This is default featured slide 1 title

BEBAL:"FPI"

Kebebalan FPI Banyuwangi yang membubarkan ritual tradisi Sedekah Laut di daerahnya

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Jumat, 19 Oktober 2018

Ancaman Guru Intoleran di Indonesia

Oleh: Ign. L. Adhi Bhaskara - 19 Oktober 2018

Sejumlah pelajar lintas agama berkunjung ke Klenteng Kong Ling Bio saat mengikuti program Peace Trip di Temanggung, Jateng, Sabtu (7/4). ANTARA FOTO/Anis Efizudin/pd/18.

Sebuah survei teranyar menegaskan, guru-guru di Indonesia punya andil dalam maraknya pertumbuhan intoleransi di Indonesia.
“Bunuh, bunuh, bunuh si Ahok, bunuh si Ahok sekarang juga!”
Lagu kanak-kanak berjudul "Menanam Jagung di Kebun Kita" itu dipelesetkan oleh puluhan anak anak berbaju putih yang membawa obor. Kendati pesannya keras, mereka berteriak dengan enteng layaknya mereka sedang berlomba menyuarakan yel-yel dalam sebuah kompetisi.

Arak-arakan itu terekam dalam sebuah video yang beredar pada Mei 2017 lalu, ketika kasus Ahok tengah menjadi buah bibir. Mantan Gubernur Jakarta yang kebetulan beragama Kristen itu dipidanakan karena dianggap melecehkan ayat Al-Quran surat Al Maidah 51. 

Beberapa bulan silam, warganet dihebohkan oleh ‘pemaksaan’ pengenaan jilbab di sekolah negeri di Indonesia. Pihak sekolah berdalih mereka hanya 'menganjurkan' pemakaian jilbab. Di sisi lain, para siswi yang tak mengenakkan jilbab kerap disindir sebuah bentuk sanksi sosial sehingga mereka tertekan.

Semua peristiwa itu memiliki satu kesamaan: melibatkan anak-anak.

Survei nasional yang dilakukan oleh Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta melalui proyek Convey Indonesia pada 2017 lalu mengungkap, sebanyak 58,5 persen responden memiliki pandangan keagamaan yang radikal. Sementara sebanyak 34,3 persen responden cenderung memelihara pandangan intoleran terhadap kelompok agama non-Islam. 

Dalam survei tersebut sedikit disinggung bahwa guru-guru di Indonesia terindikasi berperan dalam tren intoleransi yang saat ini makin lekat dengan generasi muda Indonesia.

Pada Selasa (16/10) lalu, PPIM UIN melalui proyek Convey Indonesia mengumumkan survei teranyarnya mengenai guru. Berjudul “Pelita yang Meredup: Potret Keberagaman Guru di Indonesia”, survei tersebut menegaskan bahwa sebagian besar guru di Indonesia memang memiliki kecenderungan intoleran dan radikal sehingga dapat memengaruhi tren intoleransi pada generasi muda.

Secara umum, menurut survei ini, jumlah guru di Indonesia yang memiliki opini intoleransi dan opini radikal cukup tinggi dengan persentase masing-masing sebesar 50,87 persen dan 40,14 persen dari total responden.

Sebanyak 56 persen guru tidak setuju bahwa non-Muslim boleh mendirikan sekolah berbasis agama di sekitar mereka. Lebih jauh, 21 persen guru menyatakan tidak setuju jika ada tetangga yang berbeda keyakinan mengadakan acara keagamaan di kediaman mereka. Inilah contoh-contoh opini intoleran yang ditunjukkan oleh survei tersebut.

Sebanyak 33 persen guru setuju untuk menganjurkan orang lain agar ikut berperang demi mewujudkan negara Islam. Sebanyak 29 persen guru juga menyatakan setuju untuk ikut berjihad di Filipina Selatan, Suriah, atau Irak demi mendirikan negara Islam. Dalam survei yang sama, pandangan seperti ini disebut opini radikal. 

Yang menarik, 82,77 persen responden menyatakan bahwa Islam adalah satu-satunya solusi untuk mengatasi persoalan masyarakat; 40,36 persen setuju bahwa seluruh ilmu pengetahuan sudah ada di dalam Al-Qur'an sehingga Muslim tidak perlu mempelajari ilmu pengetahuan yang bersumber dari Barat.

Perlu dicatat, secara demografis, guru mata pelajaran bahasa (Arab, Indonesia, Inggris, dan Daerah), olahraga, kesenian dan ketrampilan, dan guru kelas memiliki "intoleransi eksternal", opini, dan intensi-aksi radikal” yang lebih tinggi dibandingkan guru lainnya.

Potret Sehari-hari

Bagi Treviliana Eka Putri (26 tahun), hasil survei itu tidaklah terlalu mengejutkan. Wanita yang bekerja di salah satu pusat studi di Universitas Gadjah Mada itu pernah merasakan secara langsung bagaimana guru mengajarkan intoleransi di Madrasah Ibtidaiyah dan Madrasah Tsanawiyah tempatnya ia menimba ilmu dulu.
“[Ajaran untuk bersikap] intoleran itu disampaikan dalam hal yang bernada canda tapi sebenarnya mendiskreditkan orang dengan kepercayaan yang berbeda,” ingat perempuan yang akrab dipanggil Trevi ini. 
Kepada Tirto ia mengatakan, candaan itu dapat berupa hal-hal yang remeh temeh. Guru Trevi, misalnya, pernah bergurau bahwa orang Kristen memiliki bau badan yang tidak sedap karena mengonsumsi babi, hewan yang diharamkan oleh Islam dan dianggap kotor.

Dalam kesempatan lain, lanjut Trevi, pernah pula gurunya mengatakan hal-hal seperti “patung enggak bisa ngasih apa-apa kok disembah, 'kan bodoh”. Ucapan itu mengacu pada praktik doa oleh kaum Nasrani di hadapan patung Yesus atau Maria, yang sebetulnya dilakukan agar menambah kekhusyukan.

Kala itu, ia hanya ikut tertawa bersama murid-murid lainnya, menelan mentah-mentah apa yang dikatakan oleh sang guru. Baginya, sekolah-sekolah khusus agama lain terlihat eksklusif. Ia merasa bahwa mereka yang belajar di sekolah-sekolah tersebut juga tak menyukai Muslim. 

Trevi menceritakan, perspektifnya mulai berubah sejak duduk di bangku SMA. Di sana, ia mulai banyak berinteraksi dengan berbagai macam murid lain yang berbeda latar belakang.

Namun, yang paling membekas dalam kenangan Trevi adalah perjumpaannya dengan seorang teman bernama Julian di bangku kuliah. Menurut Trevi, Julian, korban konflik Ambon yang kabur ke Pulau Jawa, tidak pernah menyimpan dendam pada Islam. Terhadap dirinya yang seorang Muslim, Julian bahkan berlaku sangat ramah.
“Padahal, sampai sekarang dia dengan azan saja masih suka deg-degan ingat kekerasan di Ambon,” kenangnya.
IM (26 tahun) punya pengalaman yang berbeda dengan Trevi. Guru sekolah negeri di Sidoarjo, Jawa Timur ini mengatakan bahwa seorang rekannya, seorang guru agama mengajar di sekolahnya memiliki pemikiran cukup ekstrem dalam hal agama. Menurut IM, rekannya bahkan sangat menentang kepala sekolah perempuan. “Pemimpin itu laki-laki,” kata IM kepada Tirto, menirukan pernyataan rekannya. 

Pernah pula sang guru agama secara tidak langsung ‘mendesak’ seorang siswi beragama Kristen untuk menjadi model busana baju Muslim. Bujuk rayu yang ia gunakan sudah biasa kita dengar sehari-hari: “kamu cantik lho kalau pakai hijab.”
Problemnya, IM mengklaim bahwa siswa-siswi yang tidak beragama Islam di sekolah tempat ia mengajar ‘terpaksa’ mengikuti pelajaran agama Islam di bawah bimbingan sang guru agama. “Padahal [mendapatkan pelajaran agama sesuai keyakinan] 'kan hak mereka,” kata IM.

infografik guru intoleran

Guru yang Lebih Baik?


Survei “Pelita yang Meredup” menyebutkan, salah satu faktor yang berkorelasi erat dengan kecenderungan intoleransi dan radikalisme para guru adalah faktor penghasilan. Riset ini menemukan bahwa semakin rendah penghasilan yang dimiliki oleh guru maka semakin tinggi opini dan intensi-aksi radikal mereka.

Oleh karenanya, survei ini merekomendasikan untuk dibuatnya standar pembayaran minimal guru yang lebih baik tanpa membedakan status sekolahnya, entah negeri maupun swasta.

Selain itu, perlu pula perhatian lebih diberikan kepada guru perempuan. Survei yang sama menemukan bahwa guru perempuan lebih intoleran dibandingkan dengan guru laki-laki.

Lebih lanjut, guru madrasah ternyata juga memiliki opini yang cenderung lebih intoleran pada pemeluk agama lain. Karena itu, survei ini merekomendasikan institusi pendidikan untuk menggalakkan program bagi bagi guru madrasah dalam rangka peningkatan pengalaman kemajemukan.

Tujuan dari peningkatan pengalaman kemajemukan guru-guru madrasah tersebut adalah agar mereka lebih mengenal agama dan kelompok yang berbeda.

Dr. Mohammad Iqbal Ahnaf dari Center for Religious and Cross-Cultural Studies (CRCS), Universitas Gadjah Mada mengkritik hasil dari survei tersebut, terutama dalam kaitannya dengan parameter intoleransi yang digunakan.

Ia mengatakan, keterbukaan terhadap aktivitas keagamaan di lingkungan sekitar guru yang digunakan sebagai parameter intoleransi dalam survei tersebut, misalnya, dapat diartikan secara berbeda oleh responden yang hidup dengan parameter intoleransi yang berbeda.
“Pertanyaan-pertanyaan itu selalu kontekstual,” ujar Iqbal ketika dihubungi Tirto.
Ia mencontohkan, jika seorang guru yang tinggal di lingkungan homogen ditanya apakah ia setuju dengan aktivitas keagamaan lain di lingkungannya, ia mungkin akan sulit menerimanya. 

Namun, Iqbal mengatakan bahwa secara garis besar survei ini dapat menjadi alarm bagi masyarakat Indonesia. Untuk menekan intoleransi di kalangan guru, menurut Iqbal, persoalan kebijakan rekrutmen guru di tingkat nasional perlu lebih diperhatikan, demikian pula pembangunan kapasitas guru-guru di Indonesia.
“Selama ini pembangunan kapasitas hanya menekankan aspek pedagogi,” sebut Iqbal. Dalam hal ini, ia menyepakati rekomendasi hasil survei tersebut, yakni mencanangkan program yang bisa memperkenalkan keragaman pada guru-guru di Indonesia.
“Konteksnya memperkaya praktik pengajaran,” kata Iqbal. Dalam hal ini, program sister school – program pertukaran pelajar antar sekolah agama seperti pesantren dan sekolah Kristen Katolik—menjadi hal yang menarik untuk dilakukan, jelasnya.
Ia juga menyebutkan pentingnya peran manajemen sekolah dalam memberantas intoleransi dengan pendekatan dari atas ke bawah.
“Kepala sekolah adalah kunci. Perubahan bisa didorong dari tingkat kepala sekolah,” jelasnya.
Penulis: Ign. L. Adhi Bhaskara
Editor: Windu Jusuf

Source: Tirto.Id 

Rabu, 17 Oktober 2018

Evolusi konsep pengajaran menjadi pendidikan di Indonesia

Syaikhu Usman* | Oktober 17, 2018 4.51pm WIB


Maglara/Shutterstock

Sepuluh tahun lalu, Komisi Pemberantasan Korupsi dan Kejaksaan Agung membuat program Kantin Kejujuran dengan mendirikan 1.000 kantin di sekolah negeri untuk melatih pembentukan karakter dan antikorupsi di kalangan siswa. Uji coba ini berakhir sebagai kisah kegagalan.
Kantin-kantin tersebut hanya bertahan pada tahun pertama dan selanjutnya sebagian besar terancam gulung tikar.
Kantin menjual makanan, minuman, dan barang kebutuhan siswa di lingkungan sekolah, tanpa ada penjaga kantin yang melayani dan mengawasi dagangan. Para siswa mengambil sendiri barang, membayar sendiri, dan mengambil uang kembalian sendiri. Apa yang terjadi? Mayoritas kantin bangkrut karena barang dagangan habis, tapi uang tidak terkumpul. Kantin kehabisan modal.
Kejujuran bukan jenis perilaku alamiah, tapi hasil dari sistem yang harus dibangun secara sistematis dan terus menerus. Ketidakjujuran siswa adalah bagian dari sistem kecurangan yang lebih besar di masyarakat. Sistem di masyarakat, termasuk sekolah, tidak mampu menjadikan jujur sebagai kebiasaan dan kebudayaan.
Bagaimana karakter jujur seharusnya dibentuk melalui sekolah? Apa yang keliru dari sistem dan praktik belajar di sekolah selama puluhan tahun?

Pengajaran versus pendidikan

Pada mulanya, sekolah adalah wadah anak untuk mengisi waktu luang di tengah hak dasar mereka untuk bermain. Di kala senggang, dengan bimbingan orang berpengetahuan dan terampil, anak memperoleh pengajaran berupa pengetahuan literasi, numerasi, dan keterampilan hidup serta mendapat pendidikan yang terkait dengan moral, agama, dan estetika.
Di satu pihak, hasil pengajaran dapat diukur melalui jumlah tahun sekolahnya, mulai dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Di pihak lain, hasil pendidikan dinilai atas perilaku sehari-hari seseorang dalam kehidupan keluarga dan lingkungannya.
Pengelolaan sekolah di Indonesia adalah refleksi dari sejarah perkembangan departemen atau kementerian yang mengaturnya. Pada awal kemerdekaan (1945-1950) nomenklatur yang digunakan adalah Departemen Pengajaran yang menterinya adalah Ki Hadjar Dewantara. Dalam enam kabinet berikutnya nomenklatur pengajaran masih terus dipakai, tanpa menyertakan kata pendidikan. Enam kabinet sesudahnya memakai nomenklatur Departemen Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan.
Pada awal kemerdekaan, para pemimpin bersatu padu berjuang merawat negara dan bangsa. Mayoritas rakyat pun bergairah mendukung perjuangan para pemimpin nasional. Kepentingan bangsa menjadi prioritas perjuangan nasional. Oleh karena itu, dalam kaitan dengan sekolah mereka pada umumnya lebih memikirkan urusan pengajaran untuk transfer pengetahuan dan keterampilan demi mencerdaskan bangsa.
Dalam kabinet-kabinet berikutnya (1951-1966) pemerintah mulai memakai nomenklatur Departemen Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan (PP dan K). Selanjutnya kata pendidikan selalu ditempatkan di depan.
Di masa itu kepentingan kelompok melalui partai mulai menguat. Setiap partai berjuang berdasarkan ideologi yang cukup jelas, seperti agama, nasionalisme, sosialisme, atau komunisme. Tapi, karena setiap ideologi berbeda dengan jurang pemisah yang dalam, para pemimpin partai mulai kesulitan untuk bersatu. Mereka sibuk memperjuangkan kepentingan partai dan ideologi masing-masing. Ini menimbulkan perbantahan, perselisihan, konflik, dan persaingan.
Masyarakat mengamati kondisi ini dan kerap kali meniru. Oleh karena itu, pengambil kebijakan publik mulai memikirkan perlunya pendidikan moral (karakter) untuk menanamkan antara lain perilaku santun, saling menjaga dan merawat satu sama lain, dan menghormati keberagaman.
Sejak pemerintahan Orde Baru (1966-1998) dan juga Orde Reformasi (1998-sekarang) kata “pengajaran” dihilangkan. Buku karya Lant Pritchett, Direktur Riset Program RISE, yang berjudul “The Rebirth of Education: Schooling Ain’t Learning (2013),” bagi Indonesia mungkin terkait dengan kurangnya perhatian terhadap pengajaran.
Lembaga pemerintah yang mengurusi masalah pengajaran dan pendidikan berubah nama menjadi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Pernah juga bernama Kementerian Pendidikan Nasional. Pada era ini partai tidak lagi memegang ideologi yang mendasari kekuatan perjuangan mereka, sementara pelanggaran nilai sosial seperti penipuan, pembohongan, intoleransi, korupsi, kolusi, nepotisme terus terjadi.
Lambat laun kepentingan kelompok, keluarga bahkan individu merasuki perilaku elit pejabat, elit pengusaha, dan elit masyarakat yang kemudian sering pula ditiru oleh masyarakat.

Sekolah adalah pabrik?

Sampai sekarang, Indonesia belum menemukan kesepakatan soal model pendidikan karakter. Salah satu model yang patut dipertimbangkan adalah sistem pembelajaran karakter yang diusulkan oleh anggota tim pakar Yayasan Jati Diri Bangsa Gede Raka. Dia menekankan bahwa pendidikan karakter di sekolah memerlukan perubahan cara pandang.
Menurut Gede Raka, peneliti pendidikan karakter dan juga guru besar Institut Teknologi Bandung, kita perlu menjauhi cara pandang yang memperlakukan sekolah sebagai pabrik. Dalam pandangan ini, pabrik sekolah memproduksi lulusan yang kualitasnya diukur melalui nilai ujian nasional, mempekerjakan “mesin” bernama guru, dan menggunakan sistem produksi bernama kurikulum.
Di dalam sistem produksi, karakter bukan hal penting. Mesin, sistem produksi, dan produk adalah hal-hal pasif tanpa karakter, tanpa aspirasi, dan tanpa inisiatif. Dengan demikian, cara pandang sekolah sebagai pabrik bukan cara pandang yang sesuai untuk pendidikan karakter.
Cara pandang sekolah sebagai komunitas, terutama komunitas pembelajaran, adalah konsep yang sesuai bagi pengembangan karakter. Komunitas bukan semata-mata sekumpulan orang. Komunitas adalah sekelompok orang yang dipersatukan oleh tata nilai.
Menurut Aristoteles, tata nilai moral adalah pilar dari kekuatan karakter. Tata nilai, demikian pula karakter, tercermin melalui perilaku seseorang dalam interaksi sosialnya. Sebagai bagian dari komunitas, guru, siswa, dan orangtua adalah anggota dengan peran dan tangung jawab masing-masing. Rasa saling percaya, saling menghormati, kesediaan untuk berbagi, dan aspirasi bersama menjadi penting.
Di samping cara pandang sekolah sebagai komunitas belajar, pendidikan karakter memerlukan pandangan bahwa setiap siswa adalah tunas yang memiliki potensi berbeda. Karakter memiliki kemajemukan dimensi, seperti kreativitas, keingin-tahuan, keberanian, kegigihan, kejujuran, rasa kasih sayang, kebaikan hati, adil, kepemimpinan, dan lain-lain.
Pelbagai dimensi karakter berpadu dan disalurkan melalui berbagai bentuk. Selain kemajemukan dimensi, karakter tumbuh sejak usia dini. Contohnya, interaksi antara ibu dan bayi adalah tahap awal pengembangan karakter kasih sayang. Hubungan dengan saudara, adik atau kakak, di masa kecil dapat menempa karakter keluhuran hati. Maka, usaha mengembangkan karakter tidak dapat bertumpu pada pandangan bahwa para siswa adalah “bahan baku” seragam yang akan berharga setelah diolah.
Karena siswa adalah tunas yang berbeda, tugas utama sekolah adalah mengenali potensi setiap siswa. Guru berperan besar dalam mengidentifikasi dan mengembangkan potensi siswa. Dalam usaha mengembangkan potensi, penyeragaman proses pembelajaran yang berlebihan dapat menghalangi tumbuhnya keunggulan siswa karena potensi yang beragam kerap membutuhkan bentuk dukungan berbeda.
Guru dapat mengenali dan mengembangkan potensi siswa yang beragam dengan menggunakan cara pandang kecerdasan majemuk, yang dikembangkan oleh psikolog Harvard Howard Gardner. Siswa yang pandai matematika adalah siswa unggul; demikian pula siswa yang pandai melukis, menyanyi, atau berbahasa.
Dengan menggunakan keunggulannya masing-masing, siswa memiliki potensi untuk mandiri dan membawa manfaat bagi masyarakat ketika mereka memasuki dunia kerja.

Saling melengkapi

Dalam sejarah lain, di dunia akademis kita mengenal nama Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP). Kata keguruan yang bermakna pengajaran disebut terlebih dulu sebelum kata pendidikan. Setelah beberapa IKIP menjadi universitas negeri, muncul institusi Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) yang meninggalkan kata “keguruan.”
Berdasarkan dinamika kesejarahan perkembangan penggunaan kata pengajaran dan pendidikan ini terdapat indikasi bahwa di balik kedua kata tersebut terkandung konsep yang tidak dapat disamakan, tapi juga sulit dibedakan dan tidak mungkin dipisahkan. Maka, sekolah perlu memahami dan meletakkan teori serta praktik pengajaran dan pendidikan sesuai fungsinya masing-masing. Keduanya harus ada dan saling melengkapi.
Sejarah perkembangan pengajaran dan pendidikan di Indonesia menunjukkan bahwa keduanya saling menglengkapi dan memiliki peran masing-masing. Sekolah sebagai wahana pembelajaran memerlukan cara pandang, praktik, dan kemitraan yang sesuai untuk pengajaran yang mentransfer pengetahuan dan pendidikan yang membina karakter.
Ketika merancang dan menerapkan gagasan yang berkaitan dengan pembelajaran, sekolah semestinya memperhatikan peran pengajaran dan pendidikan yang berbeda itu di dalam satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Ini agar kisah Kantin Kejujuran gulung tikar tidak berulang karena ketidakjujuran di lingkungan sekolah.
Shanti Agung, Peneliti Perkumpulan Masyarakat Pendidikan Sejati Bandung, ikut menulis artikel ini.
Syaikhu Usman, Senior Researcher, SMERU Research Institute. 
Syaikhu Usman tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi di luar afiliasi akademis yang telah disebut di atas.
Sumber: TheConversation 

Selasa, 16 Oktober 2018

Sebanyak 57 Persen Guru Punya Opini Intoleran

Reporter: Fikri Arigi | Editor: Juli Hantoro
Selasa, 16 Oktober 2018 18:43 WIB

Intoleransi di Sekolah

TEMPO.CO, Jakarta - Hasil penelitian Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah, menunjukan  data sebanyak 57% guru memiliki opini intoleran terhadap pemeluk agama lain. Sedangkan 37,77% keinginan untuk melakukan perbuatan intoleran atau intensi-aksi.
"Penelitian ini bertujuan untuk melihat pandangan serta sikap keberagamaan guru sekolah dan madrasah di Indonesia. Guru punya posisi strategis dan punya peran penting dalam pembentukan nilai-nilai, pandangan, serta pemikiran siswa," kata Direktur Eksekutif PPIM Saiful Uman saat memaparkan hasil penelitiannya, di Hotel Le Meridien, Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta Pusat, Selasa 16 Oktober 2018.
Saiful Uman menuturkan penelitian ini menggunakan dua alat ukur. Pertama dengan kuisioner, alat kedua menggunakan Implicit Asosiation Test (IAT). Adapun enam pernyataan disiapkan untuk digunakan sebagai komponen pengukuran opini intoleran.

Menurut Saiful ada dua contoh pernyataan yang memiliki muatan faktor tinggi dalam mengukur opini intoleransi pada pemeluk agama lain.
"Pertama, Non-Muslim boleh mendirikan tempat ibadah di lingkungan ibu/bapak tinggal. Kedua, Tetangga berbeda agama boleh mengadakan acara keagamaan," kata Saiful.
Dari dua pernyataan itu, hasilnya sebanyak 56% tidak setuju non-muslim mendirikan tempat ibadah di sekitar tempat tinggal, dan 21% tidak setuju tetangga berbeda agama boleh mengadakan acara keagamaan.

Sedangkan pada intensi-aksi intoleran pada pemeluk agama lain diukur dengan lima pernyataan. Kedua pernyataan itu adalah 'menandatangani petisi menolak kepala dinas pendidikan yang berbeda agama', dan 'menandatangani petisi menolak pendirian sekolah berbasis agama non-Islam di sekitar tempat tingalnya'.

Hasilnya sebanyak 29% guru menyatakan kesediaannya bila ada kesempatan, untuk menandatangi petisi menolak kepala dinas pendidikan yang berbeda agama. Kemudian 34% guru menyatakan bersedia menandatangani petisi menolak pendirian sekolah berbasis agama non-Islam di sekitar tempatnya tinggal.

Penelitian ini menggunakan 2.237 guru sebagai sampel. Dengan proporsi 1.172 guru sekolah negeri dan 1065 guru sekolah swasta (dalam penelitian ini madrasah). Dilaksanakan selama satu bulan, 6 Agustus sampai 6 September 2018, penelitian ini mengambil sampel dari 34 Provinsi di Indonesia, yang dipilih secara acak menggunakan teknik probability proporsional to size (PPS).

Sumber: Tempo.Co 

Senin, 15 Oktober 2018

Budayawan Sebut Sedekah Laut Wujud ‘Hablun Minal Alam’


Senin, 15 Oktober 2018 19:45

Ilustrasi sedekah laut (via plukme)

Jakarta - Budayawan Yogyakarta M. Jadul Maula mengatakan bahwa tradisi sedekah laut yang dipraktikkan di Jawa telah berlangsung lama dan turun-temurun. Sedekah laut disebutnya sebagai praktik kosmologi, yakni hubungan antara manusia dan alam (hablun minal alam). 
“Itu terkait dengan filosofi kosmologi Mataram Islam kalau di Yogyakarta. Mungkin di Jawa dan Nusantara kan umum satu pemahaman kosmologi hubungan manusia dengan alam. Jadi upacara sedekah laut, sedekah bumi, itu bagian dari ajaran tentang hablun minal alam, bagaimana manusia menjalin hubungan secara harmonis dengan alam,” kata kata Jadul kepada NU Online, melalui sambungan telepon, Senin (15/10).
Oleh karena itu, ia mengaku heran jika ada sekelompok orang yang menyalahkan, bahkan menganggap upacara sedekah laut sebagai perbuatan syirik. Sebab, upacara tersebut berisi ungkapan syukur kepada Tuhan atas hasil yang diperolehnya dari laut.
“Namanya saja sedekah. Sedekah itu kan konsep Islam, itu bagian dari ungkapan syukur, di dalamnya terkandung doa keselamatan dan tolak bala. Jadi para nelayan, para pelaut mereka tiap hari memperoleh rezeki dari laut, karena itu mereka mengungkapkan rasa syukurnya kepada Tuhan itu melalui sedekah laut,” terang Jadul.
Pria yang juga Pengurus Lesbumi PBNU itu pun sempat menjelaskan makna sedekah laut. Menurutnya, sedekah laut merupakan pemberian sedekah kepada penghuni laut, seperti ikan dan plankton.
“Itu syukur kepada Tuhan, caranya adalah dengan memberi sedekah kepada makhluk hidup,” ucapnya.
Praktik upacara sedekah laut pun, kata Jadul, dapat dilihat secara empirik dan rasional. Ia menjelaskan keberadaan kepala kerbau yang menjadi salah satu suguhan dalam prosesi sedekah laut. Menurutnya, kepala kerbau itu memberi makan kepada plangton-plangton. Plangton-plangton dimakan ikan sehingga ikan di laut berkembang.
“Jadi mengungkapkan syukur dengan bahasa yang kongkrit, mengapresiasi yang tampak kepada makhluk. Melalui upacara itu terjalin hubungan harmonis antara manusia dan alam. Jadi itu sebenarnya budaya yang tinggi yang adi luhung,” ucapnya. (Husni Sahal/Fathoni)

Sumber: NU.Or.Id 

Sedekah Laut dalam Pandangan Budaya dan Agama


Penulis: Aguk Irawan MN Senin, 15 Oktober 2018


Kenapa orang selalu takjub pada laut, sungai, tebing juga gunung? Antropolog Peter Berger menjawab dalam sebuah karyanya yang masyhur, The Social Reality of Religion (1969). Apa kata Berger dalam buku itu?

Menurutnya, manusia tiap zaman selalu terdorong untuk meciptakan makna dari simbol-simbol yang suci (the sacred canopy). Berger sebagai Feuerbachian menegaskan, bahwa pada hakikatnya manusia adalah makhluk religius, maka tak aneh jika laut atau sungai dimaknai sebagai pertautan antara alam yang suci dengan kehidupan yang tak selalu suci dan bersambung seperti gelombang air.

Kesan itu pula yang didapat oleh seorang pengelana Yunani zaman purba, Herodotus (484-425 SM) ketika pertama kali mengunjungi Mesir, Babilonia, Palestina dan Syiria. Ia menceritakan pengalamannya betapa orang Mesir amat mecintai sungai Nil dan orang Babilonia selalu terkagum dengan ombak laut Macedonia.

Mereka berkumpul dan pawai untuk melarungkan sesajen ke sungai dan laut disertai dengan panjat doa dengan khusu’ untuk Litany (para Dewa). Pengalaman yang sama didapat oleh Megasathtnes (302-288 SM) saat mengunjungi jazirah Arab dan Antropolog Tacitus (55-117 SM) saat mengungjungi Asia Tengah.

Maka tak aneh, jika kajian etnografi selalu saja menarik, kerena menurut Berger, manusia tak bisa menghindar dari alam dan kekuatan adikodrati yang tak terbatas, dan dari sanalah terciptalah dunia simbol. Terlebih tentang Nusantara, dimana pulau-pulaunya berjejer dan terhubung oleh laut. Itulah kenapa Artefak yang ditinggalkan di candi-candi, terutama Borobudur, berupa relief-relief perahu cadik dan gambar garis gelombang laut.

Sebuah catatan dari Cina abad ke-15 juga menggambarkan Majapahit, yang dicatatnya adalah istana yang megah: bersih dan terawat, ornamen temboknya bergambar gelombang laut. Pasang dan surut. Atap bangunan terbuat dari sirap yang dibentuk seperti perahu cadik. Kitab Negarakartagama yang ditulis di masa itu juga menyebut ”kuwu”: unit permukiman yang dikelilingi sungai, juga terbentang sepanjang pantai.

Sebagaimana diketahui, orang Nusantara, pada zaman pra-sejarah yang beragama Kapitayan, setiap kali terjadi perubahan siklus kehidupan, mereka gemar mengadakan ritual Selametan atau Wilujengan dengan menggunakan –salah-satunya laut sebagai simbol, juga memakai aneka benda dan makanan sebagai simbol penghayatan, rasa syukur dan pengharapannya kepada Tuhan.

Ini semua adalah bahan sejarah dan pra-sejarah kita sebagai manusia Nusantara, dan setiap zaman punya cara untuk mempertahankan dan mengarifi kebudayaannya. Meskipun Nabi-nabi telah datang, petuah dan perintah pendeta juga dimaklumatkan, kemudian dicoba revolusi dan diperkenalkan penemuan teknologi —tapi tak pernah ada aksi brutal yang menantang prosesi adat, sampailah mencuatnya aksi segerombolan orang yang sengaja merusak piranti tradisi Sedekah Laut di Pantai Baru, Bantul atas dalih anti kemusyrikan (12/10/18).

Pertanyaan besar sejarah —yang sebenarnya tiap agama pernah datang silih berganti —adalah, bagaimana bisa peristiwa kebudayaan seperti itu dianggap anomali, sesuatu yang tak pantas bagi yang beragama? Dengan kata lain, bagaimana bisa pemahaman agama yang sepotong dan sepihak digunakan merusak tatanan sosial yang mengakar dengan riwayat manusia Nusantara yang telah demikian panjang? Tentu saja ada paradoks, jika kita memaknai agama, dalam teori antropologi (Eliade, 1966; Douglas 1966, Geertz 1966; dan V. Turner, 1969) sebagai sebuah pencarian makna yang terselubung dalam simbol.

Pengamatan saya dari dekat saat menyaksikan prosesi Sedekah Laut di dusun Ngentak, Desa Poncosari, Kecamatan Srandakan, Bantul, tak ada yang perlu dikhawatirkan terkait akidah atau keimanan.

Berdasarkan pengalaman tahun lalu, biasanya acara Sedekah Laut dimulai dengan pembakaran kemenyan dan doa-doa, baik berbahasa Jawa maupun arab, sesekali diselingi dengan shalawat Nabi. Doa itu dipimpin oleh Mbah Cokro sebagai Juru Kunci petilasan HB VII. Sebelum membakar kemenyan terlebih dahulu Mbah Cokro duduk bersila menghadap ke laut lalu merunduk dan pasembah.

Makna Simbolik

Tentu selain ada bahasa verbal, yaitu kalimat puja dan doa yang terkandung dalam prosesi Sedekah Laut, yang itu langsung bisa dimengerti, juga ada bahasa simbolik di dalamnya, seperti prosesi pembakaran kemenyan, ia juga berupa doa, tetapi dalam bahasa lain. Orang Islam Pesisir biasanya menyebutnya sebagai talining iman, urubing cahya kumara kukuse ngambah swarga, ingkang nambi dzat ingkang Maha Kuwaos. (Sebagai tali pengikat keimanan. Nyalanya diharapkan sebagai cahaya petunjuk, asapnya diharapkan sebagai harum bau surga, mudah-mudahan dapat diterima oleh Dzat yang Maha Kuasa).

Perahu tempel, yang nantinya dipakai untuk membawa sesaji yang akan dilabuh ke tengah laut, sebagai lambang kehidupan ini yang sementara, karena tiap yang berlabuh ada saatnya berhenti. Tampah/tambir, bentuknya bulat dari anyaman bambu untuk tempat sesaji sebagai simbol, bahwa kehidupan ini berputar, kadang di bawah, kadang di atas. Begitu juga yang terdapat dalam ubarampe, semuanya adalah bahasa simbolik.

Seperti telur sebagai simbol atau lambang dari “wiji dadi” (benih) terjadinya makhluk hidup. Bumbu Megana sebagai simbol dari embrio dan ruh-manusia. Cabe Merah sebagai lambang kebulatan tekad dan keberanian menegakkan kalimat Tauhid. Ingkung sebagai lambang manunggal, dengan njungkung, yakni bersujud dan manekung, yakni bermuhasabah dan khalwat. Kacang Panjang sebagai simbol harusnya manusia sebelum bersikap, harus berpikir panjang, sehingga bijaksana. Tomat sebagai simbol kesadaran mad-sinamadan, yaitu saing mengingatkan. Kangkung simbol dari sifat linakung, sifat pemurah atau dermawan, dan lain sebagainya.

Jika mengetahaui bahasa agama yang tersimpan dalam simbol prosesi Sedekah Laut yang begitu mulia seperti ini, masihkah ada yang menghakimi prosesi macam itu adalah anomali bagi sikap keberislaman kita? Padahal bukankah Islam, tidak melulu tentang yang halal dan haram, mubah dan bid’ah, murtad dan musyrik? Akan tetapi, juga tentang pentingnya membangun tatanan sosial, kebudayaan dan peradaban?

Disisi lain, dalam wajah Islam juga berlimpah bahasa simbolik, serta kearifan lokal, seperti adanya anjuran walimah (upacara tradisi) yang tertuang dalam pilihan hadis shahih Imam Bukhari, dalam al-Bayan nomer hadis 825, dan al-nikah nomer hadis 4756 dan lain sebagainya. Wallahu’lam bishawab.

Kasongan-Bantul, 14 Oktober 2018

Sumber: Alif.Id 

Kebebalan FPI Banyuwangi

Wahyu Eka Setiawan 
15 Oktober 2018

suarapena.com

Penolakan FPI Banyuwangi terkait sedekah laut dan acara seni Gandrung Sewu benar-benar di luar nalar. Pernyataan mereka membuat saya pribadi cukup terpelatuk untuk berkomentar: apa relasinya bencana dengan sedekah bumi serta acara seni. Ini sungguh relevan, bahkan terlalu mengada-ada.

Entah cari sensasi atau ingin eksis dengan memanfaatkan momentum terkait maraknya bencana alam, khususnya yang sedang menimpa Indonesia di periode akhir tahun ini.

Pernyataan mereka hanya berdasarkan common sense, tidak berlandaskan argumentasi faktual atau realitas yang terjadi. Ketakutan mereka terkait dengan sedekah laut dan acara seni tari Gandrung Sewu, yang dinilai akan menyebabkan bencana, merupakan argumentasi yang dhaif (lemah) karena tidak pernah dibuktikan secar empirik.

Logical fallacy semacam ini jamak kita jumpai, mengaitkan bencana dengan warisan budaya lokal yang dianggap musyrik, syirik, dan maksiat atas syariah agama. Sehingga Allah mengirimkan azab pada mereka yang dituduh melenceng. Padahal ungkapan tersebut sangat tidak signifikan, terlalu menyudutkan suatu entitas tanpa melihat realitas yang ada.

Kebebalan ini berlanjut, terus direproduksi dengan kepentingan tertentu. Seperti mengenai eksistensi kelompok, atau mencoba memanfaatkan momen untuk kepentingan politisnya. 

Penolakan FPI Banyuwangi terhadap sedekah bumi dan kesenian tari gandrung, lalu dikaitkan dengan ketakutan bencana alam, merupakan sebuah ungkapan yang menunjukan mereka tidak mafhum, terutama ihwal bencana itu sendiri. 
Mereka menggeneralisasi dengan cocokologi tanpa melihat realitas yang nyata dari ncaman seperti apa yang sebenarnya menyasar di Banyuwangi dalam konteks bencana.

Memahami dan Mengerti Perihal Bencana

Bencana ada dua bentuk, pertama bencana alam dan yang kedua merupakan bencana ekologis. Perlu kita ketahui bahwa bencana alam ini dipengaruhi oleh beberapa faktor. Jikalau menyasar pada gempa bumi, maka ada siklus gerak lempengan bumi yang membuat tanah bergerak dan bergeser. Seperti juga erupsi gunung berapi, dipengaruhi oleh siklus magmatik perut bumi.

Sementara untuk bencana ekologis, menurut Jared Diamonds (2005), adalah malapetaka yang bertalian dengan aktivitas manusia. Artinya, ada pengaruh aktivitas manusia yang turut menyebabkan bencana. Misal, deforestisasi dan ekspansi industri.

Pada dasarnya bencana alam sangat berbeda dengan bencana ekologis. Beda dari kedua bencana ialah faktor penyebabnya. Bencana ekologis juga berbeda dengan tragedi kehancuran suatu wilayah, seperti Hiroshima dan Nagasaki yang hancur karena bom nuklir.

Pada konteks bencana ekologis, merupakan dampak perubahan ekosistem oleh manusia, yang telah menyebabkan konsekuensi luas dan bertahan lama. Hal ini bisa termasuk kematian hewan hingga manusia dan tumbuhan, atau gangguan berat pada kehidupan manusia yang mungkin membutuhkan migrasi.

Bencana alam pun tidak tiba-tiba datang layaknya cerita kolosal, atau azab di sinetron yang umum dilihat masyarakat. Bencana alam memiliki fase dan siklus, yang mana pada titik tertentu akan terjadi. Sebenarnya sudah bisa diprediksi, walaupun tidak akurat.

Ini perihal kepekaan serta seberapa jauh budaya mitigasi di masyarakat kita. Ketidakstabilan dalam prediksi atas bencana alam, semisal gempa atau erupsi, merupakan salah satu keterbatasan manusia dalam mencoba mengendalikan alam. Ternyata alam memiliki daya yang melebihi manusia, sehingga tidak bisa diprediksi dengan mudah.

Berbeda dengan bencana ekologis yang erat kaitannya dengan keserakahan manusia, terutama mereka yang rakus tanpa melihat daya dukung alam. Secara besar-besaran mengeksploitasi sumber daya alam demi keuntungan mereka sendiri. Namun, dalam praktiknya benar-benar merugikan banyak masyarakat. 
Mencerabut, merampas, dan mengalienasi masyarakat dari ruang hidupnya.
Padahal dalam surat Ar-Rum ayat 41 dan 42 sudah diperingatkan mengenai suatu bencana yang akan dihadapi manusia. Baik alam maupun ekologis, ini juga merupakan peringatan untuk mereka yang zalim dan rakus terhadap alam ciptaanNya.

"Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia. Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang diridhoi Allah). 
Katakanlah (Wahai Nabi Muhammad), “Bepergianlah di bumi lalu lihatlah bagaimana kesudahan orang-orang dahulu. Kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang mempersekutukan (Allah)." (Ar-Rum 41-42)

Allah dalam firmanNya telah mengingatkan manusia agar lebih mengerti dan peka terhadap alam, baik menjaga alam ataupun bersiap dalam menghadapi bencana. Namun, hal ini tak dipahami secara utuh, bahkan terkesan sepotong-sepotong. Sehingga dengan mudah dapat menganggap sesuatu hal sebagai penyebab bencana, padahal tidak ada relevansi antara sebuah kearifan lokal dengan bencana.

Banyuwangi Terancam Bencana Ekologis

Daripada mempersoalkan bencana karena sedekah dan seni tari Gandrung Sewu, FPI seharusnya juga garang dengan pertambangan yang mengancam wilayah Banyuwangi, tepatnya di wilayah selatan. Di wilayah itu, jikalau ditambang, akan membuat ekosistem terganggu, otomatis memunculkan bencana secara langsung. Di tahun 2016 saja, di salah satu area wisata yang dekat dengan wilayah pertambangan, dihajar oleh banjir bandang, sehingga merusak ekosistem laut dan perekonomian warga.

Mempersoalkan sedekah laut yang secara tidak langsung adalah bentuk kearifan lokal yang memiliki nilai historis dan filosofi yang dalam. Terkait relasi budaya dengan alam, ini sebagai wujud syukur serta doa kepada Allah melalui medium ciptaanNya. Merupakan bagian dari suatu nilai-nilai baik, dalam upaya melestarikan lingkungannya. Walaupun hanya secara simbolis, namun itu relevan dalam konteks relasi manusia dengan alam.

Selebihnya, jika FPI Banyuwangi memang peduli dengan bencana, maka sudah seharusnya mereka sadar diri, bagaimana lingkungan hidup kini mulai terancam keberadaannya. Justru, pertambangan dan deforestisasi adalah musuh yang harus benar-benar dilawan. Bukan kebudayaan yang belum ada relasi nyata dengan bencana, baik alam maupun ekologis.

Bahkan dalam surat Al-A'raf ayat 56, Allah berfirman: "Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah (diciptakan) dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat kepada orang yang berbuat kebaikan."

Jangan berbuat kerusakan, apalagi ini kaitannya dengan kehidupan banyak manusia. Menghujat kebudayaan itu tidak kontekstual dan relevan, melihat maraknya kerusakan alam yang dilakukan oleh manusia.

NU secara organisasi pun pernah menularkan resolusi jihad lingkungan, dalam muktamar 29 di Cipasung Tasikmalaya. Meskipun hingga kini belum terimplementasikan, seharusnya FPI ini memiliki sikap serupa. Bahkan, harusnya mengingatkan NU juga agar berpedoman pada resolusi perlindungan lingkungan hidup.

Alangkah indahnya jika Islam yang rahmatan lil alamin benar-benar dilakukan secara linier. Tidak hanya syahwat politis semata, terutama demi eksistensi semu. Menolak dan memboikot kebudayaan, karena takut bencana, merupakan tindakan yang gegabah dan bias kepentingan.

Padahal di Banyuwangi sedang terancam bencana ekologis yang nyata. Seharusnya mereka benar-benar menghayati ayat suci secara kontekstual, bukan asal komentar namun penuh kesesatan (dholalah).

Referensi
Departemen Agama. (1985). Muqaddimah al-Quran dan Tafsirnya. Departemen Agama, Republik Indonesia.
Diamond, J. (2005). Collapse: How societies choose to fail or succeed. Penguin.

Sumber: Qureta.Com 

Dialog Habib Utsman dengan Masyarakat tentang Sedekah Laut


Penulis: Hamzah Sahal 
Senin, 15 Oktober 2018


Di Cirebon, ada seorang Habib yang alim dalam ilmu fikih dan ushul fikih. Ia tinggal di Pesantren Kempek, Palimanan, Cirebon. Syarif Utsman Yahya namanya. 
“Abah Ayip atau Kang Ayip,” begitu masyarakat mengenalnya. 
Ayip adalah bentuk “tahfif” dari “syarif”. Syarif itu sebutan Habib di Cirebon.

Suatu hari, Abah Ayip, wafat 2010, disowani beberapa orang dari masyarakat nelayan, sebagain masyarakat Cirebon memang kuat dengan tradisi Maritim.

Mereka mengadu kepada sesepuh dan orang yang dinilai alim dalam ilmu agama di Cirebon. Mereka datang ke Abah Ayip karena ada kalangan ustaz yang mengatakan tradisi “sedekah laut” dalam Islam tidak diajarkan, bahkan lebih dekat dengan kesyirikan, alias menyekutukan Tuhan.
“Siapa yang memimpin doa sedekah laut?” Tanya Abah Ayip.
“Mbah Kaum, Bah,” jawab salah satu dari mereka. 
Maksud Mbah Kaum di sini adalah kiai kampung, biasanya bertugas menjaga/imam masjid, pemimpin tahlil, mengurus jenazah, dan lain-lain.
“Lestarikan tradisi sedekah laut Sampean. Banyak baca bismillah, qulhu dan selawat. Hati-hati di laut, isi perahu sesuai dengan kekuatan. Cari perahu lagi jika tidak muat. Jangan dipaksakan,” Abah Ayip memberikan dukungan.
“Makanan yang dilarung bagaimana, Bah? Katanya mubazir dan Nabi tidak pernah melarung makanan ke laut,” tanya yang lain.
“Lanjutkan. Niatkan sedekah kepada makhluk Allah yang ada di laut. Jangan pelit jadi orang. Ambil ikan tiap hari, sepanjang tahun, masa ndak kasih makan ikan-ikan sekali pun? Itu, kalau kurang, ambil ayam saya di belakang, dilarung bersama kepala kerbau kalian.”
[]