Sabtu, 12 Mei 2018

Meneropong “Sang Bintang” dari Dataran Tiga Pengadegan [2]


SANG BINTANG: Kesima “sang bintang” Dewi Aminah yang jadi magnet penonton pementasannya [Foto: Ridho Kedung]

Entah apa yang diraih penonton seusai menyimak pertunjukan teater monolog ini. Keterhenyakannya sepanjang 31’06” durasi pementasan malam itu tak menggeser fokusnya. Nyata bahwa kesima “Sang Bintang” sukses menyita perhatian ke dalam lansekap panggung yang ditata dengan kesan semi dekoratif biasa. Namun siraman lighting mendukungnya menjadi komposisi yang cukup sarat dengan pesan situasi, meski tak semua properti menjadi bagian kekuatan dalam membangun dan menyatukan narasinya.  

Sementara Dewi Aminah mampu melampaui narasi verbal “Sang Bintang” dan mereaktualisasi ekspresi naratifnya, dari sisi panggung mengalirkan suara musik yang menutupi celah-celah agar ekspektasi pentasnya bisa terjaga. Talenta Dewi Aminah memang berhasil mengatasi kendala narasi tekstual yang panjang dan mengular. Namun pada saat yang sama dan di fase berikutnya; ia tak cukup padat membangun diksi-diksi di sepanjang durasi lakon monolognya. Sesuatu yang akan membedakan sebuah teater monolog dan menjauhkannya dari jebakan story-telling biasa.

AKTING: Sedikit properti yang bisa dimanfaatkan talent guna lebih menghidupkan panggungnya, menjadi catatan dalam proses elaborasi keaktoran selanjutnya [Foto: Ridho Kedung]
   
Itu sebabnya kenapa ada terminologi “dataran tiga pengadegan” dalam pementasan monolog “Sang Bintang” di panggung (9/5/18) malam itu.

Tentu saja, ini hanya lah sebuah catatan belaka; tanpa tendensi kritis. Satu-satunya tendensi yang mesti dibangun adalah meminimalisir celah-celah agar bangunan cerita tidak menjadi datar-datar saja. Meksi dalam konteks ini, komposisi musik dan pencahayaan dapat menolong; namun secara esensial ia menjadi bagian utuh dari kekuatan sang talent.  

Bagaimana mematangkan talenta, selain bukan perkara instan; barangkali ini masuk dalam wilayah rejim penyutradaraan. Tetapi saya ingin mengembalikan simpulan ini dengan mendekati latar proses ketimbang paparan ceritera pentasnya. Dengan begitu, jagad teater akan menempati realitas estetik yang dapat dijadikan wahana pembelajaran bersama.

Menyorot Dewi “Sang Bintang” Aminah malam itu, nampak telah memiliki bekal dasar kuat, terlebih jika mengingat ia adalah talent pemula. Mulutnya bertenaga, daya imagineirnya tak rendah; demikian pula nalar estetiknya. Tentu, dasar-dasar ini tak lepas dari proses bagaimana ia dipersiapkan Sangkanparan untuk itu...  [ap]


APRESIAN: Sejumlah penonton mengapresiasi pementasan monolog "Sang Bintang" (9/5) dalam sesi dialog yang digelar pasca pementasannya [Foto: Ridho Kedung] 

0 komentar:

Posting Komentar