This is default featured slide 1 title

BEBAL:"FPI"

Kebebalan FPI Banyuwangi yang membubarkan ritual tradisi Sedekah Laut di daerahnya

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Kamis, 18 Juni 2009

Membaca Akal Bulus Scapin

Tak enak menonton pementasan teater tapi sedikit telat karena urusan menghangatkan badan, sebab ketika datang, gedung Sumardjito di kampus UnSoed tempat pementasan berlangsung masih tertutup. Selesai dengan urusan kopi, pementasan telah dimulai. Rekaman bisik-bisik dengan oknum dari pihak resmi civitas akademika di FE, didapat tahu bahwa cerita naskah yang bakal dipentaskan malam itu, impor dari imperium Perancis, masa Louis XIV. "Drama klasik !", begitu sorak dalam hati.

Menonton Akal Bulus Scapin, karya Molliere, sebuah ketakjuban baru di Kampus Purwokerto. Sejenak terlupakan sakit badan teman yang jatuh lepas magrib di jalanan. Terseok imajinasi kami diseret ke tengah panggung, mengunyah seting yang sayup beraroma anggur dan sisa gandum di gudang para borju. Namun begitu, seting ini sedikit banyak telah membantu mengecap taste Eropa. Kesayupan ini segera disundut ligthing yang intensitasnya konstan saja sepanjang durasi babak. Di sana tercatat pekerja panggung Margin, bersungguh mewujudkan yang masih sedikit itu. Beberapa properti, seperti gerobak jadi minimalis aspek fungsional ketimbang kelengkapan formal panggungnya.

Karya Molliere di tangan sutradara Bangkit Kurniawan ini masih kembali mengingatkan orang pada Margin tentang cacat sedikit pada tidak maksimalnya eksplorasi dialog. Kesan kesusu, meski tak mengganggu, seperti rentet petasan yang masih juga tersisa asapnya di sana. Padahal, sebenarnya, kendala khas pertama dalam memainkan lakon klasik semacam ini, yakni mengularnya dialog telah diatasi dengan baik oleh masing-masing pemeran.
Mungkinkah ini sebuah kekhawatiran akan durasi pentas yang dapat berekses pada kejenuhan audiens ?

Pembelajaran Akal "Scapin" Molliere

Kegemparan bisa bermula dari ruang yang tak diperhitungkan. Orang yang tidak dimanusiakan dapat menjadi bumerang di ranah humanism. Begitulah Scapin, yang berteman dengan sang idiot untuk lebih dari sekedar membedakan kecerdikan. Ia belajar dari situasi sosial yang termarjinalkan. Inikah alasan teater "Margin" memilih materi pementasan, yang cukup mewakili spirit berteaternya itu.
Scapin adalah perwujudan manusia yang mewakili kelas sosialnya, tetapi ia belajar dengan membaca fakta empiris kesehariannya. Di Latin juga ada pomeo lain, bahwa kaum budak selalu menemukan bahasanya sendiri. Ada pembelajaran di panggung "Margin" malam itu.
Penulis sekaliber Molliere tak keluar dari penjara dan kelas yang berbeda dengan inspirator Revolusi Perancis; Voltaire.

Selasa, 16 Juni 2009

Catatan Festival Drama Sekolah

Lomba Sandiwara Berbahasa Jawa. Demikian tajuk acara yang dilangsungkan di Hotel Candisari selama 2 hari itu. Diselenggarakan dalam rangkaian Pekan Seni Dikpora, 15-16 Juni 2009. Lomba ini diikuti oleh 16 peserta yang mewakili berbagai SMU dan SMK yang ada di Kab. Kebumen.
Beberapa kriteria penilaian ditetapkan panitia dan dalam implementasi penilaiannya dilakukan oleh 3 yuri, masing-masing Turyo Ragil Putra, Pekik Sat Siswonirmolo, dan Syahid.
Adapun hasil penilaian meliputi Pementasan Terbaik, Penyutradaraan dan Tata Artistik.

Festival Drama Pelajar tingkat SLTA se Kab. Kebumen ini diikuti 16 peserta yang mewakili sekolah, dan mementaskan sebuah naskah wajib 'Layung Sore' karya Tentrem Lestari, seorang pendidik di SMU N 1 Mertoyudan, Magelang.
Pementasan Terbaik direbut berurutan, masing-masing oleh: SMU N 1 Kutowinangun, SMU N 1 Kebumen, SMK N 1 Puring, SMK N 2 Kebumen, SMU N 2 Kebumen, SMK Ma'arif 4 Kebumen.

Sedangkan Sutradara Terbaik diraih: Joko Prambasto (SMU N 1 Kutowinangun)
Pemeran Terbaik: Astrid Herera M (SMU N 1 Kutowinangun), Titis Laksanawati (SMU N 1 Kutowinangun) serta Sarifah (SMK Batik Sakti 2 Kebumen)
Penata Artistik: Isman Suwabi (SMU N 1 Kutowinangun)

Keberlanjutan

Setidaknya telah lebih dari 8 tahun, acara semacam ini tak pernah diagendakan. Meskipun begitu, sebenarnya pementasan drama, walau terbatas masih pada lingkup internal sekolah, sesekali masih terselenggarakan. Penyelenggaraan Festival Drama Sekolah dalam rangkaian Pekan Seni Dikpora 2009 ini, memunculkan harapan yang lama terpendam. Minimnya aktivitas berkesenian dan apresiasi seni di kalangan muda terdidik, telah lama jadi keprihatinan.
Seorang pendidik yang tergolong baru, Elok Nur Faiqoh, yang pada event ini terlibat menggarap pementasan drama bagi murid di dua sekolah yang berbeda; berharap acara demikian dapat diagendakan rutin. Harapan ini mewakili keinginan para guru yang concern pada bidang kesenian.
Keberlanjutan menjadi penting artinya, lebih dari sekedar menyelenggarakan acara semacam Pekan Seni. Ia melihat ada peluang penguatan potensi lokal melalui bidang kesenian. Dan jika itu mau dieksplorasi dari kalangan kaum muda di lingkup pendidikan formal bermakna lebih dari sekedar pembinaan mentalitas budaya semata.

Minggu, 14 Juni 2009

Manggung di Gelar Budaya NGO

Minggu, 14 Juni 2009. Atas undangan BRaIn (Bumi Roma Institute), sebuah LSM di Kebumen, SRMB main di panggung terbuka lapangan Desa Seboro, Kec. Karangsambung. Lapangan terbuka yang posisinya persis di depan gerbang Kampus Alam Museum Geologi LIPI Karangsambung, siang itu hingar oleh kerumunan ribuan massa. Acara Gelar Budaya yang diprakarsai BRa-Institute, bekerjasama dengan KPUD Kebumen, dan didukung oleh CepDes serta Elections-MDP itu, merupakan prakarsa kalangan LSM dalam rangka sosialisasi menjelang event Pilpres 8 Juli 2009. Sosialisasi yang dikemas dalam tema "Menjadi Pemilih Cerdas" itu mendapat respons cukup antusias dari kalangan masyarakat Karangsambung dan sekitarnya. Tak ketinggalan pula para penjual jajanan dan aneka mainan anak yang ikut memanfaatkan keramaian itu.
Disamping mementaskan naskah panggung pendek "Go-Den" (Jago Gaden), SRMB juga menampilkan beberapa sajian Musik Puisi Lelaki dan Pembasmi Serangga serta Bumi Pertiwi. Gambaran realita personal yang sepintas remeh akan tetapi berakhir fatal, mengasosiasikan dalam segmen luas dapat menjadi fenomena sosial terburuk. Keputusan personalitas yang buruk ini diangkat menjadi sebuah ironi sosial ke dalam panggung dengan gaya yang ringan tapi ketus. Sehingga mengantarkan nalar orang pada tanya: Kenapa di bumi yang gemah-ripah loh-jinawi, masih harus ada kematian yang nista, kematian yang sia-sia, atau yang dalam batasan secara verbal disebut kelaparan. Ini tersirat, juga secara musikal, dalam puisi Bumi Pertiwi.
Kegelisahan sosial ini masih menjadi nafas panggung Melubae. Namun apa yang disajikan komunitas ini bagi sebagian masyarakat gunung masih kurang populis. Meski begitu, beberapa pengendara sepeda motor menghentikan laju kendaraannya atau malah berbalik dan menyempatkan mencermati tontonan yang relatif baru bagi mereka.
Sampai kemudian disusul pementasan Kuda Kepang dari pedukuhan Geyong, Desa Seboro, Kec. Sadang.

Kesenian rakyat ini memang telah mengakar dalam ingatan kolektif masyarakat. Tak terkecuali bagi Paguyuban Seni Ebeg Banyumasan "Bangkit Budoyo". Kelompok ini mengidentivikasikan dirinya sebagai kelompok seni ebeg "banyumasan" karena jika dicermati, gending-gending pengiringnya memang bergaya Banyumas-an. Ciri gending "banyumasan" lebih rancak dan dinamis. Sejak sepenggalah hari itu, gending-gending dari kelompok ini dikumandangkan untuk menarik perhatian penonton berdatangan.

Pemainnya terdiri dari dua "bregada", sepasukan laki-laki dan sebarisan perempuan yang masing-masing terdiri dari 8 penari.
Konfigurasi barisan memang menjadi ciri khas tarian ebeg atau seni kuda-kepang, dan seringkali dimainkan dalam gerak-gerak kelompok bregada yang simetris.
Dalam konteks berkesenian tradisi, kuda-kepang lebih dikonotasikan sebagai seni-tari kuda lumping. Sedangkan seni ebeg tradisional selalu diasumsikan ada capaian "in-trance" bagi pemainnya.
Jika dicermati lebih jauh ke dalam komunitas seni ebeg ini, hampir selalu dapat dipastikan terdapat jalinan spiritual yang unik. Relasi spiritual yang mempertegas hubungan saling menghargai antara manusia dan alam di sekitarnya. Makanya momentum transendental selalu dianggap sebagai momentum yang penting dalam permainan seni-tradisi ini.

Menonton penampilan kelompok perempuan dalam seni kuda-kepang ini, ada celah lebih potensial untuk mengeksplorasi gerak-gerak olah tubuh. Tema-tema puitik seputar feminisme dan dan kegagahan merupakan dua hal saling menguatkan. Meski dalam penampilan kelompok "Bangkit Budoyo" belum secara maksimal tergarap aspek performa tariannya, dan lagi pemain perempuan memang tidak dimaksudkan untuk "in-trance". Tetapi catatan termenarik dari penampilan penari perempuan ini adalah optimisme, bahwa ternyata pemainnya rata-rata berusia muda. Artinya, penampilan mereka merupakan jawaban kongkret terhadap problem regenerasi seni tradisi.
Makna lain dari semua seni kuda-lumping dengan media kuda atau "jaran" dan dimainkan dalam capaian "in-trance", atau "mendem" atau "mabuk". Yalah bahwa dalam hidup, manusia diwajibkan untuk mabuk pada ajaran tentang kearifan hidup. Manifestasi dari visi menjadi manusia pembelajar!

Rabu, 03 Juni 2009

Kelelahan Kuputarung

Peluncuran Buku Antologi Puisi "Kuputarung" itu pun, pada akhirnya berjalan, seperti hujan di luar Balai, mengalir dari atap dan jatuh ke pelimbangan. Sabtu, 30 Mei 2009, dimulai pada jam 20.15 wib dari Balai Kelurahan Kebumen yang tak seberapa luas, tetapi terang itu menjadi arena launching. Puluhan apresian terkesan bergerombol namun tebarnya merata di dalam balai joglo yang lebih banyak pilar ketimbang jembarnya.
Beberapa kelompok teater hadir sebagai tamu yang terlalu sopan. Ada Sanggar "Ilir" Kebumen, Teater "Gerak" Kebumen, Teater "Margin" Purwokerto. Tak kurang pula, dua dalang Ki Basuki dan Ki Bambang Budiono, Ketua dan Pamong Dewan Kesenian Daerah (DKD) Kab. Kebumen. Utusan beberapa sekolah, kebanyakan guru bahasa juga hadir setengah formil, dengan surat, yang bikin Panitia geragapan meskipun sebelumnya telah membayangkan. Bahkan juga ada sekelompok Petani dari kawasan "Urut-Sewu" di pesisir Kebumen Selatan. Beserta isteri mereka, anak dan Pemuda dari Paguyuban Parkir Pantai Setro.
Para isteri dan anak-anak pegiat komunitas ini juga ikut berbaur, meski pada akhirnya mereka, anak-anak itu tertidur.

Musik Puisi, alternatif berkesenian.

Tak semua puisi yang berjumlah 37 judul dalam buku antologi puisi "Kuputarung" dapat disajikan. Enam diantaranya memang diolah dalam bentuk sajian musik-puisi, 8 puisi dibacakan oleh ke 4 penulisnya. Tak ada cemooh, terutama saat puisi disajikan dalam bentuk yang berbeda dari pembacaan biasa.
Secara umum, puisi-puisi dalam buku antologi "Kuputarung" ini mungkin biasa saja. Tetapi, ada pesona baru ketika puisi ini dimusikalisasi. Dan bukan sekedar menjadi beda. Ini memberikan semacam peluang akan kemunculan genre berkesenian yang baru.
Puisi terbaik dalam buku antologi "Kuputarung", menurut Irma, seorang aktivis perempuan yang juga hadir di sana, adalah Panggil Aku Tan Moei karya Pitra Suwita. Puisi ini tidak dimusikalisasikan, sementara puisi yang lain juga dapat memunculkan pesona baru saat dimusikalisasi.

-bersambung-