This is default featured slide 1 title

BEBAL:"FPI"

Kebebalan FPI Banyuwangi yang membubarkan ritual tradisi Sedekah Laut di daerahnya

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Senin, 18 Maret 2019

Membongkar Pasung Ronggeng “Kunes”


TRIBUTE TO KUNES: Repertoar Ronggeng Kunes digelar oleh komunitas "Titik Kumpul" di Roemah Martha Tilaar Gombong (16/3) mengingatkan pada tragedi politik 1965 yang memicu gelombang "genosida" dan merambah wilayah budaya di Banyumas [Foto: Ar]

Keberanian mbarang lengger komunitas “Titik Kumpul” di Roemah Martha Tilaar, pantas mendapatkan apresiasi luas. Pilihan mengangkat repertoar berbingkai Tribute to Kunes yang dipersiapkan bagi panggung Asia di Taiwan April-Mei mendatang; membuat penonton terpengarah (16/3/2019) malam itu. Namun sedikit dari yang terpengarah itu memahami kesima “Kunes” dalam konteks sejarah dan lokalitasnya. Penari tradisi bumi Banyumas selatan yang lahir seabad lalu, sedikit diketahui, pada zaman berikutnya telah menjadi bagian langsung dari sejarah kelam kejahatan atas kemanusiaan (crimes against humanity) pada medio dekade 60-an. 

Dalam perspektif genosida dimana pembasmian meluas atas sekelompok tertentu manusia di sebuah negara, maka tragedi yang dalam idiom lokal disebut Geger Gestok 65, telah merambah masuk pula ke dalam wilayah budaya sebagai obyek penghancurannya. Perjalanan penari Ronggeng Kunes yang berhilir tragis; memang jadi linier dengan apa yang pernah ditulis novelis Ahmad Tohari pada novel triloginya Ronggeng Dukuh Paruk (berikut 2 novel lainnya, Lintang Kemukus Dinihari, Jentera Bianglala) yang usai melampaui batas bahasa di beberapa negara itu.

Pada kasus booming novel karya sastranya Ahmad Tohari mengakui realitas masih lekatnya communisto-phobia, yang pada gilirannya telah cukup membuat repot penulisnya. Bahwa masa itu telah lewat, ya. Tetapi sejarah memiliki cara tutur dan jalan takdirnya sendiri, termasuk dalam berhadapan dengan segala phobia; yang mungkin hari ini pun masih ada karena memang dipelihara. Tak terkecuali perjalanan tragik Ronggeng Kunes yang sepintas nampak sebagai kisah personal yang literer dengan segala romantismenya.  

Namun Ronggeng Kunes dalam dimensi sejarah memiliki alur dan memori kolektif yang lebih dari sekedar magnet ingatan akan segala kisahnya. Karena “karir dan marwah” Kunes sebagai penari tradisi tidak lah berdiri sendiri. Meskipun -boleh jadi- komunitas “Titik Kumpul” tak bertendensi lebih jauh, tetap saja kisah tragis Ronggeng Kunes yang dipanggungkan, lepas dari apakah kisi-kisi kelam ini tersingkap; repertoar ini akan menemukan pijak dan kekuatan konteksnya yang menyejarah itu.

Kedaulatan Panggung


Pemahaman atas Tribute to Ronggeng Kunes boleh datang kemudian dalam berbagai interpretasinya. Demikian ini bukan hanya berlaku bagi siapa pun yang menonton repertoar ini, namun juga bagi komunitas “titik kumpul” dalam proses kreatifnya. Proses yang telah menghasilkan perform seputar kebiasaan-kebiasaan ronggeng seperti gilir sampur hingga kedaulatannya dalam menghidupkan gairah panggung.

Ronggeng Kunes yang dinarasikan tak terpisah dengan fenomena indang seperti tersirat melalui properti ambeng yang dibawa keluar penarinya telah cukup menjelaskan kekuatan magis tradisionalnya. Kebanyakan seni tradisi memang senantiasa lekat dengan aspek itu. Kesinambungannya terjaga melalui ritual-ritual sebagai manifestasi nilai-nilai yang berlaku di masyarakat kebudayaanya.

Repertoar Ronggeng Kunes mengangkat relasi di lapangan kebudayaan itu dari timbulnya ketimpangan yang menjadi bidikannya. Bagaimana Ronggeng membangun kedaulatan gender dengan mengeksplorasi tata nilai menjadi bias hegemoni dalam relasi sosialnya ke atas panggung. Pentas tribute ini menampilkan Ronggeng Kunes yang tengah mencapai puncak emasnya, saat sang ronggeng menjadi kiblat puja.

Tapi makin tinggi pohon tumbuh, makin besar tiupan angin menerpanya; begitu pepatah berkata. Realitas sejarah tak pernah bisa sepenuhnya lepas dari intervensi berbagai kepentingan, termasuk kepentingan politik. Nah, pandangan pragmatis akan bisa menjerumuskan perjalanannya. Bias ini dialami Ronggeng Kunes dalam masa yang menenggelamkannya dan menjadi tonggak yang menandai genosida budaya pasca 1965, khususnya di daerah Banyumas.

Ronggeng Kunes terbelenggu bukan oleh lintasan balok yang memasung kakinya, melainkan oleh badai politik yang memicu gelombang genosida budaya yang mengiringi Geger Gestok pada masa itu. [ap]

Jumat, 08 Maret 2019

Rosa Dahlia, Berani Berkarya & Mendedikasikan Diri di Pedalaman Papua


Pinka Wima | 08 Maret 2019



#AkuPerempuan "Perempuan harus punya mimpi dan keberanian untuk mewujudkan mimpi itu!"


IDN Times berkesempatan mewawancarai salah satu perempuan tangguh yang bisa menjadi sumber inspirasi bagi generasi muda. Masih berusia 30 tahun, Rosa Dahlia sudah mendedikasikan dirinya untuk menjadi guru SD di pedalaman Papua. Meninggalkan zona nyaman di pulau Jawa dan memilih tinggal jauh dari keluarga yang berada di Magelang adalah pilihan berani yang diambilnya.
Lantas seperti apa cerita inspiratif perempuan tangguh ini? Yuk, simak penuturannya di artikel ini!

1. Rosa Dahlia sudah mendedikasikan diri hampir 5 tahun lamanya


Perempuan berambut ikal ini sudah mendedikasikan diri di Papua sejak 2013 dan berada di Asmat sejak 2016. Ketika hampir semua perempuan seusianya berlomba-lomba bekerja di perusahaan bonafit atau membangun keluarga, maka berbeda dengan Rosa. Dia dengan berani pilih untuk mengejar mimpinya. 
"Awalnya karena mimpi. Aku pengen banget bisa ngajar di pedalaman Papua."
Selain menjadi guru SD di pedalaman, Rosa juga sudah mendirikan tiga komunitas yang membantu menaikkan taraf pendidikan anak-anak pendalaman, antara lain 1 Buku (2011) komunitas yang bergerak untuk mengumpulkan dan mendistribusikan buku untuk rumah baca di pelosok Indonesia. Sekarang sudah tersebar di berbagai daerah seperti Maluku, Poso, Tambora, NTT, Jogja, Wonosobo, Cirebon, Papua, dan banyak lainnya.

Kemudian ada komunitas Honai Pintar (2015), komunitas rumah baca. Lalu yang terakhir ada komunitas Elege Inone (2017), komunitas yang membantu murid di Poga untuk melanjutkan sekolahnya. Hingga kini sudah ada tiga murid yang dikirim ke Jogja untuk menimba ilmu.

Ada sederet perempuan kuat yang menjadi salah satu sumber inspirasinya. Butet Manurung, Jane Goodall, Bunda Teresa, dan Tafira Oktiani. Alasannya sederhana, karena mereka berbeda dari perempuan pada umumnya. "Mereka berani, tangguh, mandiri, dan gak sibuk dengan dunianya sendiri." ujar almamater Sanata Dharma jurusan Sastra Inggris ini.

2. Tantangan dari keluarga gak menyurutkan langkahnya untuk menjadi guru SD di pulau timur Indonesia


Restu dari keluarga, terutama orangtua tak serta merta langsung dikantonginya. Keluarga menentang, bahkan mendiang sang ayah sempat tidak berbicara sepatah katapun hingga tahun keduanya di Papua.
"Awalnya ditentang. Satu-satunya orang yang berbesar hati memberi izin cuma kakekku. Alm. Bapak malah ketika dulu aku pamiti ga mau ngomong apapun sampai tahun kedua aku di Papua. Bapak berat hati kalau aku berkarya di Papua. Selain karena aku perempuan dan bungsu, bapak berfikir bahwa aku sudah disekolahkan tinggi sampai sarjana. Kenapa "hanya" jadi guru SD di pedalaman."
Meski demikian kegigihannya berbuah manis juga. "Lambat laun keluarga menerima pilihanku ini. Mereka mendukung apa yang aku lakukan di Papua. Bentuknya? Dengan "membiarkan" aku tetap berkarya di tanah impianku ini."

3. Banyak pengalaman berharga yang membuka matanya selama berada di tanah Papua


Hidup jauh dari gemerlap kota dan keluarga tentu bukan pilihan mudah. Ada banyak tantangan yang dihadapinya setiap hari, apalagi ketika harus hidup di hutan. Rosa harus berjuang memberikan pendidikan yang layak di tengah keterbatasan dan perbedaan bahasa dan budaya.
"Mulai kondisi geografisnya yang semua aktifitas di atas papan, ga ada jalan darat, mempelajari karakter masyarakatnya, harus belajar budaya dan bahasa baru karena suku Lani dan Asmat jauh berbeda, daaaan harus pinter-pinter jaga diri supaya ga kena malaria. Hahaha" ujar wanita berkulit sawo matang ini.

Selain itu, hidup lama di Papua membuatnya panen pengalaman yang benar-benar membekas di memorinya.
"Kalau di Asmat, dulu awal tinggal di Asmat aku ketemu sama anak yang mengalami gizi buruk. Umur 3 tahun tangannya hanya sebesar ibu jariku. Waktu itu ketemunya di hutan waktu aku dan teman-teman patroli. Badannya tinggal kulit dan tulang. Kepalanya penuh dengan luka. Trus pas nemuin dia telanjang dan cuma dibalut pake sarung lusuh terus digletakin di sebelah tungku. Gak berdaya sama sekali."
"Kalau selama ini aku sering lihat anak dengan kondisi begitu itu cuma di TV, foto, atau film, sekarang aku lihat langsung, pegang langsung. Pertama kali aku pegang aku bingung harus bersikap. Kalau aku nangis kok malu sama keluarganya, kalau aku tahan tangisan kok berat banget rasanya saking sedihnya waktu itu."
"Trus akhirnya aku dan temen-temen minta orang tuanya untuk bawa anak itu ke kampung untuk diobati. Singkat kata Amelia Tombes, anak itu, kami berikan makanan tambahan di rumah. Setiap pagi, siang dan malam dia datang ke rumah dan kami gantian ngurus dia. Sampai akhinya dia diminta untuk bawa ke kota supaya diperiksa."
"Ternyata selain gizi buruk, dia TBC juga. Beberapa waktu melakukan pengobatan, berat badannya naik. Dia juga lebih ceria. Tapi sayang orang tuanya gak telaten ngurus, akhirnya pengobatan untuk TBC ga tuntas. 15 September 2016 lalu, Tombes meninggal. Dan itu pukulan besar buat aku."

4. Terus belajar adalah caranya tetap bisa survive menghadapi tantangan hidup


Meski sudah pernah mendapatkan penghargaan Pahlawan Untuk Indonesia 2016 dalam kategori pendidikan, namun Rosa tak merasa sombong dan berpuas diri. Justru dia merasa harus selalu belajar dan belajar supaya bisa terus survive.
"Rendah hati dan membuka diri untuk terus mau belajar dari masyarakat. Sering-sering main ke rumah warga, ikut mereka ke hutan, belajar anyam, belajar dayung perahu kayu, belajar bahasa asmat, belajar budayanya, belajar goyang, pokoknya belajar dan belajar."
5. Banyak yang mencibir pilihan hidupnya satu ini, namun Rosa tetap bertekad dan cuek saja dengan apa kata orang lain


Tak seperti perempuan kebanyakan yang sudah menikah dan memiliki anak atau berkarir di perusahaan prestige di usianya yang sekarang, membuatnya sering mendapat cibiran dan dipandang sebelah mata. 
"Sering pakai banget, tapi untung sa su telinga babi sih, jadi kalau dorang omong begitu sa kasih tinggal. Cuekin aja. Hahaha. (Untung saya punya telinga babi, jadi kalau ada orang ngomong begitu saya tinggal saja)."
Rosa meyakini bahwa yang penting itu perempuan harus berani mencintai diri sendiri, punya jiwa tangguh (bukan hanya tangguh secara penampilannya saja), dan mandiri.
Prinsip inilah yang selalu diyakini dan dipegang teguh olehnya hingga kini.

6. Pesan Rosa untuk para perempuan Indonesia


"Setiap manusia, perempuan khususnya, itu harus punya mimpi dan keberanian untuk mewujudkan mimpi itu. Selain itu perempuan juga harus mencintai setiap jengkal tubuhnya tanpa kecuali, harus bekerja dan berkarya karna dua hal itu tempat kita untuk mengaktualisasikan diri, tahan banting, berwawasan luas, dan jangan sibuk dengan diri sendiri." ujar perempuan berusia 30 tahun ini.
Perjuangan luar biasa Rosa tentu menginspirasi para perempuan Indonesia untuk berani bermimpi dan berkarya. Intinya, jangan mencemaskan apa kata orang dan jadilah seseorang yang bisa berguna untuk lingkungan. Semoga akan ada banyak Rosa Dahlia lainnya yang bisa memberikan kontribusi positif untuk kehidupan orang-orang di sekitarnya..

Rabu, 06 Maret 2019

Sastra Indonesia tidak perlu makelar-makelar kulit putih


oleh Theodora Sarah Abigail | March 6, 2019
diterjemahkan oleh Mikael Johani

Penulis Indonesia sudah lama diwakili makelar-makelar kulit putih di panggung internasional. Masalahnya, apakah sebenarnya kita perlu mereka?

Banyak orang asing menyimpan gambaran di dalam kepala tentang Indonesia yang primitif, penuh kampung kumuh, sungai-sungai kotor dan gunungan sampah. Jikapun mereka punya bayangan baik tentang Indonesia, paling terbatas gubuk bambu, sawah hijau, dan gambaran khas pedesaan yang lain. Indonesia yang telah difilter, kemudian dipresentasikan oleh penerjemah asing dan organisasi-organisasi internasional penuh welas asih ini, mengamini bayangan sebuah negeri yang sepi dan damai, harum rempah-rempah dan bunga melati.

Tapi penulis-penulis Indonesia sendiri bercerita tentang sebuah negeri yang jauh berbeda. Dalam buku-buku mereka, Indonesia penuh dengan kota yang hiruk-pikuk dan meriah, bandara bertembok kaca, museum penuh karya-karya seni. Kota-kota ini dijejali becak dan kopaja dan bis dan kereta; pesawat terbang tinggal landas hampir tiap menit. Penduduknya jatuh cinta di mal-mal raksasa, bersujud di masjid-masjid; mereka putus cinta di kedai kopi. Keluarga-keluarga berdansa hingga malam tiba, dan orang-orangnya ternyata tak banyak berbeda dari anda maupun saya.

Sastra Indonesia sekarang berjaya. Penerbit-penerbit independen merilis buku-buku baru yang mencampur aduk genre dan bahasa; dengan tambahan divisi-divisi baru khusus sastra, bahkan Gramedia, penerbit terbesar di negara ini, mulai jadi lebih berani. Di seluruh penjuru negeri, penulis-penulis menerbitkan buku dalam bahasa Indonesia dan Inggris (atau malah campuran keduanya), dan laris. Topik buku-buku ini sangat beragam: kehidupan kota di Jakarta, perempuan yang mencari rumahnya, cerita horor yang disulap jadi modern.

Jadi kenapa sampai sekarang kita masih juga menjumpai tulisan-tulisan yang menyayangkan betapa tidak populernya sastra Indonesia?
Bukan salah gue, bukan salah temen-temen gue

Ada memang orang yang bilang bahwa buku-buku Indonesia terlalu serius, terlalu disesaki masalah sejarah dan politik, dan terlalu peduli dengan masalah “identitas Indonesia”. Buku-buku yang terlalu menakutkan dan rumit buat pembaca awam. Namun, untuk mengerti benar-benar sebuah buku memang diperlukan—diharuskan—untuk mengerti konteks sosial-budayanya.

Selama berpuluh-puluh tahun, sastra Inggris dan Amerika telah diekspor ke seluruh penjuru dunia tanpa perlu diubah. Pembaca menerima saja bahwa untuk mengerti secara dalam karya sastra dalam bahasa Inggris, mereka harus bisa menganalisanya dengan benar—bahkan anak-anak SMA di Amerika Serikat yang diberi tugas membaca The Great Gatsby atau Tom Sawyer atau To Kill a Mockingbird akan diajari buku itu diterbitkan di era apa, lingkungan sekelilingnya seperti apa, dan apa arti motif-motif di dalamnya menurut budaya waktu itu. Bisa mengerti karya-karya klasik ini jadi sesuatu yang dianggap terhormat dan membanggakan.

Karena ini, sepertinya tidak adil dan munafik jika konsumen dan penerbit menganaktirikan sastra Indonesia dengan alasan “terlalu rumit”. Memang lebih gampang menyalahkan penulis Indonesia karena mereka mengarang karya-karya yang terlalu menakutkan, tapi apakah benar buku-buku mereka, dan terjemahannya, benar-benar tidak bisa dimengerti, atau sebenarnya pembaca yang hanya bisa berbahasa Inggris terlalu manja?

Menghapus ke-Indonesia-an

Saat mencari pembuktian (dan penerbit) di luar negeri, banyak penulis Indonesia diberi tekanan untuk memperindah Indonesia yang ada dalam diri mereka, membuatnya lebih gampang dicerna. Terlalu banyak materi sejarah dan politik bisa menakutkan buat pembaca Barat yang miris; terlalu sedikit nanti dia bosan. Hmmm, mungkin pembaca Barat tetap lebih memilih membaca cerita yang mempertebal keyakinannya bahwa negeri-negeri asing memang aneh dan berbeda, tapi juga harus selalu indah dan manis.

Modifikasi dan penghapusan seperti ini terjadi di mana-mana. Masakan Cina, misalnya, sering diadaptasi (aka, dibikin hambar) supaya lebih sesuai dengan lidah barat. Proses ini telah berlangsung beratus tahun dan hasilnya adalah masakan Cina cepat saji yang rasanya kadang mengerikan. Hanya karena kita begitu putus asa untuk menemukan pengakuan dan popularitas di dunia berbahasa Inggris, apakah pantas mengorbankan sastra Indonesia dengan mengubahnya jadi seperti masakan Cina cepat saji yang palsu dan dimanis-maniskan?

Suara asli penulis Indonesia bisa jadi tidak terdengar seperti yang diharapkan dunia barat. Dan ini sudah semestinya, karena ini berarti ide-ide yang tidak akurat dan terlanjur dibentuk tentang Indonesia bisa mulai dibongkar. Bukan kewajiban penulis Indonesia untuk mengais-ngais posisi yang lebih mendunia dan nyaman. Justru, kita harus menyemangati pembaca agar mereka mau menerima perspektif dan pengalaman yang berbeda dari yang dialami sendiri—berusaha sendiri seperti orang lain untuk membentuk kanon sastra mereka.

Penerjemahan sebagai aksi politik

Penerjemahan, seperti juga menulis, adalah sebuah aksi politik—sebuah hal yang bisa mempunyai konsekuensi panjang, membentuk perspektif mendunia tentang sebuah bahasa atau negara yang bisa bertahan beratus tahun. Penerjemah adalah duta besar; ia juga senjata.

Anggapan bahwa sastra Indonesia tidak populer di luar negeri karena tidak ada cukup penerjemah bertaraf “sastra” (yang sering diartikan sebagai seorang “native speaker”) seharusnya jadi alasan tepat untuk mendukung bukan cuma penerjemah asli Indonesia, tapi juga siapa saja yang berniat mempelajari seni menerjemah. Pada akhirnya, ini adalah sebuah perdebatan tentang siapa yang menguasai naratif dan mengolah persepsi pembaca internasional tentang Indonesia; kita harus melangkah hati-hati.

(Jika orang khawatir dengan standar terjemahan sastra dari Indonesia ke Inggris, mungkin solusinya adalah mulai melatih penerjemah Inggris dan Indonesia untuk bekerja sama dengan adil dan supaya bisa menghasilkan terjemahan yang otentik.)

Jadi penting untuk mempermasalahkan siapa sebenarnya para penerjemah ini—sejarah mereka, latar belakang mereka, teknik yang mereka pakai, cara mereka berkomunikasi dan hubungan mereka dengan pengarang aslinya, apakah mereka mengerti arti di balik bagian atau kalimat ini dan itu, ideologi mereka. Faktor-faktor ini memberi warna kepada hasil terjemahan mereka; hasilnya belum tentu selalu indah.  

Penerjemah yang dipuji-puji, diakui secara resmi, dan terkenal belum tentu akurat atau bagus; dalam beberapa kasus, pengarang aslinya malah mengeluh betapa karya mereka jadi begitu lain setelah dipegang oleh seorang penerjemah “berkualitas internasional”. Situasi tidak mengenakkan ini bisa terjadi bahkan dalam festival sastra internasional—dan sekali sebuah terjemahan yang asal-asalan terbit, bakal susah untuk ditarik kembali.

Yang penting, marilah kita hormati keinginan penulis Indonesia untuk diterjemahkan dengan cermat dan penuh rasa hormat pada karya aslinya, dan bukannya malah memanfaatkan mereka untuk kepentingan reputasi atau popularitas organisasi kita sendiri. Pada akhirnya, mana yang lebih penting? Portfolio seorang penerjemah, atau kebenaran dan kualitas yang terkandung dalam karya mereka? Terjemahan sastra sama berharganya dengan buku aslinya—mereka tidak seharusnya dianggap sebagai produk yang dikeluarkan hanya untuk memikat pembaca baru.

Sudut pandang makelar kulit putih

Jangan pernah lupa bahwa walaupun esai-esai yang diterbitkan National Centre for Writing fokusnya adalah sastra Indonesia, yang menulis tiga-tiganya adalah orang asing berkulit putih. Apakah penulis Indonesia tidak bisa dipercaya untuk bercerita sendiri dengan akurat tentang sastra Indonesia, sehingga kita memerlukan juru bicara kulit putih?

Banyak orang Indonesia yang sudah menginternalisasi anggapan bahwa yang kita sendiri hasilkan tidak akan dianggap bagus jika belum dipuji dan diakui oleh barat—oleh hadirin berbahasa Inggris, oleh penerbit internasional, oleh, sebutlah, “penjajah”. Setiap kali diberi remah-remah perhatian, kita berteriak bahagia dan saling mengingatkan, “Kita harus bersyukur!”

Tulisan-tulisan ini mengamini anggapan bahwa sastra Indonesia memang inferior karena penulis Indonesia tidak terlihat batang hidungnya di panggung internasional, tidak dicintai. Para penulis esai ini sepertinya tidak peduli jika sebuah buku sudah menjadi sebuah fenomena budaya di Indonesia atau memenangkan penghargaan nasional; asal sebuah karya tidak memenuhi ekspektasi barat, tidak bisa menarik perhatian pembaca barat, maka karya itu pasti jelek.

Kanon sastra Indonesia dipenuhi kehangatan dan sejarah, perang, perjuangan, dan perasaan-perasaan halus; fokus utama setiap kali menerbitkan atau menerjemahkan karya-karya ini di dunia internasional seharusnya adalah memastikan bagaimana cerita-cerita ini dinarasikan kembali dengan akurat dan penuh hormat kepada versi aslinya. Tapi yang sering terjadi, kita malah kerepotan memikirkan apakah mereka akan laris atau tidak; apakah mereka bisa diterima; apakah mereka terlalu eksotis; apakah mereka cukup eksotis, apakah mereka mencukupi nilai-nilai ideal barat yang terlanjur mendarah daging dalam diri kita sendiri.

Makelar gagal

John McGlynn, seorang penerjemah dan salah satu orang paling berkuasa dalam dunia sastra Indonesia, yang menguasai narasi tentang industri ini, menulis dalam esainya bahwa selama bertahun-tahun ia sudah mencoba, dan gagal, untuk membangkitkan minat penerbit berbahasa Inggris kepada sastra Indonesia. Akhirnya, di akhir 1980an, ia mendirikan Lontar, tadinya sebagai solusi fenomena “single fighters” (penerjemah bekerja sendiri di dalam sebuah ruang vakum, terisolasi dari yang lain). Sejak itu, katanya, Lontar “berdedikasi mempromosikan dan memproduksi terjemahan sastra Indonesia, mengambil peran penerbit komersil untuk menciptakan kanon sastra Indonesia dalam bahasa Inggris”.

Organisasi ini sekarang sudah menerbitkan ratusan judul; bekerja sama dengan pemerintah Indonesia untuk menciptakan badan pendanaan seperti LitRI yang memberikan bantuan penerjemahan sastra Indonesia ke dalam bahasa asing. John McGlynn sendiri menggenggam kekuasaan yang besar: menurut ceritanya, ia telah bertemu dengan wakil-wakil badan pendanaan terjemahan nasional dari negara seperti Korea Selatan, Polandia, dan Belanda, “dan itu baru sebagian”. Ia juga menjadi pengawas program-program Pendanaan Penerjemahan Sastra Komite Buku Nasional. Intinya, ia punya banyak suara dalam menentukan ke mana bantuan dana akan dialirkan dan siapa yang akan menerimanya.

Bukankah seharusnya sekarang ia bisa menjalankan visi-visinya dengan lancar? Bukankah seharusnya ia sudah mampu menarik perhatian komunitas internasional, membuat sastra Indonesia makin terjangkau?
Tapi kelihatannya tidak, karena meskipun katanya Lontar sekarang begitu berkuasa, kita masih saja menjumpai tulisan-tulisan yang menyayangkan tidak hadirnya sastra Indonesia di panggung dunia.

Tidak dicintai dan tidak kemana-mana? Masa?

Tapi jangan berpikir terlalu jauh dulu. Hal pertama yang harus kita lakukan adalah mempertanyakan apakah asumsi bahwa sastra Indonesia tidak dicintai dan tidak ada yang peduli benar atau tidak. Mari kita melihat dunia di luar Lontar dan organisasi asing lain.

Di tahun 2015, novel Eka Kurniawan “Cantik Itu Luka” diterjemahkan menjadi “Beauty Is a Wound” oleh Annie Tucker dan dirilis oleh penerbit bereputasi sastrawi di Amerika Serikat, New Directions. Buku ini sekarang telah diterjemahkan ke dalam 33 bahasa. Novel Eka yang kedua, “Man Tiger”, diterbitkan oleh Verso Books dan masuk dalam daftar panjang Man Booker Prize tahun 2016.

Kumpulan puisi Norman Erikson Pasaribu, “Sergius Mencari Bacchus”, menjadi juara pertama lomba manuskrip puisi Dewan Kesenian Jakarta tahun 2015. Setelah diterjemahkan oleh Tiffany Tsao menjadi “Sergius Seeks Bacchus”, buku Noman memenangkan penghargaan PEN Translates; buku ini akan diterbitkan oleh Tilted Axis Press di Inggris pada tahun 2019.

Cerpen-cerpen Intan Paramaditha telah diterjemahkan oleh Stephen J. Epstein dan dikumpulkan dalam kumcer “Apple and Knife”. Di Inggris, buku ini diterbitkan oleh Penguin/Harvill Secker; di Australia diterbitkan oleh Brow Books.

Penulis Indonesia sebenarnya sudah menoreh sukses di dunia internasional sejak era ‘90an. Saut Situmorang memenangkan penghargaan puisi dari Universitas Victoria di Wellington (1992) dan Universitas Auckland (1997) di Selandia Baru. Haikunya yang berbahasa Inggris, “such boredom”, menang juara satu dalam 1992 International Poetry Competition yang diselenggarakan New Zealand Poetry Society; puisi ini kemudian dikoleksi oleh Museum Haiku di Kyoto, Jepang.

Ada banyak lagi penulis Indonesia yang sudah diterjemahkan dan diterbitkan di luar negeri; ditambah lagi yang lain yang sering mendapatkan pujian di media online, baik nasional maupun internasional.

Tanpa harus disorot (atau tidak disorot sama sekali), gerakan-gerakan sastra akar rumput dan luar arus di seluruh penjuru Indonesia ramai merayakan sastra. Di manakah para penulis Indonesia? Mereka dari dulu di sini. Paviliun Puisi misalnya, yang digawangi Mikael Johani, Gratiagusti Chananya Rompas, Kezia Alaia, Mikhael Ray, dan Rendy Satrya, selalu penuh sesak. Energi kolektif yang kuat selalu terasa di bar jamu Paviliun 28 di Kebayoran Baru yang dipakai untuk acara ini. Komunitas seperti Lakoat Kujawas, yang berbasis di Mollo, Timor Tengah Selatan, dan didirikan oleh pengarang Indonesia Dicky Senda, membawa film dan sastra Indonesia supaya bisa dinikmati penduduk setempat.

Dan seterusnya: alihkode dan inovasi Saut diwarisi dan diperluas oleh penyair/penerjemah muda seperti Rara Rizal, Syarafina Vidyadhana, Eliza Vitri Handayani, dan Dwiputri Pertiwi. Penulis muda lain seperti Madina Malahayati Chumaera dan Ray Shabir mahir dalam menceritakan kisah-kisah urban dengan perspektif yang khas Indonesia. Kanon sastra Indonesia mungkin masih muda dalam soal umur, tapi kualitasnya menakjubkan dan tumbuh makin besar hampir tiap hari. Semua ini tidak menjadi kurang berharga atau bermanfaat hanya karena dunia barat tidak memperhatikan.

Jadi sekali lagi—kenapa kita masih juga menjumpai tulisan-tulisan pesimis yang giat menghapus cerita-cerita asli Indonesia beserta penulisnya sekaligus?? Kenapa makelar-makelar sastra kulit putih dan organisasi asing terus-menerus mempromosikan kepercayaan usang bahwa barat pasti benar, dan mempengaruhi pengarang untuk mendambakan popularitas internasional dengan mengorbankan otentisitas mereka? Kenapa organisasi seperti National Centre for Writing membantu akademisi kulit putih mempertahankan kuasa mereka atas Indonesia untuk mempromosikan narasi yang jauh dari lengkap? Bagaimana dengan perjuangan untuk kebhinekaan dan representasi yang lebih adil?

Apakah penerbit-penerbit dan organisasi-organisasi ini sadar bahwa ada sebuah negeri yang penuh cinta akan sastra; bahwa ada dunia lain di luar organisasi dan lingkaran elit mereka? Atau, apakah mereka dengan sengaja menyingkirkan kisah sukses orang lain demi mempromosikan kelompok mereka sendiri?

Esai-esai ini dipelajari di sekolah dan universitas di luar negeri; ada risiko mereka akan membuat generasi turun-temurun percaya ide usang bahwa Indonesia adalah negeri terbelakang yang sudah untung dihadiahi segelintir penerjemah kulit putih murah hati dan bahwa lebih sedikit lagi orang Indonesia yang peduli akan masalah ini. Penerbitan internasional seharusnya tidak lagi membiarkan orang asing bercerita tentang Indonesia, seakan-akan jadi wakil orang Indonesia sendiri. (Argumen bahwa publikasi internasional memerlukan tulisan dalam bahasa Inggris yang baik dan benar tidak lagi berlaku. Sekarang sudah begitu banyak penulis Indonesia yang berbahasa Inggris; banyak editor hebat; dan penerjemah selalu bisa dicari).

Sudah waktunya penulis Indonesia percaya dengan kekuatan mereka sendiri daripada membiarkan dunia menginterpretasi karya mereka. Mereka telah menuliskan kanon satra mereka sendiri—biarkan mereka sendiri yang membicarakannya, menyanyikannya, meneriakkannya.

Theodora Sarah Abigail adalah pengarang “Warchild” (2016), kumpulan puisi yang ia terbitkan sendiri, dan “In the Hands of a Mischievous God” (2017), sebuah kumpulan esai. Ia tinggal di Cikupa, Tangerang.

Sumber: Mikael Johani 

S. Tijab | Rest in Peace, Rest in Power

Made Supriatma

Foto: S. Tijab (Hariadi Saptono/Kompas)

S. Tijab dan Tutur Tinular: Diam-diam tanpa banyak yang memperhatikan, penulis sandiwara radio, S. Tijab meninggal dunia. Dia adalah seorang yang tidak mau tampil didepan. Dia orang dibalik layar. Tidak heran, tidak banyak yang mengenalnya.
Namun satu generasi Indonesia pasti pernah mendengar sandiwara radio Tutur Tinular. Sandiwara yang berlatar belakang sejarah tanah Jawa ini menampilkan tokoh sentral yakni, Arya Kamandanu.
Sandiwara ini mengambil latar belakang runtuhnya kerajaan Singasari dan mulai berdirinya kerajaan Majapahit. Sandiwara ini sesungguhnya adalah kisah petualangan dan percintaan.
Saya masih ingat betapa saya terlekat dengan banyak tokoh sandiwara ini. Tokoh-tokoh seperti Mei Shin, Mpu Tong Bajil, Raden Dwipangga, dan lain sebagainya.
Tidak ada pagi yang saya lewatkan tanpa menunggu kelanjutan tayangan serial ini di radio. Daya pesonanya luar biasa. Imajinasi yang dimunculkannya juga memukau.
Ketika itu, radio memang sedang dalam masa kejayaannya. Sandiwara produksi Sanggar Cerita ini menjadi populer luar biasa.
Jaman itu sudah hilang. Sekarang hampir tidak mungkin untuk memiliki cerita hanya berupa audio. Sama seperti jaman sebelumnya dimana imajinasi orang dibentuk oleh media cetak, yang saat ini juga semakin pudar.
Saat ini, orang hidup nyaris sepenuhnya dalam dunia audio visual yang terdigitalisasi. Teknologi memberi kemudahan orang untuk merekam dalam resolusi yang tinggi. Hampir semuanya bisa dilihat sekaligus didengar. Hanya satu yang belum bisa dilakukan, yakni membaui.
Sekarang ini, orang bisa 'hadir' dalam satu peristiwa tanpa 'ada' didalamnya secara fisik. Anda bisa menangis karena melihat Luna Maya umrah setelah ditinggal kawin kekasihnya misalnya. Sebaliknya, Anda ikut merasa hadir dan bergembira dalam perkawinan Syahrini dengan mantannya Luna Maya.
Saya tidak mengatakan bahwa jaman ini lebih buruk. Atau kita sedang mengalami kemunduran. Saya juga tidak sedang meromantisasi masa lalu.
Namun saya menangkap ada yang hilang dari jaman 'hadir tanpa ada' ini. Yang hilang itu adalah imajinasi.
Itulah sebabnya kenangan saya terpatri amat kuat dengan Tutur Tinular karena ia mengijinkan saya berimajinasi.
Mengapa hal ini menjadi penting? Karena imajinasi itu milik saya. Jika Anda mendengarkan Tutur Tinular saat itu, Anda memiliki imajinasi Anda sendiri, yang tentu tidak sama dengan imajinasi saya.
Bagaimanakah Anda membayangkan Mei Shin? Anda dipersilahkan untuk memiliki imajinasi sendiri tentangnya. Hal itu tidak ada jika Anda mendengar dongeng modern seorang yang mengaku princess yang bernama Syahrini, misalnya. Dia sudah ada dan semua tentangnya sudah terbentuk lengkap, dengan bentuk pipinya, bulumata palsunya, contact lens-nya yang biru, dan lain sebagainya.
Syahrini adalah sesuatu yang sudah 'fix' yang sudah tetap. Anda tidak boleh memiliki imajinasi atasnya. Syahrini memiliki otoritas untuk menentukan bentuknya -- dan citra itulah yang disodorkan kepada Anda dan (umumnya) Anda telan mentah-mentah.
Dia juga bebas memanipulasi citra itu menurut kehendaknya. Anda menerima begitu saja (seperti media mainstream di Indonesia!) bahwa dia adalah princess, bukan? Dengan pipinya ... ah sudahlah. Saya tidak mau terlalu jauh.
Tapi Mei Shin? Andalah otoritas dari imajinasi Anda sendiri. Citranya Mei Shin adalah bentukan Anda sendiri. Mei Shin Anda boleh pipinya tembam selayak bakpao, boleh tirus, boleh sedikit kotak, atau jajaran genjang. Terserah Anda. Dia milik Anda.
Dengan kebebasan itulah, saya memiliki Mei Shin. Untuk itu, saya berterima kasih pada S. Tijab yang memberikan kesempatan saya untuk berimajinasi.
Saya tidak pernah menonton film atau sinetron Tutur Tinular. Saya tidak mau kehilangan imajinasi saya.
Selamat jalan Om S. Tijab!
PS. Ada banyak audio Tutur Tinular dipasang di Youtube. Saya tidak berani memasangnya disini karena saya tidak tahu apakah pemasangnya menghormati hak cipta atau tidak.

Sumber: Made Supriatma