This is default featured slide 1 title

BEBAL:"FPI"

Kebebalan FPI Banyuwangi yang membubarkan ritual tradisi Sedekah Laut di daerahnya

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Rabu, 28 Februari 2018

Ingat Sekolah Rakyat, Ingat Tan Malaka…


Rudi Hartono | 28 FEBRUARI 2018 | 10:42



Memasuki abad ke-20, di Hindia-Belanda memang sudah berdiri banyak sekolah. Namun, mereka yang bisa mengakses sekolah itu hanya orang keturunan Eropa dan segelintir rakyat jajahan.
Di sisi lain, agar bisa mengejar kemajuan, rakyat jajahan mesti diberi pengetahuan. Seperti dikatakan tokoh pencerahan Indonesia, Kartini: “pemberian pendidikan yang baik kepada anak Negeri sama halnya dengan memberi lentera di tangannya, agar dia menemukan sendiri jalan yang benar menuju hidup mulia dan bermartabat.”
Hanya saja memang, disamping diskriminatif dan eksklusif, pendidikan kolonial itu tidak berorientasi memajukan rakyat Indonesia. Pendidikan kolonial berorientasi pada pemenuhan tenaga terdidik untuk industri dan adminisrasi kolonial. Disamping itu, pendidikan kolonial juga memisahkan anak didik dan rakyat banyak

Melihat kondisi itu,  pada 1921, SI cabang Semarang mendirikan sekolah alternatif bagi rakyat. Namanya SI school atau Sekolahan SI Semarang. Tan Malaka, yang baru bergabung dengan SI cabang Semarang kala itu, menjadi pengajar utama di sekolah ini.

SI Semarang memang sudah lama bersuara lantang soal pendidikan. Dalam koran propaganda SI Semarang, Sinar Hindia, bertanggal 23 Agustus 1921, disebutkan bahwa sejak tahun 1916 SI cabang Semarang sudah mengusulkan agar pengajaran rakyat Hindia diatur dengan secara standenschool (sekolah negeri).

Lalu pada tahun 1917, SI mengusulkan agar semua rakyat tanpa pengecualian bisa diterima di HIS (Hollandsch-Inlandsche School). Pasalnya, sekolah milik kolonial Belanda zaman itu hanya menerima anak dari keturunan bangsawan dan pegawai tinggi.

Semua usulan SI semarang itu diabaikan penguasa kolonial. Akan tetapi, SI semarang juga menyadari, bahwa tidak mungkin penguasa kolonial mau menyelenggarakan sebuah sistem pengajaran yang mencerdaskan seluruh rakyat. “Keperluan rakyat pertama-tama harus diperhatikan oleh rakyat sendiri dan dengan kekuatan rakyat sendiri,” begitulah sikap SI Semarang.

Muncullah ide membuat sekolah sendiri. Dan, berkat andil Tan Malaka dan Semaun, ide itu berhasil diwujudkan tahun 1921. Tan Malaka sendiri adalah alumnus Kweekschool (Sekolah Guru) di Negeri Belanda. Ia banyak makam asam garam soal sistem pengajaran.

Menurut Hary A Poeze, Tan Malaka mendapatkan inspirasi mengenai sekolah SI ini dari Belanda dan Rusia. Kata Poeze, Tan sempat membaca tulisan seorang Rusia mengenai kurikulum sekolah komunis. Selain itu, kata Poeze, Tan juga mendapat pengalaman saat bekerja di perkebunan tembakau di Deli.

SI School itu resmi dibuka tanggal 21 Juni 1921. Pendaftar pertamanya berjumlah 50-an orang. Koran Soeara Ra’jat, yang memberitakan pembukaan Sekolah SI tersebut, menyebutkan bahwa sekolahan baru tersebut menggunakan ruang rapat SI semarang sebagai ruang belajar.

Saat pembukaan sekolah, beberapa anak bercelana merah berdiri membentuk saf di depan hadirin. Tak lama kemudian mereka menyanyikan lagu Internasionale, lagu kelas pekerja sedunia. Beberapa hadirin menitikkan air mata saat menyaksikan kejadian itu. Tak lama kemudian, sorak dan tepuk tangan bergemuruh menyambut defile yang dilakukan anak-anak sekolahan SI tersebut.

Tak hanya itu, SI juga membuka pengumuman menerima donasi melalui wesel dengan alamat kantor SI Semarang dan atas nama Semaun. Dengan demikian, orang-orang dari luar Semarang yang bersimpati dengan sekolah SI bisa mengulurkan bantuan.

Puncaknya, pada 13 November 1921, SI Semarang kembali menggelar vergadering besar. Ribuan orang menghadiri vergadering yang, antara lain, membahas nasib sekolah SI. Dalam waktu singkat, anggota SI menyatakan dukungan penuh bagi keberlanjutan sekolah SI. Mereka pun rela mengumpulkan dana bagi mendanai sekolah.

Pada bulan November 1921, terinspirasi oleh sukses sekolah SI di Semarang, cabang SI di daerah lain juga melakukan hal serupa. Pada awal November 1921, berdirilah Sekolah SI cabang Salatiga dengan 75 murid. Selain itu, pada akhir September 1921, sekolahan SI juga berdiri di Kaliwungu dan Kendal. Pada awal Januari 1922, sekolah SI juga berdiri di Bandung, Jawa Barat, dengan 120-an murid. Jauh di Sumatera sana, tepatnya di Padang Panjang, juga berdiri Sekolah Rakyat.

Sayang, Tan Malaka tidak bisa terus mendampingi perkembangan sekolah SI tersebut. Pada bulan Maret 1922, setelah rapat umum bersama kaum buruh di Semarang, Tan Malaka ditangkap di Bandung. Penangkapan itu berlangsung tepat setelah ia usai mengajar di sekolah SI Bandung.

Terhadap penangkapan itu, surat kabar De Locomotief menulis, “Tan Malaka, yang ditangkap karena mengeluarkan tulisan-tulisan anti-Belanda, anggota dewan gemeente Semarang, Kepala Sekolah SI di sini…Siapa yang pegang kaum muda, pegang masa depan…maka sekolah-sekolah SI sepenuhnya dibawa ke arah anti-Belanda, dan inilah yang sudah tentu menjadi alasan pokok mengapa Ia (Tan Malaka) tidak boleh tinggal lebih lama lagi di Jawa.”

SI Semarang memprotes penangkapan tersebut. Anak didik dan orang tua juga turut meluapkan protes atas penangkapan Tan. Surat kabar ISDV, Het Vrije Woord, tertanggal 1 Mei 1922, memuji keberhasilan Tan Malaka berhasil mendirikan sekolah bagi anak-anak kaum pribumi di Hindia yang haus pendidikan.

Namun, penangkapan Tan Malaka terbukti tidak berhasil menahan laju gerakan rakyat di tanah Hindia, termasuk perkembangan sekolah-sekolah SI yang mendidik rasa merdika. Setelah penangkapan dan pembuangan Tan, sekolah SI berdiri di 12 kota di Hindia, termasuk Ternate. Tiap-tiap kota rata-rata menampung 250-an murid.

Saat itu, selain sekolah rakyat yang dibangun oleh SI, tokoh pergerakan seperti Ki Hajar Dewantara juga mendirikan sekolah rakyat bernama Taman Siswa. Kemudian beberapa lembaga Islam, seperti Muhammadiyah, mendirikan lembaga pendidikan sendiri. Dengan demikian, sekolah-sekolah mandiri yang didorong oleh bangsa jajahan sendiri mulai berkembang pesat saat itu.

Tak heran, penguasa kolonial mulai khawatir dengan perkembangan “Sekolah-Sekolah Liar” tersebut. Di Semarang, sejak tahun 1923, penguasa kolonial mengeluarkan Ordonasi Pengawasan, yang mengharuskan sekolah-sekolah yang mau berdiri maupun yang sudah setahun berdiri untuk melapor ke pemerintah setempat. Dalam laporan tersebut, harus dicantumkan sifat pendidikan yang diberikan dan tempatnya. Dengan begitu, penguasa kolonial punya dalih untuk mengontrol dan mengawasi sekolah-sekolah SI di berbagai daerah.

Tak hanya itu, penguasa kolonial juga menggunakan milisi-milisi sipil bentukan mereka, seperti Sarekat Hidjo (semacam FPI di zaman sekarang), untuk menghalangi dan mengintimidasi guru, murid, dan orang tua di sekolah-sekolah SI. Seperti ditulis Tan Malaka: 
 “Akan tetapi, sekolah itu digencet dengan kekerasan. Dengan alasan yang tak cukup setiap waktu guru-guru di sekolah itu dilarang mengajar, dan orang tua murid-murid ditakut-takuti. Pukulan penghabisan dijatuhkan Serikat Hijau (sebuah kumpulan penyamun yang dikerahkan, diupah dan dipimpin oleh pemerintah dan orang-orangnya). Penyamun upahan ini disuruh membakar sekolah, menakut-nakuti dan menganiaya orang, murid dan guru-gurunya. Dan perintah dijalankan oleh mereka dengan sungguh-sungguh.”
Pasca perpecahan di tubuh SI, yang melahirkan SI merah dan SI putih, sekolah SI juga mengalami perubahan. Kelak, SI merah berganti nama menjadi Sarekat Rakyat. Maka Sekolah SI pun berganti nama menjadi Sekolah Rakyat. Sarekat Rakyat dan Sekolah Rakyat dekat dengan politik Partai Komunis Indonesia (PKI) yang tegas anti-kolonial dan anti-kapitalisme.

Pada tahun 1932, sehubungan dengan pertumbuhan Sekolah-Sekolah Rakyat dan sekolah-sekolah alternatif yang dibangun kaum pergerakan, pemerintah kolonial mengeluarkan Toezicht Ordonnantie Particulier atau sering disebut Ordonansi Sekolah Liar, yang mengharuskan sekolah yang tidak menerima biaya (subsidi) dari pemerintah tidak memulai aktivitasnya sebelum mendapat ijin dari pemerintah kolonial.

Ordonansi itu berusaha mencekal pendirian Sekolah-Sekolah Rakyat maupun sekolah-sekolah mandiri yang dibangun oleh kaum pergerakan. Memang, sejak pendirian sekolah SI di Semarang, kaum pergerakan mulai melihat sekolah rakyat sebagai sarana untuk mendidik anak kaum pribumi dan menyiapkan mereka sebagai calon aktivis pergerakan.

Meski demikian, benih sekolah Rakyat yang ditabur oleh Tan Malaka dan SI Semarang sudah terlanjur menyentuh tanahnya, yakni kehendak Rakyat untuk mendapat pendidikan yang mencerdaskan dan membebaskan.

Sabtu, 24 Februari 2018

Kikail


Kamis, 15 Februari 2018

Mengapa Sekolah Terbaik justru Tidak Baik untuk Anak?

Oleh: Bukik Setiawan

Menjadi Sekolah Terbaik adalah pilihan kata yang banyak digunakan sekolah dalam visi dan misinya. Tahukah Anda, bahwa Sekolah Terbaik justru Tidak Baik untuk Anak? Ini penjelasannya 
Ketika awal terjun di dunia pendidikan, saya mudah merasa kagum dengan visi sekolah yang berambisi menjadi sekolah terbaik. Saya rasa memang sudah seharusnya begitu, sekolah mempunyai cita-cita yang menjulang tinggi. Lagi pula, bukankah impian semua orang untuk menjadikan lembaganya sebagai yang terbaik, bila perlu terbaik di seluruh dunia. Setiap kali melihat visi sekolah yang terpampang, saya merasa berdesir dan dada dipenuhi rasa bangga.
Itu keyakinan saya dulu, sampai pada suatu hari seorang teman menceritakan tentang pendidikan Finlandia yang kata banyak orang dinilai sebagai sistem pendidikan terbaik. Saya pun mencari tahu berbagai informasi di internet mengenai pendidikan Finlandia. Banyak paparan data yang menguatkan. Banyak penjelasan yang meyakinkan.
Tapi saya tertohok bukan oleh data yang kuat maupun penjelasan yang meyakinkan itu. Saya tertohok dengan salah satu halaman presentasi dari Pasi Sahlberg, ahli pendidikan Finlandia sekaligus penulis buku Finish Lesson (Pelajaran dari Finlandia). Mengapa tertohok? Karena satu pernyataan tersebut meruntuhkan keyakinan saya mengenai visi sekolah terbaik. Apa sih isinya?
Satu halaman presentasi itu berisi gambar dua orang, perempuan dan lak-laki tua, yang membawa papan visi. Sosok laki-laki tua membawa papan bertuliskan “Kami akan menjadi sekolah terbaik di dunia pada tahun 2020”. Sementara, sosok perempuan membawa papan bertuliskan “Sekolah hebat untuk semua dan setiap anak”. Awalnya saya yakin pendidikan Finlandia searah dengan papan yang dibawa sosok laki-laki tua. Ternyata, saya sama sekali keliru. Karena pada bagian awal presentasi itu disebutkan bawha Finlandia tidak pernah bercita-cita menjadi yang terbaik. Jreng…
Pasi Sahlberg menjelaskan bahwa tujuan sekolah di Finlandia bukanlah menjadi sekolah terbaik, tapi sekolah hebat buat semua dan setiap anak. Pernyataan ini memutarbalikkan keyakinan saya tentang visi pendidikan. Orang-orang menganggap pendidikan Finlandia sebagai pendidikan terbaik, tapi Finlandia sendiri tidak bertujuan menjadi yang terbaik. Aneh bukan?
Dari pernyataan itu saya coba merenung dan berdiskusi dengan beberapa teman. Setelah pencarian panjang, akhirnya saya menemukan titik cerah. Ada perbedaan yang nyata antara kedua visi tersebut yaitu:
Titik pusatnya adalah sekolah yang ingin tampil di panggung dan menjadi sorotan banyak pihak. Visi adalah niat. Visi tersebut membuat sekolah berusaha keras mencapai kriteria dan standar yang ditetapkan pihak lain agar diakui sebagai yang terbaik. Fokusnya adalan tuntutan dari eksternal, baik itu dinas pendidikan, kementerian pendidikan, Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), maupun lembaga akreditasi. Kebutuhan anak dipenuhi sejauh menjadi kriteria dan tuntutan dari lembaga eksternal tersebut.
Akibatnya, kebutuhan anak diabaikan karena sekolah seringkali kerepotan memenuhi tuntutan untuk menjadi sekolah terbaik. Alih-alih memenuhi kebutuhan anak agar terjalin relasi positif, sekolah cenderung menegakkan aturan dan disiplin yang ketat. Sekolah menuntut anak-anak untuk patuh dan tertib. Patuh terhadap perintah guru. Tertib menjaga keteraturan. Tercipta relasi sekolah dan anak yang tidak kondusif untuk terbentuknya kegemaran belajar. Belajar menjadi paksaan.
Titik pusatnya adalah anak-anak yang mempunyai beragam kebutuhan untuk didengarkan dan dipahami oleh pisah sekolah. Visi adalah niat. Visi tersebut membuat sekolah berusaha keras untuk memahami dan memenuhi kebutuhan anak. Asesmen untuk mengenali kebutuhan anak dilakukan secara berkala. Proses belajar dikaji terus menerus agar tercipta belajar yang menyenangkan sekaligus bermakna buat anak-anak. Tuntutan dari pihak eksternal dipenuhi dengan tetap memprioritaskan kebutuhan anak.
Akibatnya, anak-anak merasa didengarkan dan dipahami oleh pihak sekolah. Alih-alih melakukan perbuatan yang merepotkan, anak-anak justru mengambil peran dan memberi konstribusi agar tercipta relasi dan lingkungan sekolah yang positif. Sekolah dan anak-anak menjadi pihak yang sama, saling bahu membahu memajukan sekolah. Anak-anak belajar bukan karena terpaksa, tapi karena senang belajar. Dengan belajar, anak-anak menemukan makna.


Itulah kenyataan yang terjadi. Visi menjadi sekolah hebat untuk semua dan setiap anak mengantarkan pendidikan Finlandia sebagai pendidikan terbaik di dunia. Sebaliknya sekolah yang mempunyai visi menjadi sekolah terbaik, justru bersikap tidak baik terhadap anak-anak. Visi sekolah terbaik bisa dibahasakan dengan beberapa istilah seperti unggul, favorit, pusat, prestasi, dan kata-kata yang menggambar kelebihan sekolah tersebut dibandingkan sekolah-sekolah lain.
Setelah mendapatkan pencerahan tersebut, saya mempelajari visi berbagai sekolah yang saya kunjungi. Sejauh pengamatan saya, pernyataan visi bisa menggambarkan suasana belajar sebuah sekolah. Pendidikan Finlandia memberi saya pelajaran dalam memilih sekolah untuk anak, memilih sekolah yang tidak bercita-cita menjadi sekolah terbaik tapi yang bercita-cita pada pemenuhan kebutuhan anak.
Tapi apakah visi memenuhi kebutuhan anak pasti diwujudkan oleh sebuah sekolah? Jangan-jangan hanya dipasang sebagai visi tapi tidak dipraktikkan. Tidak perlu khawatir, kami telah menyusun panduan yang bisa menilai perwujudan visi menjadi praktik nyata di sebuah sekolah. 
Sumber: TemantaKita 

Rabu, 14 Februari 2018

Umbu Landu Paranggi Sang “Maramba Ngilu”

14 Feb 2018 | Latief S. Nugraha

Menyebut peran individu dalam masyarakat sastra sentra Yogyakarta dan Bali adalah menyebut nama Umbu Landu Paranggi. Tokoh yang juga disebut sebagai "bidan dua angkatan sastra Indonesia modern" oleh Korrie Layun Rampan.
Dan cakrawala di atas itu kembali menggoda, bahkan menyiksa batin kita. Terlambat lagi, tapi tak mengapalah. Karena memang senantiasa kita ketinggalan dengan waktu, ruang, dan peristiwa demi peristiwa. Sayang sekali, tapi dengan berkeluh kesah begini, dengan cegatan begitu, dengan gempar, terperanjat, dan keterasingan yang demikian itu kiranya masih ada kemungkinan terbuka, ribut-ribut dan bertemu kembali satu dialog satu tatapan. Di bawah cakrawala, dan betapa kita rindukan semuanya itu tempat yang terbuka, telanjang, dan lenggang. Barangkali inilah padang yang kita impikan sejak mula pertama, barangkali engkau akan bertanya-tanya dan aku pun pasti bertanya-tanya, memandang engkau sebagai engkau, memandang aku sebagai aku, dan akhirnya memandang kita sebagai kita: Manusia…
(“Merangkum Kembali Elan Kesenimanan Kita”, Pelopor Yogya)

BEGITULAH bunyi sepenggal Catatan Budaya dari Umbu Landu Paranggi di rubrik “Sabana” Mingguan Pelopor Yogya. Sepenggal. Hanya sepenggal. “...karena sesuatu hal catatan ini dilanjutkan minggu mendatang...” demikian tulisnya pada baris terakhir. Namun entah, setelah satu minggu kemudian terbit kelanjutannya atau tidak. Meskipun demikian, dari kutipan di atas kita dapat mengambil nilai, bahwa yang telah, tengah, dan akan dikerjakan oleh Umbu adalah menerang-jelaskan hakikat manusia.
Syahdan, siapa sesungguhnya sosok yang disebut-sebut oleh Emha Ainun Nadjib, “makhluk zuhud yang dihadirkan Tuhan dalam wujud manusia dan bertugas membuat manusia memahami tugasnya sebagai manusia” itu? Siapa sesungguhnya sosok yang oleh keluarganya dijuluki “Batu Diam” itu? Siapa sesungguhnya sosok yang dilantik oleh banyak kalangan menjadi “Presiden Malioboro” itu? Yang jelas, tidak akan pernah ada Persada Studi Klub (PSK) jika tidak ada Umbu Landu Paranggi di Yogyakarta. Artinya, tidak akan pernah ada Iman Budhi Santosa, Ragil Suwarna Pragolapati, Teguh Ranusastra Asmara, Emha Ainun Nadjib, Linus Suryadi Ag., Korrie Layun Rampan, dan seterusnya, dan selenjutnya. Tidak akan pernah ada puisi di Malioboro.
Sungguhpun Umbu Landu Paranggi yang dilahirkan di Waikabubak, Sumba Barat, 10 Agustus 1943 itu, pada tahun 1975 telah meninggalkan Yogyakarta sebagai tanah tumpah darah kelahiran kedua dan tahun 1978 datang ke Bali menjadikannya sebagai tanah tumpah darah kelahiran ketiga tanpa pernah kembali lagi ke Yogyakarta —maupun ke kampung halamannya, Sumba.
Meskipun demikian, ruh Umbu seakan tetap berdiam di sini. Sepanjang jalan Malioboro, atau jalan-jalan raya pusat kota, atau lorong-lorong kampung belakang pertokoan, setiap kali dilalui seperti bercerita, “pada suatu hari Umbu Landu Paranggi pernah lewat sini. ‘Kuda Sumba’ itu hampir setiap malam pasti berjalan kaki melalui jalan ini. Orang-orang Malioboro sering menghabiskan malam di sini....” Dan berbagai kesaksian lainnya yang selalu disampaikan jalan-jalan bersejarah itu pada suatu malam sunyi kepada setiap orang (sebagian kecil dari meraka adalah penyair) yang berlalu. Umbu senantiasa hadir dalam kisah-kisah masa silam sebagai mitos legenda, bayang-bayang yang senantiasa mengikuti ke mana pun murid-muridnya berada.

Kesiur
Majalah Sastra Sabana edisi ke VI, Februari 2015, secara khusus menghadirkan ulasan dan kesaksian-kesaksian para murid serta sahabat Umbu Landu Paranggi sebagai perwujudan rasa terima kasih atas pendidikan, persahabatan, dan kekeluargaan yang terjalin. Dalam kata pengantar, Iman Budhi Santosa menyatakan bahwa Umbu telah berhasil memotivasi, mendorong, membimbing, mendukung, dan mengarahkan ratusan—bahkan ribuan anak muda sehingga berhasil membentuk pribadi yang tangguh, kreatif, berwawasan, serta menjadi sastrawan, penulis, seniman, yang berprestasi pada zamannya. Maka, tanpa rikuh prekewuh dan ragu-ragu lagi masyarakat sastra Indonesia di Yogyakarta dan Bali menyebut Umbu Landu Paranggi “Sang Guru”.
Edisi tersebut seakan menjadi usaha kecil tindak lanjut Emha Ainun Nadjib Cs. atas terbitnya buku Orang-orang Malioboro: Refleksi dan Pemaknaan Kiprah Persada Studi Klub 1969-1977 di Yogyakarta pada tahun 2007. Orang-orang Malioboro menjadi satu identitas khas bagi penyebutan para sastrawan eks anggota Persada Studi Klub (PSK) yang notabene adalah murid Umbu Landu Paranggi. Orang-orang Malioboro adalah (mengutip pengantar buku tersebut) orang-orang hasil pendidikan jiwa karakter spartan, yang tak mengenal waktu dan tempat. Orang-orang yang ide dan penghayatan hidupnya mendidih dan makin dididihkan sebagai manusia kreatif yang matang, tidak gumunan, dan kaya strategi untuk survive di masa depan.  
Walhasil, jarak ruang dan waktu yang panjang membentang dari masa lalu itu dapat hadir bagai tanpa batas penghalang di zaman postmodern ini. Catatan-catatan peristiwa yang terjadi puluhan tahun silam, dikisahkan seperti baru saja dialami kemarin malam. Mereka begitu dekat satu sama lain, serasa tengah duduk bersama di atas tikar pandan, beradu lutut, dan masing-masing mata menatap arah yang sama. Segala perasaan, penilaian, sanjung puji membubung ke cakrawala. Maka, “terbukalah medan laga sekaligus kubu” sosok misterius Umbu.
Yogya dan Bali adalah “rimba rahasia” yang membuat Umbu “terus mengembara”. Dan pengembaraan itu tidak pernah selesai. Puisi-puisinya tidak pernah selesai. Umbu tidak pernah selesai.
Jika di Yogyakarta ia membina para (calon) penyair melalui Mingguan Pelopor Yogya, di Bali ia melanjutkan pola yang sama melalui Bali Post. Dalam catatan Ragil Suwarna Pragolapati, Persada Studi Klub memiliki anggota yang luar biasa banyaknya mencapai angka 1.555. Mereka layaknya siswa-siswi pada sebuah sekolahan, datang pergi, tambal sulam, silih ganti sejak periode Iman Budhi Santosa hingga Boedi Ismanto S.A. Di Bali, Umbu membina Sanggar Minum Kopi (SMK) yang kemudian melahirkan Tan Lioe Ie, Warih Wisatsana, Putu Fajar Arcana, Wayan Jengki Sunarta, dan masih banyak lagi. Setelah SMK bubar Umbu menemukan Nuryana Asmaudi S.A., Riki Dhamparan Putra, Raudal Tanjung Banua di Inspirasi Tendangan Sudut Bedahulu (InTenSBeh). Dengan tekun ia semai bibit-bibit penyair hingga tumbuh berbuah ruah puisi. Tidak keliru jika Putu Fajar Arcana menyatakan bahwa Umbu merupakan tokoh penting yang berada di balik layar kemunculan para sastrawan Indonesia sejak generasi 1960-an sampai 2000-an. Senada dengan itu, Korrie Layun Rampan menahbiskan Umbu sebagai bidan dua angkatan sastra Indonesia modern.
Lebih terperinci mengenai lintasan demi lintasan Umbu di arena sastra Indonesia, terutama di Yogyakarta dan Bali itu telah hadir dalam kajian sastra dari meja akademis Universitas Gadjah Mada. Kajian tersebut adalah tesis dengan judul “Persada Studi Klub: Disposisi dan Pencapaiannya dalam Arena Sastra Nasional” oleh Asef Saeful Anwar dan “Pergulatan Umbu Landu Paranggi dalam Arena Sastra di Bali: Tinjauan Sosiologi Pierre Bourdieu” oleh I Made Astika. Penelitian yang dikerjakan Asef Saeful Anwar membahas posisi PSK sebagai komunitas sastra yang dibentuk oleh Umbu dengan semboyan “Arena Kreasi dan Persahabatan Remaja Indonesia” yang telah melahirkan para penyair kenamaan Indonesia. Penelitian yang dilakukan bergerak pada aktivitas anggota, peran sentralnya membesarkan nama PSK dan sejumlah anggota di dalamnya, hingga prestasinya dalam arena sastra nasional. Sementara penelitian yang dikerjakan  I Made Astika mendeskripsikan posisi Umbu dalam arena sastra nasional, pergulatan Umbu dalam arena sastra di Bali, dan strategi-strategi yang dilakukan oleh Umbu dalam menghadapi arena sastranya. Di Bali, Umbu juga berhasil membina sejumlah calon penulis yang kemudian dikenal sebagai sastrawan di tingkat nasional.
Umbu Landu Paranggi, berhasil menyatukan para pemuda dan pemudi dari generasi ke generasi tanpa jarak pandangan, identitas, agama, suku bangsa, golongan, adat, pendidikan, dan usia. Dari ribuan murid Umbu di zaman (meminjam istilah Emha Ainun Nadjib) ketika orang masih mengerti bagaimana menghormati keindahan, di kurun waktu tatkala manusia masih punya perhatian yang jujur kepada rohani, masih menjunjung kebaikan, dan masih percaya kepada kebenaran itu, banyak murid Umbu yang membumi bahkan tidak sedikit yang melangit.
Bahkan, sampai hari ini Umbu masih membina dan memotivasi para penyair dan calon penyair di Bali dan di seluruh penjuru Indonesia melalui rubrik sastra di Bali Post. Itulah fenomena Umbu sebagai guru. Setiap yang mengenal dan tahu sosoknya akan berkata satu suara; Umbu adalah guru kehidupan puisi, Umbu adalah guru kehidupan hakiki.
Begitulah persona dan pesona Umbu yang hingga kini diliputi mitos-mitos misterius, sehingga kisah-kisah mengenainya tidak pernah jelas dan tuntas. Dan secara tegas Iman Budhi Santosa meneguhkan bahwa; sejarah sastra Indonesia harus mencatat dan mengakui Umbu Landu Paranggi sebagai ‘Guru Besar Sastra Indonesia’, khususnya untuk sentra sastra di Yogyakarta dan Bali.

Desau
Satu kisah menarik diceritakan langsung oleh Umbu Wulang Tanaamahu, putra  kandung lelaki bernama lengkap Umbu Wulang Landu Paranggi itu. Konon, saat upacara pemakaman sang istri tercinta di Sumba, Umbu tidak pulang. Ia tidak berdaya untuk pulang. Namun, beberapa orang yang ada dalam upacara pemakaman itu, melihat Umbu. Suatu peristiwa yang ganjil tapi tidak mengherankan bagi masyarakat setempat. Karena mereka tahu gelar kebangsawanan Umbu Landu Paranggi adalah “Maramba Ngilu” atau “Pangeran Angin”.  
Bayang-bayang. Ya, bayang-bayang Umbu sering kali berkelebat bahkan melekat di balik sejumlah peristiwa dan juga sejumlah nama. Umbu hadir dari masa lalu, sebagaimana masa lalunya hadir dalam setiap puisi yang diciptakannya. Di dalam “Sajak Kecil” misalnya, ia berkata:
hidup takkan pernah aman
kapan dan di mana pun
selamanya terancam bahaya
dan kebenaran sunyi itu
penawar duka bersahaja
selalu risau mengembara
mustahil seperti misteri
bayang-bayang rahasia
bayang-bayang bersilangan
bayang lintas bayang
pelintasanku
Dan puisi-puisi Umbu, tidak hanya berwujud teks puisi semata. Puisi-puisi Umbu mewujud dalam diri setiap penyair yang dibesarkannya. Demikianlah esensi dari bayang-bayang yang oleh masyarakat disebut wayang.
Menariknya, wujud bayang-bayang Umbu—diakuinya dalam wawancara dengan I Made Astika—semasa di Yogyakarta tercermin pada tiga sosok, yakni Iman Budhi Santosa, Darwis Khudori, dan Emha Ainun Nadjib. Entah tiga nama itu yang tiba-tiba saja terbersit atau memang demikian adanya. Namun, Ragil Suwarna Pragolapati mengakui bahwa paling khas, unik, otentik sebagai citra PSK, nyaris tipikal cetakan Umbu ada pada diri Iman Budhi Santosa. Menurutnya, hanya Iman Budhi Santosa yang paling total berpuisi dan memuisi, paling otentik sosok kepenyairannya, paling unik dan paling berbobot.
Hal yang sama juga disampaikan oleh Emha Ainun Nadjib, Iman Budhi Santosa adalah puisi. Darah daging, urat syaraf, dan getaran batinnya adalah puisi. Sebagaimana kehidupan Umbu menurut Emha. Umbu adalah “manusia puisi”. Kehidupan Umbu adalah kehidupan puisi. Hidup Umbu adalah kehidupan rohani. Ia tidak terikat pada harta benda, konstelasi apa pun, esksistensi, popularitas, dan sejenisnya. Umbu bebas dari ikatan-ikatan dan segala hal seperti anggapan dan penilaian umum.
Sementara, Emha adalah manusia esai. Kehidupannya adalah kehidupan esai. Esai yang harus ilmiah tapi tidak digolongkan karya ilmiah, esai yang harus puitis tapi tidak digolongkan puisi, esai yang prosais tapi tidak masuk golongan prosa. Emha tidak masuk golongan mana pun, walau dirinya menulis dan berada di semua bidang.
Mungkin memang benar jika bayang-bayang Umbu paling pekat hanya ada pada satu dua nama saja. Namun, ratusan bahkan ribuan nama lainnya tentu saja tidak luput diliputi bayang-bayang sang guru. Umbu telah menitis dalam hasil proses kreatif yang berada satu jalur dengan model karakternya.
Dari arsip dokumentasi berupa majalah, koran, kliping, naskah-naskah hasil tulisan tangan, ketikan, dan stensilan warisan Ragil Suwarna Pragolapati terekam jelas bukti ketulusan Umbu selaku kakak pengasuh kepada setiap adik-adik didikannya. Meski kertas-kertas itu telah usang dimakan usia dan rayap, namun berkas-berkas yang masih selamat benar-benar telah mengembalikan lagi waktu, ruang, dan peristiwa masa lalu itu. Setiap Minggu dengan tekun ditulis pesan singkat dan pengumuman kepada para penulis asuhannya di Pos Persada Studi Klub. Suatu bentuk perhatian yang total bagi setiap muridnya tanpa pandang bulu, memberi kesan mendalam, dan terus membayang dalam ingatan.
Terkait dengan itu, satu hal yang rasa-rasanya tidak boleh terlewat adalah peranan Umbu yang berhasil menciptakan poros baru sastra Indonesia di Yogyakarta dan Bali agar tidak melulu berpusat di Jakarta. Rubrik “Sabana” di Pelopor Yogya adalah wadah kompetisi yang drajat gengsinya sama dengan Majalah  Sastra Horison. Sementara di Bali, Umbu membuat rubrik “Posbud” atau “Pos Budaya” di Bali Post yang derajat gengsinya juga sama dengan Majalah SastraHorison.
Majalah Sastra Horison memang memiliki nilai legitimasi yang cukup besar bagi sastrawan Indonesia bertahun-tahun lamanya. Sejarahnya yang panjang dan hegemoni kekuasaan di Jakarta membuatnya berada di menara gading. Namun, menariknya ketika memutuskan untuk berhenti cetak1 pada usia 50 tahun, tepatnya tanggal 26 Juli 2016, Majalah Sastra Horison mengundang Emha Ainun Nadjib untuk berorasi budaya. Apa alasan panitia memilih murid kinasih Umbu Landu Paranggi itu untuk menjadi narasumber utama? Rasa-rasanya kini jarum jam telah berbalik arah, Emha Ainun Nadjib, apalagi Umbu Landu Paranggi telah menjadi padang sabana yang luas terbuka merangkum siapa dan apa saja.

Embus

Terakhir, melalui tulisan ini, izinkan saya mendaku Umbu sebagai guru. Selain karena banyak belajar kepada para murid —titisan Umbu Landu Paranggi di Yogyakarta, secara pribadi ada garis penghubung yang entah bagaimana awal mulanya bisa terjadi. Bersama Fitri Merawati dan Afrizal Oktaputra, kami seperti mendapat pekerjaan rumah tatkala Umbu mengirimkan sepucuk surat dititipkan Ririen Pranabuwani Khudi Iswari (putri Ragil Suwarna Pragolapati) yang tengah berkunjung ke Bali. Isi surat itu adalah sebuah nama berupa tulisan tangan Umbu dengan cat berwarna hijau berbunyi NanKiNun. Entah apa artinya. Tapi maknanya jelas, sebuah pekerjaan rumah yang ditugaskan guru kepada muridnya.
Seperti Ekalawya berguru kepada patung Drona, kepada bayang-bayang Umbu saya berguru. Dan dengan takzim beriring doa saya kirimkan buku Menoreh Rumah Terpendam berisi puisi-puisi saya ke Bali. Dari situlah terbit satu kisah yang bagi saya menakjubkan. Tidak seperti Drona yang meminta persembahan ibu jari Ekalawya setelah tahu ada seseorang yang memberhalakannya, tanpa disangka-sangka, pada tanggal 25 April 2017 malam hari, dering telepon gengam saya menyala dan setelah saya angkat langsung terdengar pertanyaan dengan suara berat “Bagaimana Bukit Menoreh?” Saya diam saja dan bertanya-tanya. “Ini saya, dari Denpasar!” Betapa kaget mendengar pernyataan itu. Tidak salah lagi, Umbu!
Kami pun berbincang. Ia banyak bertanya mengenai kondisi saya dan Bukit Menoreh, serta dinamika sastra di Yogyakarta. Terakhir Umbu meminta saya menulis prosa, percik permenungan, dan esai mengenai 90 tahun Sumpah Pemuda untuk dikirimkan ke Bali Post. Lagi-lagi sebuah pekerjaan rumah. Entah kesialan atau keberuntungan. Bayang-bayang Umbu, juga pekerjaan rumah itu pun “kembali menggoda, bahkan menyiksa batin kita.
Catatan Kaki:
Mulai tahun 2018 Majalah Sastra Horison terbit lagi dengan format triwulan, atau tiga bulan sekali.
__

Latief S. Nugraha, Carik di Studio Pertunjukan Sastra dan Balai Bahasa DIY. Buku kumpulan puisinya "Menoreh Rumah Terpendam" (Interlude, 2016).

Sumber: Pocer.Co 

Selasa, 13 Februari 2018

Robot meluncurkan album, akankah musisi manusia terancam?

Alex Marshall | 13 Februari 2018



Hello World adalah album pertama di dunia yang dibuat oleh robot. Album yang memuat lagu-lagu, mulai dari yang bergenre tekno hingga Europop ini disebut kritikus BBC Culture, Alex Marshall, akan mengubah cara pandang kita soal kreativitas dan kecerdasan buatan.


    Benoît Carré adalah penulis lagu yang telah menggubah berbagai lirik dan musik untuk penyanyi-penyanyi besar Prancis, misalnya Johnny Halliday, Elvis-nya Prancis, dan Françoise Hardy. Dan bulan ini, musisi 47 tahun itu meluncurkan album hasil kolaborasinya dengan musisi yang mungkin siapapun tidak akan pernah duga.
    Musisi ini bukanlah penyanyi, bukan juga rapper, bahkan bukan manusia. Carré bekerja sama dengan Flow Machines, kecerdasan buatan paling canggih yang dapat menggubah musik.
    Jika melihat sedikit ke belakang, kecerdasan buatan memang sudah menancapkan taringnya di dunia musik. Bisa saja dalam waktu dekat, lagu-lagu yang kita sukai adalah buatan berbagai aplikasi dan teknologi komputer.
    Sejauh ini perusahaan start-up seperti Jukedeck, Amper Music dan Melodrive telah membuat kecerdasan buatan yang membuat penggunanya bisa memilih irama yang disuka seperti synth pop, musik elektronik dan sebagainya, lalu merangkainya, hanya dengan memijit tombol telepon pintar.
    Benoit Carre
    Image captionCarré telah menulis lagu untuk musisi terkenal Prancis, misalnya Johnny Halliday dan Françoise Hardy.
    Meskipun begitu, hasil ciptaan musik sejumlah start-up di atas tersebut, bisa dibilang tidak akan membuat para musisi khawatir. Pasalnya musik yang dibuat cenderung terkesan generik, membosankan dan tidak menginspirasi. Sangat jauh sekali jika dibandingkan dengan musik yang digarap Bob Dylan, misalnya.
    Namun, album Carré, Hello World, berbeda. Musik yang dihadirkan amat ciamik. Dengan kecerdasan buatan yang dinamai SKYGGE (dalam bahasa Denmark berarti bayangan), muncullah lagu-lagu balada, pop, tekno hingga Europop. Jika Anda mendengarkannya di radio, pasti tidak akan terpikir kalau lagu tersebut tidaklah dibuat oleh manusia.
    Tak ayal, berbagai komentar bernada miring pun bermunculan. Misalnya, ada berita yang memasang judul 'Komputer bisa membuat lagu Europop, buat apa lagi gunanya musisi manusia?'. Namun, Carré menegaskan cara pandang itu salah. "Filosofi proyek ini adalah untuk membuat alat yang bisa membantu kreativitas musisi. Namun, ternyata orang tak peduli," ungkap Carré. "Mereka lebih tertarik mendengarkan pernyataan kalau musisi akan tergantikan".
    Flow Machine
    Image captionFlow Machines memang bisa membuat melodi, tetapi tetap manusia yang merangkainya menjadi lagu utuh.
    Tanpa bantuan manusia, lagu buatan robot ini akan terdengar murahan. "Banyak campur tangan orang di sini," ungkap Carré sambil mencontohkan produser musik asal Belgia, Stromae dan bintang pop Kanada, Kiesza, yang ikut membantu pembuatan Hello World.
    "Mereka menyerahkan jiwa dan semangat mereka untuk album ini. Dan itulah elemen paling penting dari sebuah album, sesuatu yang berasal hanya dari manusia."

    Lantunan lagu yang mengalir

    Penggunaan kecerdasan buatan untuk membuat musik, bukanlah hal baru, ungkap komposer dan pemain cello, Margaret Schedel, yang juga dosen musik di Universitas Stony Brook, New York.
    Orang-orang sudah menggunakan komputer untuk membuat musik klasik sejak tahun 1950an. Bahkan, komputer dinilai lebih bagus dalam menggubah musik dibandingkan manusia. Pada tahun 1980an, seorang profesor Prancis, Xavier Rodet, membuat kompternya 'menyanyikan' The Magic Flute karya Mozart. Hasilnya dinilai lebih bagus dari kebanyakan penyanyi opera baru.
    Stromae
    Image captionProduser asal Belgia, Paul Van Haver, aka Stromae, adalah salah satu musisi yang terlibat dalam proyek SKYGGE.
    Riset penggunaan robot untuk membuat musik kini terus berkembang. Robot bekerja sudah menyerupai otak manusia-belajar dari pengalaman.
    Lalu bagaimana caranya robot-robot ini menciptakan musik? Di Flow Machines pengguna harus memasukkan puluhan musik ke dalam sistem. Kecerdasan buatan akan menganalisa musik tersebut satu-satu, melihat polannya, lalu kemudian mengeluarkan respon berupa musik-musik pendek.
    Sambil tertawa Schedel menyebut "sekitar 99% musik pendek yang diciptakan robot, lebih bagus dibandingkan musik yang ditulis mahasiswanya."
    Schedel
    Image captionMargaret Schedel adalah musisi dan pemain cello, yang turut mengajar di Universitas Stony Brook, New York.
    Namun, ketika kita beralih ke musik yang lebih kompleks, seperti lagu pop, robot mengalami kesulitan. "Musik itu kompleks. Banyak sekali dimensinya. Alhasil, jika ada satu bagian yang salah, orang akan tahu," kata Schedel. "Lebih gampang menipu mata daripada telinga."
    Keuntungan menggunakan robot seperti Flow Machines, jelas dirasakan mereka yang telah menggunakannya. "Ini seperti punya musisi baru yang bermain alat musik di sudut studio," ungkap Michael Lovett dari band elektronik NZCA Lines, yang turut memproduksi Hello World.
    "Yang keluar biasanya adalah musik-musik yang terkesan murahan, sampah. Namun, kadang tiba-tiba muncul lantunan musik yang unik, menarik, 'Wah, enak sekali', saat itulah saya biasanya langsung mengambil potongan musik itu dan menjadikannya lagu."

    Musik Cyborg

    Lovett membuat lagu berjudul Multi Mega Fortune di album Hello World. Lagu futuristik ini punya melodi reff bernada tinggi, sangat membuat candu. Untuk membuatnya, Lovett memasukkan berbagai lagu R&B favoritnya ke sistem Flow Machines. Kecerdasan buatan lalu menganalisa musik tersebut dan membuat delapan hingga 10 melodi pendek secara terus menerus. Lovett terus mendengar sampai dia menemukan melodi yang menarik hatinya.
    Dia lalu menyambung melodi-melodi yang ada, menyuntingnya, dan menambah berbagai efek supaya terdengar lebih enak. Semuanya itu dilakukan dalam proses yang tidak sebentar. "Namun, jelas ini jauh lebih cepat, dan sangat menyenangkan ketika mendengar melodi-melodi yang tercipta, sampai akhirnya mendapatkan satu yang memikat."
    "Jujur, saya tidak tahu apakah robot ini memang punya kemampuan atau cuma beruntung saja mereka membuat melodi yang ternyata saya suka."
    Meskipun terkesan bahagia, Lovett sebenarnya agak takut, suatu hari kecerdasan buatan akan mengambil alih dunia musik, profesinya. Perusahaan rekaman mungkin suatu hari tinggal bicara, 'Kami ingin lagu rock baru a la lagu-lagu U2'. Mereka kemudian tinggal memencet tombol keyboard dan muncullah puluhan lagu utuh seperti yang diharapkan.
    robot
    Image captionAkankah robot menginvasi dunia musik?
    Schedel, yang juga seorang akademisi sepakat bahwa kekhawatiran Lovett beralasan. "Mengapa kita harus membayar seorang musisi jutaan rupiah, jika bisa membayar kecerdasan buatan dengan harga ratusan bahkan puluhan ribu saja?"
    Namun, dia menambahkah, "Jika memang robot membuat musik yang lebih enak didengar dibandingkan 95% musik buatan musisi jalanan, memangnya itu salah?" Menurutnya, orang-orang seharusnya lebih semangat, daripada khawatir, karena musik buatan robot ini akan mendorong manusia menghasilkan sesuatu yang lebih baru lagi.
    "Yang saya tidak sabar menunggu adalah untuk mendengarkan musik cyborg: musik kombinasi buatan manusia dan robot," ungkapnya. "Saya sangat yakin kalau kita bisa menggunakan robot untuk mendongkrak kreativitas kita: menciptakan melodi yang tidak bisa dibuat hanya oleh manusia atau robot."
    musik
    Image captionSalah satu alasan bahwa robot mungkin tidak akan mengambil alih dunia musik adalah karena musik merupakan aktivitas sosial-komunal.
    Dia juga menambahkan bahwa robot belum akan mengambil alih manusia dalam membuat musik, karena musik adalah aktivitas sosial-bersama: kita suka menonton pertunjukan langsung.
    Lalu kapan kira-kira musik gubahan kecerdasan buatan akan semakin ramai? Tidak ada yang tahu. Bahkan kita sendiri tidak tahu bagaimana masa depan Flow Machine. Yang jelas, pengembang utama Flow Machine, François Pachet, kini merupakan salah satu direktur di Spotify.
    Jadi, jika suatu saat playlist Spotify Anda memperdengarkan lagu-lagu yang terdengar janggal, Anda boleh curiga kalau lagu tersebut mungkin bukanlah buatan manusia.

    Sumber: BBC Indonesia