This is default featured slide 1 title

BEBAL:"FPI"

Kebebalan FPI Banyuwangi yang membubarkan ritual tradisi Sedekah Laut di daerahnya

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Senin, 11 April 2016

Intoleransi dan Perintah Presiden

11 April 2016 | 19:01


Apakah intoleransi yang terus-menerus dipertontonkan ke publik satu paket dengan kompetisi dan deregulasi untuk masuknya modal asing?

Kita lihat beberapa ekspresi kebudayaan dan politik dilarang oleh kelompok massa tertentu tanpa ada usaha polisi untuk mencegah sesuai wewenangnya berdasarkan konstitusi. Sebaliknya,  polisi justru  setuju dan mendukung atas nama ketertiban.

Kita pun melihat Presiden Joko Widodo  betapa getol menekankan Indonesia harus terus meningkatkan daya saing dan siap berkompetisi dalam era ekonomi pasar bebas. Deregulasi dan pembangunan infrastruktur digenjot justru untuk mempercantik dan mempertampan diri demi melayani Modal Asing masuk. Deregulasi adalah praktek memudahkan modal asing terlibat dalam pembangunan di Indonesia. Melalui deregulasi itulah diharapkan Indonesia menjadi tujuan utama investor di antara negara-negara pesaing lainnya.

Praktek intoleran dan deregulasi demi dana segar pembangunan bukanlah hal baru di Indonesia. Penghancuran komunisme yang brutal di tiga bulan pertama pasca Peristiwa G 30 S dan prakteknya di kemudian hari dalam pembatasan Demokrasi selama Orde Baru berkuasa adalah bukti nyata.

WS Rendra dari jauh di Amerika Serikat yang memulai mengisi puisi-puisinya dengan isu sosial pun memberikan kesaksiannya dalam kumpulan sajak Blues untuk Bonie pada praktek Intoleransi, deregulasi dan pembanguan Infrastruktur yang dipraktekkan penguasa baru bernama Orde Baru itu:

Kesaksian Tahun 1967

Dunia yang akan kita bina adalah dunia baja Kaca dan tambang-tambang yang menderu Bumi bakal tidak lagi perawan, Tergarap dan terbuka Sebagai lonte yang merdeka Mimpi yang kita kejar, mimpi platina berkilatan Dunia yang kita injak, dunia kemelaratan Keadaan yang menyekap kita, rahang serigala yang menganga

Nasib kita melayang seperti awan Menantang dan menertawakan kita Menjadi kabut dalam tidur malam Menjadi surya dalam kerja siangnya Kita akan mati dalam teka-teki nasib ini Dengan tangan-tangan yang angkuh dan terkepal Tangan-tangan yang memberontak dan bekerja Tangan-tangan yang mengoyak sampul keramat Dan membuka lipatan surat suci Yang tulisannya ruwet tak bisa dibaca

Mengapa kita tidak bisa keluar dari pola pembangunan yang dipraktekkan Orde Baru, lalu tetap mempromosikan intoleransi sembari tetap mengandalkan modal asing dalam membangun bangsa?

Dalam Sajak Sebotol Bir, 1977, dalam Potret Pembangunan dalam Puisi, Rendra mempertanyakan pola pembangunan seperti ini:

Kota metropolitan di sini tidak tumbuh dari industri,
Tapi tumbuh dari kebutuhan negara industri asing
akan pasaran dan sumber pengadaan bahan alam
Kota metropolitan di sini, adalah sarana penumpukan bagi Eropa, Jepang, Cina, Amerika, Australia, dan negara industri lainnya.


Dimanakah jalan lalu lintas yang dulu ?
Yang menghubungkan desa-desa dengan desa-desa ?
Kini telah terlantarkan.
Menjadi selokan atau kubangan.


Jalan lalu lintas masa kini,
mewarisi pola rencana penjajah tempo dulu,
adalah alat penyaluran barang-barang asing dari
pelabuhan ke kabupaten-kabupaten dan
bahan alam dari kabupaten-kabupaten ke pelabuhan


Presiden Joko Widodo memang sudah memerintahkan agar Kepala Polri menindak kelompok yang bertindak intoleran, menghambat kebebasan berekspresi, termasuk yang menghambat kegiatan beribadah sesuai keyakinan dan kepercayaan sebagaimana diatur dalam konstitusi. Tetapi implementasi di lapangan tentu tak sesuai dengan harapan dan tak seindah kata-kata konstitusi sebab beberapa Ketetapan atas nama Rakyat dan Undang-Undang Pemerintah yang menghambat kebebasan berekspresi terutama berkaitan dengan komunisme dan keyakinan masih berlaku; sementara dalam praktik, tafsir terhadap komunisme dan ajaran keyakinan  berdasarkan kepentingan politik sesaat atau bisa ditafsirkan sesuai kepentingan penguasa.

Dihadapkan pada kebebasan untuk modal asing dan deregulasi yang melayani modal asing demi meningkatkan daya saing dalam berkompetisi memasukkan modal, kita pun bertanya mengapa justru praktik intoleran  tetap berlangsung tanpa hambatan dan seringkali didukung polisi yang merupakan alat pemerintah atau kekuasaan?

Apakah perintah presiden yang hendak menegakkan konstitusi kebebasan sebagaimana pasal 28 bisa berarti juga  pemecatan terhadap Kapolri yang membangkang atau tidak bekerja? Atau Presiden kita sedang berbasa-basi sebab yang sebenarnya terjadi adalah semata-mata melindungi kebebasan modal asing dan melupakan tujuan nasional? Karena itu, tidak boleh ada alternatif  yang mungkin bisa saja timbul dari gejolak  kebebasan berekspresi baik di lapangan kebudayaan maupun keagamaan! Kemudian menganggap bahwa modal asing bukanlah satu-satunya sandaran dan solusi bagi jalannya keadilan dan kemakmuran Rakyat sebagaimana mereka yang sempat menjadikan gerakan keagamaan seperti GAFATAR sebagai alternatif.

AJ Susmana, Wakil Ketua Umum Komite Pimpinan Pusat Partai Rakyat Demokratik (KPP PRD)

http://www.berdikarionline.com/intoleransi-dan-perintah-presiden/

Rabu, 06 April 2016

Anies Baswedan: Pemerintah Sediakan Dana bagi Penulis

Rabu, 06 April 2016 | 14:13 WIB 

Buku puisi Chairil Anwar "Deru Tjampur Debu" yang tersimpan di Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta. TEMPO/Jacky Rachmansyah 

TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serius memajukan dunia literasi atau sastra Indonesia. Salah satu kebijakan yang akan dilaksanakan adalah memberi semacam beasiswa bagi para penulis untuk menghasilkan karya. "Kami memberi fasilitas supaya mereka berkarya," kata Menteri Pendidikan Anies Baswedan dalam wawancara khusus, Selasa pekan lalu.

Selain dana untuk meningkatkan kualitas karya sastra, Anies berencana memberikan kemudahan bagi penulis untuk menerjemahkan karyanya ke bahasa asing. "Tujuannya agar sastra Indonesia lebih dikenal dunia," kata Anies merujuk sukses penyelenggaraan Frankfurt Book Fair di Jerman tahun lalu.

Berikut ini petikan wawancara Tempo dengan Anies.

Bagaimana kelanjutan rencana dana penerjemahan karya sastra seperti yang dijanjikan pemerintah di Frankfurt Book Fair (FBF)?
Untuk menerjemahkan karya sastra, kita harus aktif. Banyak buku Indonesia, dari fiksi sampai nonfiksi, yang layak dibaca dunia. Tantangannya memperbaiki sistem penilaian biaya. Ongkos terjemahan masih satuan rupiah, sementara penerjemah bermutu tidak berada di Indonesia. Dari FBF sudah terbuka soal standar biaya tiap negara. Itu jadi patokan sehingga Kementerian Keuangan punya rujukan.


Bagaimana menepis dugaan kolusi dalam menentukan siapa yang layak mendapat dana itu?
Ada tim kurasi yang akan ditunjuk. Namanya Komite Buku, yang menentukan karya siapa yang layak diterjemahkan. Karena ini uang rakyat dipakai untuk biaya promosi Indonesia di dunia internasional. Penilaiannya dari para ahli itu, yang diambil dari orang-orang independen. Kementerian Pendidikan cuma memfasilitasi.

Apa lagi yang dilakukan pemerintah untuk meningkatkan karya sastra nasional?
Ada program bagi penulis agar menulis penuh konsentrasi. Mereka dibiayai hidupnya di luar negeri. Sastrawan kita potensinya dahsyat. Sekarang kami bikin program pengiriman sastrawan ke tempat-tempat mereka bisa berkonsentrasi untuk berkarya. Bukan untuk mengisolasi diri, melainkan ke tempat yang bisa merangsang mereka untuk kreatif, termasuk melakukan riset. Sifatnya seperti beasiswa. Mereka melamar dan dibiayai hidupnya. Bisa 3 bulan, 6 bulan, atau 9 bulan. Sedang disusun proses dan sebagainya. Anggarannya sudah dialokasikan.

Itu untuk fiksi?
Awalnya untuk sastrawan. Mereka itu orang-orang yang berkemampuan menaklukkan diri sendiri untuk bisa menghasilkan tulisan panjang penuh imajinasi. Dana ini agar sastra Indonesia dikenal dunia. Setelah Frankfurt Book Fair, transaksi hak cipta buku Indonesia meledak. Mereka membeli hak cipta karya Indonesia untuk diterjemahkan. Dari 200 pada 2014 menjadi lebih dari 500 pada 2015.

Berapa besar anggarannya?
Sudah dialokasikan. Saya sampaikan, bergeraknya jangan berdasarkan besarnya anggaran. Presiden sudah menggarisbawahi, jangan mengejar serapan anggaran tanpa memikirkan kualitas. Akan kami buka dulu, lalu lihat animonya. Kalau dibutuhkan lebih, ya akan kami tambah. Kalau yang ada sedikit, ya yang sedikit itu saja dulu.

Apa bentuk pertanggungjawaban si penerima dana?
Mereka harus menghasilkan karya.

Berapa dana yang diterima tiap penulis?
Beda-beda. Yang penting mereka di sana bisa berkonsentrasi, tidak khawatir tentang biaya hidup. Buat apa dikirim ke sana kalau harus kerja mencuci piring, misalnya? Dicukupkan kebutuhannya karena republik ini membutuhkan karya-karya mereka. Kami memberi fasilitas supaya mereka berkarya.

TITO SIANIPAR


https://m.tempo.co/read/news/2016/04/06/173760236/anies-baswedan-pemerintah-sediakan-dana-bagi-penulis