This is default featured slide 1 title

BEBAL:"FPI"

Kebebalan FPI Banyuwangi yang membubarkan ritual tradisi Sedekah Laut di daerahnya

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Senin, 31 Oktober 2016

Menurut Ilmuwan dan Penulis Penerima Pulitzer Ini, Indonesia Salah Satu Negara yang Sebentar Lagi Punah

31 October 2016

Jared Diamond
Jared Diamond, ilmuwan asal Amerika Serikat yang juga peraih penghargaan bergengsi Pulitzer 1997, dalam sebuah pidatonya pernah mengatakan bahwa negara seperti, Indonesia, Columbia dan Philipina, adalah contoh termasuk peradaban yang sebentar lagi akan punah.
Berikut pernyataan lengkapnya:




Ketika bangsa Cina ingin hidup tenang, mereka membangun tembok Cina yang sangat besar.
Mereka berkeyakinan tidak akan ada orang yang sanggup menerobosnya karena tinggi sekali.
Akan tetapi 100 tahun pertama setelah tembok selesai dibangun, Cina terlibat tiga kali perperangan besar.
Pada setiap kali perperangan itu, pasukan musuh tidak menghancurkan tembok atau memanjatnya, tapi cukup dengan menyogok penjaga pintu gerbang.
Cina di zaman itu terlalu sibuk dengan pembangunan tembok, tapi mereka lupa membangun manusia.
Membangun manusia seharusnya dilakukan sebelum membangun apapun. Dan itulah yang dibutuhkan oleh semua bangsa.
Ada sebuah pendapat yang mengatakan bahwa apabila ingin menghancurkan peradaban sebuah bangsa, ada tiga cara untuk melakukannya, yaitu:
1. Hancurkan tatanan keluarga
2. Hancurkan pendidikan
3. Hancurkan keteladanan dari para tokoh dan rohaniawan (ulama, ustadz, habaib, pendeta dsb)
Untuk menghancurkan keluarga caranya dengan mengikis peranan ibu-ibu agar sibuk dengan dunia luar, menyerahkan urusan rumah tangga kepada pembantu.
Para ibu akan lebih bangga menjadi wanita karir ketimbang ibu rumah tangga dengan dalih hak asasi dan emansipasi.
Kedua, pendidikan bisa dihancurkan dengan cara mengabaikan peran guru. Kurangi penghargaan terhadap mereka, alihkan perhatian mereka sebagai pendidik dengan berbagai macam kewajiban administratif, dengan tujuan materi semata, hingga mereka abai terhadap fungsi utama sebagai pendidik, sehingga semua siswa meremehkannya.
Ketiga, untuk menghancurkan keteladanan para tokoh masyarakat dan ulama atau rohaniawan adalah dengan cara melibatkan mereka kedalam politik praktis yang berorientasi materi dan jabatan semata, hingga tidak ada lagi orang pintar yang patut dipercayai. Tidak ada orang yang mendengarkan perkataannya, apalagi meneladani perbuatannya.
Apabila ibu rumah tangga sudah hilang, para guru yang ikhlas lenyap dan para rohaniawan dan tokoh panutan sudah sirna, maka siapa lagi yang akan mendidik generasi dengan nilai-nilai luhur?
Itulah awal kehancuran yang sesungguhnya. Saat itulah kehancuran bangsa akan terjadi, sekalipun tubuhnya dibungkus oleh pakaian mewah, bangunan fisik yang megah, dan dibawa dengan kendaraan yang mewah.
Semuanya tak akan berarti apa apa, rapuh dan lemah tanpa jiwa yang tangguh.
Tentang Jared:
Nama lengkap Jared Mason Diamond, lahir 10 September 1937. Ia adalah ilmuwan berkebangsaan Amerika Serikat dan penulis buku-buku ilmiah terkemuka. Bukunya yang berjudul Guns, Germs, and Steel yang terbit tahun 1997 meraih penghargaan Pulitzer.
Meskipun berlatar belakang Fisiologi, Jared juga terkenal pada bidang Antropologi, Ekologi, Geografi dan Biologi cabang evolusi.
Tahun 2005 ia masuk dalam daftar Top 100 intelektual terkemuka dunia.
Sumber: JurnalIndonesia 

Senin, 03 Oktober 2016

Orang Terpelajar dan Homeschooling

Reporter: Petrik Matanasi | 03 Oktober, 2016

Ilustrasi Homeschooling [Foto/Shutterstock]
  • Meski banyak menerapkan homeschooling kurang mendapat perhatian pemerintah
  • Agus Salim adalah pesohor penting Indonesia yang sukses dengan homeschooling
  • Tokoh nasional hasil homeschooling adalah, kakak Sutan Syahrir, Rohana Kudus
  • Penyanyi pop Imaniar termasuk produk homeschooling Said Kelana

Homeschooling telah menghasilkan orang-orang berguna, beberapa di antaranya bahkan secerdas ilmuwan. Dalam sejarah pergerakan nasional Indonesia, Agus Salim merupakan contoh penting. Sementara di dunia musik pop ada Said Kelana.

Homeschooling atau belajar di rumah mulai menjadi tren di Indonesia. Data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) tahun 2015, terdapat 11 ribu anak usia sekolah yang homeschooling. 

Dirjen Pendidikan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) RI, Hamid Muhammad, menyebut konsep dasar homeschooling adalah anak-anak belajar mandiri di rumah, dibimbing orangtua atau guru yang datang ke rumah. Ada tiga macam homeschooling, yakni yang hanya dilaksanakan satu keluarga atau homeschooling tunggal, yang dilaksanakan beberapa keluarga atau homeschooling majemuk, dan homeschooling yang dilakukan dalam komunitas dalam penyusunan kurikulum dan perangkat lainnya. 

Di Indonesia, homeschooling masih jauh dari ideal dan kurang diakui ijazahnya dibanding sistem sekolah konvensional. Pendidikan di Indonesia hanya masih sebatas sekolah. Meski demikian, homeschooling sudah melahirkan sejumlah tokoh terkemuka. Tokoh pendidikan anak, Seto Mulyadi, dalam buku Homeschooling Keluarga Kak Seto (2007) menyebutkan, cukup banyak yang menjadi tokoh pergerakan nasional, di antaranya adalah Ki Hadjar Dewantara dan Buya Hamka. 

Banyak para kiai, buya, dan tuan guru secara khusus mendidik anak-anaknya di rumah, juga di pesantren orang tua mereka. Tentu saja diantara anak-anak pemuka agama itu di waktu yang lain belajar juga di pesantren yang jauh dari rumahnya. Anak-anak bangsawan pun sejak dulu juga menerapkan homeschooling, ketika sekolah belum dikenal masyarakat Indonesia. 

Pendidikan nyaris selalu diartikan sebagai sekolah dan orang tak bersekolah sama saja dengan orang tak berpendidikan. Hingga orang-orang tua berlomba-lomba menyekolahkan anaknya ke sekolah terbaik, agar anak mereka jadi yang terbaik. Orang-orang tampaknya lupa, Thomas Alva Edison bukan hasil sebuah sekolah. Sekolah bahkan menilai Edison adalah anak bodoh. Beruntungnya, Nancy Matthews Elliott, sang ibu jauh lebih mengerti Thomas Alva Edison kecil ketimbang lembaga pendidikan bernama sekolah. Setelah tak bersekolah, dia justru cemerlang. Dia pernah membuat surat kabar pada usia belasan tahun dan dunia mengenalnya sebagai penemu dengan banyak hak paten.

Pendidikan di rumah atau sekolah di rumah bukan barang baru dalam dunia pendidikan. Meski tidak disebut homeschooling, manusia di zaman purba belajar di lingkungan keluarganya. Meski tak tinggal dalam lingkungan yang disebut rumah. Mereka hidup di goa. Orang tua mengajarkan mereka bagaimana mereka bertahan hidup. Begitu pun setelah zaman berburu dan pindah-pindah berlalu. Keluarga adalah pendidik terpenting jauh sebelum zaman modern dimana sekolah menjadi candu.

Orang Terpelajar dan Homeschooling

Di zaman modern ini pun rupanya tak semua orang tua percaya pada lembaga bernama sekolah, dengan berbagai alasan. Setiap anak didik punya keistimewaan masing-masing. Sekolah sebagai lembaga pendidikan seringkali memberi formula atau kurikulum yang sama dalam mendidik siswa. Ketidakpercayaan orang tua pada sekolah seringkali agar anaknya tidak menjadi apa yang dimaui lembaga sekolah, yang biasanya dimiliki atau dikontrol sebuah yayasan atau pemerintahan. Orang tua ini juga punya cara dan persepsi sendiri tentang bagaimana mendidik anak. Haji Agus Salim termasuk orang tua golongan ini. 

Haji Agus Salim tergolong unik. Meski dia adalah lulusan terbaik HBS KW III Jakarta, Salim justru tak suka menyekolahkan anak-anaknya. Dia mendidik anak-anaknya bersama istrinya di rumah. Tentu saja mereka diajarkan baca tulis. Karena bahasa Belanda adalah bahasa pergaulan di masa kolonial, meski dia tokoh Islam, Agus Salim, tetap membiasakan anak-anaknya berbahasa Belanda sejak kecil. Di rumah kontrakannya yang bocor di kala hujan, Salim kadang mengajak anaknya bermain kapal-kapalan. Saat itulah anak-anaknya belajar sambil bermain. 
Dari rumah keluarga Agus Salim itu nasionalisme dan semangat kemerdekaan digelorakan Agus Salim. Menurut Sutrisno Kuntoyo dkk dalam buku H. Agus Salim: Riwayat Hidup dan Perjuangannya (2001), “bibit kebangsaan perlu ditanamkan kepada anak-anak di samping pelajaran lainnya.... Agus Salim mempunyai cara yang unik atau lain daripada yang lain dalam mendidik putra-putrinya.”
Anak-anak Agus Salim memang terbiasa dengan pergerakan nasional. Theodora Atia yang disapa Dolly, turut serta dalam Kongres Pemuda II 28 Oktober 1928, yang melahirkan Sumpah Pemuda. Rosihan Anwar, dalam Sejarah Kecil La Petite Histoire Indonesia Jilid 3 (2004), menyebut Dolly ikut bernyanyi memperkenalkan lagu Indonesia Raya yang diciptakan Wage Rudolf Supratman. Dalam revolusi fisik, setidaknya dua anak laki-lakinya jadi tentara juga. Achmad Syauket Salim bahkan gugur dalam Peristiwa Lengkong pada 25 Januari 1945. Islam Basari Salim sampai berpangkat Kolonel, dia satu angkatan dengan Kemal Idris, Daan Mogot di PETA.

Agus Salim, melalui homeschooling juga mengajari anak-anaknya untuk kuat sebagai manusia bagian dari pergerakan nasional yang merupakan musuh pemerintah kolonial. Salah seorang putrinya, Violet Hanisah, adalah istri dari tokoh pergerakan bawah tanah yang anti Belanda dan anti Jepang, Johan Sjahruzah. Sang suami merupakan keponakan dari Sutan Syahrir, bahkan ikut serta dalam partai Syahrir, Partai Sosialis Indonesia (PSI). 

Jika Pahlawan Nasional Haji Agus Salim berlaku sebagai guru dalam homeschooling, maka Rohana Kudus adalah siswanya. Rohana yang anak dari Mohammad Rasad, seorang Jaksa asal Kotogadang, yang juga ayah dari Sutan Syahrir. Hanya beda ibu saja. Rohana memang tak pernah sekolah, tak seperti Syahrir dan anak laki-laki ayahnya yang lain. 
“Pada usia enam tahun sudah belajar membaca dan menulis pada seorang isteri Jaksa di Alahan Panjang,” tulis Fitriyanti dalam Rohana Kudus: Wartawan Perempuan Pertama Indonesia (2005). Di usia delapan tahun, Rohana membiasakan diri membacakan koran ke ayahnya hingga dia makin lancar membaca. Ayahnya pun sering membawakan bacaan-bacaan untuknya. Lama-kelamaan dia bisa menulis juga, selain keterampilan menjahit dan merajut. Rohana termasuk tokoh pers dan pendidikan perempuan. 
Di kalangan pemusik, soal homeschooling, Said Kelana pun menjadi guru musik bagi anak-anaknya. Menurut Denny Sakrie dalam 100 Tahun Musik Indonesia(2015), Idham Noorsaid, Iromy Noorsaid, Lydia Noorsaid, dan Imaniar Noorsaid belajar jadi musisi sejak kecil. Keluarga ini punya band The Kids, yang merupakan band bocah awal-awal dalam sejarah musik pop Indonesia. Dari anak-anak Said Kelana, di dekade silam Imaniar yang paling dikenal. 
Sumber: Tirto.Id 

Minggu, 11 September 2016

Soekarno, Ahli Indonesia dari Rusia dan Makam Utuy Tatang Sontani di Moskwa

Minggu, 11 Sep 2016 - 10:12 | Alex Supartono*



MOSKWA-Di pinggir jalan yang sunyi, sebelum memasuki pemakaman muslim di daerah Moskow, Rusia. Ludmila Demidyuk, yang berjaket hitam dan bertas merah tua, masih sempat membeli beberapa kumtum kembang berwarna kuning, merah dan ungu.
Langkah setengah gontai. Wajahnya sedikit gemas, sebab bertandang ke pemakaman muslim itu, sama saja ia berjalan menuju kenangan sepanjang bersama sastrawaan ternama Indonesia, Utuy Tatang Sontany.
Di pemakaman itu, pada 1979, Utuy dikubur dan Ludmila ikut berdiri di sana menyampaikan pidato terakhirnya.
Utuy dimakamkan di pemakaman muslim, namun cara-cara pemakamannya dilakukan ala Rusia, jelas Ludmila dalam bahasa Indonesia yang fasih.
Ludmila yang kini masih aktif mengajar sastra Indonesia di Universitas Moskow itu, memang punya kenangan tersendiri terhadap Utuy.
Saat pertama Utuy datang ke Moskow, Ludmila sebenarnya sudah menjadi dosen. Namun karena cara mengajar Utuy begitu memesona, Ludmila pun kerap hadir di kelas Utuy mengajar.
Kesaksian Ludmila ini tampak hadir mengalir dalam film dokumenter Gerimis Kenangan dari Sahabat Terlupakan karya Seno Joko Suyono yang dipuar dalam rangkaian Netpac Asian Film Festival di Yogyakarta, kemarin.
Film yang baru dibuat Maret lalu itu memang cukup menakjubkan dilihat dari gagasan yang diusungnya. Film itu merangkum sejumlah pandangan dan kenangan para ahli Indonesia di Rusia, yang ternyata jumlahnya sangat banyak, namun selama ini tersisihkan dari sejarah kebudayaan Indonesia.
Bayangkan, film ini berhasil menggali pandangan dan kenangan orang-orang seperti Vladilen Tsyganov, Yuri Sholmov, Vladilen Vasilievich Sigaev, Vladimir Losyagin, Lev Dyomin, Natalia Alieva, Vilen Sikorsky, Larissa Efimova, Lyudmila Pakhomova, Aleksey Drugov (di Moskow), Aleksander Oglobin, Aleksndra Ksatkina, Elena Revunenkova, dan Irina Katkova (di St. Petersburg)
“Mereka semua ahli Indonesia, bahkan di antara mereka adalah ahli di bidang yang sudah jarang dikuasai oleh orang Indonesia, seperti Alek-sandra Ksatkina yang ahli bahasa Jawa Kuno dan Elena Revunen-kova yang ahli kosmologi dan agama Batak,” jelas Seno.
Di sisi lain, di antara mereka pun ada yang terlibat secara intens dalam sejarah kemerdekaan RI dulu. Seperti Sigaev yang cukup dekat dengan Soekarno, karena ketika presiden pertama RI berkunjung ke Rusia pada 1956, Sigaev pula yang bertindak sebagai penerjemah Soekarno, sekaligus orang yang menemaninya berpidato di sejumlah stadion besar yang dihadiri ratusan ribu warga Rusia, dan saat menerima doctor honoris causa dari Universitas Moskow.
Begitu juga dengan Yuri Sholmov yang membantu Jenderal AH Nasution saat melobi pemerintahan Rusia untuk menyubsidi senjata dalam konteks merebuit Irian Barat (sekarang Papua).
“Selama ini khazanah politik dan kebudayaan kita selalu bersumber dari versi Amerika, Belanda dan Australia, sementara versi Rusia sangat jarang. Padahal Rusia pada masa kemerdekaan berpengaruh besar terhadap nasib republik ini,” jelas Mudji Sutrisno yang menjadi produser film ini bersama Taufik Rahzen
Nasi Goreng dan Orang Rusia
Kenikmatan nasi goreng khas Indonesia juga tak bisa disangkal Mikhail Kouritsyn. Setiap mampir ke Indonesia, orang Rusia ini takkan lupa menyantapnya.
“Saya suka nasi goreng, mi goreng, juga nasi putih dan sayur-sayuran Indonesia,” ujar Mikhail saat berjumpa di gedung BPK Rusia di Moskow, pertengahan Mei lalu.
Indonesia tak terpisahkan dari Mikhail. Bahasa Indonesianya lancar, jelas, jernih, dengan struktur sempurna dan kaya kosa kata. Tidak ada logat-logat unik khas orang asing yang biasa ditemukan saat dia bicara dengan bahasa selain bahasa ibunya.
Tak ayal, Dubes Indonesia untuk Federasi Rusia dan Belarusia, Djauhari Oratmangun, mencandai Mikhail sebagai “orang Indonesia hanya saja kulitnya putih dan suka sambal.”
Mendengar joke itu, Mikhail menjawab,”Saya sering ke Jakarta jadi tidak putih lagi.”
Mikhail adalah Direktur Eksekutif Masyarakat Persahabatan Rusia-Indonesia. Dia juga Direktur Eksekutif Dewan Bisnis Rusia-Indonesia, selain Chairman dan CEO Geo Spectrum Group. “Saya belajar bahasa Indonesia sepanjang hidup saya,” ujarnya saat ditanya berapa lama dia belajar bahasa Indonesia sehingga bisa sefasih itu.
Namun yang pasti, kehandalan bahasa Indonesianya bermula saat dia berdinas sebagai staf senior di Kantor Konselor Ekonomi Kedubes Rusia di Jakarta pada masa Uni Soviet tahun 1985-1990.
“Kalau saya ke Indonesia, saya tidak suka masakan Eropa,” tambah pria tinggi besar kelahiran 1957 ini.
 Anak-istri Mikhail juga cinta masakan Indonesia. “Keluarga saya pernah di Indonesia, mereka juga suka masakan Indonesia,” cerita Mikhail yang melihat banyak perubahan di Indonesia ini.

Setelah kembali ke Rusia, cita rasa masakan Indonesia masih tetap lekat di lidah keluarga Mikhail. “Kami bahkan membawa rempah-rempah Indonesia.”
Setelah perjumpaan di Moskow tersebut, Mikhail menemani ahli konstitusi yang juga Sekjen BPK Rusia Sergey M Shahray terbang ke Jakarta untuk bertemu dengan mitranya. Jangan lupa menikmati nasi goreng. Sedaap!
Sahabat Indonesia yang setia. Itu gelar yang diberikan orang-orang yang mengenal Prof. Dr. Vladilen Tsygnov. Sejarawan dan penstudi Indonesia dari Rusia itu meninggal dunia di Moskow, hari Senin lalu (7/2) dalam usia 78 akibat pendarahan di otak.
Tsygnov memimpin Bagian Penerangan Kedutaan Besar Uni Soviet (Bapus) di era 1970an yang saat itu berada di di Jalan Waringin, Jakarta. Selama di Jakarta, kebanyakan waktunya digunakan untuk mempelajari kronik sejarah perjuangan Indonesia.
Selain itu, ia juga mendedikasikan waktunya pada Lembaga Persahabatan dan Kerjasama Rusia-Indonesia. Di lembaga itu ia pernah menjadi wakil presiden. Pada HUT ke-65 Republik Indonesia, tahun 2010 lalu, bersama sejumlah peneliti dan pencinta Indonesia, Tsygnov mendapatkan bintang kehormatan dari Kedutaan Besar Republik Indonesia di Moskow. Tsygnov dan teman-temannya dianggap memainkan pranan penting dalam mendekatkan hubungan kedua negara, di masa lalu juga masa kini.
Dr. Tsyganov mengajar sejarah Indonesia di Institut Negeri-negeri Asia dan Afrika (ISAA) yang berada di bawah Universitas Moskow sejak tahun 1965, sampai, boleh dikatakan, detik terakhir hidupnya. Saat sakit di bulan Januari lalu ia masih menyempatkan diri mendatangi tempat kerjanya. Dr. Tsyganov juga telah dianugerahi gelar Profesor Berjasa Universitas Negara Moskow pada tahun 2010.
Selain ratusan artikel, Tsyganov juga mengarang sejumlah karya fundamental mengenai sejarah Indonesia yang ditulisnya dalam dua jilid. Sebuah buku mengenai partai-partai nasional revolusioner di Indonesia pun pernah ditulisnya. Bersama Prof. Tyurin, ia sempat menulis buku sejarah Malaysia.
Vladilen Tsyganov adalah alumni Institut Ketimuran yang berada di bawah Universitas Moskow. Ia merupakan salah seorang murid sejarawan kaliber dunia yang juga pendiri sekolah penelitian ilmiah tentang Indonesia dan Pilipina, Prof. Dr. Alexander Guber yang hidup antara 1902 hingga 1971. Prof. Tsyganov menjadi salah seorang pengarang dan penyusun sebuah buku mengenai kehidupan dan kegiatan Prof. Guber.
Dr. Tsyganov menghargai amat tinggi proklamator dan pemimpin tersohor Republik Indonesia yang juga salah seorang pendiri Gerakan Non-Blok, Bung Karno . Ia pernah menulis sebuah artikel ilmiah berjudul “Sukarno, Pencipta dan Romantikus Ideologi Kesatuan” dalam buku besar “Bung Karno Politikus dan Personaliti” yang diterbitkan di Moskow. Sebagai tanda kehormatan terhadap pendiri Indonesia, Dr. Tsyganov selalu memakai lencana logam keperak-perakan kecil berwajah Bung Karno di kelamat jasnya.
Rekan-rekan Dr. Tsyganov mencatat jasa besarnya dalam mendidik banyak kader ahli dan aspiran jurusan Indonesia dan Malaysia di Institut Negeri-Negeri Asia dan Afrika Universitas Negara Moskow.
Prof. Tsyganov telah pergi. Tetapi rasa cintanya akan Indonesia diwariskan kepada seorang anak laki-lakinya, Mikhail Tsyganov, yang pernah cukup lama mewakili Kantor Berita RIA-Novosti di Jakarta
Kisah Sebuah Koper di Moskow
Seorang pemuda menyeret sebuah koper hampir sepanjang hayatnya. Pemuda itu adalah seorang mahasiswa Solo bernama Martinus Sugiharto. Isi koper itu adalah setumpuk tulisan asli sastrawan Utuy Tatang Sontani. Lalu kenapa Martinus rela membawa koper itu ke sana-kemari di Moskow, ke mana pun dia pergi, sebegitu berharganya bagi jiwanya sendiri?
Mahasiswa itu tengah menempuh pendidikan metalurgi di Kiev, kemudian pindah ke Moskow Uni Soviet itu, dan menganggap koper itu sebagai harta karun sastra Indonesia. Ia mengenal dan tahu siapa dan apa artinya seorang Utuy Tatang Sontani bagi sastra Indonesia. Ia nekat masuk ke bekas apartemen Utuy yang disegel. Dia mengumpulkan apa pun yang berbentuk kertas dan barang-barang pribadi Utuy dalam koper. Dia membawa koper itu ke mana dia pergi, pun ketika dia diasingkan selama belasan tahun ke Dushanbe, Tajikistan, karena menolak ber-koordinasi dengan perwakilan PKI di luar negeri. Kembali ke Moskow awal 1990-an, Martinus tetap menyimpan koper besar itu tanpa tahu harus menghubungi siapa.
Nama Utuy Tatang Sontani tidak bisa lepas dari barisan sastra eksil Indonesia, yaitu golongan sastra yang lahir dari mereka yang harus pergi dari tanah kelahirannya karena berbagai alasan, mulai dari pandangan politik yang berbeda sampai orientasi seksual yang belum bisa diterima masyarakatnya. Untuk Indonesia setelah periode Rustam Efendy di Belanda; kemudian Tan Malaka, Darsono, Musso, dan Semaun yang menerbitkan karyanya di Moskow dalam bahasa Rusia tahun 1920-an, jumlah penulis eksil Indonesia secara fenomenal menanjak sejak tragedi 1965.
Ketika tragedi itu terjadi, banyak penulis yang sedang berada di luar negeri kemudian menjadi penulis selama eksil. Karya-karyanya secara terbatas akhirnya sampai juga di Tanah Air sejak berkembangnya teknologi surat elektronik akhir abad lalu dan metode titip kawan yang kebetulan berkunjung ke luar negeri. Perlahan fenomena sastra eksil mulai menyembul dalam perbincangan sastra di Indonesia, dan pencarian lebih jauh tentangnya menjadi keharusan. Ketika penelitian “Sastra Eksil Indonesia” ini mulai dirancang, karya-karya Utuy yang dia tulis di Tiongkok (1965-1973) dan Moskow (1973-1979) menjadi salah satu target utama. Padahal informasi tentang Utuy sangat minim, selain berita kematiannya di Moskow. Sedangkan para eksil Indonesia yang masih bersisa di Moskow yang dihubungi lewat e-mail ternyata tidak banyak membantu. Di tanah eksil, Utuy menjadi semakin tertutup. Harapan lalu tumpah pada Kuslan Budiman, eksil Indonesia yang sekarang tinggal di Amsterdam. Kuslan yang juga pernah tinggal di Tiongkok adalah sahabat dan perawat Utuy sampai pemakamannya.
Dalam laporannya, Kuslan menulis: karena tidak ada wasiat dan ahli waris yang tertulis di dalamnya, apartemen Utuy dan seluruh isinya disegel polisi. Namun sebelum itu Vilen Sikorskii, akademisi Rusia ahli sastra Indonesia kontemporer yang selalu menjadi penerjemah Utuy, sempat datang mengambil naskah-naskah Utuy. Menghilang selama hampir 15 tahun dari dunia tulis-menulis Indonesia, nama Utuy Tatang Sontani muncul di harian pagi Kompas akhir September 1979, yang menulis berita kematiannya. Satyagraha Hoerip kemudian menulis in memoriam tentang dirinya di harian Sinar Harapan. Pemenang hadiah sastra BMKN untuk dramanya Sayang Ada Orang Lain ini menyisakan kejayaan sebagai sastrawan besar Indonesia ketika disemayamkan di aula utama Universitas Negara Moskow sebagai penghormatan terakhir pada salah satu guru besarnya. Sedangkan putra pertama Utuy hanya mendapatkan makam basah bapaknya, yang adalah nisan pertama yang tertancap di pemakaman Islam pertama di Moskow.
Padahal keluarga sudah berencana mengunjunginya tahun berikutnya, karena acara besar Olimpiade Moskow 1980 dapat dipakai untuk mengelabui fobi komunis Orde Baru. Proses pencarian kami tentang data penelitian sastra eksil Indonesia sampai ke perjalanan terakhirnya: Moskow. Kami bertemu dengan Vilen Sikorskii. Namun pertemuan dengan Sikorsii tak menggembirakan. Dia ingin menyerahkan sendiri naskah-naskah Utuy ke tangan orang yang akan dia pilih di Indonesia. Jadi, kalau ada keinginan agar naskah itu kembali ke Indonesia, harus disediakan tiket dan tentu uang saku untuknya. Bahkan kami tak diizinkan membuat fotokopi karyanya.
Salah satu malam sepulang dari perpustakaan bahasa asing Moskow, datanglah seorang tamu Indonesia. Setelah perkenalan singkat, dengan kecurigaan yang sangat berlebih tamu tersebut bertanya dengan sangat detail tujuan kami ke Moskow. Awal yang sedikit menjengkelkan ini ternyata berakhir dengan hebat. Sebab, tamu itu adalah Martinus Sugiharto, yang dalam dua jam pembicaraan telah memutuskan untuk menyerahkan koper itu untuk dibawa pulang ke Indonesia. Koper tersebut ternyata mendokumentasikan hampir seluruh kehidupan Utuy selama periode eksil: naskah-naskah gagal, proses editing, surat-surat, naskah yang sudah jadi, paspor, surat tugas dari Lekra, kacamata, jam tangan, peralatan melukis dan menulis, dan berlembar-lembar repro foto istrinya yang cantik. Rupanya inilah cara Utuy melawan rindu pada istri: dengan mencetak ulang satu-satunya foto yang dia miliki. Individualis yang terpesona dengan kolektivitas ini meninggal dalam kesendirian dan kekecewaannya yang sangat, namun tidak menghilangkan keyakinannya.
*Alex Supartono, Redaksi Media Kerja Budaya yang sedang menyusun antologi prosa eksil Indonesia
Sumber: Konfrontasi.Com 

Rabu, 31 Agustus 2016

Sekolah? Di Rumah Saja!

Reporter: Dea Anugrah | 31 Agustus, 2016

Ilustrasi Guru datang ke rumah, salah satu konsep dasar homeschooling. [Foto/Shuuterstock]
Homeschool atau sekolahrumah patut dipertimbangkan sebagai alternatif jika Anda tak menganggap sekolah konvensional cocok untuk Anda atau anak Anda. Lupakan anggapan bahwa anak sekolahrumah tak mampu bersosialisasi. Itu hanya stereotipe belaka.

“Aku tidak punya pilihan. Anak itu tingginya 6 kaki 4 inci (193 cm) dan dalam 6 bulan aku tahu ia bakal berkata 'persetanlah, pokoknya aku mau berhenti sekolah, kau mau apa?'”

Itu adalah perkataan David Gilmour, seorang mantan kritikus film dan novelis asal Kanada, dalam sebuah wawancara tentang memoar yang ia terbitkan pada 2008, The Film Club. Buku itu mengisahkan pengalaman David dan putranya, Jesse, ketika Jesse berusia 16 tahun dan memutuskan untuk berhenti sekolah.

Sekolah adalah mimpi buruk bagi Jesse. Ia hampir selalu mendapat nilai satu digit (dalam skala 100), dan sebabnya bukanlah ketaksanggupan mencerna pelajaran atau mengerjakan soal-soal dalam tes, melainkan daftar hadir yang bolong di sana-sini.
“Ketika anakmu tidak mau sekolah, kau menipu dirimu sendiri kalau kau pikir bisa memaksa mereka. Paksaan hanya akan mengubah anakmu jadi pembohong,” ujar David.
David lantas mengambil keputusan yang tak lazim. Ia mengizinkan Jesse berhenti sekolah dan tetap tinggal di rumahnya tanpa remaja itu perlu menanggung biaya hidupnya sendiri dengan satu syarat: setiap pekan selama tiga tahun, mereka harus menonton tiga buah film yang dipilih David dan membahasnya bersama. 

Jesse setuju, maka hari-harinya bersekolah di ruang menonton pun bergulir, dengan lanskap sinematik yang terbentang luas sebagai bahan pelajaran, dan para sineas hebat, mulai dari Akira Kurosawa hingga Stanley Kubrick, Francois Truffaut hingga Elia Kazan, sebagai guru-gurunya.

Jalan yang ditempuh David dan Jesse Gilmour itu menggarisbawahi satu hal yang kerap terlupakan: meski pendidikan wajib, sekolah formal tidak. Sekolah cuma salah satu, bukan satu-satunya, cara memperoleh pendidikan. Dan sebagai cara, tentu ia hanya patut dipilih jika ia sesuai dengan keadaan (bakat, minat, dan sebagainya) serta kehendak subjek. Mudahnya, tidak semua orang di dunia ini cocok bersekolah sebagaimana tidak semua orang cocok menjadi atlet pingpong atau pemain suling atau tukang aduk semen.

Berdasarkan keyakinan itu pula banyak orangtua memilih homeschool atau sekolahrumah untuk memenuhi kebutuhan pendidikan anak-anak mereka. Menurut survei US National Household Education, sekitar 3 persen anak di Amerika Serikat menjalani sekolahrumah pada tahun pelajaran 2011/12. Dan pada 2016, terdapat sekitar 2,3 juta peserta didik sekolahrumah di negara tersebut.
“Meski sekolah-sekolah formal berupaya merancang pelajaran yang sesuai bagi setiap muridnya, para guru kerap kali tetap hanya melayani 'mereka yang berada di tengah-tengah,'” tulis Chris Weller di Bussiness Insider, 20 Agustus lalu. “Terlalu banyak murid dengan kecepatan belajar yang berbeda untuk dipenuhi kebutuhannya. Sementara itu, sekolahrumah sejak awal didesain khusus bagi tiap-tiap pesertanya.”
Ken Robinson dalam buku Creative School menekankan bahwa para murid belajar secara maksimum dalam kecepatan dan cara yang berlainan. “Setiap murid adalah individu unik dengan harapan, bakat, kecemasan, gairah, dan aspirasi masing-masing,” tulisnya. “Menghadapi mereka sebagai individu adalah kunci peningkatan pencapaian".
Sebelumnya, Weller telah menulis artikel berjudul “America Hates its Gifted Kids” di Newsweek. “Sudah bukan rahasia,” tulisnya dalam artikel itu, “buat urusan pendidikan, nilai kita cuma D minus.” Ia menunjuk kecenderungan lembaga-lembaga formal untuk menyamaratakan murid sebagai salah satu sebab utama hal tersebut.

Weller mengutip temuan Program for International Student Assessment (PISA) 2012: dalam skala 1.000, nilai Amerika Serikat cuma 481 dalam matematika, 497 dalam sains, dan 498 dalam kemampuan membaca. Padahal, rata-rata internasional adalah 494 untuk matematika, 501 untuk sains, dan 496 untuk kemampuan membaca.

Indonesia juga tercantum dalam daftar tersebut, dan angkanya, sebagaimana biasa, sedap sekali: matematika 375, sains 382, dan membaca 396. Dalam matematika dan sains, Indonesia menghuni peringkat dua dari belakang, sedangkan dalam kemampuan membaca cuma enam tingkat dari kerak klasemen.

Andai benar sebab hasil buruk itu ialah penyamarataan, perbaikan tentu jauh panggang dari api. Anda ingat Samhudi, guru olahraga sebuah SMP di Sidoarjo yang diperkarakan secara hukum setelah mencubit siswanya itu, bukan? Anda tahu mengapa ia bertindak demikian? Ya, si murid menolak perintahnya menjalankan salat dhuha. Dengan memaksakan nilai yang ia percaya kepada murid, Samhudi telah menyalahgunakan kekuasaannya, dan untuk itu saja sudah sepatutnya ia dikurung di balik terali.

Keyakinan Weller dan Robinson bahwa personalisasi adalah kunci perbaikan mutu pendidikan disokong oleh data. Pada 2009, sebuah laporan tentang pencapaian akademik sekolahrumah yang meliputi data hampir 12 ribu siswa dari 50 negara bagian yang menempuh California Achievement Test, Iowa Tests of Basic Skills, dan Stanford Achievement Test pada tahun akademik 2007/08 dirilis. Nilai persentil rata-rata dalam mata pelajaran membaca, bahasa, matematika, sains, dan ilmu-ilmu sosial murid sekolah-sekolah umum adalah 50, sedangkan murid sekolahrumah jauh lebih baik, dengan rentang skor 84 hingga 89.

Penelitian Michael Cogan dari University of St. Thomas di tahun yang sama menyatakan bahwa siswa-siswi sekolahrumah cenderung lebih mudah masuk serta lebih berhasil di universitas dibandingkan lulusan sekolah umum.

Tapi, stereotipe terbesar tentang sekolahrumah memang bukan soal kompetensi akademik, melainkan bahwa ia membuat para pesertanya tak dapat memenuhi kebutuhan sosial mereka. Stereotipe, walaupun selalu tak adil, kadang mengandung kebenaran. Tapi, yang satu ini jelas ngawur belaka. Sejak kapan ada larangan bagi siswa-siswi sekolahrumah untuk bergaul dengan orang lain, lebih-lebih yang sebaya dengan mereka?

Sebuah riset dari Pew menyatakan bahwa 55 persen remaja menghabiskan waktu dengan teman-teman mereka dalam jaringan internet atau media sosial, sedangkan 45 persen mengaku bertemu teman-teman baru lewat kegiatan ekstrakurikuler seperti olahraga dan hobi.

Sekolah? Di Rumah Saja!

Peserta sekolahrumah tentu punya lebih banyak waktu untuk hobi ketimbang murid sekolah formal. Dan soal pertemanan, dengan tak berada di gedung sekolah bersama ratusan murid lain saban hari, siswa-siswi sekolahrumah cenderung terhindar dari “geng-gengan” dan peer pressure untuk melakukan tawuran, balap liar, dan lain-lain.

Di Indonesia, penyelenggaraan sekolahrumah diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) no. 129 tahun 2014. Peraturan itu menyatakan bahwa sekolahrumah mesti mengacu kepada kurikulum nasional dan para pesertanya berhak mendapatkan ijazah resmi serta melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi, termasuk lembaga-lembaga pendidikan formal, setelah lulus dari ujian kesetaraan yang distandarisasi oleh negara (Paket A setara SD, B setara SMP, dan C setara SMA).

Di atas kertas, tak perlu ada kekhawatiran siswa-siswi sekolahrumah akan kesulitan di masa depan mereka (untuk kuliah, kerja, dan sebagainya). Tapi, di sisi lain, keharusan mengikuti standar tunggal berupa kurikulum nasional dan ujian kesetaraan itu belum benar-benar sejalan dengan esensi sekolahrumah, yaitu personalisasi. Pasal 7 dalam peraturan itu juga mewajibkan sekolahrumah mengajarkan pendidikan agama. Bagaimana dengan orangtua dan anak yang memilih pedoman hidup serta standar moral selain yang diajarkan agama-agama, misalnya? Bukankah Undang-Undang Dasar 1945 membebaskan, bukan mewajibkan, setiap orang untuk memeluk agama serta menjalankan ibadatnya?

Namun, sembari menanti perbaikan dan dukungan yang lebih besar dari pemerintah, tak ada salahnya mencoba sekolahrumah sebagai jalur pendidikan alternatif. Meski belum ideal, sudah ada segi-segi positif dari sekolahrumah yang bisa didapat, antara lain metode pembelajaran yang lebih sesuai dengan para siswa, penjelajahan bahan pelajaran ke arah yang berbeda dari tawaran sekolah-sekolah formal, serta keamanan siswa—terutama dari ekses-ekses buruk pergaulan yang tak kunjung hilang dari sekolah formal.

Maya Lestari Gf, seorang praktisi sekolahrumah di Sumatera Barat, mengunggah contoh materi dan jadwal yang ia terapkan untuk mendidik anak-anaknya di blog pribadinya. Dalam rentang 30 November hingga 6 Desember 2015, Ayesha, putri Maya yang berumur 9,5 tahun, mengerjakan sebuah ensiklopedi budaya Indonesia dengan subjek Papua. Materinya antara lain bacaan berupa buku Dari Lembah Baliem, video Daily Life of Papua, dan peta. Kemudian, hasil belajar itu ia sampaikan kembali lewat tulisan, gambar, dan kerajinan tangan.

Apakah ada sekolah dasar yang menerapkan pelajaran semacam itu? Mungkin ada, tapi yang jelas, pendampingan serta perhatian guru kepada 20—apalagi 40—orang siswa dalam satu kelas muskil menyamai Maya kepada Ayesha. Padahal, penjelajahan yang memadai atas topik-topik semacam itu memerlukan pendampingan yang intens.

Dengan pelajaran dan cara belajar demikian, Ayesha kecil akan memiliki pemahaman yang cukup tentang Papua. Dan pemahaman yang cukup, kita tahu, senantiasa menjauhkan orang dari kepicikan. 
Sumber: Tirto.Id 

Selasa, 23 Agustus 2016

Menteri Muhadjir Dukung Budaya Kekerasan di Sekolah, LBH Jakarta Dirikan Posko Pengaduan

Press-Release


Rilis Pers Nomor: 1631/SK-RILIS/VIII/2016

Pada tanggal 11 Agustus 2016, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) RI, Muhadjir Effendy, kembali melontarkan pernyataan yang meresahkan masyarakat. Beliau secara terbuka menyampaikan kepada pers bahwa “pendidikan harus keras”[1] dan “sanksi fisik dalam batas tertentu bisa ditoleransi dalam dunia pendidikan”[2]. Menurutnya, pendidikan yang demikian diperlukan agar para peserta didik tidak tumbuh menjadi “generasi yang lembek”[3] dan membuat peserta didik menjadi “tahan banting”[4].

Kami menilai pernyataan Mendikbud RI meresahkan. Pernyataan tersebut berpotensi memicu terjadinya tindak pidana di sekolah-sekolah, ketika sekolah seharusnya menjadi tempat yang aman bagi para peserta didik,” ujar Tigor Gempita Hutapea, pengacara publik LBH Jakarta, saat ditemui di Kantor LBH Jakarta, Jl. Diponegoro No. 74, Menteng, Jakarta Pusat.

Perlu diketahui, ketentuan Pasal 76C, 76D, dan 76E Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 jo. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak telah secara jelas melarang segala bentuk kekerasan terhadap anak. Para pelaku dapat dijerat dengan sanksi pidana penjara.

Mendukung budaya kekerasan di sekolah juga merupakan tindakan yang dapat dikategorikan sebagai pelanggaran HAM. Indonesia telah meratifikasi Konvensi tentang Hak-Hak Anak Internasional melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990. Berdasarkan ketentuan tersebut, negara wajib menjamin anak terbebas dari segala bentuk kekerasan,” tambah Alldo Fellix Januardy, pengacara publik LBH Jakarta.

Untuk mengantisipasi maraknya kekerasan di sekolah akibat pernyataan Mendikbud RI, LBH Jakarta berinisiatif untuk membuka posko pengaduan korban kekerasan di sekolah. Peserta didik yang mengalami kekerasan di sekolah dapat segera mengunjungi kantor kami untuk memperoleh pendampingan hukum,” tutup Tigor Gempita Hutapea.

Alamat posko pengaduan korban kekerasan di sekolah berada di kantor LBH Jakarta, Jl. Diponegoro No.74, Menteng, Jakarta Pusat. Pelapor juga dapat menghubungi nomor kontak LBH Jakarta di 021-3145518.

Keberadaan posko ini merupakan inisiatif bersama forum lintas organisasi masyarakat sipil yang dinamakan Masyarakat Peduli Pendidikan. Masyarakat Peduli Pendidikan terdiri dari LBH Jakarta, FSGI, Keluarga Besar Homeschoolers Semarang, Rimbawan Muda Indonesia, Lingkar Studi Pendidikan Progresif, KePPaK Perempuan, Student Revolt Pemuda Merdeka, Indonesia Peduli Anak Gifted, GEMMA, P3MN, Children’s Media Center, Klub Oase, Rumah Inspirasi, PAUD Melati Jakarta, Komunitas Orang Tua Murid, dan Sukarelawan Pengajar dan Aktivis Pendidikan.

Narahubung:
1. Alldo Fellix Januardy (087878499399)
2. Fidella Anandhita (085718283888)


[1] Riva Dessthania Suastha, CNN Indonesia, Mendikbud Sebut Pendidikan Keras Bentuk Siswa Tahan Banting, http://www.cnnindonesia.com/nasional/20160811172129-20-150778/mendikbud-sebut-pendidikan-keras-bentuk-siswa-tahan-banting/, 11 Agustus 2016, jam 17.22 WIB.

[2] Maria Fatima Bona, Berita Satu, Mendikbud: Sanksi Fisik Bisa Ditoleransi dalam Pendidikan, http://www.beritasatu.com/pendidikan/379264-mendikbud-sanksi-fisik-bisa-ditoleransi-dalam-pendidikan.html, 11 Agustus 2016, jam 16.47 WIB.

[3] Arief Ikhsanuddin, Detik.com, Mendikbud: Pendidikan pada Anak itu Keras, Bukan Berarti Memukuli Orang, http://news.detik.com/berita/3274048/mendikbud-pendidikan-pada-anak-itu-keras-tapi-bukan-berarti-memukuli-orang, 12 Agustus 2016, jam 13.54 WIB.

[4] Riva Dessthania Suastha, CNN Indonesia, Mendikbud Sebut Pendidikan Keras Bentuk Siswa Tahan Banting, http://www.cnnindonesia.com/nasional/20160811172129-20-150778/mendikbud-sebut-pendidikan-keras-bentuk-siswa-tahan-banting/, 11 Agustus 2016, jam 17.22 WIB.

http://www.bantuanhukum.or.id/web/menteri-muhadjir-dukung-budaya-kekerasan-di-sekolah-lbh-jakarta-dirikan-posko-pengaduan/

Rabu, 22 Juni 2016

Agama-agama Yang Dipinggirkan

Oleh: Petrik Matanasi - 22 Juni 2016

Warga aliran kebatinan perjalanan melakukan ritual di Jakarta Timur. Aliran kebatinan perjalanan merupakan aliran kepercayaan yang berkembang di Indonesia. Tirto/Andrey Gromico

Tak ada satu pun agama resmi, yang diakui pemerintah, yang betul-betul asli Indonesia. Mulai dari Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha sampai Konghucu, semuanya impor dari luar. Agama asli Indonesia sendiri justru sedang menuju kepunahan.
Secara resmi, Indonesia hanya mengakui enam agama. Padahal, di luar itu, banyak agama-agama lokal, yang merupakan agama asli dari Indonesia yang sudah ada sejak berabad-abad silam.

Berdasarkan Penetapan Presiden Nomor 1 tahun 1965 dan Undang-Undang (UU) Nomor 5 tahun 1969, agama-agama yang dianut penduduk Indonesia adalah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu. Namun, Konghucu dipinggirkan di masa Orde Baru. Berdasar Surat Keputusan (SK) Menteri Dalam Negeri tahun 1974, kolom agama di KTP harus diisi dengan pilihan agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu ,dan Budha. 

Di luar lima agama itu, hanya dianggap aliran kepercayaan saja, termasuk agama lokal. Padahal, menurut Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata tahun 2003, pernah ada 245 agama lokal di Indonesia. Karena tidak diakuinya agama lokal, muncul anggapan bahwa orang Indonesia tidak beragama sebelum abad pertama.

Hanya segelintir orang Indonesia saja yang tahu soal adanya agama lokal. Apalagi generasi yang dilahirkan setelah 1974, setelah keluarnya SK Menteri Dalam Negeri soal kolom agama yang wajib diisi salah satu dari lima agama pilihan.

Menurut Kuntjaraningrat, dalam bukunya Kebudayaan, Mentaliteit dan Pembangunan(1974), istilah agama digunakan untuk menyebut enam agama yang diakui resmi oleh negara, seperti Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha, dan Konghucu. Sedangkan semua sistem keyakinan yang tidak atau belum diakui secara resmi disebut religi (agama). 

Menurut Parsudi Suparlan dalam buku Agama Dalam Analisis dan Interpretasi Sosiologis (1988), agama sebagai seperangkat aturan dan peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan dunia gaib, khususnya dengan Tuhan, mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya, dan mengatur hubungan manusia dengan lingkungannya. Secara khusus, agama didefinisikan sebagai suatu sistem keyakinan yang dianut dan tindakan-tindakan yang diwujudkan oleh suatu kelompok atau masyarakat dalam menginterpretasi dan memberi tanggapan terhadap apa yang dirasakan dan diyakini sebagai yang gaib dan suci. 

Mengikuti Parsudi Suparlan, jika agama itu seperangkat peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan dunia gaib, maka tak hanya keenam agama yang diakui pemerintah yang layak disebut agama. Aliran kepercayaan pun layak disebut agama. 

Dipunahkan oleh Politik

Tak jauh dari petilasan Ario Penangsang, di desa Jipang, Cepu, Kabupten Blora, yang dialiri Bengawan Sore, sebuah gereja berdiri. Rupanya, penduduk desa itu dulunya adalah pemeluk agama lokal, Kejawen. Tahun 1965, pemerintahan Orde Baru lahir. Keluar ketentuan baru untuk mencantumkan agama di Kartu Tanda Penduduk (KTP). 

Berdasarkan SK Menteri Dalam Negeri tahun 1974, kolom agama di KTP harus diisi dengan memilih salah satu dari lima agama pilihan pemerintah. Pilihannya hanya Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Budha saja. Kejawen yang dianut warga Jipang tak ada dalam pilihan. Tak mengisi, bisa dicap komunis atau PKI. Cap PKI tentu akan membuat hidup mereka sulit. Anak mereka tak bisa jadi PNS dan TNI jika ada cap PKI. Warga desa Jipang yang buta politik wajib mengisi kolom agama itu.

Mereka pernah bermusuhan secara kultural dengan orang pesantren beragama Islam yang ada di seberang sungai. Mereka tentu tak ingin memilih Islam. Akhirnya mereka memilih Kristen. Lalu Kejawen, agama asli mereka, pun terpinggirkan. 

Cerita pilu lain soal agama lokal juga terjadi di Jawa Barat. Sekelompok orang-orang Sunda Wiwitan terancam juga di masa Orde Baru. Meski tak punya permusuhan kultural dengan orang-orang Islam, di awal orde baru mereka juga terancam dan memilih masuk Kristen. Agama asli mereka ditinggalkan sementara meski tak hilang. Belakangan, mereka keluar lagi dan menegakkan kembali agama lokalnya.

Di tempat lain, tentu banyak agama lokal yang tak menjadi pilihan dari SK Menteri Dalam Negeri tahun 1974. Terpaksalah mereka memilih salah satu dari lima agama pilihan pemerintah itu. Islam paling banyak dipilih karena cukup mengucapkan dua kalimat syahadat. 

Salat, puasa di bulan Ramadhan, membayar zakat, dan naik haji, adalah soal nanti bagi mereka. Barangkali ini akar mula dari fenomena yang disebut Islam KTP. Yakni orang-orang yang mencantumkan kata Islam di KTP saja agar tak dituduh PKI, tetapi tak menjalankan syariat Islam. Sastrawan Besar Indonesia Pramoedya Ananta Toer, menyebutnya sebagai Islam Statistik. Secara statistik penganut Islam lebih banyak daripada agama lain. 

Agama Konghucu pun tak jauh beda nasibnya dengan agama lokal, tak diakui oleh orde baru. Orang-orang Tionghoa yang menganut Konghucu pun tak berdaya. Tak heran banyak orang Tionghoa beragama Kristen, Katolik atau Budha di masa orde baru. Mereka yang menganut Konghucu seharusnya beribadah di Klenteng. Namun, karena penganutnya menulis Budha dalam kolom agama di KTP, Klentengnya pun beralih fungsi seperti Vihara. 

Setelah Konghucu diakui lagi sebagai agama, berdasar Keputusan Presiden nomor 6 tahun 2000, di masa masa kepresidenan Abdurahman Wahid alias Gus Dur, Klenteng pun diramaikan lagi oleh penganut Konghucu. Namun, Klenteng setelah orde baru tak hanya menampung Konghucu saja, tapi juga penganut kepercayaan Laotze dan sebagian pemeluk agama Budha. Klenteng bisa digunakan untuk ibadah tiga agama.
Infografik Agama Nusantara


Ragam Agama Lokal

Hindu diyakini masuk pada abad pertama Masehi, tak lama disusul Budha. Islam sendiri masuk kira-kira seabad setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW. Di abad ke-7 sudah ada kerajaan Islam Perlak di Aceh. Lalu Agama Kristen masuk bersama orang-orang Eropa ke Indonesia. Konghucu tentu masuk bersama pada pedagang dan imigran dari daratan Tiongkok ke Indonesia. 

Sebelum kedatangan agama-agama dari luar, dalam buku sejarah di sekolah, hanya disebutkan aliran kepercayaan seperti Animisme dan Dinamisme saja. Buku pelajaran sejarah yang beredar di sekolah tak menyebut dengan jelas agama-agama asli Indonesia. 

Padahal, ada banyak agama asli Indonesia sebelum masuknya agama-agama dari luar. Ada Kaharingan sebelum agama Kristen dan Islam masuk ke Kalimantan. Agama ini dianut orang-orang Dayak. Sunda Wiwitan dan Buhun juga tumbuh di daerah berlatar budaya Sunda di sekitar Jawa Barat. Di daerah Banten, orang-orang Badui sebelum Islam sampai, sudah berkembang Urang Kanekes. Di daerah berbahasa Jawa di Jawa Tengah dan Jawa Timur setidaknya ada beberapa kepercayaan seperti Kejawen, Purwoduksino, Budi Luhur. Di zaman kolonial, setelah masuknya Islam, muncul agama Samin. 

Di Sulawesi Selatan, ada agama Aluk Tadolo yang dianut orang-orang Tana Toraja sebelum Kristen berkambang di sana. Selain itu ada juga agama Tollatang di Sulawesi Selatan sebelum Islam masuk. Sebelum Kristen masuk, agama Tonaas Walian dianut orang-orang Minahasa di Sulawesi Utara. Agama Wetu Telu yang mirip Islam berkembang di Lombok. Sebelum Kristen berkembang, agama Naurus jadi pegangan orang-orang di Pulau Seram, Maluku. Agama Marapu juga berkembang di Sumba sebelum Kristen dan Islam berjaya di Pulau Sumba. Marapu pun tak hilang dari ingatan. Nama Marapu dijadikan nama Band Reagea di Yogya.

Di Sumatera Utara, selain Islam berkembang di selatan Danau Toba dan Kristen di Utara Danau Toba, berkembang di sana agama Mulajadi Nabolon dan Parmalim dianut orang-orang Batak. Tak banyak catatan soal agama-agama lokal yang mulai lokal yang justru menuju kepunahan setelah Republik Indonesia berdiri.

Berdasar data dari Sensus Penduduk Indonesia 2010 yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS), dari 237,6 juta penduduk Indonesia, sebanyak 87,18 persen penganut Islam, 6,96 persen penganut Kristen, 2,9 persen penganut Katolik, 1,69 persen penganut Hindu, 0,72 persen penganut Budha dan 0,05 persen penganut Konghucu. Sebanyak 299,6 ribu orang atau 0,13 persen penduduk diketahui menganut di luar agama resmi pemerintah. Sementara itu sebanyak 896 ribu orang lebih atau sekitar 0,38 persen, belum diketahui apa agamanya. 

Data Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata tahun 2003 menyebutkan, sebanyak 400 ribu orang Indonesia menganut agama lokal Indonesia, yang tidak diakui sebagai agama oleh pemerintah. Sekitar 25 persennya merupakan penganut agama Buhun di Jawa Barat. Sisanya agama lain. 

Saat ini, jumlah pengikut agama lokal bisa jadi berubah. Agama-agama lokal yang dianut penduduk di daerah yang adat istiadatnya kuat dan kadang terpencil ini, bisa jadi tergerus oleh agama-agama yang diakui pemerintah. Belum lagi agama lain macam Baha'i atau Yahudi juga masuk ke Indonesia. Sifat agama lokal biasanya hanya dianut oleh komunitas tertentu dan turun temurun. Tak masif pula dalam berdakwah. Perlahan agama lokal ini punah. Dari semua unsur kebudayaan Indonesia asli, hanya sistem kepercayaan atau agama yang lebih cepat hilang ketimbang yang lain.

Menurut Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata tahun 2003, pernah ada 245 agama lokal di Indonesia.

Reporter: Petrik Matanasi
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Petrik Matanasi
Sumber: Tirto.Id

Selasa, 03 Mei 2016

Dilarang Berkreasi dan Berinovasi

Opini di Koran Tempo, Selasa 3 Mei 2016 Oleh: Darmaningtyas



Publik tentu masih ingat kasus pembuat mobil listrik (Dasep Ahmadi Direktur PT Sarimas Ahmadi Pratama) yang tahun 2015 divonis tujuh tahun penjara karena didakwa merugikan negara Rp.28,99 miliar untuk pembuatan mobil listrik. Hakim juga memerintahkan Dasep membayar uang pengganti sebesar Rp.17,18 miliar atau diganti hukuman penjara dua tahun.

Terlepas dari persoalan substansi yang menyebabkan Dasep Ahmadi dihukum penjara, yang pasti, kasus tersebut langsung memadamkan wacana pengembangan mobil listrik karena orang takut untuk berkreativitas dan berinovasi dalam bidang teknologi yang padat modal dan bila gagal akan terkena dampak yang sama, yaitu masuk penjara karena didakwa merugikan uang negara puluhan miliar rupiah.

Kecenderungan menempuh zona aman dan tidak mau berkreasi maupun berinovasi, demi menghindari jaretan hukum banyak terjadi di dunia pendidikan kita, dari dasar sampai perguruan tinggi. Bagi para guru SDN di daerah yang kekurangan guru memilih diam, membiarkan kondisi buruk tetap terjadi daripada berinisiatif mencari guru honorer dan dibayar dengan dana BOS tapi akhirnya mereka terjerat kasus hukum. Hal itu mengingat dana BOS yang dapat digunakan untuk honorarium hanya 15% saja. Bila dalam satu SD hanya punya 80 anak, berarti dana BOS yang diterima hanya Rp. 64 juta/tahun atau hanya Rp. 9,6 juta yang dapat dipakai untuk bayar tenaga honorer. Jika guru honornya hanya satu orang agak lumayan dapat Rp. 800.000,- perbulan. Tapi kalau lebih dari satu, tentu nilainya jauh dibawah upah minimum.

Meskipun dengan kreativitasnya Kepala SD dapat mengelola dana BOS dengan baik sehingga tidak ada yang dikorbankan, tapi kalau besaran dana BOS yang dapat dipakai untuk gaji guru honorer lebih dari 15%, mereka lebih baik cari amannya saja, membiarkan kekurangan guru itu tetap berlangsung daripada nanti terjerat kasus hukum.

Kasus SMK dan P4TK

Beberapa SMK Pertanian di Cianjur, Jawa Barat yang memiliki unit produksi dan telah menjalin kerjasama dengan perusahaan swasta untuk pemasaran produknya terpaksa terhenti lantaran, kali ini perusahaannya yang dipersalahkan oleh auditor bahwa dengan membeli produk-produk SMK itu berarti membeli produk illegal karena ditanam di tanah milik negara yang tidak dikenai pajak. Daripada maksudnya baik, membantu pengembangan SMK tapi dipersalahkan, maka lebih baik tidak perlu membantu, karena tujuannya bukan profit. Itu bagian dari tanggung jawab sosial perusahaan. Akhirnya yang terjadi, SMK itu SMK Sastra, lantaran hanya teori saja, kurang praktek. Tempat praktek mereka adalah berproduksi di lahan pertanian, tapi karena saat giliran menjual produknya bermasalah, akhirnya mereka memilih tidak berproduksi.

Kondisi yang penuh ironi itu juga dialami oleh semua P4TK (Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidikan dan Tenaga Kependidikan) yang merupakan Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Sejumlah P4TK Kejuruan, seperti Bisnis Pariwisata, Otomotif, Listrik, Seni dan Budaya, Teknologi, serta Pertanian itu sejak didirikan awal dekade 1980-an dengan nama PPPG (Pusat Pengembangan Penataran Guru) sudah dilengkapi dengan unit produksi dan alat-alat yang modern, sehingga saat itu betul-betul menjadi rujukan bagi SMK-SMK di seluruh Indonesia.

Mereka juga sudah sempat berproduksi sesuai dengan bidang masing-masing, produksi mereka laku di pasaran, bahkan untuk P4TK Seni dan Budaya di Yogyakarta, banyak produknya yang diekspor ke luar negeri. Tapi semua itu sekarang harus dikubur dalem-dalem karena dipersalahkan oleh Irjen maupun auditor dari BPK. Irjen mempersalahkan bahwa pengembangan unit produksi bukan tugas dan fungsi (Tusi) P4TK, sedangkan auditor BPK mempersoalkan transaksi yang ada di unit produksi tersebut. Ini betul-betul konyol karena kreativitas dan inovasi itu dimatikan begitu saja oleh pertanyaan “tidak sesuai dengan tugas dan fungsi”nya sehingga harus dibubarkan!

Kekonyolan para auditor yang hanya memakai kacamata kuda itu terlihat ketika mengaudit P4TK Pertanian Cianjur yang memiliki unit produksi barang hidup dan bisa berkembang, seperti misalnya peternakan sapi, ayam, kambing, pengembangan kolam ikan, dan pengolahan hasil pertanian. Menurut kaca mata pengembang, keberhasilan unit produksi itu diukur dari berkembangnya produksi, kuantitas maupun kualitas, seperti ternak sapi, ayam, dan kambing yang bertambah jumlah maupun besarannya sehingga harganya semakin tinggi. Tapi sang auditor justru mempersoalkan penyusutan barang, jelas kontradiktif. Akhirnya daripada pusing menghadapi teguran maupun temuan dari Irjen dan auditor BPK, lebih baik semua unit produksi ditutup. Ini sayang sekali karena lembaga Diklat (pendidikan dan latihan) tidak punya laboratorium yang nyata dan dapat diperlihatkan kepada para guru SMK yang dilatih, bahwa inilah contoh pengembangan unit produksi yang baik di SMK-SMK kita.

Inpres SMK

Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah memisahkan urusan Pendidikan Tinggi dari Pendidikan Dasar dan Menengah dengan maksud agar hasil-hasil riset di Perguruan Tinggi (PT) dapat diimplementasikan oleh industri. Pemerintahan Jokowi juga berencana akan mengeluarkan instruksi presiden (Inpres) untuk pengembangan SMK. Keduanya itu hanya akan melahirkan kesia-siaan jika tidak diikuti dengan regulasi yang mendukung. Pertama, agar industri mau memakai hasil-hasil riset dari PT, hasil riset tersebut telah melalui proses uji coba. Proses uji coba tidak cukup sekali berhasil, butuh berulang kali. Bila uji coba pertama dan gagal lalu penelitinya dikriminalisasi dengan tuduhan menghamburkan uang negara, seperti yang terjadi pada kasus mobil listrik, tentu banyak peneliti kita memilih jalur aman, tidak mau mengadakan uji coba untuk menguji kehandalan temuannya.

Pengalaman pribadi, mengubah bentuk becak tradisional di Yogya yang berat kosong 135 kg dan diubah menjadi 85 kg tanpa mesin, dengan tempat duduk yang lebih lebar dan nyaman memerlukan waktu sepuluh tahun dan mengalami perubahan 14 kali prototype . Jika suatu inovasi sudah divonis gagal saat diwujudkan pertama kalinya, dan inovatornya dikriminalisasi, maka orang enggan untuk berinovasi.

Kedua, pada kasus SMK dan P4TK yang memiliki unit produksi perlu dilindungi dengan regulasi agar unit produksi tetap bisa berkembang tanpa menimbulkan masalah pengelolaan. Kebijakan menerapkan PNBP (Pendapatan Negara Bukan Pajak) bukan jalan yang tepat, karena kalau PNBP semua pendapatan dari unit produksi tersebut disetor ke kas negara, tidak bisa dipakai untuk proses produksi lagi, sedangkan untuk proses produksi harus mengajukan anggaran ke negara. Cara ini selain tidak efisien, juga tidak melatih SMK dan P4TK-P4TK Kejuruan tersebut berkembang berdasarkan kreativitas dan inovasinya, mereka hanya mengandalkan anggaran negara saja.

Inpres tentang SMK yang akan dibuat oleh Pemerintahan Jokowi itu semoga sampai ke perlindungan regulasi tersebut, sebab kalau soal content pendidikan SMK sejak dulu sudah bagus, seperti yang diperlihatkan oleh STM Pembangunan empat tahun, tapi kebijakan yang tidak konsisten lah yang merusak kualitas dan perkembangan SMK kita.

https://www.facebook.com/darmaningtyas.instran/posts/1116592471715935

Senin, 02 Mei 2016

Ki Hajar dan Sekolah Liar

Kamis 02 Mei 2013 WIB

Ki Hajar Dewantara memperjuangkan pendidikan untuk semua kalangan bumiputera. Dia menentang ordonansi sekolah liar.


Taman Siswa di Bandung. Ki Hajar Dewantara (inset).
Foto

TANGGAL lahir Ki Hajar Dewantara, 2 Mei ditetapkan sebagai Hari Pendidikan Nasional berdasarkan Surat Keputusan Presiden No. 316 tanggal 16 Desember 1959. Penetapan tersebut dilandasi oleh jasa-jasanya yang telah memberikan garis-garis tegas dalam pendidikan nasional, baik konsepsi maupun praktik.

“Pada tahun 1932 beliau telah berjuang dengan menentang ordonansi sekolah liar serta berlakunya sistem pajak rumah tangga Taman Siswa dan menentang diskriminasi tunjangan anak di sekolah pemerintahan dan sekolah swasta,” tulis AB Lapian dalam Terminologi sejarah, 1945-1950 & 1950-1959.

Ki Hajar mendirikan sekolah Taman Siswa pada 3 Juli 1922 di Yogyakarta karena gelisah akan pendidikan di Hindia Belanda yang diskriminatif. Hanya anak-anak priyayi yang boleh sekolah. Dia mencoba mempeluas akses pendidikan bagi semua kalangan. Taman Siswa, dan semua sekolah partikelir (swasta) yang tidak diakui oleh lembaga resmi pemerintah manapun, dianggap sekolah liar.

Menurut Yudi Latif dalam Inteligensia Muslim dan Kuasa, sekolah liar biasanya didirikan oleh para anggota idealis dari inteligensia yang tidak ingin bekerja untuk pemerintah kolonial, dan yang didirikan sebagai jawaban terhadap kebutuhan akan pendidikan yang bergaya Barat.

Adanya kecenderungan politik di balik aktivitas lembaga-lembaga pendidikan partikelir (swasta) disadari pemerintah. Pemerintah yang khawatir melihat perkembangan sekolah-sekolah pribumi tanpa izin, berusaha menekan laju perkembangannya dengan membuat beberapa peraturan atau ordonansi.

Pada 1923, pemerintah mengeluarkan ordonansi pengawasan sekolah partikelir. Namun, dalam praktiknya tidak memenuhi harapan pemerintah dalam menuntaskan masalah sekolah liar. Menanggapi masalah itu, JWF. van der Muelen, pejabat direktur pendidikan dan agama menganjurkan kepada pemerintah untuk meninjau kembali ordonansi pengawasan 1923 dengan kemungkinan menambah satu peraturan baru menyangkut pengawasan terhadap lembaga pendidikan partikelir.

Usulan tersebut disetujui. Pada 1932 pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan peraturan baru: Wildeschoolen Ordonantie (Ordonansi Sekolah Liar). Dalam ordonansi ini, seseorang atau lembaga yang bermaksud menyelenggarakan pendidikan harus seizin pemerintah. Pemerintah dapat mencabut izin apabila terbukti melanggar ketentuan-ketentuan yang ditetapkan.

Bukan hanya bagi sekolah, ordonansi ini juga mengatur urusan guru. Para pengajar diharuskan untuk membuat laporan kepada penguasa setempat. Apabila melanggar, maka akan dikenakan hukuman penjara selama delapan hari atau denda 25 gulden. Mereka juga dapat dikenakan hukuman selama satu bulan atau denda sebesar 100 gulden apabila yang bersangkutan tetap melakukan kegiatan mengajar.

Menanggapi ordonansi tersebut, Ki Hajar mengirim telegram kepada Gubernur Jenderal De Jonge, meminta membatalkan ordonansi tersebut. Telegram ini kemudian dimuat majalah Timboel, 6 November 1932. Dengan tegas Taman Siswa mengancam akan melakukan lijdelijk verzet (pembangkangan) apabila ordonansi itu tidak dicabut.

“Excellentie! Ordonnantie jang disadjikan amat tergesa-gesa dan didjalankan dengan tjara paksaan …” tulis Ki Hajar, “Bolehlah saja memperingatkan, bahwa walaoepoen machloek jang ta’berdaja mempoenjai rasa asali berwadjib menangkis bahaja oentoek mendjaga diri dan demikianlah djoega boleh djadi kami karena terpaksa akan mengadakan perlawanan sekoeat-koeatnja dan selama-lamanja…”

Ordonansi sekolah liar tetap diberlakukan. Taman Siswa membangkang dan terus berkembang pesat ke luar Jawa Tengah. “Sepuluh tahun kemudian, meskipun sudah mengeluarkan peraturan Sekolah Liar pada September 1932, gerakan Taman Siswa sudah mendirikan 166 sekolah dengan sekira 11.000 murid Jawa,” tulis Frances Gouda dalam Dutch Cultures Overseas.

Sekolah-sekolah liar diminati oleh bumiputera karena keadaan ekonomi pasca Perang Dunia I dan depresi ekonomi pada 1930-an mengakibatkan pemotongan belanja (subsidi) pemerintah untuk pendidikan. “Hal ini membuat biaya pendidikan tinggi, memaksa orang-orang Hindia untuk bersekolah di sekolah-sekolah liar,” tulis Yudi Latif.

Laporan tahunan pemerintah tahun 1936 mengenai pendidikan mencatat sebanyak 1.663 sekolah liar yang menerima pendaftaran 114 ribu murid. Setahun kemudian, laporan tersebut mencatat jumlah keseluruhan 1.961 sekolah dengan jumlah murid 129.565, sedangkan pada 1941, jumlah murid pribumi yang menerima pendidikan dalam bahasa Belanda di sekolah liar, yang terletak di dalam dan di luar Jawa, diperkirakan mencapai jumlah 230 ribu.

Menurut Gouda, Jawa tidak sendiri dalam ekspansi sembunyi-sembunyi sekolah independen, yang secara sadar berupaya tetap di luar orbit pengawasan pemerintah. Di Minangkabau Sumatera Barat, berlangsung pula pertumbuhan lembaga pendidikan yang sama. Walaupun lembaga-lembaga tersebut secara lebih jelas kaitannya dengan ulama (guru) Islam dibanding di Jawa dan lebih banyak menghabiskan waktu dalam pengajian Alquran, sekolah-sekolah kaum muda di sana juga dengan bergairah menanamkan gagasan penalaran individu (ijtihad) dan semangat pembaruan pada murid mereka.

“Baik sekolah taman siswa maupun sekolah kaum muda merupakan lembaga yang berkembang pesat,” tulis Gouda, “kedua-duanya berhasil menanamkan rasa bangga akan budaya asli dalam diri murid-murid mereka."

http://historia.id/modern/ki-hajar-dan-sekolah-liar