This is default featured slide 1 title

BEBAL:"FPI"

Kebebalan FPI Banyuwangi yang membubarkan ritual tradisi Sedekah Laut di daerahnya

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Senin, 25 November 2019

PGRI Kritik Pidato Mendikbud, Minta Nadiem Tidak Hanya Retorika



Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Unifah Rosyidi (Foto: Istimewa)

JAKARTA, MJNews – Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Unifah Rosyidi mengritisi isi pidato Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim.

Menurutnya, pidato tersebut sekadar retorika kosong jika tak dilanjutkan dengan aksi nyata. Pasalnya, imbauan serupa sudah disampaikan Presiden Joko Widodo pada puncak Perayaan Hari Guru 2 Desember 2017 lalu.
“Jadi mau ngomong apapun, pak presiden saja sudah ngomong berkali-kali,” katanya di Jakarta baru-baru ini.
Ia menyatakan yang harus dilakukan Nadiem adalah menunjukkan bukti, bukan sekedar perkataan dari mulut.
“Yang kita tunggu setelah berbicara ini Pak Nadiem turun membedah, baru itu punya makna. Selama itu tidak turun membedah, itu tidak akan ada maknanya,” kata Unifah.
Sebagaimana diketahui, pidato Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim yang akan disampaikan dalam peringatan Hari Guru Senin, 25 November 2019 viral di dunia maya.

Di kalangan para guru, pidato singkat itu jadi perbincangan hangat dan mendapat apresiasi sekaligus kritik.

Ia diapresiasi karena kesadarannya soal beban guru atas tugas-tugas administratif, kewajiban mengejar angka-angka penilaian yang tak sepenuhnya bisa mengukur potensi siswa, serta kurikulum yang terlalu padat hingga guru sulit berinovasi dalam proses mengajar.

Tapi di sisi lain, pidato tersebut dianggap sekadar retorika kosong jika tak dilanjutkan dengan aksi nyata. [mkp]

Rabu, 20 November 2019

”Ambyar”


Oleh: SINDHUNATA - 20 November 2019

Sindhunata - KOMPAS/FERGANANTA INDRA RIATMOKO

Ya, terhadap politik kita sekarang, rakyat kiranya boleh merasa patah hati. Rasanya, kita memang sedang hidup di zaman ewuh-pekewuh, di mana banyak hal jadi serba salah, apalagi politiknya, yang wr-wr-wr, ambyar.

Seribu kota sudah kulewati. Seribu hati sudah kutanyai. Tapi tak seorang pun mengerti, ke mana kau pergi. Bertahun-tahun aku mencari, belum kutemukan kau juga sampai hari ini. Seandainya kau sudah hidup bahagia, aku sungguh rela. Namun hanya satu permohonanku, aku ingin bertemu denganmu. Walau hanya sekejap mata, sekadar untuk obat rindu di dalam dada.

Itulah sepenggal lagu di antara sekian lagu Didi Kempot yang akhir-akhir ini telah mengharu biru penggemarnya. Lagu-lagu Didi Kempot tercipta dalam bahasa Jawa. Dan sudah lama ia menyanyikannya. Namun, baru akhir-akhir ini lagu-lagunya meledak. Penggemarnya meluas, tak terbatas mereka yang mengerti bahasa Jawa. Bukan hanya orangtua yang gemar lagu campur sari, melainkan juga anak-anak muda bergaya hidup modern dan jauh dari tradisi.

Mengapa lagu-lagu Didi Kempot bisa memeluk demikian banyak penggemar? Karena lagu-lagunya mendendangkan patah hati, cinta yang dikhianati, dan janji yang mudah diingkari. Luka-luka hati itu banyak dialami orang zaman ini. Dan Didi Kempot dirasa bisa mewakili dan menumpahkan perasaan mereka.

Maka kaum patah hati itu berkelompok. Yang laki-laki menamai diri Sad Bois, yang perempuan Sad Gerls. Keduanya berhimpun di bawah nama Sobat Ambyar. Dan pujaan mereka, Didi Kempot, digelari The Godfather of  The Broken-Heart alias The Lord of Ambyar.

Ribuan penonton menyimak lagu-lagu yang dibawakan penyanyi pop campursari Didi Kempot saat tampil sebagai penutup hari pertama perhelatan Synchronize Fest 2019, Jumat (4/10/2019). Festival musik yang memasuki penyelenggaraan keempat itu semakin beragam menyuguhkan aneka jenis musik, mulai dari dangdut koplo, kasidah, metal, sampai disko. - KOMPAS/HERLAMBANG JALUARDI


Ambyar, kata ini sudah jelas dengan sendirinya. Namun, mengapa kata itu tiba-tiba bisa demikian populer? Lebih-lebih kenapa ambyar itu bisa mewakili perasaan demikian banyak orang? Adakah kata itu hanya menyangkut romantisisme orang di sekitar kesedihan patah hati? Kalau kita bisa bertanya demikian, berarti suatu makna yang dalam ada di dalam kata ambyar. Dan ambyar itu tak bisa hanya dikembalikan ke pengalaman patah hati belaka.

Ambyar seakan adalah kata yang diberikan oleh keadaan zaman agar kita merasakannya secara lebih luas dan mendalam. Ambyar tak cukup dikembalikan pada Didi Kempot lagi. Zaman hanya meminjam ambyar-nya Didi Kempot untuk mengungkapkan gejala dan warta sejarah yang sedang kita alami kini.

Zaman hanya meminjam ambyarnya Didi Kempot untuk mengungkapkan gejala dan warta sejarah yang sedang kita alami kini.

Petaka kemajuan

Dalam khazanah Jawa, sebagai gejala sejarah, ambyar membuka kembali apa yang tersimpan dalam ramalan pujangga Ranggawarsita seperti tertulis dalam Serat Sabda Jati: Para djanma sadjroning djaman pekewuh, kasudranira andadi, dahurune saja darung, keh tyas mirong murang margi, kasetyan wus nora katon—di zaman serba susah dan salah ini, nista budi manusia makin menjadi-jadi, ruwetnya hidup terus terjadi, orang-orang sengaja menempuh jalan yang salah, kesetiaan tiada lagi bisa dilihat mata.

Didi Kempot saat menjadi bintang tamu pada sebuah pentas dangdut di lapangan Desa Wuled, Kecamatan Tirto, Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah, Selasa (30/7/2019). - KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA

Rupanya ramalan Serat Sabda Jati tentang datangnya zaman pekewuh, zaman ruwet, zaman ambyar sedang kita alami sekarang.
Di zaman ambyar ini manusia jadi serba salah. Dan seakan ada sebuah kekuatan tersembunyi yang sedang menjerat manusia untuk jadi serba salah.
Zaman ambyar itu bukanlah ramalan akan masa mendatang. Ambyar itu petaka di zaman sekarang. Dan ambyar itulah yang menentukan apa yang akan terjadi di masa depan, termasuk cita-cita manusia tentang kemajuan.
Maka, kata filsuf Sekolah Frankfurt, Walter Benyamin: pengertian kemajuan itu dasar dan titik berangkatnya adalah petaka. Apa yang terus berjalan maju adalah petaka itu. Dan petaka itu bukan apa yang akan datang, melainkan apa yang terjadi sekarang. Kalau kita bicara penyelamatan, ini hanyalah lompatan-lompatan kecil dari petaka yang terus berkesinambungan itu.

Menurut garis pemikiran itu, masa depan yang gemilang hanya utopia. Yang akan terjadi adalah masa depan sebagai petaka. Atau dalam khazanah Jawa, masa depan itu zaman ewuh-pekewuh, zaman ambyar.

Dalam literatur Barat, tulisan mengenai petaka atau ambyar itu dengan mudah ditemukan, mulai dari tulisan-tulisan filsafat, sosiologi kritis, politik, ekologis, sampai analisis psikologis, sastra, dan refleksi teologis. Jadi, bencana atau ambyar itu tak hanya mengenai alam dan lingkungan hidup, tetapi juga mengenai manusia, pemikiran, rasionalitas, dan kondisi psikisnya.

Warga Jalan Agung Perkasa, Sunter Jaya, Jakarta Utara, memasang spanduk protes terhadap penggusuran yang dilakukan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Senin (18/11/2019) siang.- KOMPAS/STEFANUS ATO

Petaka atau ambyar dibahas dengan tajam, misalnya, oleh Pankaj Mishra, sarjana keturunan India, dalam bukunya yang terkenal Age of Anger: a History of the Present (2017). Ia menunjukkan, akar dari chaos, petaka dan ambyar-nya zaman ini adalah utopia enlightenment masyarakat Barat. Utopia itu impian indah yang akhirnya mendarat sebagai realitas mimpi buruk di zaman sekarang.

Enlightenment dengan buahnya kapitalisme dan demokrasi liberal ditanamkan ke negara-negara yang tak punya akar tradisi 
enlightenment Barat.
Penanamannya sering dengan tindakan paksa: invasi militer, yang percaya, setelah itu demokrasi akan mekar dengan sendirinya.

Zaman ambyar itu bukanlah ramalan akan masa mendatang. Ambyar itu petaka di zaman sekarang. Dan ambyar itulah yang menentukan apa yang akan terjadi di masa depan, termasuk cita-cita manusia tentang kemajuan.

Utopia enlightenment mendambakan kemajuan dan kemodernan. Namun, sebaliknyalah yang terjadi: anti-kemodernan. Di banyak negara, anti-kemodernan ini berhimpun menjadi aksi radikalisme agama, kekerasan, dan teror.


Menurut Mishra, aksi-aksi itu bukan pertama-tama bertujuan merusak kemapanan yang dimiliki kemajuan dan kemodernan. Sebaliknya, aksi-aksi itu ingin menikmati kemapanan itu. Namun, alam semesta sebagai sumber daya yang terbatas ini pasti tak bisa memberikan apa yang ingin mereka nikmati, apalagi semuanya itu sudah berada di tangan mereka yang maju dan modern.

Akibatnya adalah ressentiment, kebencian. Maka, Mishra mengetengahkan pentingnya kita memahami kembali pemikiran filsuf Rousseau dan Nietzsche.
Keduanya berpendapat, ressentiment terjadi karena pengalaman inferior, yang kemudian mengecamukkan perasaan iri hati. Maunya meniru, tetapi tak mampu.

Hasrat meniru itu terus meninggi, sementara kemampuan diri kian tertinggal jauh. Janji-janji kemodernan tentang pemerataan akhirnya hanya mimpi. Si pemimpi kemudian menjumpai realitasnya tak sejalan dengan impiannya.

Hidupnya merana, dalam hal keadilan, pendidikan, status, kekuasaan, dan kesejahteraan. Hidupnya ternyata ambyar. Siapa yang mau ambyar? Maka mereka yang dikecewakan ini frustrasi. Karena frustrasi, mereka lalu marah, protes, jadi radikal, dan tak segan menjalankan aksinya dengan kekerasan. Itulah kemarahan kaum ambyar dalam the age of anger ini.

Polisi menjaga ketat penggeledahan rumah keluarga YF, terduga teroris, di Desa Bojong Lor, Kecamatan Jamblang, Kabupaten Cirebom, Jawa Barat, Senin (14/10/2019). YF merupakan pimpinan Jamaah Ansharut Daulah di Kabupaten dan Kota Cirebon. - KOMPAS/KOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI


Lunturnya kesetiaan

Di zaman ini, ambyar tak hanya menyambar politik, ekonomi, ataupun lingkungan. Hubungan personal pun ikut ambyar. Dalam hal personal itu, lagu-lagu mellow Didi Kempot tentang patah hati seakan membahasakan dan melokalkan krisis kesetiaan yang kini tengah menyebar di mana-mana.

Seperti dilaporkan Stephanie Schramm (die Zeit, 7/4/2011), sebuah studi dari Hamburg dan Leipzig, Jerman, pernah memperlihatkan, 90 persen responden menyatakan ingin tetap setia ke pasangan, tetapi 50 persen mengaku setidaknya sekali pernah melanggar kesetiaan itu. Dewasa ini masuknya ”orang ketiga” jauh lebih mudah daripada dulu.

Di zaman ini, ambyar tak hanya menyambar politik, ekonomi atau lingkungan. Hubungan personal pun ikut ambyar.

Setia dianggap bukan hanya setia pada seorang pasangan seumur hidup. Orang juga bisa merasa setia terhadap ”orang lain” yang sedang jadi pasangannya pada suatu saat. Kesetiaan itu bisa menjadi serial, kesetiaan pada pasangan yang berganti-ganti.

Monogami tampaknya kian dirasakan sebagai upaya kultural yang berlawanan dengan kodrat alami dan manusiawi, yang sulit bersetia pada seorang saja.

Teater Baru membawakan lakon Kisah Bunga Matahari di Gedung Kesenian Jakarta, Jumat (18/10) malam. Para pemain membawakan sketsa-sketsa yang menggambarkan potret kehidupan keseharian manusia urban yang ”gila gawai”, menghabiskan waktu di jalanan macet, di bawah tekanan ekonomi, dan diwarnai perselingkuhan -  KOMPAS/INDIRA PERMANASARI

Karena itu kesetiaan monogami itu sulit dihayati. Juga di kalangan anak muda melebarlah jurang pemisah antara keinginan dan kenyataan di sekitar kesetiaan. Mereka menjunjung tinggi kesetiaan. Namun, praktiknya, dengan mudah mereka berganti pacar atau pasangan.

Fakta ini mengungkapkan sebuah ironi: anak muda ingin berpegang sungguh pada kesetiaan dan mengidealkan kesetiaan sebagai pegangan, justru karena dalam realitas kesetiaan itu sedang ambyar dan sulit dialami.

Studi itu juga memperlihatkan, perselingkuhan banyak terjadi kebanyakan karena si pelaku tertarik akan yang baru. Hubungan dengan pasangannya bisa memuaskan, juga secara seksual. Namun, itu tak menjamin bahwa orang tak bisa tertarik dan kemudian puas dan nikmat dengan yang baru.

Lunturnya kesetiaan semacam ini sering disebabkan oleh sebuah kebetulan, bukan karena disengaja atau direncanakan. Sementara kesempatan untuk jatuh dalam kebetulan itu sekarang tersedia banyak. Sebab, dewasa ini manusia lebih mobile, berpindah dari satu tempat ke tempat lain dengan amat cepat, dan dapat berjumpa dengan ”orang baru” dalam waktu amat singkat.

Lewat internet, orang juga mudah menemukan rangsangan akan yang baru, yang sangat bervariasi dan menarik. Dan itu bisa dialaminya dalam ruang paling privat, bahkan di saat ketika orang berada dekat dengan keluarga atau pasangannya.

Menurut banyak penelitian, psikologi, sosiologi atau antropologi, ketidaksetiaan itu ditentukan banyak faktor. Dan sulitlah memastikan manakah faktor yang paling menentukan.

Kata seorang pakar terapi keluarga, Guy Bodenmann, kesetiaan adalah proses kognitif di mana orang menghasratkan sebuah eksklusivitas. Dan itu mengandaikan bahwa orang mau secara total memberikan komitmennya, emosional dan seksual .

Komitmen demikian butuh kehendak yang kuat dan bulat. Itu artinya untuk menjadi setia, orang harus bersedia dan rela berkorban untuk memberikan dirinya. Justru pengorbanan macam inilah yang sekarang sedang luntur. Tak heran jika kini banyak kesetiaan yang ambyar.
Itu artinya, untuk menjadi setia, orang harus bersedia dan rela berkorban untuk memberikan dirinya.

Sinetron politik ”ambyar”

Seperti dalam cinta, kesetiaan juga merupakan nilai dalam politik. Maka dalam ilmu politik, kesetiaan disebut sebagai keutamaan politik. Politik yang baik tercipta jika politikusnya setia pada janji politiknya, setia pada konstituennya, dan setia pada mitra koalisinya dalam mengejar cita-cita yang disepakati bersama.

Jelas, politik yang baik mengandaikan kesetiaan. Apabila menjunjung tinggi nilai itu, politik serta-merta akan mewujudkan kesetiaan dalam komitmen, serta pemberian dan pengorbanan diri yang jujur dan tulus. Namun, justru dalam politik, orang dengan amat mudah mengkhianati kesetiaan, mengingkari komitmen, dan menjerumuskan diri dalam perselingkuhan politik yang baru.

Presiden Joko Widodo bersama Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto berswafoto dengan wartawan seusai pertemuan keduanya di Istana Merdeka, Jakarta, Jumat (11/10/2019). Pertemuan tersebut membicarakan sejumlah isu aktual, seperti kondisi sosial, politik, ekonomi, dan keamanan. Pertemuan tersebut juga sebagai penjajakan untuk bergabung atau tidaknya Pantai Gerindra dalam kabinet pemerintahan Joko Widodo - KOMPAS/HERU SRI KUMORO


Jadi, persis seperti atau melebihi perkara cinta, kesetiaan dalam politik itu mudah terjangkiti virus ambyar. Cuma kadar akutnya saja berbeda-beda. Kadang akutnya tak seberapa, kadang menggila. Celakanya, ada gejala, berbarengan dengan merebaknya virus ambyar bersama Didi Kempot, akhir-akhir ini politik kita kelihatan juga terkena virus ambyar dengan sangat akut.

Maka, kalau orang percaya pada kawruh Jawa, mewabahnya Sobat Ambyar Didi Kempot itu juga sasmita yang memperbolehkan kita bertanya, jangan-jangan situasi sosial-politik kita juga sedang ambyar.
Dengan mudah, ambyar itu kita temukan dalam tingkah laku politik kita akhir-akhir ini. Kita boleh lega melihat Prabowo Subianto dan Presiden Jokowi bersatu, dan Gerindra masuk dalam Kabinet Indonesia Maju (KIM).

Namun, pertanyaan kritis tetap boleh muncul: sebegitu mudahkah politikus lupa akan pengorbanan pendukungnya. Di manakah kesetiaan dan komitmen politik mereka pada harapan pendukungnya?

Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto dan presiden terpilih, Joko Widodo, saling berjabat tangan seusai bertemu di rumah orangtua Prabowo di Jalan Kertanegara, Jakarta Selatan, Jumat (17/10/2019). KOMPAS/WISNU WIDIANTORO

Maklum, sebelum Pilpres 2019, pendukung kedua kubu demikian terbelah, sampai tak terbayangkan sama sekali bahwa pemimpin mereka mau menjalin sebuah koalisi politik.

Politik memang punya 1001 alasan untuk membenarkan diri. Namun, dalam fenomena politik di atas tetaplah terbukti, politik itu tak setia pada janji. Tepatlah jika para pendukungnya merasakan pahitnya lagu ”Cidra”, Didi Kempot: ”Wis samesthine ati iki nelangsa/wong sing tak tresnani mblenjani janji/Gek apa salah awakku iki, kowe nganti tego mblenjani janji/… (Sudah semestinya hati ini merana karena yang aku cintai mengingkari janji… Apa salahku, sampai kamu tega mengingkari janji).

Politik yang baik tercipta jika politikusnya setia pada janji politiknya, setia pada konstituennya, dan setia pada mitra koalisinya dalam mengejar cita-cita yang disepakati bersama.

Sinetron ambyar di panggung politik itu terus berlanjut. Baru saja menyatakan janji setia pada koalisi, Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh berpelukan mesra dengan Presiden Partai Keadilan Sejahtera Sohibul Iman.

Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh (kanan) bersama Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Sohibul Iman berangkulan di DPP PKS, Jakarta, Rabu (30/10/2019). Pertemuan tersebut dalam rangka silaturahmi kebangsaan dan menjajaki kesamaan pandangan tentang kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. - ANTARA FOTO/PUSPA PERWITASARI

Media pun ramai dengan adegan itu. Presiden Jokowi pun menyindir, Surya Paloh kelihatan lebih cerah dari biasanya sehabis berpelukan dengan Sohibul.

Dan Presiden Jokowi masih memberi komentar, ”Saya tidak tahu maknanya apa. Tetapi rangkulan itu tidak seperti biasanya. Tidak pernah saya dirangkul oleh Bang Surya Paloh seerat dengan Pak Sohibul Iman.”

Belakangan, pada perayaan HUT ke-8 Parta Nasdem, bahasa pelukan itu masih berlanjut. Berulang kali Presiden menegaskan, pelukan itu tak ada salahnya. Toh, Presiden masih menyindir juga, pelukan itu hanya masalah kecemburuan.

Begitulah, diskursus politik kita diturunkan derajatnya menjadi masalah pelukan. Sebagian waktu politik kita disita untuk berspekulasi tentang pelukan. Bahasa politik kita menjadi bahasa Sobat Ambyar. Surya Paloh menyatakan ”sayang” kepada para tokoh. ”Dan jangan ragukan lagi, betapa saya masih sayang kepada Mbak Mega.” Megawati memperlihatkan senyumnya yang tertahan mendengar sapaan itu.

Calon Presiden Joko Widodo dan Prabowo Subianto bergandengan dan melambaikan tangan. KOMPAS/PRADIPTA PANDU

Namun, orang tahu ini sinetron politik, senyum itu boleh ditafsir sebagai senyum sinis tak percaya. Di mata banyak pemirsa, senyum itu seakan mau bilang, ”mbel”. Atau dalam bahasa Sobat Ambyar, senyum itu adalah lagu: Jebule janjimu jebule sumpahmu, ra biso digugu (Janjimu, sumpahmu, ternyata palsu). Jika bersama dengan fenomena ambyar, kita mau diingatkan akan sasmita zaman ewuh-pekewuh kita haruslah waspada, kepalsuan dan ketaksetiaan akan janji kelihatan akan menjadi warna dari politik kita.

Lihat saja, Pemilu dan Pilpres 2019 baru saja berlalu. Tokoh-tokoh politik sama sekali belum membuktikan diri apakah mereka bisa memenuhi janjinya dari kampanye lalu. Kabinet Indonesia Maju juga belum terbukti kerjanya. Di tengah keadaan demikian sudah terbaca bagaimana politik membuat manuver-manuver agar mereka bisa mempertahankan atau meraih kekuasaan di 2024.

Buat politikus kita, demokrasi seakan hanyalah alat mengejar kekuasaan. Ini sungguh politik ambyar. Ambyar karena politik itu menghilangkan jejak dan dasar kelahirannya. Seperti dikatakan filsuf Richard David Precht, politik itu tak lahir dengan sendirinya. Politik itu lahir dari kepercayaan dan kejujuran rakyat.

Satu hari setelah dilantik, para menteri Kabinet Indonesia Maju langsung mengikuti sidang kabinet paripurna yang dipimpin oleh Presiden Joko Widodo bersama Wakil Presiden Ma’aruf Amin di Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (24/10/2019). - KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Rakyat lalu mengharap agar berdasarkan kepercayaan itu politik bertindak bijak, setia, dan tahu diri. Politik yang hanya mengejar kekuasaan berarti menyapu habis dasar kelahirannya itu. Tak peduli dengan kepercayaan dan kejujuran rakyat, prek dengan kesetiaan dan kebijaksanaan. Yang penting, pokoknya, bagaimana meraih kekuasaan.

Politik tak lagi berpikir apa yang terbaik untuk rakyat yang memercayai dan menumpahkan harapan padanya. Yang dipikirkannya hanyalah apa yang terbaik bagi dirinya dan itulah adalah semakin besarnya kekuasaan.
Politik yang hanya mengejar kekuasaan berarti menyapu habis dasar kelahirannya itu.

Politik demikian politik yang tak setia janji. Itulah politik yang sekarang kira rasakan. Maka terhadap politik demikian, bersama Sobat Ambyar, rakyat kiranya boleh memaki: Tak tandur pari, jebul tukule malah suket teki (Padi yang kutanam, ternyata tumbuhnya malah alang-alang).

Ya, terhadap politik kita sekarang, rakyat kiranya boleh merasa patah hati. Rasanya, kita memang sedang hidup di zaman ewuh-pekewuh, di mana banyak hal jadi serba salah, apalagi politiknya, yang wr-wr-wr, ambyar.

Editor, HARYO DAMARDONO

Jumat, 08 November 2019

Sikolah Pomore | SekolahGratis untuk Anak-Anak


Di-DO dari kampusnya, pemuda asal Pantai Barat Palu ini bikin sekolah sendiri.
Karena fakta pendidikan formal kita di Indonesia itu menjauhkan kita dari alam dan asas-asas ekologi.
Betul, ada beberapa inovasi dari sistem pendidikan, tapi reformasi tersebut, tidak sama sekali menyentuh alam pikir para hamba sahaya, tapi malah menjadi alat eksploitasi manusia atas manusia—Kapitalism.

Jumat, 01 November 2019

Butet Manurung 'Gugat' Praktik Pendidikan Indonesia

31 Oct 2019 01:40

Salah satu pendiri Sokola Institute, Butet Manurung. (GATRA/Ardhi Ridwansyah/ft)

Jakarta - Salah satu pendiri Sokola Institute, Butet Manurung, menggugat praktik pendidikan Indonesia yang menurutnya belum berkontribusi untuk mempertahankan pengetahuan lokal atau adat istiadat di setiap daerah.
"Belum, sama sekali belum. Saya terus terang saja menggugat pendidikan kita karena bukan hanya tidak berguna, bahkan kadang-kadang bisa memberi dampak buruk dalam hal tidak membantu adat istiadat, pengetahuan lokal, dan produk-produk budaya kita bertahan," ucapnya saat diwawancarai awak media selepas acara peluncuran buku "Melawan Setan Bermata Runcing" di Auditorium Institut Pengembangan Manajemen Indonesia (IPMI), Kalibata, Jakarta Selatan, Rabu (30/10).
Wanita yang pernah meraih Ramon Magsaysay Award itu menuturkan bahwa pendidikan kita semestinya condong kepada pendidikan yang bersifat kontekstual. Pendidikan kontekstual adalah pendidikan yang sesuai untuk mengatasi permasalahan yang ada di sekitarnya.
"Kalau di sekitar kita ada ular kobra, lebih baik kamu belajar mengatasi bisa (racun) kobra, sebelum kamu belajar kalkulus. Jadi apa yang ada di lokal kita kuatkan dulu, baru kamu bisa ke hal yang lebih luas dari itu," katanya.
Di sisi lain, Dirjen Kesenian Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Restu Gunawan, menyatakan bahwa pendidikan kontekstual sebetulnya sudah ada pada kurikulum 2013, namun dalam praktiknya terdapat hambatan seperti tenaga pendidik yang belum bisa menerapkan cara pengajaran yang sifatnya langsung terjun ke lapangan.
"Kalau untuk belajar ekonomi maka anak-anak diarahkan untuk pergi ke pasar atau ke mall bagi anak-anak kota dan sebagainya. Arahnya ke sana, cuman untuk mendidik guru seperti aktivis-aktivis yang dilakukan Sokola ini, bukanlah pekerjaan yang mudah," jelasnya.
Untuk itu, Restu menilai perlu adanya kolaborasi antar guru untuk bisa menyediakan waktu yang tepat untuk bisa terjun langsung mengajak murid-muridnya belajar dalam rangka mempraktikkan pendidikan kontekstual tersebut.
"Saya kira sumbangan pemikiran dari kawan-kawan Sokola sangat penting bagi Kementerian Pendidikan," ungkapnya.
Sokola Institute merupakan lembaga yang fokus pada isu pendidikan masyarakat adat dan kelompok marjinal. Adapun buku "Melawan Setan Bermata Runcing" merupakan kumpulan pengalaman-pengalaman Sokola Institute selama 16 tahun mendampingi masyarakat adat yang kerap kesulitan mengakses sekolah formal.

Reporter: ARH - Editor: Iwan Sutiawan

Rabu, 30 Oktober 2019

Sekolah Rakyat bagi Mereka yang Termarginalkan


Akmal Uro - 30/10/2019


Pendidikan merupakan salah satu hal penting dalam kehidupan seseorang. Pendidikanlah yang menentukan, menuntun masa depan dan arah hidup seseorang. Dengan pendidikan, dapat menciptakan manusia-manusia yang berkualitas, berintelektual, dan jauh dari kebodohan.

Meskipun tidak semua orang berpendapat seperti itu, namun pendidikan tetaplah menjadi kebutuhan nomor wahid. Bagi Tan Malaka sendiri, pendidikan merupakan perkakas membebaskan rakyat dari keterbelakangan dan kebodohan.

Karena kemajuan suatu bangsa tak lepas dari pendidikan, maka dari itu dituangkanlah beberapa kebijakan yang memberikan peluang bagi seluruh rakyat Indonesia untuk mengenyam pendidikan, seperti pada Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 31 Ayat 1 yang berbunyi: “Setiap Warga Negara Berhak Mendapatkan Pendidikan”.

Selain itu, juga dituangkan dalam cita-cita bangsa ini yang terdapat pada Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yakni “Mencerdaskan Kehidupan Bangsa”.

Namun, hingga saat ini, cita-cita ‘Mencerdaskan Kehidupan Bangsa” masih ‘terasa’ jauh dari kata terwujud. Pasalnya, masih banyaknya anak-anak Indonesia yang belum mengenyam pendidikan formal menjadi salah satu alasan. Berdasarkan Data UNICEF tahun 2016, sebanyak 2,5 Juta anak Indonesia tidak dapat menikmati pendidikan lanjutan, yakni sebanyak 600 Ribu anak usia Sekolah Dasar (SD) dan 1,9 juta anak usia Sekolah Menengah Pertama (SMP).

Memang, ada beberapa faktor yang membuat anak-anak Indonesia tidak dapat menikmati pendidikan, seperti karena faktor ekonomi yang berdampak pada tidak teraksesnya pendidikan bagi rakyat kecil, paradigma masyarakat yang menganggap pendidikan tidak penting, sarana dan prasarana, kurikulum yang diterapkan, dan beberapa faktor yang lain.

Faktor ekonomi menjadi penghambat utama untuk melanjutkan pendidikan.
 Padahal, dalam komitmen tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs) 2030 di Bidang Pendidikan, setiap negara harus bisa memastikan tidak ada seorang pun yang tertinggal dalam hal pendidikan.

Dari hasil survei Badan Pusat Statistik, ada sekitar 73 Persen kasus putus sekolah terjadi akibat faktor ekonomi. Hal ini sangat disayangkan, padahal pemerintah Indonesia sangat serius melaksanaan kebijakan pembangunan di sektor pendidikan yang bertujuan untuk Mencerdaskan Kehidupan Bangsa, terutama pada pengalokasian anggaran pendidikan yang mencapai 20% dari total anggaran pembangunan. 

Program yang diprioritaskan antara lain, untuk pembangunan sarana dan prasarana pendidikan, perpustakaan, pengadaan buku-buku, biaya operasional, beasiswa, pendidikan gratis bagi masyarakat miskin. Tapi toh nyatanya masih banyak anak-anak Indonesia yang belum bisa mengenyam pendidikan.

Pendidikan yang tidak bisa terjangkau karena biayanya yang mahal masih sangat dirasakan bagi rakyat kecil, seperti anak-anak jalanan yang kurang beruntung untuk mendapatkan pendidikan. 

Sangat sulit bagi mereka untuk menghapus dampak pendidikan bagi mereka yang tidak didapatkannya. Karena mereka harus memikirkan bagaimana caranya untuk membayar uang iuran sekolah, untuk membeli perlengkapan-perlengkapan sekolah, sedangkan untuk makan sehari-hari saja sangat susah.

Apakah dengan nilai-nilai yang bagus semasa duduk di bangku sekolah ‘Mencerdaskan kehidupan bangsa’ akan terwujud? Ataukah lulus dengan IPK yang tinggi ‘Mencerdaskan kehidupan bangsa’ akan terwujud? Tentu itu bukanlah sebuah tolok ukur.

Bagi Sultan Ibrahim atau lebih dikenal Tan Malaka sendiri berpendapat bahwa Pendidikan bukanlah semata-mata alat untuk kecerdasaan pribadi saja, tetapi juga sebagai alat kecerdasan sosial agar mengetahui bentuk ketertindasaan di dalam masyarakat. Selain itu, ia juga berpendapat bahwa pendidikan harus bersifat transformatif sebagai alat untuk keluar dari segala jeratan praktik diskriminasi dan penindasan

Lantas, di mana nilai-nilai demokrasi yang menjamin seluruh rakyat Indonesia untuk merasakan bangku sekolah sebagaimana yang tertuang pada Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 31 Ayat 1? Apakah itu hanya sebuah ‘pajangan’ dalam konstitusi negara? 

Tentu, pendidikan yang merata dan bisa diakses oleh semua kalangan rakyat Indonesia adalah bentuk perwujudan nilai-nilai demokrasi dalam ranah Pendidikan.

Oleh karena itu, Sekolah Rakyat bisa menjadi alternatif pendidikan bagi ‘mereka’ yang termarginalkan. Sekolah yang bisa menjadi ‘lumbung’ ilmu bagi anak-anak bangsa yang tidak dapat mengenyam pendidikan layaknya anak sebayanya. Gudang ilmu dan tempat berkreasi bagi pemuda yang ‘terpaksa’ meninggalkan bangku sekolah karena himpitan ekonomi.

Dengan menyusun kurikulum sesuai dengan budaya, kebutuhan, dan kondisi masyarakat, Sekolah Rakyat tersebut diharapkan bisa membangkitkan kesadaran rakyat untuk peduli dan kritis terhadap segala persoalan yang terjadi dalam lingkungan mereka.

Sebut saja seperti persoalan kemiskinan maupun penindasan yang dilakukan penguasa terhadap mereka. Caranya adalah melalui sebuah pembangunan berpikir yang mampu memecahkan persoalan-persoalan yang ada dalam dirinya, yang selanjutnya dibenturkan dengan realitas pahit yang mereka alami.

Salah satu contoh dari Sekolah alternatif yang ada di Indonesia adalah Cahaya Anak Negeri, sebuah wadah kegiatan dan pendidikan untuk membantu anak jalanan meraih cta-cita. Adalah Andi Suhandi dan Nadiah Abidin, aktor di balik lahirnya sekolah jalanan tersebut. Mereka mendirikan sekolah tersebut bermula dari keprihatinan terhadap pendidikan dan masa depan anak-anak jalanan di Kota Bekasi.

Sekolah seperti Cahaya Anak Negeri ini perlu dan semestinya untuk didukung keberadaannya. Agar ke depannya, pemandangan anak-anak jalanan yang berlarian jika dikejar Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) atau anak yang mengulurkan tangan untuk mengisi isi perutnya tak terlihat lagi dengan hadirnya sekolah-sekolah alternatif untuk mereka.

Jika mencerdaskan kehidupan bangsa diukur dari banyaknya sarjana, maka rakyat yang memilih Sekolah Rakyat tidak akan mampu untuk mewujudkannya. Akan tetapi, jika mencerdaskan kehidupan bangsa diukur dari kemajuan pola berpikir rakyat Indonesia, maka Sekolah Rakyat bisa dan mampu untuk mewujudkan itu.

Permasalahan pendidikan bukanlah tugas pokok pemerintah semata, akan tetapi juga pada rakyat yang sadar untuk mewujudkan nilai-nilai demokrasi dalam ranah pendidikan. Terwujudnya pendidikan yang bisa diakses oleh seluruh rakyat Indonesia, tanpa diskriminasi, pendidikan yang tak kenal golongan adalah wujud nyata realisasi konsitusi negara di bidang pendidikan seperti yang diamanatkan pada Pasal 31 Ayat 1.

Senin, 28 Oktober 2019

SRMB dan Literasi Daerah



Penerbitan dan apresiasi karya sastra, khususnya puisi, direncanakan bakal menjadi tradisi tahunan Sekolah Rakyat MeluBae (SRMB). Sinyalemen ini mengemuka dalam banyak diskusi internal yang disebut para pamongnya sebagai tradisi dopokan kelompok.

Sebagai sebuah komunitas pembelajar yang telah berusia 16 tahun sejak pendiriannya pada Januari 2003, meski jatuh bangun, pengalaman empiris memberi cukup kekuatan untuk tetap survive dalam berbagai situasi. Kata kuncinya, berkomunikasi dalam berbagai bentuknya, menjadi perekat komunal yang secara etika dan metodologis jadi sesuatu yang bersifat saling mengikat.

Jargon “Sekolah mBayar Karep” teruji di atas landasan kolektif melalui proses-proses bersamanya, mulai dari dopokan hingga melakukan semua secara bersama. Tetapi kebersamaan yang meskipun tak linier namun pada gilirannya bermanifes melalui “kerja kolektif” siapa melakukan apa.

Penerbitan karya

Penerbitan buku berisi karya puisi para pegiatnya tengah menjadi tren dalam tiga tahun belakangan, terutama sejak komunitas ini menginisiasi pendirian “divisi publishing” dengan marking Senthong Omah Sinau dalam menangkap tema besar literasi pada konteks daerah.

Itu sebabnya pada Senin (28/10) SRMB menemui pengelola Kearsipan dan Perpustakaan Daerah Kebumen. Selain untuk menyerahkan dua serial buku antologi puisi bertajuk “Kuputarung” sebagai satu momentum, juga untuk suatu rintisan komunikasi yang diharapkan bakal berkelanjutan.

KUPUTARUNG: Penyerahan 2 buku antologi puisi “Kuputarung” terbitan SRMB ke pengelola Kearsipan dan Perpustakaan Daerah Kebumen pada Senin (28/10). Kadin Kearsipan dan Perpustakaan Anna Ratnawati, didampingi Bambang Asrori tengah menerima dua buku terbitan SRMB di kantornya [Foto: Arp]

Bagi SRMB sendiri yang barangkali baru memaknai literasi sebagai sebuah tradisi yang mengaktualisasi ke dalam trend penerbitan buku, namun juga berproyeksi mengembangkan produksi pengetahuan lainnya diluar bidang sastra. Jika pun selama ini komunitas berfokus pada sastra itu semata karena mayoritas pegiatnya aktif pada penulisan puisi.

Opsi selain penulisan dan penerbitan adalah apresiasi karya para pegiatnya melalui musikalisasi puisi. Secara spesifik, komunitas ini tengah menyiapkan lomba baca puisi, tingkat pelajar dan umum; yang bakal digelar bulan November.    

Rabu, 23 Oktober 2019

Anak-Anak Memerlukan Cerita, Puisi, Musik, dan Kesenian


23 October 2019 - A.S. Laksana 

Philip Pullman, foto BBC.

ANAK-ANAK membutuhkan kesenian dan cerita dan puisi dan musik sebagaimana mereka memerlukan cinta dan makanan dan udara segar dan bermain-main. Jika kita tidak memberi mereka makanan, kerusakannya akan cepat terlihat. Jika kita melarang anak menikmati udara segar dan bermain-main, kerusakannya juga akan terlihat, tetapi tidak seketika. Jika kita tidak memberi mereka cinta, kerusakannya mungkin tidak akan terlihat sampai bertahun-tahun nanti, tetapi kerusakannya permanen.

Tetapi jika Anda tidak memberi mereka kesenian dan cerita dan puisi dan musik, kerusakannya tidak begitu mudah dilihat. Tubuh mereka cukup sehat; mereka dapat berlari dan melompat dan berenang dan makan dengan lahap dan bersuara berisik, seperti lazimnya anak-anak, tetapi ada sesuatu yang hilang.

Memang benar bahwa sejumlah orang tumbuh tanpa mengenal kesenian dalam bentuk apa pun, dan mereka terlihat bahagia. Mereka menjalani kehidupan yang baik dan berharga, dan tak ada buku di rumah mereka, dan mereka tidak begitu peduli pada lukisan, dan mereka tidak tahu pentingnya musik. Tidak ada masalah. Saya tahu orang-orang yang seperti itu. Mereka tetangga-tetangga yang baik dan warga negara yang bermanfaat.

Tetapi beberapa orang lainnya, pada tahap tertentu di masa kecil atau di masa muda mereka, atau bahkan mungkin di usia tua mereka, mengalami sesuatu yang belum pernah mereka bayangkan sebelumnya. Bagi mereka, pengalaman itu sama asingnya dengan sisi gelap bulan. Suatu hari mereka mendengar pembacaan puisi di radio, atau melewati sebuah rumah dengan jendela terbuka dan melihat seseorang bermain piano, atau melihat poster sebuah lukisan di dinding rumah seseorang, dan pengalaman itu memberi pukulan yang mengejutkan namun lembut sehingga mereka merasa pening. Mereka tidak pernah dipersiapkan untuk mengalami hal ini.

Tiba-tiba mereka menyadari ada rasa lapar, meskipun mereka tak memikirkan hal itu semenit sebelumnya; rasa lapar akan sesuatu yang manis dan lezat sehingga hampir menghancurkan hati mereka. Mereka hampir menangis, mereka merasa sedih dan gembira dan sunyi, disambut oleh pengalaman yang benar-benar baru dan aneh ini.

Mereka ingin mendengarkan radio, mereka tercenung lama di luar jendela, dan mata mereka tidak bisa beralih dari poster lukisan. Mereka menginginkan hal ini, mereka membutuhkan semua ini seperti orang lapar membutuhkan makanan. Dan mereka tidak pernah menyadarinya selama ini. Mereka tidak pernah tahu.

Seperti itulah rasanya bagi anak-anak yang membutuhkan musik atau lukisan atau puisi. Jika tidak ada perjumpaan kebetulan seperti di atas, mereka mungkin tidak akan pernah menyadari rasa lapar mereka. Mungkin mereka akan menjalani saja seluruh hidup dalam keadaan lapar budaya tanpa menyadarinya.

Efek kelaparan budaya memang tidak dramatis dan seketika. Ia tidak mudah terlihat.

Dan sejumlah orang tidak pernah mengalami perjumpaan seperti itu; dan mereka beres-beres saja. Jika semua buku dan semua musik dan semua lukisan di dunia ini lenyap dalam semalam, mereka tidak akan merasa lebih buruk. Mereka bahkan tidak akan tahu.

Tetapi rasa lapar itu dirasakan oleh anak-anak, dan seringkali tak terpenuhi karena tidak ada yang menyadarkan mereka. Banyak anak di berbagai belahan dunia mengalami kelaparan akan sesuatu yang memberi kebugaran dan memelihara jiwa mereka, yang tidak tergantikan oleh hal-hal lain.

Kita mengatakan bahwa setiap anak memiliki hak atas makanan dan tempat tinggal, pendidikan, perawatan medis, dan sebagainya. Kita harus memahami juga bahwa setiap anak memiliki hak untuk menikmati kebudayaan. Kita harus sepenuhnya memahami bahwa tanpa cerita, puisi, lukisan, dan musik, anak-anak akan kelaparan.

***

• Ditulis oleh Philip Pullman pada peringatan kesepuluh Astrid Lindgren Memorial Award, 2012. Tulisan aslinya bisa diakses di Blog Astrid Lindgren Memorial Award.

Blog itu sekarang berhenti. Tulisan terakhir adalah pada 15 Januari 2019, berisi pengumuman bahwa mereka tidak akan menulis lagi untuk blog tersebut.


-------


PHILIP PULLMAN adalah salah satu penulis paling terkenal saat ini. Dia terkenal karena novel triloginya His Dark Materials  (terdiri atas The Golden Compass, The Subtle Knife, dan The Amber Spyglass), yang dinobatkan sebagai salah satu dari 100 novel terbaik sepanjang masa oleh  majalah berita mingguan Newsweek  dan salah satu novel terhebat sepanjang masa oleh  Entertainment.

Dia juga telah memenangi banyak penghargaan, termasuk Medali Carnegie untuk The Golden Compass, Penghargaan Whitbread (sekarang Costa) untuk The Amber Spyglass; nominasi Booker Prize untuk The Amber Spyglass; dan Penghargaan Astrid Lindgren Memorial pada 2005.

Tanya jawab menarik tentang buku favorit, musik dan film kesukaan Philip Pullman, dalam acara BBC Five Minutes With.

Selasa, 22 Oktober 2019

Penghayat Kepercayaan, Bagian Dari Masyarakat Yang Harus Kita Jaga Dan Hormati


Ariefiani Harahap - 22 Oktober 2019 12.57 WIB

Salah satu Penghayat Kepercayaan, Pahoman Urip Sejati asal Magelang yang sedang melakukan peribadatannya | foto: riauberita.com

Adanya berbagai kepercayaan merupakan salah satu keragaman yang menjadi ciri kemajemukan masyarakat Indonesia. Hal tersebut bisa ditemukan juga pada penghayat kepercayaan sebagai salah satu kelompok yang sering terlupakan bahkan asing bagi sebagian masyarakat.

Penghayat kepercayaan sendiri adalah mereka yang menganut aliran kepercayaan diluar enam agama dominan yang dikenal masyarakat umum di Indonesia seperti Kristen, Katolik, Islam, Hindu, Buddha dan Konghucu. Adanya aliran kepercayaan tersebut merupakan warisan yang diturunkan oleh leluhur berbagai daerah yang ada di Indonesia.

Keberadaan penghayat kepercayaan di Indonesia

Sebelum masuknya agama mayoritas di Indonesia, Arkeolog Agus Widiatmoko menjelaskan pada historia.id bahwa agama atau kepercayaan terdahulu yang dipegang oleh para penghayat memiliki tiga prinsip yaitu hubungan manusia dengan Yang Maha Kuasa, dengan sesama manusia dan dengan tumbuhan, hewan dan lingkungan.

Beberapa contoh aliran yang cukup besar diantaranya seperti; Sunda Wiwitan dan Buhun yang dianut orang-orang Sunda, Kejawen yang dianut masyarakat Jawa, Marapu yang merupakan agama asli dari Pulau Sumba, Kaharingan dan Tolotang yang berasal dari Kalimantan, Ugamo Malim atau Parmalim dari suku Batak dan Madrais yang merupakan agama Jawa-Sunda.

Selain aliran-aliran tersebut masih banyak lagi aliran kecil di Indonesia yang juga merupakan bagian dari penghayat kepercayaan.

Walaupun belum ada jumlah pasti terkait jumlah penghayat kepercayaan, dilansir dari tirto.id beberapa data menunjukkan keberadaan mereka ditengah masyarakat Indonesia. Sensus penduduk 2010 misalnya, mencatat ada 299.617 penghayat kepercayaan atau sekitar 0,13% yang terhitung dari jumlah total penduduk Indonesia.

Selain itu ada juga perkiraan jumlah berkisar sepuluh hingga dua belas juta orang di seluruh Indonesia yang dikeluarkan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) melalui Direktorat Pembinaan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Tradisi Berada.

Melihat kembali kondisi penghayat kepercayaan di Indonesia

Dalam perjalanannya aliran kepercayaan sempat mengalami kondisi yang naik turun. Pada historia.id Sudarto peneliti dari Setara Institute menjelaskan bahwa jumlah penghayat kepercayaan pernah mengalami peningkatan setelah pemilu pertama yang dilakukan pada 1955 .

Saat itu ada sekitar 350 kelompok yang dikonsolidasi oleh mantan wakil perdana menteri KRT Wongsonegoro. Hal tersebut juga terakomodir lewat pasal 29 UUD 1945 yang menyebutkan
 “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk utuk memeluk agama masing-masing dan beribadat menurut agama dan kepercayaan itu”

Namun Pada 1965 juga sempat keluar UU PNPS No. 1 yang berisi tentang penodaan dan perlindungan atas agama-agama yang diakui pemerintah, dari aliran-aliran lain. Hal tersebut pun berimbas pada para penghayat kepercayaan.

Berbagai kendala seringkali muncul, mulai dari sulitnya mendapatkan hak-hak seperti pendidikan atau pekerjaan hingga penerimaan di masyarakat. Hal tersebut kerap membuat beberapa dari mereka berpindah pada agama mayoritas.

Kartu Tanda Penduduk salah seorang penghayat kepercayaan | foto: tirto.id

Setelah berbagai hal yang dilalui oleh masyarakat penghayat kepercayaan, dukungan terhadap mereka akhirnya mulai terlihat. Realisasinya dibuktikan dengan dicetaknya kolom agama penghayat kepercayaan di dalam E-ktp oleh Ditjen Dukcapil pada 2019.

Masyarakat penghayat kepercayaan yang gugatannya dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) | foto: detik.com

Hal tersebut merupakan tindak lanjut dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada November 2017 yang mengabulkan gugatan masyarakat penghayat kepercayaan terkait kewajiban negara untuk mengakui dan menulis (tidak lagi mengosongkan) kolom agama pada KTP yang dimiliki penghayat kepercayaan.

Walaupun secara identitas keberadaannya telah diakui, dibutuhkan edukasi lebih lanjut pada masyarakat luas terkait keberadaan para penghayat kepercayaan. Hal tersebut harus dilakukan untuk mendorong sikap terbuka masyarakat terhadap mereka sehingga tak ada lagi diskriminasi yang diterima oleh para penghayat.

Rabu, 09 Oktober 2019

Eka Kurniawan Tolak Anugerah Kebudayaan dari Kemendikbud


Oleh: Hendra Friana - 9 Oktober 2019

Potret Eka Kurniawan saat hadir di Indonesia International Book Fair di JCC, Jakarta, Sabtu (15/9/18). tirto.id/Hafitz Maulana

Eka Kurniawan menilai negara belum serius menghargai kerja-kerja seni dan kebudayaan, dan menolak penghargaan yang diberikan Kemendikbud kepadanya.

Novelis Eka Kurniawan menolak Anugerah Kebudayaan dan Maestro Seni Tradisi 2019 yang bakal diberikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) kepadanya pada Kamis (10/10/2019) malam.

Sikap yang ia sampaikan secara terbuka melalui akun Facebook pribadinya itu dilandasi sejumlah alasan. Salah satunya, karena pemerintah tak sungguh-sungguh memberi apresiasi kepada pekerja sastra dan seni, dan pegiat kebudayaan secara umum
"Suara saya mungkin terdengar arogan, tapi percayalah, Negara ini telah bersikap jauh lebih arogan, dan cenderung meremehkan kerja-kerja kebudayaan," tulisnya.
Ketidakseriusan negara dalam mengapresiasi kerja-kerja seni dan kebudayaan, kata Eka, pertama-tama terlihat dari kontrasnya hadiah yang ia terima dengan para atlet atau olahragawan yang memenagi olimpiade.

Para penerima anugerah dari Kemendikbud tersebut hanya mendapat, antara lain, pin dan uang Rp50 juta --yang dipotong pajak. Sementara peraih emas dalam Asean Games, misalnya, memperoleh Rp1,5 miliar dan peraih perunggu memperoleh Rp250 juta.
"Kontras semacam itu seperti menampar saya dan membuat saya bertanya-tanya, Negara ini sebetulnya peduli dengan kesusastraan dan kebudayaan secara umum tidak, sih?" keluh Eka.
Tapi, terlepas dari kekesalan dan perasaan dianaktirikan itu, alasan paling penting yang dipaparkan Eka adalah absennya negara dalam melindungi iklim intelektual secara luas. Beberapa waktu, tulis Eka, sejumlah toko buku kecil digeruduk dan buku-buku dirampas oleh aparat. Tapi negara abai dan tak pernah turun tangan untuk menghentikan tindakan "anti-intelektualitas" tersebut.

Padahal, kejadian itu bukan yang pertama dan kemungkinan akan terus terjadi di masa mendatang. Negara juga dinilai mangkir dalam melindungi industri perbukuan, terutama penerbit-penerbit kecil dan para penulis, yang menjerit dalam ketidakberdayaan menghadapi pembajakan buku.

Menurut Eka, jika perlindungan kebebasan berekspresi masih terengah-engah, setidaknya pemerintah bisa memberikan perlindungan secara ekonomi dan meyakinkan semua orang di industri buku bahwa hak-haknya tidak dirampok.
"Memikirkan ketiadaan perlindungan untuk dua hal itu, tiba-tiba saya sadar, Negara bahkan tak punya komitmen untuk melindungi para seniman dan penulis [bahkan siapa pun] atas hak mereka yang paling dasar: kehidupan," lanjutnya.
Lantaran hal-hal itu lah, beberapa hari lalu, Eka membalas surat dari Direktur Warisan dan Diplomasi Budaya Kemendikbud untuk menegaskan dirinya tak akan datang malam penganugerahan dan menolak penghargaan yang diberikan kepadanya.

 Menerima penghargaan tersebut, menurutnya, menjadi semacam "anggukan kepala" untuk kebijakan-kebijakan negara yang sangat tidak mengapresiasi kerja-kerja kebudayaan, bahkan cenderung represif. 
"Kesimpulan saya, persis seperti perasaan yang timbul pertama kali ketika diberitahu kabar mengenai Anugerah Kebudayaan, Negara ini tak mempunyai komitmen yang meyakinkan atas kerja-kerja kebudayaan," tegas Penulis novel Cantik itu Luka tersebut.
Reporter: Hendra Friana 
Penulis: Hendra Friana 
Editor: Gilang Ramadhan
Negara tak punya komitmen untuk melindungi para seniman dan penulis atas hak dasar mereka: kehidupan.

Tirto.ID