Sabtu, 21 April 2018

Perempuan Perkasa dari Jawa

Catatan: Rukardi Achmadi | 21 April 2018 

Ilustrasi: Jimmy ONG, "Nyi Ageng Serang at Goa Selarong".
Jauh sebelum kemunculan RA Kartini di panggung sejarah Indonesia, perempuan Jawa sesungguhnya telah memainkan peran yang cukup bermakna. Mereka memiliki kesempatan bertindak dan mengambil inisiatif pribadi yang melampaui pencapaian kaumnya pada era kemudian, yakni akhir abad ke-19. Selain menjadi penjaga nilai-nilai tradisional dan agama, perempuan masa itu bahkan telah memasuki dunia yang menjadi dominasi laki-laki seperti bisnis, politik, bahkan kemiliteran.
Tak perlu jauh-jauh mencari rujukan ke era Ratu Shima atau Suhita, sejarawan Inggris Peter Carey dan Guru Besar Sejarah dari Humboldt University Vincent Houben menunjukkan keberadaan mereka yang hidup hanya pada rentang masa dua abad sebelum kelahiran Kartini. Dalam Perempuan-Perempuan Perkasa di Jawa Abad XVIII-XIX, Carey dan Houben menghadirkan sosok-sosok luar biasa yang mereka temui saat meneliti Perang Jawa (1825-1830). Ada para perempuan prajurit yang menjadi pengawal khusus raja, perempuan bangsawan yang melakukan perlawanan fisik terhadap kolonialisme, pengusaha ulet, hingga mereka yang berhasil memperjuangkan hak pribadinya dalam ranah domestik.
Perempuan prajurit pengawal raja antara lain terdapat di Surakarta dan Yogyakarta. Joseph Donatien Boutet, seorang penyewa tanah kesultanan dari Prancis yang mengunjungi Surakarta pada masa Pakubuwono V (1820-1823) mengungkapkan kekagumannya terhadap para "Srikandi pengawal" yang ia lihat. Empat puluhan perempuan prajurit itu duduk berbaris di bawah takhta sang raja dengan masing-masing membawa senjata lengkap, sebilah keris, pedang, dan sepucuk bedil.
Perempuan prajurit Jawa bukan sekadar pagar ayu, tapi benar-benar prajurit terlatih. Gubernur Pantai Timur Laut Jawa Jan Greeve yang mengunjungi Surakarta pada 31 Juli 1788 bersaksi bahwa para prajurit estri itu menyambut dirinya di loji Belanda dan Dalem Mangkunegaran dengan tembakan salvo yang teratur dan tepat. Kecakapan mereka juga terkonfirmasi dalam peristiwa penyerbuan tentara Inggris ke keraton Yogyakarta pada 20 Juni 1812. Seorang letnan Skotlandia dari pasukan resimen infanteri Inggris, Hector Maclean, tertikam oleh seorang putri keraton yang hendak ia culik sebagai pampasan perang.
Perempuan bangsawan yang melakukan perlawanan fisik terhadap kolonialisme Belanda diwakili oleh Raden Ayu Yudokusumo dan Nyai Ageng Serang. Keduanya terlibat aktif membantu Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa. Raden Ayu Yudokusumo yang merupakan putri sultan pertama merupakan satu dari beberapa panglima kavaleri senior Diponegoro di wilayah mancanegara timur. Ia kemudian bergabung dengan Tumenggung Sosrodilogo dalam perlawanan terhadap Belanda di pesisir utara antara 28 November 1827 - 9 Maret 1828.
Sedangkan Nyai Ageng Serang ikut angkat senjata, membantu putranya, Pangeran Serang II yang memimpin 500 prajurit di kawasan Serang-Demak pada bulan-bulan pertama Perang Jawa. Perempuan yang lahir di Desa Serang, daerah di antara Surakarta dan Purwodadi, pada sekitar tahun 1762 itu diyakini masih keturunan Sunan Kalijaga. Ia yang gemar bertapa di gua-gua sunyi di Pantai Selatan Jawa memiliki pengaruh besar di tanah kelahirannya. Atas jasanya dalam perjuangan melawan Belanda, pada masa kemudian Nyai Ageng Serang dianugerahi gelar Pahlawan Nasional.
Adapun perempuan pebisnis pada abad ke-18 hingga ke-19 berasal dari kalangan ningrat. Ada yang berdagang emas dan berlian, meminjamkan uang dengan suku bunga tinggi, atau menyewakan tanah kepada orang-orang Eropa. Salah seorang dari mereka adalah eyang buyut Diponegoro. Ia yang penganut tarekat Shattariyah, menghabiskan masa tuanya untuk mengawasi manajemen perkebunan dan sawah di Tegalrejo serta perdagangan produknya, terutama beras, melalui abdi dalem saudagar ke Semarang dan Bima Nusa Tenggara Barat. Di sana, ia juga terlibat dalam perdagangan budak yang kelak dilarang Inggris pada 1813.
Peran penting perempuan Jawa pada abad ke-18 dan ke-19 itu berangsur-angsur memudar pasca-Perang Diponegoro. Dengan sangat hati-hati, Carey dan Houben mengajukan hipotesis bahwa proses itu sangat dipengaruhi oleh kolonialisme dan Islam. Maka pada masa akhir abad ke-19, kita menjumpai kehidupan perempuan di Jawa sebagaimana digambarkan oleh Kartini. Kehidupan perempuan yang muram, terbelenggu, dan terbelakang. Dengan kecerdasan, kesempatan, dan jejaring yang dimilikinya, Kartini mencoba mendobrak kegelapan itu. Apa yang ia lakukan berhasil menginspirasi perempuan generasi sesudahnya untuk melompat lebih jauh lagi.
Perempuan Jawa dan daerah-daerah senasib lain di Hindia Belanda pun memasuki era baru yang memberi banyak kemungkinan dan kesempatan. Meski masih sangat terbatas, mereka mulai mendapatkan pendidikan. Dari sana muncul perempuan-perempuan belia yang tidak hanya terdidik, namun juga menyebarkan kesadarannya kepada khalayak lebih luas. Mereka turut bergerak, baik melalui organisasi umum maupun perkumpulan khusus perempuan. Untuk perkumpulan jenis kedua, mula-mula berdiri Poetri Mardika di Jakarta pada 1912, lalu diikuti oleh organisasi-organisasi perempuan lain, baik di Jawa maupun pulau-pulau lain di Hindia Belanda. Di Jepara, tanah kelahiran Kartini, pada 1915 berdiri perkumpulan Wanito Hadi. Gelombang itu terus bergerak ke kota-kota lain di Jawa Tengah, antara lain Pawijatan Wanito di Magelang (1915), Poerborini di Tegal (1917), Wanito Soesilo di Pemalang (1918), dan Wanodjo Oetomo di Yogyakarta (1920).
Ketika berlangsung Kongres Pemuda I Pada 1926 dan Kongres II pada 1928, para perempuan aktivis turut terlibat di dalamnya. Berselang dua bulan setelah Kongres Pemuda II yang menghasilkan kesepakatan monumental itu, mereka menyelenggarakan Kongres Perempuan Pertama di Yogyakarta. Perhelatan yang kelak dijadikan tonggak peringatan Hari Ibu tersebut membahas dan mencari pemecahan atas masalah yang mendera perempuan masa itu, seperti pendidikan, kedudukan yang lemah dalam perkawinan, masalah perceraian, poligami, dan pernikahan anak.
Pada masa kemudian, perempuan aktivis makin memperluas spektrum gerakannya. Sebagian dari mereka bahkan memilih terjun langsung ke lapangan politik. Salah satunya adalah SK Trimurti. Perempuan yang dilahirkan di Boyolali pada 11 Mei 1912 itu meninggalkan pekerjaanya sebagai guru yang berstatus pegawai negeri dan bergabung dengan Partindo, organisasi nasionalis radikal yang dipimpin oleh Sukarno. Lewat Partindo, Trimurti ingin menyumbangkan pikiran dan tenaga untuk bangsanya yang belum merdeka.
Akibat aktivitas politiknya yang radikal, Trimurti harus menjalani hukuman penjara berkali-kali. Di penjara Jurnatan Semarang, saksi mata pembacaan teks proklamasi kemerdekaan RI itu pernah dihajar tentara Jepang hingga nyaris tak sadarkan diri. Muka dan kepalanya bengkak akibat pukulan tongkat karet bertubi-tubi. Sebagai aktivis, ia kerap berpindah tempat, mulai dari Banyumas, Semarang, Yogyakarta, hingga Jakarta. Trimurti juga berkelana dari satu organisasi ke organisasi lain yang kebanyakan ia dirikan sendiri. Istri Sayuti Melik itu pernah menjadi jurnalis, aktivis buruh, hingga akhirnya diangkat oleh Presiden Sukarno sebagai Menteri Perburuhan Pertama RI.
Pasca-kekalahan Jepang, Indonesia memasuki masa revolusi. Pasukan Sekutu dan NICA yang tak mengakui kemerdekaan RI berusaha menegakkan kembali tatanan kolonial Hindia Belanda. Para pendukung republik melawan, berusaha mempertahankan kemerdekaan yang diproklamasikan Sukarno-Hatta pada 17 Agustus 1945. Kaum perempuan tak tinggal diam. Mereka turut berjuang melalui kelaskaran. Beberapa dari ribuan perempuan laskar itu adalah Dartiyah Soeripto yang bertugas di front Mranggen, Salatiga, Solo, dan Yogyakarta, Harrini Anggoro di medan tempur Salatiga dan Solo Raya, serta Widayati Soertinah di front Ambarawa. Mereka ada yang berkhidmad di dapur umum, menjadi kurir, tenaga kesehatan, ada pula yang turut bertempur di garis depan.
Kiprah perempuan aktivis pergerakan dan mereka yang turut dalam perjuangan kemerdekaan pada masa revolusi itu mengingatkan kita pada perempuan-perempuan perkasa Jawa pada abad ke-18 dan ke-19. Mereka melakoni peran yang dalam tradisi klasik menjadi domain laki-laki. Lebih bermakna, para perempuan itu menanam saham dalam penghancuran kolonialisme di Indonesia. Namun satu hal yang perlu diingat, peran mereka tak mungkin terjadi tanpa kehadiran sang pendobrak, Kartini. (Rukardi)
Sumber: RukardiAchmadi 

0 komentar:

Posting Komentar