Kamis, 10 Mei 2018

Meneropong “Sang Bintang” dari Dataran Tiga Pengadegan [1]


- Catatan Pentas Monolog “Sang Bintang” Dewi Aminah




Sebagai sebuah ekspresi dan peristiwa seni, pementasan teater monolog “Sang Bintang” yang diusung komunitas pembelajar Sangkanparan dari Cilacap ke Kebumen (9/5) malam itu; menjadi momentum yang berbeda dari pentas di ruang publik biasanya. Aula Ronggowarsito di lingkungan kampus STIE Putra Bangsa menjadi saksi, saat lebih dari 150 penonton menyimak pentasnya. Jumlah audiens yang selain besar secara kuantitas, juga menjadi catatan tersendiri karena memang kegembiraan apresian umum seperti ini jarang terjadi.

Tak berlebihan untuk mengatakan bahwa pementasan monolog “Sang Bintang” malam itu terbilang sukses. Kesungguhan Dewi Aminah dalam mengeksplorasi bakat keaktorannya menghasilkan kesima kuat yang secara umum mampu membikin ratusan penonton tak beranjak pergi dari duduknya; hingga usai pertunjukan. Tentu, dalam konteks pertunjukan seutuhnya, anasir pendukung lain hasil kerja-kerja dalam proses yang membentuknya demikian; tak bisa dimenafikkan.

Catatan kecil ini tak dimaksudkan untuk menilai aspek-aspek teknis dari tetek-bengek disiplin dramaturgi yang jembar medan aktualisasinya. Saya membuatnya semata karena mengimani bahwa proses berkesenian itu sungguh suatu kenikmatan religius. Kedalaman yang hanya bisa diukur secara sense of arts dan bukan dengan melulu kerangka sains teoritik.

Selain secara faktual “Sang Bintang” memang mengharu penonton malam itu, sesungguhnya, proses simultan komunikasi kreatifnya masih terjadi, meski pentasnya sendiri telah usai.
Itulah takdir lakon “Sang Bintang” nya Whani Darmawan setelah pada 2016 ia selesai menulis dan merangkumnya Sampai Depan Pintu.    


SANG BINTANG: Keaktoran Dewi Aminah saat memainkan monolog "Sang Bintang" menjadi magnet ratusan penontonnya di aula Ronggowarsito kompleks kampus STIE Putra Bangsa Kebumen (9/5) - Foto: Ridho Kedung


Re-interpretasi teks dan konteksnya


Bagaimana talenta Dewi Aminah mengaktualisasikan kembali narasi cerita melampaui teks-teks verbal penulis lakonnya, dengan asistensi Nyak Dewi Kusumawati sebagai sutradara yang membantu membidaninya. Adalah sebuah perjalanan “Sang Bintang” yang secara tekstual telah ditakdirkan.

Secara tekstual memang lakon yang ditulis Whani Darmawan ini memuat manifestasi keinginan sebagai sebuah fenomena; akan tetapi yang tak berdiri sendiri secara konteks. Dia -manifestasi keinginan- itu tentu tak bersifat instan, melainkan dikonstruksi oleh hubungan-hubungan dialektis dalam hidup dengan tradisi -sistemik- tertentu yang membentuknya menjadi dan menemui realisme kekinian.  

Manakala perwujudan “Sang Bintang” ini hendak dibumikan (baca: dipanggungkan), maka muatan konteksnya mesti ikut dihadirkan secara jelas. Jelas di sini bermakna bukan sekedar mengganti seting pentas yang terbagi dalam tiga fase pengadegan, melainkan lebih pada tendensi karakter dan bangunan situasi pada setiap bagian narasinya, yang secara wutuh diaktualisasikan melalui kerja visual pentas monolognya.  

Transformasi teks-teks ke dalam pentas monolog memang mensyaratkan interpretasi dasar yang kuat dari sang talent. Nampak betapa tak ringannya misi milenial keaktoran “Sang Bintang” ini dalam mengusung konten dengan muatan visioner yang melihat lompatan ke depan, agar sampai ke dalam ruang kosmik penontonnya hari ini... [arp]

0 komentar:

Posting Komentar