This is default featured slide 1 title

BEBAL:"FPI"

Kebebalan FPI Banyuwangi yang membubarkan ritual tradisi Sedekah Laut di daerahnya

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Sabtu, 18 November 2017

Menyelami Semesta Magis Danarto

Kumparan | Sabtu 18 November 2017 - 10:01



Danarto kecil diikat di sebuah tiang dan dicambuk oleh ayahnya. Air matanya meleleh. Ia menangis merasakan sakitnya hukuman itu, bukan sebab rasa bersalah dua kali tak lulus Sekolah Dasar.
Enam dari tujuh pelajaran sekolah berhasil ia tuntaskan dengan gemilang. Tapi hanya karena hancurnya nilai pelajaran berhitung, Danarto tak diluluskan.
Hukuman serupa mesti ia alami di tingkat pendidikan berikutnya. Lagi-lagi berhitung, khususnya aljabar, jadi sumber persoalan. Pelajaran satu itu bikin ia tak lulus SMP! Padahal di mata pelajaran lain, ia berhasil dengan baik.
Apa mau dikata, cambuk kembali ia terima. Sang ibu, Siti Aminah, yang tak tega melihat anaknya menghadapi hukuman itu, menemani Danarto dicambuk. Menangislah mereka berdua.
“Saya dan ibu itu duet yang paling bagus. Berdua tangis-tangisan, keras sekali. Konyolnya, saya mestinya melarikan diri waktu mau diikat, misalnya dua hari dua malam enggak pulang. Kok malah enggak,” kenang Danarto sambil mengulum senyum ketika berbincang santai di kantor kumparan, Senin (6/11).
Hati Danarto dibuat gundah lagi oleh aljabar ketika duduk di bangku SMA. Semula ia pikir SMA partikelir membebaskannya dari “kutukan” aljabar. Tapi celaka, begitu masuk sekolah, pelajaran itu tetap ada!
Kacau ini, pikir Danarto. Ia tak ingin lagi menelan kesialan dan menanggung hukuman lagi, buah kegagalan pelajaran aljabar. Itu sebabnya ia putuskan untuk minggat setelah 28 hari bersekolah di sana. Betul-betul meninggalkan bangku SMA begitu saja.
Semua pengalaman getir atas sistem pendidikan yang menurutnya tak adil itu membentuk pendirian Danarto untuk tak memercayai guru. Bagi Danarto, tak bijak mengukur kemampuan seorang murid dari bidang yang bukan menjadi potensi anak itu. Pun, bidang tersebut malah jadi salah satu penentu ketidaklulusan.
Danarto kabur ke Yogyakarta. Keinginannya satu: belajar di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI). Ia berhasil masuk lembaga pendidikan itu, dan mengambil seni lukis sebagai bidang pelajaran. Danarto senang bukan main. Selain berarti tak ada lagi pertemuan dengan aljabar, ia juga bisa menyalurkan kesenangannya pada seni lukis.
“Di akademi seni rupa tidak ada aljabar! Tidak ada aljabar!” seru Danarto mencontohkan kegirangannya saat itu, diliputi tawa. “Jadi teman-teman bilang, ‘Itu Danarto ngapain? Lho, mabok dia ya? Mabok dia.’"
Minat terhadap seni sudah tampak sejak Danarto kanak-kanak. Penulis dan pelukis kelahiran Sragen, Jawa Tengah, 27 Juni 1940 itu mengisahkan, waktu kecil ia sering melukis dengan kapur dan arang di dinding dan lantai rumahnya. Danarto sendiri tak paham dari mana bakat itu berasal.
Ilustrasi Danarto
Danarto (Foto: Faisal Nu'man/kumparan)
Danarto tumbuh bukan dalam lingkungan keluarga yang bergiat dalam kesenian. Ayahnya seorang pekerja di pabrik gula, sedangkan ibunya pedagang eceran di pasar. Dalam pandangan Danarto, sang ayah lebih dekat dengan bidang keagamaan dan hal-hal mistik.
Ayah Danarto, Jakio Harjodinomo, lekat dengan buku-buku agama ketika berada di rumah sehabis bekerja. Ia akan mandi untuk membersihkan debu yang menyelimuti kulitnya, lalu larut dengan buku-bukunya--di antaranya tentang Islam, kebatinan, dan filsafat.
Sebagian dari buku-buku agama itu berbahasa Jawa, termasuk Alquran yang digunakan. Bacaan salat pun menggunakan bahasa Jawa.
Dalam kehidupan masyarakat, ayah Danarto dikenal sebagai seorang yang diandalkan untuk bertanya berbagai soal--barangkali dekat dengan sebutan nujum.
Suatu kali, seorang tetangga datang pada Jakio, ayahnya. Orang itu bertanya tentang kehamilan istrinya.
“Ada seorang ibu yang mengandung, meminta suaminya datang ke ayah saya. Menanyakan, ‘Kapan ini lahir?’. Terus ayah membuka buku. Buku apa saya tidak tahu. Ia jawab, ‘Oh, nanti lahir jam 7 malam, sebaiknya duduk menghadap ke barat’.”
Sang suami yang telah mendapat petunjuk, lalu pulang memberi tahu istrinya. “‘Coba mulai sekarang duduk ke arah barat, jam 7 malam nanti lahir bayinya.’ Betul, lahir betul,” kisah Danarto tentang ingatan yang masih segar itu.

Sampai sekarang Danarto menyesal tak pernah bertanya pada ayahnya tentang buku yang ia buka ketika itu, juga perihal cara menafsir. Namun, kedekatan Danarto dengan sang ayah turut memengaruhi penjelajahan dunia alternatif dalam cerita-cerita pendek yang ia tulis di kemudian hari.

Source: Kumparan.Com