- Catatan Pentas Monolog “Sang Bintang” Dewi Aminah
Sebagai sebuah ekspresi dan peristiwa seni, pementasan
teater monolog “Sang Bintang” yang diusung komunitas pembelajar Sangkanparan dari
Cilacap ke Kebumen (9/5) malam itu; menjadi momentum yang berbeda dari pentas
di ruang publik biasanya. Aula Ronggowarsito di lingkungan kampus STIE Putra
Bangsa menjadi saksi, saat lebih dari 150 penonton menyimak pentasnya.
Jumlah audiens yang selain besar secara kuantitas, juga menjadi catatan
tersendiri karena memang kegembiraan apresian umum seperti ini jarang terjadi.
Tak berlebihan untuk mengatakan bahwa pementasan monolog “Sang
Bintang” malam itu terbilang sukses. Kesungguhan Dewi Aminah dalam
mengeksplorasi bakat keaktorannya menghasilkan kesima kuat yang secara umum
mampu membikin ratusan penonton tak beranjak pergi dari duduknya; hingga usai
pertunjukan. Tentu, dalam konteks pertunjukan seutuhnya, anasir pendukung lain
hasil kerja-kerja dalam proses yang membentuknya demikian; tak bisa dimenafikkan.
Catatan kecil ini tak dimaksudkan untuk menilai
aspek-aspek teknis dari tetek-bengek disiplin dramaturgi yang jembar medan
aktualisasinya. Saya membuatnya semata karena mengimani bahwa proses
berkesenian itu sungguh suatu kenikmatan religius. Kedalaman yang hanya bisa
diukur secara sense of arts dan bukan
dengan melulu kerangka sains teoritik.
Selain secara faktual “Sang Bintang” memang mengharu
penonton malam itu, sesungguhnya, proses simultan komunikasi kreatifnya masih
terjadi, meski pentasnya sendiri telah usai.
Itulah takdir lakon “Sang Bintang” nya Whani Darmawan setelah
pada 2016 ia selesai menulis dan merangkumnya Sampai Depan Pintu.
SANG BINTANG: Keaktoran Dewi Aminah saat memainkan monolog "Sang Bintang" menjadi magnet ratusan penontonnya di aula Ronggowarsito kompleks kampus STIE Putra Bangsa Kebumen (9/5) - Foto: Ridho Kedung
Re-interpretasi teks
dan konteksnya
Bagaimana talenta Dewi
Aminah mengaktualisasikan kembali narasi cerita melampaui teks-teks verbal penulis lakonnya, dengan
asistensi Nyak Dewi Kusumawati
sebagai sutradara yang membantu membidaninya. Adalah sebuah perjalanan “Sang
Bintang” yang secara tekstual telah ditakdirkan.
Secara tekstual memang lakon yang ditulis Whani Darmawan
ini memuat manifestasi keinginan sebagai sebuah fenomena; akan tetapi yang tak
berdiri sendiri secara konteks. Dia -manifestasi keinginan- itu tentu tak
bersifat instan, melainkan dikonstruksi oleh hubungan-hubungan dialektis dalam
hidup dengan tradisi -sistemik- tertentu yang membentuknya menjadi dan menemui
realisme kekinian.
Manakala perwujudan “Sang Bintang” ini hendak dibumikan
(baca: dipanggungkan), maka muatan konteksnya mesti ikut dihadirkan secara
jelas. Jelas di sini bermakna bukan sekedar mengganti seting pentas yang terbagi
dalam tiga fase pengadegan, melainkan lebih pada tendensi karakter dan bangunan
situasi pada setiap bagian narasinya, yang secara wutuh diaktualisasikan melalui
kerja visual pentas monolognya.
Transformasi teks-teks ke dalam pentas monolog memang
mensyaratkan interpretasi dasar yang kuat dari sang talent. Nampak betapa tak
ringannya misi milenial keaktoran “Sang Bintang” ini dalam mengusung konten
dengan muatan visioner yang melihat lompatan ke depan, agar sampai ke dalam
ruang kosmik penontonnya hari ini... [arp]
0 komentar:
Posting Komentar