This is default featured slide 1 title

BEBAL:"FPI"

Kebebalan FPI Banyuwangi yang membubarkan ritual tradisi Sedekah Laut di daerahnya

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Minggu, 11 September 2016

Soekarno, Ahli Indonesia dari Rusia dan Makam Utuy Tatang Sontani di Moskwa

Minggu, 11 Sep 2016 - 10:12 | Alex Supartono*



MOSKWA-Di pinggir jalan yang sunyi, sebelum memasuki pemakaman muslim di daerah Moskow, Rusia. Ludmila Demidyuk, yang berjaket hitam dan bertas merah tua, masih sempat membeli beberapa kumtum kembang berwarna kuning, merah dan ungu.
Langkah setengah gontai. Wajahnya sedikit gemas, sebab bertandang ke pemakaman muslim itu, sama saja ia berjalan menuju kenangan sepanjang bersama sastrawaan ternama Indonesia, Utuy Tatang Sontany.
Di pemakaman itu, pada 1979, Utuy dikubur dan Ludmila ikut berdiri di sana menyampaikan pidato terakhirnya.
Utuy dimakamkan di pemakaman muslim, namun cara-cara pemakamannya dilakukan ala Rusia, jelas Ludmila dalam bahasa Indonesia yang fasih.
Ludmila yang kini masih aktif mengajar sastra Indonesia di Universitas Moskow itu, memang punya kenangan tersendiri terhadap Utuy.
Saat pertama Utuy datang ke Moskow, Ludmila sebenarnya sudah menjadi dosen. Namun karena cara mengajar Utuy begitu memesona, Ludmila pun kerap hadir di kelas Utuy mengajar.
Kesaksian Ludmila ini tampak hadir mengalir dalam film dokumenter Gerimis Kenangan dari Sahabat Terlupakan karya Seno Joko Suyono yang dipuar dalam rangkaian Netpac Asian Film Festival di Yogyakarta, kemarin.
Film yang baru dibuat Maret lalu itu memang cukup menakjubkan dilihat dari gagasan yang diusungnya. Film itu merangkum sejumlah pandangan dan kenangan para ahli Indonesia di Rusia, yang ternyata jumlahnya sangat banyak, namun selama ini tersisihkan dari sejarah kebudayaan Indonesia.
Bayangkan, film ini berhasil menggali pandangan dan kenangan orang-orang seperti Vladilen Tsyganov, Yuri Sholmov, Vladilen Vasilievich Sigaev, Vladimir Losyagin, Lev Dyomin, Natalia Alieva, Vilen Sikorsky, Larissa Efimova, Lyudmila Pakhomova, Aleksey Drugov (di Moskow), Aleksander Oglobin, Aleksndra Ksatkina, Elena Revunenkova, dan Irina Katkova (di St. Petersburg)
“Mereka semua ahli Indonesia, bahkan di antara mereka adalah ahli di bidang yang sudah jarang dikuasai oleh orang Indonesia, seperti Alek-sandra Ksatkina yang ahli bahasa Jawa Kuno dan Elena Revunen-kova yang ahli kosmologi dan agama Batak,” jelas Seno.
Di sisi lain, di antara mereka pun ada yang terlibat secara intens dalam sejarah kemerdekaan RI dulu. Seperti Sigaev yang cukup dekat dengan Soekarno, karena ketika presiden pertama RI berkunjung ke Rusia pada 1956, Sigaev pula yang bertindak sebagai penerjemah Soekarno, sekaligus orang yang menemaninya berpidato di sejumlah stadion besar yang dihadiri ratusan ribu warga Rusia, dan saat menerima doctor honoris causa dari Universitas Moskow.
Begitu juga dengan Yuri Sholmov yang membantu Jenderal AH Nasution saat melobi pemerintahan Rusia untuk menyubsidi senjata dalam konteks merebuit Irian Barat (sekarang Papua).
“Selama ini khazanah politik dan kebudayaan kita selalu bersumber dari versi Amerika, Belanda dan Australia, sementara versi Rusia sangat jarang. Padahal Rusia pada masa kemerdekaan berpengaruh besar terhadap nasib republik ini,” jelas Mudji Sutrisno yang menjadi produser film ini bersama Taufik Rahzen
Nasi Goreng dan Orang Rusia
Kenikmatan nasi goreng khas Indonesia juga tak bisa disangkal Mikhail Kouritsyn. Setiap mampir ke Indonesia, orang Rusia ini takkan lupa menyantapnya.
“Saya suka nasi goreng, mi goreng, juga nasi putih dan sayur-sayuran Indonesia,” ujar Mikhail saat berjumpa di gedung BPK Rusia di Moskow, pertengahan Mei lalu.
Indonesia tak terpisahkan dari Mikhail. Bahasa Indonesianya lancar, jelas, jernih, dengan struktur sempurna dan kaya kosa kata. Tidak ada logat-logat unik khas orang asing yang biasa ditemukan saat dia bicara dengan bahasa selain bahasa ibunya.
Tak ayal, Dubes Indonesia untuk Federasi Rusia dan Belarusia, Djauhari Oratmangun, mencandai Mikhail sebagai “orang Indonesia hanya saja kulitnya putih dan suka sambal.”
Mendengar joke itu, Mikhail menjawab,”Saya sering ke Jakarta jadi tidak putih lagi.”
Mikhail adalah Direktur Eksekutif Masyarakat Persahabatan Rusia-Indonesia. Dia juga Direktur Eksekutif Dewan Bisnis Rusia-Indonesia, selain Chairman dan CEO Geo Spectrum Group. “Saya belajar bahasa Indonesia sepanjang hidup saya,” ujarnya saat ditanya berapa lama dia belajar bahasa Indonesia sehingga bisa sefasih itu.
Namun yang pasti, kehandalan bahasa Indonesianya bermula saat dia berdinas sebagai staf senior di Kantor Konselor Ekonomi Kedubes Rusia di Jakarta pada masa Uni Soviet tahun 1985-1990.
“Kalau saya ke Indonesia, saya tidak suka masakan Eropa,” tambah pria tinggi besar kelahiran 1957 ini.
 Anak-istri Mikhail juga cinta masakan Indonesia. “Keluarga saya pernah di Indonesia, mereka juga suka masakan Indonesia,” cerita Mikhail yang melihat banyak perubahan di Indonesia ini.

Setelah kembali ke Rusia, cita rasa masakan Indonesia masih tetap lekat di lidah keluarga Mikhail. “Kami bahkan membawa rempah-rempah Indonesia.”
Setelah perjumpaan di Moskow tersebut, Mikhail menemani ahli konstitusi yang juga Sekjen BPK Rusia Sergey M Shahray terbang ke Jakarta untuk bertemu dengan mitranya. Jangan lupa menikmati nasi goreng. Sedaap!
Sahabat Indonesia yang setia. Itu gelar yang diberikan orang-orang yang mengenal Prof. Dr. Vladilen Tsygnov. Sejarawan dan penstudi Indonesia dari Rusia itu meninggal dunia di Moskow, hari Senin lalu (7/2) dalam usia 78 akibat pendarahan di otak.
Tsygnov memimpin Bagian Penerangan Kedutaan Besar Uni Soviet (Bapus) di era 1970an yang saat itu berada di di Jalan Waringin, Jakarta. Selama di Jakarta, kebanyakan waktunya digunakan untuk mempelajari kronik sejarah perjuangan Indonesia.
Selain itu, ia juga mendedikasikan waktunya pada Lembaga Persahabatan dan Kerjasama Rusia-Indonesia. Di lembaga itu ia pernah menjadi wakil presiden. Pada HUT ke-65 Republik Indonesia, tahun 2010 lalu, bersama sejumlah peneliti dan pencinta Indonesia, Tsygnov mendapatkan bintang kehormatan dari Kedutaan Besar Republik Indonesia di Moskow. Tsygnov dan teman-temannya dianggap memainkan pranan penting dalam mendekatkan hubungan kedua negara, di masa lalu juga masa kini.
Dr. Tsyganov mengajar sejarah Indonesia di Institut Negeri-negeri Asia dan Afrika (ISAA) yang berada di bawah Universitas Moskow sejak tahun 1965, sampai, boleh dikatakan, detik terakhir hidupnya. Saat sakit di bulan Januari lalu ia masih menyempatkan diri mendatangi tempat kerjanya. Dr. Tsyganov juga telah dianugerahi gelar Profesor Berjasa Universitas Negara Moskow pada tahun 2010.
Selain ratusan artikel, Tsyganov juga mengarang sejumlah karya fundamental mengenai sejarah Indonesia yang ditulisnya dalam dua jilid. Sebuah buku mengenai partai-partai nasional revolusioner di Indonesia pun pernah ditulisnya. Bersama Prof. Tyurin, ia sempat menulis buku sejarah Malaysia.
Vladilen Tsyganov adalah alumni Institut Ketimuran yang berada di bawah Universitas Moskow. Ia merupakan salah seorang murid sejarawan kaliber dunia yang juga pendiri sekolah penelitian ilmiah tentang Indonesia dan Pilipina, Prof. Dr. Alexander Guber yang hidup antara 1902 hingga 1971. Prof. Tsyganov menjadi salah seorang pengarang dan penyusun sebuah buku mengenai kehidupan dan kegiatan Prof. Guber.
Dr. Tsyganov menghargai amat tinggi proklamator dan pemimpin tersohor Republik Indonesia yang juga salah seorang pendiri Gerakan Non-Blok, Bung Karno . Ia pernah menulis sebuah artikel ilmiah berjudul “Sukarno, Pencipta dan Romantikus Ideologi Kesatuan” dalam buku besar “Bung Karno Politikus dan Personaliti” yang diterbitkan di Moskow. Sebagai tanda kehormatan terhadap pendiri Indonesia, Dr. Tsyganov selalu memakai lencana logam keperak-perakan kecil berwajah Bung Karno di kelamat jasnya.
Rekan-rekan Dr. Tsyganov mencatat jasa besarnya dalam mendidik banyak kader ahli dan aspiran jurusan Indonesia dan Malaysia di Institut Negeri-Negeri Asia dan Afrika Universitas Negara Moskow.
Prof. Tsyganov telah pergi. Tetapi rasa cintanya akan Indonesia diwariskan kepada seorang anak laki-lakinya, Mikhail Tsyganov, yang pernah cukup lama mewakili Kantor Berita RIA-Novosti di Jakarta
Kisah Sebuah Koper di Moskow
Seorang pemuda menyeret sebuah koper hampir sepanjang hayatnya. Pemuda itu adalah seorang mahasiswa Solo bernama Martinus Sugiharto. Isi koper itu adalah setumpuk tulisan asli sastrawan Utuy Tatang Sontani. Lalu kenapa Martinus rela membawa koper itu ke sana-kemari di Moskow, ke mana pun dia pergi, sebegitu berharganya bagi jiwanya sendiri?
Mahasiswa itu tengah menempuh pendidikan metalurgi di Kiev, kemudian pindah ke Moskow Uni Soviet itu, dan menganggap koper itu sebagai harta karun sastra Indonesia. Ia mengenal dan tahu siapa dan apa artinya seorang Utuy Tatang Sontani bagi sastra Indonesia. Ia nekat masuk ke bekas apartemen Utuy yang disegel. Dia mengumpulkan apa pun yang berbentuk kertas dan barang-barang pribadi Utuy dalam koper. Dia membawa koper itu ke mana dia pergi, pun ketika dia diasingkan selama belasan tahun ke Dushanbe, Tajikistan, karena menolak ber-koordinasi dengan perwakilan PKI di luar negeri. Kembali ke Moskow awal 1990-an, Martinus tetap menyimpan koper besar itu tanpa tahu harus menghubungi siapa.
Nama Utuy Tatang Sontani tidak bisa lepas dari barisan sastra eksil Indonesia, yaitu golongan sastra yang lahir dari mereka yang harus pergi dari tanah kelahirannya karena berbagai alasan, mulai dari pandangan politik yang berbeda sampai orientasi seksual yang belum bisa diterima masyarakatnya. Untuk Indonesia setelah periode Rustam Efendy di Belanda; kemudian Tan Malaka, Darsono, Musso, dan Semaun yang menerbitkan karyanya di Moskow dalam bahasa Rusia tahun 1920-an, jumlah penulis eksil Indonesia secara fenomenal menanjak sejak tragedi 1965.
Ketika tragedi itu terjadi, banyak penulis yang sedang berada di luar negeri kemudian menjadi penulis selama eksil. Karya-karyanya secara terbatas akhirnya sampai juga di Tanah Air sejak berkembangnya teknologi surat elektronik akhir abad lalu dan metode titip kawan yang kebetulan berkunjung ke luar negeri. Perlahan fenomena sastra eksil mulai menyembul dalam perbincangan sastra di Indonesia, dan pencarian lebih jauh tentangnya menjadi keharusan. Ketika penelitian “Sastra Eksil Indonesia” ini mulai dirancang, karya-karya Utuy yang dia tulis di Tiongkok (1965-1973) dan Moskow (1973-1979) menjadi salah satu target utama. Padahal informasi tentang Utuy sangat minim, selain berita kematiannya di Moskow. Sedangkan para eksil Indonesia yang masih bersisa di Moskow yang dihubungi lewat e-mail ternyata tidak banyak membantu. Di tanah eksil, Utuy menjadi semakin tertutup. Harapan lalu tumpah pada Kuslan Budiman, eksil Indonesia yang sekarang tinggal di Amsterdam. Kuslan yang juga pernah tinggal di Tiongkok adalah sahabat dan perawat Utuy sampai pemakamannya.
Dalam laporannya, Kuslan menulis: karena tidak ada wasiat dan ahli waris yang tertulis di dalamnya, apartemen Utuy dan seluruh isinya disegel polisi. Namun sebelum itu Vilen Sikorskii, akademisi Rusia ahli sastra Indonesia kontemporer yang selalu menjadi penerjemah Utuy, sempat datang mengambil naskah-naskah Utuy. Menghilang selama hampir 15 tahun dari dunia tulis-menulis Indonesia, nama Utuy Tatang Sontani muncul di harian pagi Kompas akhir September 1979, yang menulis berita kematiannya. Satyagraha Hoerip kemudian menulis in memoriam tentang dirinya di harian Sinar Harapan. Pemenang hadiah sastra BMKN untuk dramanya Sayang Ada Orang Lain ini menyisakan kejayaan sebagai sastrawan besar Indonesia ketika disemayamkan di aula utama Universitas Negara Moskow sebagai penghormatan terakhir pada salah satu guru besarnya. Sedangkan putra pertama Utuy hanya mendapatkan makam basah bapaknya, yang adalah nisan pertama yang tertancap di pemakaman Islam pertama di Moskow.
Padahal keluarga sudah berencana mengunjunginya tahun berikutnya, karena acara besar Olimpiade Moskow 1980 dapat dipakai untuk mengelabui fobi komunis Orde Baru. Proses pencarian kami tentang data penelitian sastra eksil Indonesia sampai ke perjalanan terakhirnya: Moskow. Kami bertemu dengan Vilen Sikorskii. Namun pertemuan dengan Sikorsii tak menggembirakan. Dia ingin menyerahkan sendiri naskah-naskah Utuy ke tangan orang yang akan dia pilih di Indonesia. Jadi, kalau ada keinginan agar naskah itu kembali ke Indonesia, harus disediakan tiket dan tentu uang saku untuknya. Bahkan kami tak diizinkan membuat fotokopi karyanya.
Salah satu malam sepulang dari perpustakaan bahasa asing Moskow, datanglah seorang tamu Indonesia. Setelah perkenalan singkat, dengan kecurigaan yang sangat berlebih tamu tersebut bertanya dengan sangat detail tujuan kami ke Moskow. Awal yang sedikit menjengkelkan ini ternyata berakhir dengan hebat. Sebab, tamu itu adalah Martinus Sugiharto, yang dalam dua jam pembicaraan telah memutuskan untuk menyerahkan koper itu untuk dibawa pulang ke Indonesia. Koper tersebut ternyata mendokumentasikan hampir seluruh kehidupan Utuy selama periode eksil: naskah-naskah gagal, proses editing, surat-surat, naskah yang sudah jadi, paspor, surat tugas dari Lekra, kacamata, jam tangan, peralatan melukis dan menulis, dan berlembar-lembar repro foto istrinya yang cantik. Rupanya inilah cara Utuy melawan rindu pada istri: dengan mencetak ulang satu-satunya foto yang dia miliki. Individualis yang terpesona dengan kolektivitas ini meninggal dalam kesendirian dan kekecewaannya yang sangat, namun tidak menghilangkan keyakinannya.
*Alex Supartono, Redaksi Media Kerja Budaya yang sedang menyusun antologi prosa eksil Indonesia
Sumber: Konfrontasi.Com