Rabu, 18 Januari 2017

Retno Listyarti: Jangan Jadi Guru Penakut, Bongkar Korupsi!

Senin, 18 Januari 2016 | 07:00 WIB
Pebriansyah Ariefana


Sekjen FSGI, Retno Listyarti. (suara.com/Pebriansyah Ariefana)


Sosok Retno Listyarti kembali mencuat karena menang di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta melawan Provinsi DKI Jakarta. Dia dipecat sebagai kepala sekolah SMA Negeri 3 Jakarta, tapi pemecatan itu dianggap tidak sah oleh pengadilan.
Retno, sosok langka. Seorang guru yang statusnya pegawai negeri sipil, berani mengungkap banyak kasus korupsi dan penyelewengan di sekolah yang dia ajar. Retno tidak menyangkal mayoritas guru di Indonesia ‘penakut’.
Menurut dia, ‘segudang’ penyimpangan berpotensi terjadi sekolah. Mulai dari tindakan korupsi terstruktur antara pimpinan sekolah, dinas pendidikan daerah sampai ke Kementerian Pendidikan. Penyimpangan itu lah yang harus dibasmi.
Selama belasan tahun berkarir Retno menjadi guru, dia hafal persis modus penyimpangan di sekolah. Mulai dari penyimpangan dana Bantuan Opersional Sekolah (BOS) sampai penyimpangan Bantuan Operasional Pendidikan (BOP).
Retno pernah membuktikan saat dia menjadi Kepala Sekolah SMAN 76 Jakarta. Dia menemukan penyimpangan di sana. Makanya, Retno langsung mencanangkan program transparansi pengelolaan anggaran di sekolah tahun 2014 silam. Saat itu sekolah itu menjadi yang pertama berjuluk sekolah antikorupsi karena keuangannya langsung diperiksa oleh lembaga akuntan publik. Hasilnya sekolah mengembalikan sisa dana Bantuan Operasional Pendidikan (BOP) sebesar Rp 400 Juta pada akhir 2014.
“Kalau biasanya, uang itu dipakai buat apa saja. Banyak celah korupsi,” kata Retno.
Kiprahnya yang sekalu memprotes penyimpangan dan sistem pendidikan Indonesia, membuat dirinya banyak musuh. Dia sadar, banyak pihak yang berusaha menghentikan langkahnya dan menghambat kariernya. Bahkan keluarganya pun menjadi sasaran untuk menekan dirinya.
Namun teror sudah menjadi ‘makanan’ harian. Dia pernah diancam dipenjara sampai dibunuh. Itu karena Retno tidak takut ungkap keganjilan sekolah dan pendidikan di Indonesia.
Apa yang melatarbelakangi keberanian Retno? Dan apa saja modus korupsi dan penyimpangan di sekolah?
Simak wawancara dengan Retno pekan lalu dalam perbincangan santai di kedai kopi di kawasan Senayan:
Anda menggugat Pemerintah Provinsi DKI Jakarta karena memecat Anda sebagai Kepala Sekolah SMA 3 Jakarta. Setelah menang, apa yang akan Anda lakukan?
Niat mereka memecat saya sebagai PNS. Itu terungkap saat di Ombudsman. Ombudsman membujuk saya saat pertemuan terpisah dengan pihak Disdik Pemprov DKI, untuk tidak persoalkan surat itu agar saya selamat dari pemecatan. Saya menangkap pesan akan dipecat ketika menggugat dan terbukti di pengadilan saya salah. Itu bukan ancaman pertama.
Memecat PNS seperti saya kan sulit sekali, apalagi karena kesalahan sepele. Dalam keputusan hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta, kesalahan yang saya perbuat adalah kesalahan ringan. Hukumannya adalah teguran. Bukan dihukum berat dengan pencopotan jabatan. Maka Kepala Dinas DKI Jakarta Arie Budiman disebut melakukan pelanggaran.
Maka itu, Kepala Dinas Pendidikan diperintahkan mencabut surat keputusan itu karena batal demi hukum. Nama baik saya diperintahkan untuk dipulihkan, dan jabatan saya sebagai kepala sekolah harus dikembalikan.
Tapi kalau saya secara pribadi menggugat itu bukan untuk mencari jabatan, bahkan menjadi kepala sekolah lagi sudah saya tolak. Saya ingin melawan kewenang-wenangan saja. Saya menggugat untuk menguji di PTUN sesuai aturan atau tidak surat itu. Begitu gugatan saya diterima, maka saya otomatis jadi kepala sekolah SMA 3 lagi. Tapi tidak harus di sana, karena hakim memutuskan diserahkan ke dinas pendidikan.
Hal sepele, tapi Disdik DKI Jakarta menanggapi serius apa yang Anda perbuat…
Laporan ini saya menilai karena dilandasi kebencian. Saya membongkar korupsi di SMA 76. Saya sadar, musuh saya banyak. Saya 12 tahun melawan korupsi pendidikan. Saya pernah diancam dibunuh, dipecat dan sebagainya. Sudah biasa.
Saya membongkar skandal sekolah yang mendapatkan kursi, meja, dan lemari tiap akhir tahun. Tanpa diminta, itu dikirim semua ke sekolah. Tapi besoknya dipindahkan lagi ke sekolah lain. Jadi beli barang sedikit, rapi seolah-olah semua sekolah dapat.
Lalu uang Bantuan Operasional Pendidikan (BOP) distor sekian persen ke dinas pendidikan. Ada pengelolaan yang salah di dana itu. Lalu pembayaran kurban Rp500 ribu saat Idul Adha pakai dana BOP dari Anggaran Pendapatan dan Belanda Daerah (APBD). Distor ke suku dinas dan dinas pendidikan. Ini seluruh sekolah distor. Saat saya tanya, katanya itu dikatakan sudah biasa. Itu berapa miliar terkumpul.
Pendidikan macam apa yang dibangun di negeri ini? Ketika gurunya tidak kritis, tidak berani, tidak kreatif, dan selalu takut. Karena guru yang tidak kreatif, tidak akan membuat anak didiknya kreatif.
Anda PNS dan guru, apakah Anda tidak mempunyai ketakutan tentang karier Anda akan terhambat?
Ini semua menjadi pelajaran untuk saya , sudah 11 tahun saya menjadi klien Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta. Termasuk saat digugat Akbar Tanjung Rp10 miliar karena tulisan saya, melawan kebijakan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI), menjadi saksi di Mahkamah Konstitusi. Akhirnya saya belajar hukum, karena saya rentan dikenai hukum. Suatu saat kalau kena kasus lagi, saya ingin menjadi lawyer untuk diri sendiri.
Apa yang mendorong Anda untuk melakukan perlawanan?
Saya berpendapat untuk menumbuhkan orang untuk kritis itu harus banyak baca dan nulis. Karena untuk menuangkan isi pikiran dalam tulisan itu kan harus sistematis agar pembaca mengerti. Saya suka nulis dari kecil, tulis puisi dan cerpen dan dimuat di Majalah Bobo.
Tapi guru tidak pernah menghargai saya menulis. Sampai SMA, selalu memandang tulisan saya jelek. Mencoret-coret EYD, tidak ke substansi tulisan. Sampai saya SMA kelas II, saya mengenal Kelompok Ilmiah Remaja Jakarta Utara (Kirju). Saya belajar meneliti dan nulis. Kami menang beberapa lomba.
Tim saya di sana semua orang miskin, orang Tanjung Priok semua. Saya juga, meski tinggal di Kelapa Gading. Saya anak tentara, yang pangkat ayah saya bukan perwira tinggi. Terakhir pangkat ayah saya kapten.
Saat itu saya mencari buku-buku yang dilarang orde baru. Kenapa Karl Marx dilarang? Saat itu banyak buku-buku kiriman dari Australia. Tapi kami kami mendapat foto copinya saja. Ternyata buku-buku kiri yang dilarang itu buku yang mengasyikkan. Keberpihakan ke yang lemah dan melawan ketidakadilan. Jadi apa yang saya baca itu mempengaruhi cara saya berpikir.
Ketika itu saya ingin jadi guru karena saya ingin mempengaruhi anak-anak muda. Ayah saya nggak perbolehkan karena uangnya nggak banyak. Dia mengancam kalau kuliah guru, nggak mau biayakan. Saat itu masuk IKIP Jakarta (sekarang UNJ) bayarnya Rp106 ribu persemester. Jadi saya berpikir kayaknya bisa. Saya bayar masuk perguruan tinggi dari honor nulis opini saya di koran. Saya dua kali menulis, Rp5 ribunya saya mengutang.
Saat kuliah tingkat satu, saya ditawari menjadi periset oleh seseorang. Saya bisa keliling Indonesia, ke mana-mana. Gaji saya Rp550 ribu, tapi bayaran IKIP Jakarta Rp106 ribu persemester.
Di lingkungan guru, saya beda. Karena memang guru-guru banyak yang penakut. Jadi guru yang seperti ini, awalnya saya dijadikan tumpuan melawan kepala sekolah yang nggak benar. Saya juga mengkoordinir anak-anak OSIS untuk melawan kebijakan yang nggak benar.
Lagi pula sebagai PNS, saya harus patuh terhadap perundang-undangan. Bukan atasan. Makanya saya merasa apa yang saya lakukan, berarti bagi diri saya.
Anda menjadi Sekjen FSGI, bagaimana awal mula organiasasi itu berdiri?
Kami nggak berpikir FSGI ini pesaing PGRI atau juga PGRI Perjuangan. Saya pernah menjadi anggota PGRI, sampai satu hari saya digugat Akbar Tanjung atas buku saya. Ini buku pertama, dan didigugat pula. Itu buku pelajaran Buku PKn kelas X – XII SMA KBK. Tahun 2005, Akbar menggugat Rp10 miliar kalau saya tidak menghapus sebuah bahan diskusi atau pengayaan. Tema diskusi itu menggunakan artikel.
Saat itu Akbar dibebaskan di kasus Bulog Gate, saya tidak tertarik mengangkat Akbar dibebaskan. Saya mengangkat pendapat hakim yang berbeda, dari 5 hakim ada satu yang berpendapat berbeda, yaitu Hakim Agung, Abdurrahman Saleh. Dia menampilkan hal berbeda, berat lah saat itu. Melawan arus juga.
Saya angkat pemikiran dia, Akbar tidak pantas dibebaskan. Di buku itu saya bertanya, “apakah kasus ini memenuhi rasa keadilan?”, Siswa diminta menganalisis. Tulisan pendapat hakim itu saya ambil dari koran dan saya tempel di situ. Anak-anak diminta analisa, apakah putusan itu hakim itu adil?
Saat itu Akbar punya anak di Sekolah Santa Ursula dan menggunakan buku saya. Saat itu ketika Akbar menggugat, saya datang ke PGRI karena saya anggotanya. Tapi PGRi tidak menolong saya. Alasanya karena saya digugat sebagai penulis, bukan guru. Aneh, karena yang saya tulis buku pelajaran. Setelah itu saya putuskan keluar dari PGRI.
Saya pun dibantu YLBHI. Akhirnya Akbar justru mundur dan mengajak damai. Setelah itu 2005 saya kuliah S2 di Universitas Indonesia dan selesai tahun 2007. Selesai kuliah, saya belum masuk organisasi guru.
Tahun 2010, ada perbedaan tunjangan guru struktural daerah dengan yang di Jakarta. Saya melawan dan tunjangan itu berhasil disamakan. Saat itu saya dan teman-teman mendirikan organisasi lokal guru Jakarta, Serikat Guru Indonesia Jakarta. Tahu-tahu ada 8 daerah mengajak berkumpul dan membuat federasi, dan lahirlah FSGI di 2011.
Saya dipilih jadi Sekjen. Saya pemimpin organisasi guru satu-satunya yang perempuan. Kami kiprahnya melawan kebijakan. Membangun kebijakan yang lebih baik.
Anda lebih suka disebut guru atau aktivis?
Saya guru, dan aktivis juga. Saya aktivis guru yang memimpin organisasi profesi. Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama pernah menyebut FSGI ini LSM, padahal FSGI ini organisasi profesi. Ahok pernah bilang juga, “jangan jadi kepala sekolah kalau ingin pimpin organisasi guru,” itu salah.
Dalam UU Guru Dosen, Pasal 1 Butir 13 dalam UU 14/2005 menyebutkan organisasi profesi guru yang didirikan dan diurus oleh guru. Jadi bekas guru nggak boleh, yang bukan guru nggak boleh, apalagi politisi kayak PGRI. Masa yang mimpi politisi. PGRI di Jakarta dipimpin Kepala Badan Kepegawaian Daweah, itu melanggar. Makanya Pak Jokowi menyampaikan sambutan tertulis dalam ulang tahun PGRI Deember 2015 lalu yang dibacakan Puan. Dia bicara penataan organisasi profesi guru.
Kata Pak Jokowi, guru dipolitisasi. Kalau guru diurus kayak begini, nggak akan kritis guru. Banyak kepala dinas dan kepala sekolah diturunkan setelah Pilkada gara-gara incumbent nggak terpilih lagi.
Reformasi sistem pendidikan digaungkan tiap tahun, tapi sangat luas mana yang harus diubah. Menurut Anda mana yang harus lebih dulu diubah dari sistem pendidikan ini?
Permasalahan pendidikan itu dibagi dalam dua hal, kualitas dan akses. Kalau bicara sistem, maka kebijakan bermain. Kalau bicara persoalan, kualitas pendidikan Indonesia rendah. Gurunya rendah. Misal hasil penelitian world bank tahun 2012, menyatakan dari 12 negara Asia, Indonesia di posisi 12. Kualitas yan paling rendah.
Dari sisi hasil ujian kompetensi guru, guru hanya mendapatkan 4,3 dari rata-rata nilai dari paling tinggi 7. Dari sisi murid, itu menujukan rendah. Hasil kita di nomor buncit kok. Anak Indonesia hanya membaca 27 halaman buku pertahun. Padahal nggak ada buku yang dicetak di bawah 50 lembar. Jadi artinya murid membaca nol buku pertahun. Soal kualitas, Indonesia di urutan 39 dari 40 negara di 2014. Sistem itu siapa yang ciptakan, pemerintah.
Jadi untuk membenahi itu, bukan mengganti kurikulum. Tapi membangun kapasitas guru. Kalau gurunya berkualitas, muridnya akan berkualitas. FSGI pernah mensurvei tentang pelatihan untuk guru, karena pemerintah ini sangat kurang dalam memberikan pelatihan. Hasilnya 62 persen guru SD dari 29 SD di kota/kabupaten nggak pernah ikut pelatihan, bahkan menjelang pensiun. Guru itu harus di-charger, diupdate. Itu harus dibangun lewat sistem pemerintah.
Di Finlandia, SD-SMP nggak ada ujian nasional. UN ada di SMA, untuk menjaring masuk ke perguruan tinggi. Nilai kejujuran sudah ditanamkan. Di Indonesia, UN menjadi berhala. Kami setuju UN ada, tapi bukan untuk menentukan kelulusan.
Tapi sekarang dipakai untuk pemetaan. Misal ada SMA di NTT, nilai matematikanya jelek, ternyata guru matematikanya nggak ada yang benar. Gurunya harus dilatih. Ketika hasil pemetaan terpotret, maka ada reaksi yang dilakukan pemerintah.
Standar UN bisa dilakukan jika semua sekolah atau daerah sudah terpenuhi fasilitas yang sama. Jangan sampai ada murid yang mau sekolah sampai jalan 7 jam. Beda dong sama yang naik motor atau mobil.
___
Retno Listyarti, lahir di Jakarta, 24 Mei 1970. Sebagai PNS, dia berpangkat Pembina dengan golongan Iva. Retno adalah guru PPKn. Dia lulusan S2 Ilmu Politik di Uiversitas Indonesia. Ibu 3 anak itu sudah menghasilkan 10 buku dan belasan prestasi di bidang akademik, penulisan dan penelitian.
Selain menjadi guru, dia juga menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru indonesia (FSGI). Tahun ini masa tugasnya selesai. Retno dikenal sebagai sosok guru yang berani mengungkap korupsi di bidang pendidikan, terutama di sekolah Jakarta.
Dia pernah mengembalikan sisa dana Bantuan Operasional Pendidikan (BOP) sebesar Rp 400 Juta pada akhir 2014. Hal itu dilakukannya saat masih menjabat sebagai Kepala SMA 76.
Sumber: Suara.Com 

0 komentar:

Posting Komentar