Senin, 18 Maret 2019

Membongkar Pasung Ronggeng “Kunes”


TRIBUTE TO KUNES: Repertoar Ronggeng Kunes digelar oleh komunitas "Titik Kumpul" di Roemah Martha Tilaar Gombong (16/3) mengingatkan pada tragedi politik 1965 yang memicu gelombang "genosida" dan merambah wilayah budaya di Banyumas [Foto: Ar]

Keberanian mbarang lengger komunitas “Titik Kumpul” di Roemah Martha Tilaar, pantas mendapatkan apresiasi luas. Pilihan mengangkat repertoar berbingkai Tribute to Kunes yang dipersiapkan bagi panggung Asia di Taiwan April-Mei mendatang; membuat penonton terpengarah (16/3/2019) malam itu. Namun sedikit dari yang terpengarah itu memahami kesima “Kunes” dalam konteks sejarah dan lokalitasnya. Penari tradisi bumi Banyumas selatan yang lahir seabad lalu, sedikit diketahui, pada zaman berikutnya telah menjadi bagian langsung dari sejarah kelam kejahatan atas kemanusiaan (crimes against humanity) pada medio dekade 60-an. 

Dalam perspektif genosida dimana pembasmian meluas atas sekelompok tertentu manusia di sebuah negara, maka tragedi yang dalam idiom lokal disebut Geger Gestok 65, telah merambah masuk pula ke dalam wilayah budaya sebagai obyek penghancurannya. Perjalanan penari Ronggeng Kunes yang berhilir tragis; memang jadi linier dengan apa yang pernah ditulis novelis Ahmad Tohari pada novel triloginya Ronggeng Dukuh Paruk (berikut 2 novel lainnya, Lintang Kemukus Dinihari, Jentera Bianglala) yang usai melampaui batas bahasa di beberapa negara itu.

Pada kasus booming novel karya sastranya Ahmad Tohari mengakui realitas masih lekatnya communisto-phobia, yang pada gilirannya telah cukup membuat repot penulisnya. Bahwa masa itu telah lewat, ya. Tetapi sejarah memiliki cara tutur dan jalan takdirnya sendiri, termasuk dalam berhadapan dengan segala phobia; yang mungkin hari ini pun masih ada karena memang dipelihara. Tak terkecuali perjalanan tragik Ronggeng Kunes yang sepintas nampak sebagai kisah personal yang literer dengan segala romantismenya.  

Namun Ronggeng Kunes dalam dimensi sejarah memiliki alur dan memori kolektif yang lebih dari sekedar magnet ingatan akan segala kisahnya. Karena “karir dan marwah” Kunes sebagai penari tradisi tidak lah berdiri sendiri. Meskipun -boleh jadi- komunitas “Titik Kumpul” tak bertendensi lebih jauh, tetap saja kisah tragis Ronggeng Kunes yang dipanggungkan, lepas dari apakah kisi-kisi kelam ini tersingkap; repertoar ini akan menemukan pijak dan kekuatan konteksnya yang menyejarah itu.

Kedaulatan Panggung


Pemahaman atas Tribute to Ronggeng Kunes boleh datang kemudian dalam berbagai interpretasinya. Demikian ini bukan hanya berlaku bagi siapa pun yang menonton repertoar ini, namun juga bagi komunitas “titik kumpul” dalam proses kreatifnya. Proses yang telah menghasilkan perform seputar kebiasaan-kebiasaan ronggeng seperti gilir sampur hingga kedaulatannya dalam menghidupkan gairah panggung.

Ronggeng Kunes yang dinarasikan tak terpisah dengan fenomena indang seperti tersirat melalui properti ambeng yang dibawa keluar penarinya telah cukup menjelaskan kekuatan magis tradisionalnya. Kebanyakan seni tradisi memang senantiasa lekat dengan aspek itu. Kesinambungannya terjaga melalui ritual-ritual sebagai manifestasi nilai-nilai yang berlaku di masyarakat kebudayaanya.

Repertoar Ronggeng Kunes mengangkat relasi di lapangan kebudayaan itu dari timbulnya ketimpangan yang menjadi bidikannya. Bagaimana Ronggeng membangun kedaulatan gender dengan mengeksplorasi tata nilai menjadi bias hegemoni dalam relasi sosialnya ke atas panggung. Pentas tribute ini menampilkan Ronggeng Kunes yang tengah mencapai puncak emasnya, saat sang ronggeng menjadi kiblat puja.

Tapi makin tinggi pohon tumbuh, makin besar tiupan angin menerpanya; begitu pepatah berkata. Realitas sejarah tak pernah bisa sepenuhnya lepas dari intervensi berbagai kepentingan, termasuk kepentingan politik. Nah, pandangan pragmatis akan bisa menjerumuskan perjalanannya. Bias ini dialami Ronggeng Kunes dalam masa yang menenggelamkannya dan menjadi tonggak yang menandai genosida budaya pasca 1965, khususnya di daerah Banyumas.

Ronggeng Kunes terbelenggu bukan oleh lintasan balok yang memasung kakinya, melainkan oleh badai politik yang memicu gelombang genosida budaya yang mengiringi Geger Gestok pada masa itu. [ap]

0 komentar:

Posting Komentar