yang terjadi pada kaum adat Bonokeling melahirkan kearifan lokal yang unik. Kekerabatan yang begitu kuat di antara kaum Bonokeling akan menjadi kunci kelanggengan kearifan khas Jawa kuno itu. (Gregorius Magnus Finesso)

Editor : I Made Asdhiana
Sumber : Kompas Cetak,

Gregorius Magnus Finesso 

Kamis, 15 Agustus 2019

Bumi Manusia dalam Film

Oleh Hendri F. Isnaeni

Tokoh utama dalam film Hanung Bramantyo mendapat pencerahan dari Bumi Manusia. Novel karya Pramoedya Ananta Toer itu dibakar karena dianggap berbahaya.

Novel "Bumi Manusia" karya Pramoedya Ananta Toer dibakar dalam film "Perempuan Berkalung Sorban". (Youtube).

Bumi Manusia, novel pertama dari Tetralogi Pulau Buru karya Pramoedya Ananta Toer, diangkat ke layar lebar. Film ini disutradarai Hanung Bramantyo, naskah skenario oleh Salman Aristo, dan diproduksi Falcon Picture. Film ini tayang di bioskop mulai 15 Agustus 2019.

Rencana pembuatan film itu sempat menimbulkan kegaduhan nasional. Banyak orang seakan tak rela mahakarya Pramoedya itu disutradarai oleh Hanung. Apalagi tokoh utama dalam Bumi Manusia, yaitu Minke, diperankan oleh Iqbaal Ramadhan yang namanya melambung setelah memerankan film Dilan 1990.

Hanung memang beberapa kali membuat film sejarah, seperti Sang Pencerah (KH Ahmad Dahlan, 2010), Soekarno (2013), dan RA Kartini (2016). Namun, karya-karyanya itu menuai kritikan, bahkan film terakhirnya, Benyamin Biang Kerok, diprotes masyarakat Betawi. Film-filmnya yang lain juga memicu kontroversi. Namun, Hanung tak jera.

Menurut laporan tempo.co, niat Hanung memfilmkan Bumi Manusia disampaikan langsung kepada Pramoedya, namun ditolak. Pramoedya juga menolak permintaan sutradara Oliver Stone.

Kesempatan datang pada 2008 setelah Hanung merampungkan film Ayat-ayat Cinta. Seorang teman, yang tak disebutkan namanya, menawarinya memfilmkan Bumi Manusia. Namun, Salman Aristo belum berani menulis skenarionya.

Akhirnya, pada 2018, Hanung resmi mengumumkan akan memfilmkan Bumi Manusia. Salman Aristo sanggup menulis skenarionya karena mengaku hampir membaca semua karya Pramoedya. Selain Hanung, ada dua sutradara yang berniat memfilmkan Bumi Manusia, namun gagal.

Sebelumnya, Hanung telah memasukan Bumi Manusia dalam filmnya,  Perempuan Berkalung Sorban(2009), yang diangkat dari novel karya Abidah El Khalieqy.

Dalam Identitas dan Kenikmatan, Ariel Heriyanto menyebut Perempuan Berkalung Sorbanmenyodorkan kritik keras terhadap sisi-sisi gelap patriarki yang masih berlangsung dalam komunitas Muslim di Indonesia. Dalam film ini, nyaris semua laki-laki Muslim termasuk yang poligami, bersifat egois, irasional, picik, intoleran, korup, dan menindas dengan kekerasan.

Para kritikus pun menafsirkan minimnya lelaki yang bisa menjadi panutan dalam film itu sebagai serangan yang disengaja terhadap petinggi Muslim dan karenanya terhadap Islam itu sendiri, ketimbang serangan secara umum terhadap patriarki.
“Yang paling menyakitkan dari semuanya, para tokoh perempuan yang menjadi korban mendapat pencerahan dan jalan keluar dari novel Bumi Manusia,” tulis Ariel.
Dengan demikian, menurut Ariel, Perempuan Berkalung Sorban merupakan film panjang bioskop pertama yang menampilkan Bumi Manusia di layar lebar kepada penonton Indonesia. Novel itu muncul dalam sekurangnya lima adegan, termasuk ketika tokoh utama membaca dan menentengnya.

Juga ada satu adegan, yang tak ada di novelnya, yang menggambarkan sejumlah guru lelaki di pesantren menyita buku-buku Pramoedya dan membakarnya beserta beberapa buku lain yang dianggap berbahaya.

Faktanya memang Pramoedya dan novel-novelnya dianggap berbahaya oleh rezim Orde Baru sehingga dilarang dan dibakar. Yang memiliki dan mendiskusikannya ditangkap dan ditahan. Pada 31 Oktober 1981, Kejaksaan Agung membantah telah membakar 10.000 eksemplar Bumi Manusia dan lanjutannya, Anak Semua Bangsa, namun mengaku hanya membakar 972 eksemplar.

Menurut Ariel, orang-orang yang mengkritik film itu membantah dengan mengatakan adegan membakar buku tidak realistis dan menampilkan stereotif yang tak adil terhadap Muslim. Menurut mereka, sekonyol-konyolnya orang di pesantren tak akan ada yang sampai membakar buku.

Kini, Hanung berhasil memfilmkan Bumi Manusia yang telah diimpikannya sejak lama. Apakah akan menuai kritikan? Hanung sudah akrab dengan hal itu.

Bumi Manusia: Film adaptasi dari buku mantan tapol yang pernah dilarang, 'perjalanan sulit' Pramoedya Ananta Toer

15 Agustus 2019

Bumi Manusia diadaptasi dari novel karya Pramoedya Ananta Toer yang pernah dilarang oleh Kejaksaan Agung. Larangan ini belum pernah dicabut, sekalipun sudah tidak memiliki kekuatan hukum. FALCON PICTURES

Film Bumi Manusia, adaptasi dari buku yang pernah dilarang karya Pramoedya Ananta Toer diluncurkan menjelang hari kemerdekaan, langkah untuk menggambarkan "perjalanan sulit' mantan tapol dan "mengenang korban penderitaan orde baru".

Bumi Manusia yang dibintangi antara lain oleh Iqbaal Ramadhan - pemeran film Dilan - disebut produsernya HB Naveen, pendiri dan pemilik Falcon Pictures, sebagai cara menggambarkan persepsi milenial terkait kejadian 1965 yang sudah berubah.

Buku Bumi Manusia dan buku-buku Pram lain sudah dijual bebas. Naveen menekankan pentingnya situasi yang sudah berubah. Novel Bumi Manusia bercerita tentang perjuangan tokoh Minke memperjuangan kedudukan pribumi melawan diskriminasi Belanda pada masa kolonial Belanda di awal abad keduapuluh. Sebagai anak bupati, Minke bisa bersekolah, dan ia menggunakan pengetahuannya untuk melawan kolonialisme Belanda. 
"Generasi kan sudah berubah, perspektif sudah berubah, persepsi sudah berubah, environment (lingkungan) sudah berubah. Jadi masyarakat millenial zaman sekarang menilai Pram itu dari karyanya. Dan bisa saya sampaikan pada minggu kemarin buku Bumi Manusia novel itu di Gramedia dicatat sebagai buku nomer dua best seller," kata Naveen.
Buku Bumi Manusia sendiri pernah dilarang pada 1981 oleh Kejaksaan Agung RI dengan surat larangan nomer SK-052/JA/5/1981. Sejak larangan itu keluar, beberapa orang mahasiswa pernah dipenjara dengan tuduhan menyimpan dan mengedarkan buku itu.

Tanggal penayangan film ini, menurut Naveen memang sengaja dipilih untuk memperingati Kemerdekaan Indonesia dan juga untuk mengingat "kehebatan Pram."
Naveen mengatakan, "Dari perspektif kami bahwa itu Pram tidak mendapatkan yang semestinya. Kehebatan yang dilakukan oleh beliau di Indonesia, dengan menulis begitu banyak novel. Juga perjalanan beliau yang cukup susah dan cukup rumit. Kita ingin dengan kita launching tanggal 15 Agustus itu, beliau diingatkan kembali, sebagai sumbangsih beliau kepada Indonesia dengan novel sastra yang demikian hebat."
Memiliki atau mengedarkan novel Bumi Manusia dan buku-buku Pramoedya Ananta Toer lainnya pernah menjadi sesuatu yang bisa membawa risiko seseorang menjalani hukuman penjara. FALCON PICTURES

Novel Bumi Manusia sendiri kini sudah dijual bebas. Namun surat larangan Kejaksaan Agung itu belum pernah dicabut. Naveen sendiri menyatakan belum memastikan apakah larangan sudah resmi dicabut.
Tetapi ia mengatakan novel Bumi Manusia "sejak 10 tahun lebih sudah terbit di toko buku."

"Mengenang penderitaan korban orde baru"

Pengamat yang menjadi dosen di Direktur Herbert Feith Centre dan profesor di Monash University Australia, Ariel Heryanto, melihat bahwa soal larangan Bumi Manusia pada awal 1980an mencerminkan kacaunya peraturan masa Orde Baru yang terbawa hingga kini.
"Soal larangan Orde Baru terhadap Bumi Manusia ini kacau lagi. Peraturan mereka itu kan compang-camping. Jadi di zaman Orde Baru sampai sesudah Orde Baru juga, peraturan itu ngga dibuang dan dimasukkan tong sampah.Pemerintah ini lebih suka bikin larangan-larangan baru untuk membatasi kehidupan rakyat, ketimbang membersihkan dan menghapus larangan yang sudah kadaluwarsa."
Melalui akun Twitternya, Ariel juga menyatakan film ini dapat dipakai untuk "Mengenang pula penderitaan beliau dan seluruh keluarganya sebagai korban rezim Orde Baru."
Peraturan yang menjadi dasar pelarangan buku-buku di Indonesia terutama yang dianggap kiri atau berhaluan komunis adalah UU No.4/PNPS/1963. UU ini sudah dibatalkan oleh keputusan Mahkamah Konstitusi tahun 2010.

Pengacara yang menangani gugatan itu, Taufik Basari menyatakan bahwa SK pelarangan itu sebenarnya sudah tidak memiliki kekuatan hukum lagi.
Taufik mengatakan, 
 "Ketika suatu keputusan hukum sudah tidak ada dasar hukumya lagi, maka keputusan itu menjadi keputusan yang abu-abu, di mana secara hukum sebenarnya dia sudah tidak lagi mempunyai kekuatan hukum tapi secara administratif, SK-nya belum dicabut."
BBC Indonesia telah beberapa kali mengontak pihak Mahkamah Agung melalui Kapuspenkum, Mukri, namun tidak mendapat tanggapan.

FALCON PICTURES | Penayangan perdana tanggal 15 Agustus terkait dengan perayaan kemerdekaan Indonesia karena novel Pram Bumi Manusia dan Perburuan bercerita tentang momen dalam sejarah yang anti terhadap kolonialisme.

Perjalanan susah dan rumit dan menciptakan novel sastra hebat
Buku Bumi Manusia sendiri dilarang oleh Kejaksaan Agung bersamaan dengan Anak Semua Bangsa.

Pada tahun 1985, novel Jejak Langkah juga dilarang. Pelarangan ini dikait-kaitkan dengan posisi Pram yang dekat dengan Lembaga Kesenian Rakyat atau LEKRA, organisasi kebudayaan di bawah Partai Komunis Indonesia.
Pram sendiri dijadikan tahanan politik di Pulau Buru - tempat di mana novel-novel itu dihasilkan - bersama dengan para tahanan anggota PKI dan simpatisannya.

Menanggapi hal ini, HB Naveen menyatakan tidak mempersoalkan posisi Pram dan yang utama adalah jasa besar Pram bagi Indonesia.
"Dari perspektif kami bahwa Pram tidak mendapatkan yang semestinya (yaitu) kehebatan yang dilakukan oleh beliau di Indonesia, dengan menulis begitu banyak novel. Juga perjalanan beliau yang cukup susah dan cukup rumit. Kita ingin dengan kita launching tanggal 15 Agustus itu, kita diingatkan kembali akan sumbangsih beliau kepada Indonesia dengan novel sastra yang demikian hebat."
Ariel Heryanto juga menyambut baik peluncuran film yang didekatkan dengan Hari Kemerdekaan Indonesia.
"Saya sih menyambut baik kalau ada perayaan hari ulang tahun kemerdekaan Indonesia dikaitkan dengan jasa-jasa orang-orang komunis. Sudah saatnya lah kita mengakui jasa-jasa orang-orang kiri - termasuk yang komunis - dalam perjuangan kemerdekaan RI." kata Ariel.
Sejumlah orang yang telah menyaksikan film ini menyambut dengan menulis melalui Twitter, "Sebagus itu sih #BumiManusia, keluar bioskop mewek dong dan yang bikin terharu setelah film selesai satu studio hampir pada standing applause."
Mantan aktvisi dan politisi Budiman Sudjatmiko menyebut, "Awal kesadaran kebangsaan Indonesia layak difilmkan lewat #BumiManusia."
Pengguna lain menulis, "Tak terbayangkan, Bumi Manusia bisa hidup dan kita tonton di bioskop!"
BBC.Com 


Komentar Muhamad Ridha

Setelah Menonton Bumi Manusia
Ada penggalan diskusi di novel Bumi Manusia yang terpotong. Saat cerita berkelok amat tajam dari bahagia ke keruntuhan dan nelangsa:
Annelis: "saya minta mama menikah lagi dan nerikan saya adik. Adik yang manis. Yang karena manisnya hingga mama takkan ingat pernah ada Annelis."
Lalu nyai ontosoroh: bersedu sedan. "saya cukup membelamu, nak" sambil teru menangis...
Di filmnya:
Annelis: "saya ada satu permintaan. Mama menikah lagi. Berikan saya adik. Yang manis"
Lalu nyai ontosoroh menanis tersedu.
Kedua adegan dialog di novel dan di film seperti saya sampaikan ini jelas amat berbeda. Yang di novel membuat kelokan begitu dramatis dengan diksi yang makin bikin trenyuh. Sudah lah Annelis harus pergi. Pergi membawa koper yang memberati kenangan mamanya. Ditambahi pula permintaan nan menyayat perasaan, yang dengan amat manis diceritakan oleh Pram. Yang amat sayang justru tak ditampilkan dalam film. Atau dipotong.
Bagi mereka yang belum pernah membaca novelnya, dialog dan adegan sedih ini diperankan, cukup menyayat. Sebab dimulai dari konflikkonflik yang membuat keluarga ini guncang tak karuan. Tapi bagi yang pernah membacanya, ekspresi kesedihan jelas lebih menyayat di novel Bumi manusia itu.
Ada juga dialog yang di novel diceritakan saat ibunya mendandani dan mendoakan anaknya saat bersiap menikah. Ibunya bilang: "gadis secantik ini, untuk mendapatkannya, rajaraja jawa dulu harus berperang". Kalimat ini membangun imaji pembaca mengenai cantiknya Annelis Mellema, puteri indo yang amat mencintai identitas pribumi. Lebih ingin disebut pribumi daripa sebagai eropa. Disebut pram sebagai bunga penutup abad.
Sementara di film, pernyataan ini malah tak muncul sama sekali. Karenanya kesan kecantikan Annelis terlalu bertumpu pada tampilan visual Mawar de Jong yang memang aktris dengan identitas indo.
Tapi ada banyak pelajaran setelah 10 tahun tak baca Pram dan akhirnya menonton adaptasi ceritanya dalam Film. Di antaranya adalah: pertama, pram telah memberikan kita gambaran mengenai bagaimana indonesia ini diimajikan dan ditumbuhkan di awal abad 20 atau akhir abad 19 itu dengan menampilkan tokoh seperti Tirto Adi Suryo (minke). 
Nasionalisme indonesia dimulai dari guratan banyak kaum pergerakan mengenai kondisi bangsanya, rakyatnya dan bagaimana seharusnya rakyatnya kelak. Kedua, nasionalisme kiri. Meski tak diceritakan di bumi manusia, tapi di novel kedua dari tetralogi ini, anak semua bangsa, bahwa nasionalisme indonesia, sejak semula adalah nasionalisme kiri. 
Nasionalisme kiri dalam arti bahwa nasionalisme yang diperjuangkan adalah nasionalisme berbentuk bangsa yang bebas dati eksploitasi kolonialisme kapitalis. Karena itulah, jelas digambarkan bahwa yang awal memperjuangkan ini adalah para aktifis kiri di Syarikat Islam (sebelumnya bennama syatikat dagang islam). Saya tak usah menyebut nama-nama orang-orang yang saya sebut nasionalis kiri tersebut. Sebab sejarah kita telah dihiasi oleh nama-namanya.

Pelajaran berikutnya adalah pram berhasil menempatkan Islam sebagai proto nasionalisme indonesia dengan amat menarik. Selain melalui organisasi SI, tentu saja di bumi manusia diceritakan propaganda hukum islam melawan hukum kafir saat pengadilan eropa akhirnya merenggut istrinya, Annelis, untuk dibawa kepada walinya yang sah di eropa, yakni kakaknya dari ibu yang berbeda, Maurits Mellema. 
Meski telah dipersunting dan dinikahi secara sah oleh hukum pribumi, tapi tak sah menurut hukum eropa dan hukum eropalah yang harus dijalankan. Disini Pram menceritakan bagaimana Minke berjuang melawan hukum eropa dengan mendorong panji-panji hukum islam yang lebih egaliter dan tidak diskriminatif seperti hukum kolonial.
Keempat, pramodya, melalui novel tetraloginya, yang telah diterjemahkan ke dalam lebih dari 50 bahasa utama dunia, telah memberi pelajaran tentang harkat pribumi dalam menampilkan keberanian Nyai Ontosoroh, Kecerdasan Minke, Jan Dappersete, Darsam dan yang lain. Bagi anak muda pergerakan, dialog di penghujung film ini tentu amat familiar dan bahkan menjadi semacam nilai-nilai altruistik, nilai nilai kepahlawanan. Seperti: "kita kalah, ma" lalu nyai ontosoroh menimpali: "kita melawan nak. Sehormathormatnya!"

Bersambung. Tibatiba ada teman ngajak ngobrol.

Senin, 12 Agustus 2019

Pramoedya Ananta Toer dan Bumi Manusia, Perlawanan dari Dalam Penjara

NIBRAS NADA NAILUFAR - 12/08/2019, 06:00 WIB

Pramoedya Ananta Toer, sastrawan yang dipenjara di Pulau Buru sekitar tahun 1977, menyelesaikan karya-karyanya dengan sebuah mesin tik tua. (KOMPAS/SINDHUNATA)

KOMPAS.com - 13 Oktober 1965, rumah Pramoedya Ananta Toer di bilangan Utan Kayu, Jakarta Timur dilempari batu oleh segerombolan pemuda. Pintu rumahnya hancur. Pram yang saat itu sibuk menulis meneriaki mereka.

Kakinya terluka kena lemparan batu. Ketika hendak melawan, satu peleton tentara datang mencegah amuk Pram. 
"Mari Pak, kita amankan!" kata tentara kepada Pram.
Pram tak tahu apa yang terjadi. Ia hanya membawa beberapa buku, kotak file, mesin tulis, dan naskah yang harus diselesaikan.
"Saya kira diamankan dari gerombolan pemuda ini. Enggak tahu ditahan 14 tahun," kata Pram seperti dikutip dari buku Pram Melawan (2011).
Seluruh barangnya disita, mulai dari jas hingga jam tangan. Yang paling membuatnya sedih, banyak naskah karangannya dibakar. Badannya digebuki sampai hampir tak sadarkan diri.

Pemukulan yang dialaminya saat itu merusak pendengarannya. Telinga kirinya luka parah hingga kadang-kadang mengeluarkan darah sampai ia tua. Pram digelandang dari tahanan Polisi Militer, ke Cipinang, Tangerang, Nusa Kambangan, hingga tahanan di Pulau Buru.

Penangkapan itu menjadi titik penting dalam hidup Pram. Membentuknya menjadi sosok yang keras, penuh kemarahan, dan hasrat perlawanan.

Semua itu tertuang dalam tulisannya. Namun, lebih dari 50 karyanya akhirnya berhasil diterbitkan dan diterjemahkan ke 41 bahasa. Sejumlah penghargaan internasional diterimanya, yang paling bergengsi dan kontroversial, Magsaysay Award.

Hari ini, karya-karya Pram masih laris dibeli di toko buku dan terus dicetak ulang. Yang terlaris, Bumi Manusia dari Tetralogi Buru, serta Perburuan, akhirnya difilmkan.

Apa yang membuat Pram begitu ditakuti dulu, namun dirayakan kini?

Melawan feodalisme Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Hilmar Farid, pernah meneliti tentang dekolonisasi dalam karya Pram.

Ia menyebut, di Orde Lama kritik yang disampaikan Pram lewat esai dan ceritanya juga dilakukan oleh banyak penulis lainnya. Namun setelah Orde Baru berkuasa, Pram menjadi satu dari sedikit penulis yang masih berani melawan kendati dalam tahanan.
"Tahun 1970-an bentuk novel sejarah seperti Pram enggak banyak. Boleh dibilang dari segi itu Pram pelopor lah, bikin historical novel. Ini genre yang khas karena selalu berusaha menggambarkan masyarakat sebagai totalitas, bukan fragmen. Dari segi itu belum ada bandingannya," kata Fay, panggilan akrab Hilmar Farid dalam perbincangan dengan Kompas.com beberapa waktu lalu.
"Umar Kayam kan nulis Para Priyayi, Romo Mangun nulis Burung-burung Manyar, tapi yang daya jangkaunya terhadap fakta sejarah kayaknya cuma Pram," lanjut dia.
Novelnya yang paling terkenal di antaranya Tetralogi Buru, Arok Dedes, dan Arus Balik. Novel-novel itu, dan hampir sebagian besar karya Pram, punya benang merah yang sama, yakni budaya feodalisme. Tetralogi Buru terdiri dari Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca.

Tetralogi Pulau Buru karya Pramoedya Ananta Toer: Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca. (KOMPAS.com/ HERU MARGIANTO)

Jika di Tetralogi Buru feodalisme terjadi di era kolonialisme Belanda, di Arok Dedes dan Arus Balik feodalisme ditunjukkan lewat dalam tatanan sosial Jawa.

Dalam Arus Balik, Pram menghadirkan tokoh manusia biasa bernama Wiranggaleng. Ia adalah pemuda juara gulat dari desa Awis Krambil, Tuban. Latarnya, keruntuhan Majapahit dan bangkitnya Kesultanan Demak.

Wiranggaleng sebenarnya hanya ingin hidup sederhana di desa bersama kekasihnya Idayu. Namun penguasa Adipati Tuban Arya Teja Tumenggung Wilatikta memberi Wiranggaleng jabatan dan berbagai tugas. Wiranggaleng hanya bisa patuh menuruti penguasa dan mengorbankan hubungan personalnya dengan keluarganya.
"Hanya saja bukan kritik yang hitam putih terhadap feodalisme. Malah feodalisme bisa hidup karena orang mendapat manfaat darinya. Dan itu justru yang membuatnya sulit untuk dilawan," kata Fay.
Masuk ke Tetralogi Buru yang mengambil era 1890 hingga 1920, Pram kembali mengkritik feodalisme lewat tokoh utamanya, Minke.

Di novel pertama, Bumi Manusia, Minke diperkenalkan sebagai anak Bupati yang sangat pandai dan bersekolah di HBS bersama anak-anak keturunan Eropa. Minke jatuh cinta pada seorang gadis yang pandai juga bernama Annelies. Annelies adalah putri dari Nyai Ontosoroh, seorang simpanan Belanda yang melawan stigma masyarakat lewat kecerdasan dan ketegarannya.

Cinta Minke dan Annelies harus berhadapan dengan kolonialisme kala itu. Pribumi, termasuk gundik Belanda, terasing di tanahnya sendiri. Perlawanan sebaik-baiknya dilakukan Minke dan Nyai Ontosoroh, namun mereka akhirnya tetap kalah dengan hukum kolonial yang berlaku kala itu.
"Feodalisme dalam pemahaman Pram di karya-karyanya itu yang sebetulnya menghambat perkembangan. Karena orang tidak bisa berpikir terbuka, tidak bisa bicara apa adanya, harus selalu berpikir di dalam kerangka hierarki, bahkan mengamini hal yang tidak baik atas nama ketaatan terhadap atasan dan seterusnya," kata Fay.

Direktur Jenderal Kebudayaan Hilmar Farid.(KOMPAS/ AGUS SUSANTO)

Imajinasi Indonesia Untuk memahami nasionalisme, peneliti Universitas Cornell, Benedict Anderson mengusulkan konsep "imagined community".

Bangsa tak tercipta begitu saja dari langit, tapi lahir dari imajinasi orang-orangnya akan kolektivitas. Pram yang bersahabat baik dengan Anderson, sudah lebih dulu menghadirkan imajinasi akan bangsa Indonesia lewat cerita-ceritanya.

Dalam Bumi Manusia, misalnya, Pram mengkritik sekat-sekat yang menghalangi manusia akan kebebasannya menentukan nasibnya sendiri.
"Dia kan melihat bagaimana cintanya itu berhadapan dengan tembok-tembok pemisah yang dilihatkan lewat kolonialisme. Sebagai seorang pemuda yang jatuh cinta, dia berjuang meruntuhkan tembok-tembok itu," kata Fay.
Perasaan yang sama dirasakan tokoh-tokoh Pram lainnya. Mereka semua dipertemukan lewat kesamaan imajinasi akan hidup yang lebih baik dan adil.

 Jika Revolusi Perancis membuang seluruh tatanan kolonial, di Indonesia, kolonialisme meninggalkan warisan. Warisan itu menjadi masalah bagi Indonesia hari ini. Mulai dari sistem hukum hingga rasisme.
"Pertanyaannya yang kemudian tersisa, kalau begitu bagaimana cara kita berhadapan dengan sisa-sisa kolonialisme sampai hari ini? Apa yang harus dilakukan? Sampai di mana batas toleransi terhadap hal-hal negatif dari warisan feodal itu? Itu problematik yang saya kira dalam novelnya Pram melalui interaksi tokoh-tokohnya itu tergambar betul," ujar Fay. 
Namun, jika seluruh persoalan ini terlalu berat bagi Anda yang baru mengenal Pram, Fay menganjurkan Anda memulai dari karya Pram favoritnya, Cerita dari Jakarta. Kumpulan cerpen itu menawarkan kritik yang jenaka, sinis, dan ironis.
"Pram bisa bermain-main dengan realitas yang pahit, menertawakan nasib sendri," ujar Fay.
Penulis : Nibras Nada Nailufar
Editor : Heru Margianto


Minggu, 11 Agustus 2019

Bukan Cuma Bambu Runcing: Narasi Bopeng di Tiap Tikungan Revolusi


Oleh: Irfan Teguh - 11 Agustus 2019

Sebagaimana novel Surabaya karya Idrus yang 'memberaki' gambaran heroik revolusi, sejumlah cerpen Pramoedya Ananta Toer juga menghamparkan kisah yang kurang lebih sama.

Ilustrasi Pramoedya Ananta Toer. tirto.id/Sabit

Istilah “Angkatan 45” mula-mula dicetuskan oleh Rosihan Anwar dalam tulisannya di majalah Siasat edisi 9 Januari 1949. Angkatan ini, oleh sebagian kalangan, kerap diejek sebagai generasi pembuat kisah-kisah bambu runcing alias cerita perang kepahlawanan, oleh karena itu Idrus—penulis novel Surabaya dan kumpulan cerpen Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma—menolak penamaan “Angkatan 45”.

Padahal seperti ditulis H.B. Jassin dalam pengantar Percikan Revolusi(1950) karya Pramoedya Ananta Toer, lapangan perhatian Angkatan 45 “seluas penghidupan, dan dari pusat soal-soal mereka melihat dunia sekelilingnya. Dalam kempaan suasana keadaan mereka menemukan dirinya dan belajar melihat sampai ke inti segala, dikuliti dari kepalsuan dan ketidakperluan”.

Angkatan ini tak selamanya memproduksi narasi kepahlawanan yang tanpa cela. Revolusi memang bukan ladang kebajikan yang menerakan lukisan hitam putih. Idrus lewat novel Surabaya memberi contoh yang brilian tentang bagaimana amuk revolusi tak lebih dari sekadar mabuk merayakan peralihan zaman.

Pramoedya Ananta Toer (selanjutnya ditulis Pram) yang amat takzim kepada prosa-prosa Idrus, juga membeberkan hal serupa dalam karya-karyanya, baik novel maupun kumpulan cerpen, seperti misalnya dalam Percikan Revolusi + Subuh.
“Angkatan revolusi melihat segala dari pusat derita, mereka tidak hanya mengenal dan mengetahui, tapi juga mengalami dan merasai pada badan dan jiwa. Tidak ada jarak antara obyek dan subyek,” imbuh Jassin.
Tahun 1945, seperti para pemuda yang lain, Pram keranjingan militer. Ia masuk Badan Keamanan Rakyat (BKR) sebagai Prajurit II dan ditempatkan di Cikampek pada kesatuan Banteng Teruna. Sampai 1946 ia berada di sana dan terlibat dalam pelbagai pertempuran dengan tentara Inggris. Karir militernya sampai perwira pers dengan pangkat letnan II.


Menurut Andries “Hans” Teeuw—pakar sastra dan budaya Indonesia asal Belanda—Pram tak betah di militer dan memilih berhenti dari dinas ketentaraan. Pram merasa kecewa yang pangkalnya adalah “karena tidak tahan melihat pertentangan-pertentangan di dalam tentara dan korupsi yang merajalela”.

Alasan keluarnya Pram jelas tak menggambarkan kehidupan tentara pejuang yang ideal. Dalam pusarannya, seperti yang Pram rasakan, revolusi kemerdekaan memang menghadirkan narasi bopeng dalam tiap tikungannya.

Salah satu cerpen Pram yang terasa amat menggambarkan pengalamannya selama menjadi tentara adalah “Dendam”. Sebuah laporan dari seorang tentara yang awalnya merasa bangga dapat berseragam militer di zaman mabuk revolusi, namun kemudian perasaannya merasa lemah melihat pembantaian dengan mata kepalanya sendiri.
“Karena itu aku pun pergi ke stasiun. Mengapa ‘kan tidak? Selalu dan selalu manusia suka memperlihatkan kelebihannya. Apalagi kalau kenyataan yang telanjang itu diberi fantasi sedikit: aku pemuda revolusioner,” tulisnya.
Lihat, kebanggaan itu begitu mudah dipanggul hanya dengan kata-kata “pemuda revolusioner”. Namun dalam kebanggaannya, tokoh aku yang menjadi narator dan mengisahkan pengalamannya senantiasa diliputi pertanyaan, kesinisan, sekaligus ketakutan atas situasi yang berlaku saat itu.
“Mengapa bersorak? Aku tak tahu. Hanya kurasai kemabokan yang membenam, menarik dan mendesak-desak. Orang lain pun demikian pula halnya. Semua bersorak. Semua mabok. Bersorak untuk bersorak. Bersorak untuk mabok-memabokkan,” ungkapnya melihat rakyat mengiringi para tentara yang hendak berangkat ke medan laga.

Sedetik kemudian pertanyaan-pertanyaan itu berubah menjadi iba dan kesinisan. Menurutnya, para prajurit yang dengan rela menyabung nyawa di garis depan itu, kelak jika mereka pulang dengan kekalahan dan luka atau invalid di sekujur tubuhnya, orang-orang akan dengan mudah menyebutnya sebagai “prajurit peuyeum” alias serdadu lembek.

Jika datangnya dalam keadaan mati, dibawa di atas usungan serta tubuhnya mulai membusuk, orang-orang juga akan gampang mengatakan “pahlawan bangsa” dengan memberikan sedikit penghormatan.

Di titik ini, revolusi bukan sekadar menelanjangi para pejuang yang mabuk menelan situasi baru yang bebas dan berlaku ugal-ugalan seperti dalam Surabaya-nya Idrus, tapi juga sikap culas masyarakat yang menjadi penonton atas persabungan di garis depan.

Yang paling menggiriskan dari laporan prajurit ini adalah tentang pembantaian terhadap seorang haji, mata-mata yang membikin pasukan republik celaka: tak kurang 11 orang meregang nyawa.

Saat ia tertangkap, pelbagai pukulan, tendangan, dan rupa-rupa senjata tajam menghujaninya, namun rupanya ia mempunyai ilmu kebal. Pasukan yang kalap lalu menyeretnya dengan mobil dan tubuh mata-mata itu terpontal-pontal di aspal dan bebatuan. Namun lagi-lagi ia tidak terluka.

Seorang serdadu yang membawa pedang samurai kecil kemudian berteriak “kembali jadi tanah!” Setelah itu pedangnya mampu membobol pertahanan si mata-mata: perutnya terburai.

Ia kemudian ditinggalkan begitu saja di pinggir jalan. Dan malam hari anjing-anjing menggonggong mengerubuti bangkai mata-mata itu. Si prajurit tak kuasa menyaksikan peristiwa mengerikan, ia pun buru-buru masuk ke tangsi.

Belum sempat ia tidur, lonceng tangsi berbunyi: perintah berangkat ke garis depan. Si prajurit menggigil.

“Sekali ini pergi jualah aku—pergi untuk dibunuh, pergi untuk membunuh. Badanku bergemam sebentar. Seperempat jam kemudian barisan berangkat. Dan pembunuhan berjalan terus,” pungkasnya.



Cerita Bermula dari Lapar

Sekali waktu di pengujung masa revolusi, dalam sebuah pencarian lemari buku, seorang lelaki diikuti seorang perempuan. Sudah lima toko ia datangi, tapi harganya tak ada yang cocok alias kemahalan.

“Tuan perlu lemari?” tanya perempuan yang terus mengikutinya.

“Betul, nyonya,” jawabnya.

“Saya bisa menunjukkan pada tuan, lemari yang bagus dan murah,” timpalnya.

Lalu perempuan itu pergi menyusuri jalan dan gang demi gang, sementara si lelaki mengikutinya. Muara perjalanan adalah sebuah rumah besar kuno yang sudah terlalu usang, buruk, lebih buruk dari kandang delman.

Perempuan itu lalu menunjukkan sebuah lemari kayu setinggi satu setengah meter dan lebar hampir tiga meter. Ukirannya burung merak dan bunga-bunga aneka macam.

“Alangkah bagus,” gumam si lelaki.

Menurut nyonya yang menawarkannya, lemari itu adalah peninggalan suaminya untuk menyimpan buku dan barang-barang kuno. Pada masa pendudukan Inggris, lemari itu turut dibawa mengungsi ke Padalarang, Plered, dan Purwakarta.

Saat perempuan itu mengatakan harga yang ia tawarkan, tangan si lalaki terlepas dari pintu lemari. Dari dalam lemari, seekor kucing tanpa kepala dan sudah dikuliti, lepas dan jatuh ke lantai.

“Tuan, anak-anak itu harus kuat dan mereka membutuhkan daging, anak-anak harus kuat tubuhnya,” ucap si nyonya.

Si tamu hanya mengiyakan, sementara lalat mulai mengerubungi bangkai kucing itu. Seorang anak si perempuan yang masih bayi menangis, lalu yang lain menangis juga, maka ramailah rumah itu oleh tangis anak-anak. Calon pembeli mengeluarkan uang untuk membeli lemari dan diberikan kepada salah satu anak yang menangis itu, lalu ia pergi.

Perang hanya menyisakan kalaparan. Lemari yang tersisa dari deru pertempuran, yang dijadikan tempat penyimpanan bangkai kucing, akhirnya tak dapat lagi menyembunyikan daging bangakai kucing, kebutuhan anak-anaknya yang kelaparan.

Lewat cerpen yang bertajuk “Lemari Antik” itu Pram kembali menyajikan sebuah kisah tentang revolusi yang bukan hamparan kepahlawanan. Perang usai, para pengkhinat dan pahlawan mati, yang tersisa hanya rakyat yang kelaparan, yang jarang terhidu narasi sejarah selain penggambaran antrean beras di sejumlah kliping surat kabar dan film.

Cerpen “Masa”, sebagaimana “Lemari Antik” yang terhimpun dalam Percikan Revolusi (1951), juga menggugat revolusi: bocah dua belas tahun keluar masuk penjara, tanpa pendidikan, tanpa bapak, perutnya kosong!

Mula-mula bocah itu bersama kawannya membawa sebuah becak yang dipenuhi lawon di Pasar Baru, Jakarta. Apa sebab? Baju mereka sendiri compang-camping, sementara terdapat bergulung-gulung kain yang tak mereka miliki.

Kesempatan kedua terjadi di Harmoni. Sebuah tas di atas mobil terbuka ia sambar, sial isinya hanya surat-surat. Ia buang tas itu dan seorang bocah lain yang bernama Maliki tengah mandi, maka ia dicokok tanpa tahu perkara. Tak lama kemudian ia pun kena tangkap dan dijebloskan bersama para pesakitan dengan rupa-rupa latar belakang.

“Dan mereka juakah yang nanti turut bertanggungjawab pada negaranya,” gumam seseorang yang lebih dewasa saat mendengarkan cerita dari mulut bocah itu.

Beberapa cerpen ini, membuat Pram sebagaimana Idrus yang melumuri taman bunga pertempuran Surabaya dengan kotoran sapi, juga tak silau dengan mabuk revolusi. Ia bahkan terus menggugat perang lewat sejumlah cerpen lain tentang para kombatan yang invalid harapannya, justru setelah kemerdekaan berada di genggaman.

Kamis, 01 Agustus 2019

Kuputarung# | Sekapur Sirih oleh Aris Panji Ws



SEKAPUR SIRIH

Pada akhirnya penerbitan 82 puisi yang dihimpun dari 13 penyair Kebumen ini terlaksana, di tengah keinginan tak pernah pupus guna melakukan kerja-kerja dokumentasi sastra di daerah. Upaya ini menjadi bagian yang dinilai penting, meskipun lebih didorong pada pendekatan kuantitas agar sebanyak mungkin para penyair daerah tergerak dengan cara mempublish karyanya.

Penerbitan buku antologi puisi Kuputarung 2 ini merupakan kelanjutan dari apa yang telah dilakukan terdahulu, yang rintisannya berdiri pada landasan kemandirian penyair sesudah ia menekuni ruang ciptanya. Selain itu, pada proses kreatif kepenyairan, setiap kelahiran karya dapat lah dianalogikan sebagai orok buah pergulatan batin penyairnya.

Pada awalnya, puisi adalah bagian utuh dari sosok penyair yang memuat asa dan kemenyerahan, cinta dan kegelisahan, sunyi dan kesejatian. Atau juga muatan-muatan lain yang dipungut dari kejadian sehari-hari, remah-remah peristiwa hari ini, kenangan yang mengendap-endap; bahkan hal-hal yang bagi khalayak dianggap biasa saja.

Setiap penyair memperlakukan apa yang diinderakannya memasuki tabir intuisi, sehingga setiap teks yang ditorehnya memiliki konteks kesastraan.

Begitu lah karya. Bahwa apakah ia -karya itu- menemukan kekuatannya untuk tumbuh dan memiliki kesanggupan buat menemui serta mewarnai ragam jagad pembacanya. Bahkan dalam perjalannya yang seiring dan bakal melampaui lintasan berdimensi waktu. Maka takdir itu, sesungguhnya, telah terbawa semenjak kapan, pada intensitas dan kedalaman seperti apa; puisi itu terlahir.

Beberapa puisi dalam buku antologi kali ini kental dengan aura romantisme masa muda, boleh jadi karena itu memang cara penyair mengaktualisasi diri di tengah konteks masa dan usianya. Itu yang kemudian memunculkan idiom puisi remaja di ranah publik pembaca. Tetapi kerja penyelia puisi-puisi ini bukan diproyeksikan bagi pembedaan dikotomis tua-muda.

Satu-satunya perekat kepenyairan yang mewadahi kiprah, karya cipta dan menyetarakan persepsi mereka adalah spirit komunitas. Itu sebabnya ada Komunitas Penyair Kebumen (KPK), yang menjadi ruang menghimpun karya serta mengkomunikasikan pemikirannya.

Hasilnya mendapati 13 penyair diantaranya: Daryono Cengkim, Dodottiro, Dwi Agus Setiawan, Eko Sajarwo, Fajar Muzaki, Masindro, Nasikhatun Sulfiyani, Teguh Hindarto, Pekik Sat Siswonirmolo, Kata Hankena, Pitra Suwita, Naomi dan Bambang Indrajeet.

Ada nuansa beragam, karena memang antologi ini dihadirkan bukan dalam kerangka (baca: kerangkeng) tematik. Namun kegelisahan para penyair yang melahirkan puisi-puisi, bukan berarti telah menihilkan tema atas karyanya. Dari keberagaman yang toleran, cinta dan pengingkaran, kesucian yang hasut, kerinduan yang tragik, kematian yang melangit, hingga akidah teologi yang dibumikan.

Membaca puisi-puisi dalam buku antologi ini, pada derajat tertentu, serasa menemukan kembali nilai kemanusiaan yang tiap hari seakan makin terkikis fitrahnya. Dan saya ikut mengantarkannya bukan dalam kapasitas sebagai sastrawan apalagi kritikus yang memiliki kelaikan menilai atau mengulitinya. Biarlah itu menjadi wilayah kedaulatan sidang pembaca beserta para ahli sastra.        

Buku antologi puisi “Kuputarung 2” ini, sedikit banyak, bakal memfasilitasi post kelahiran puisi itu. Dengan beragam latar belakang penyairnya. Ada banyak warna berpendaran, seperti pelangi yang tetap dipercaya sebagaimana falsafah kebhinekaan kita. Semua dapat diraih, dipetik dan direaktualisasi dalam keseharian kita sebagai manusia dan warga bangsa.

Salam Sastra.

·      Aris Panji Ws
arispanji@gmail.com