Kamis, 18 Juni 2009

Membaca Akal Bulus Scapin

Tak enak menonton pementasan teater tapi sedikit telat karena urusan menghangatkan badan, sebab ketika datang, gedung Sumardjito di kampus UnSoed tempat pementasan berlangsung masih tertutup. Selesai dengan urusan kopi, pementasan telah dimulai. Rekaman bisik-bisik dengan oknum dari pihak resmi civitas akademika di FE, didapat tahu bahwa cerita naskah yang bakal dipentaskan malam itu, impor dari imperium Perancis, masa Louis XIV. "Drama klasik !", begitu sorak dalam hati.

Menonton Akal Bulus Scapin, karya Molliere, sebuah ketakjuban baru di Kampus Purwokerto. Sejenak terlupakan sakit badan teman yang jatuh lepas magrib di jalanan. Terseok imajinasi kami diseret ke tengah panggung, mengunyah seting yang sayup beraroma anggur dan sisa gandum di gudang para borju. Namun begitu, seting ini sedikit banyak telah membantu mengecap taste Eropa. Kesayupan ini segera disundut ligthing yang intensitasnya konstan saja sepanjang durasi babak. Di sana tercatat pekerja panggung Margin, bersungguh mewujudkan yang masih sedikit itu. Beberapa properti, seperti gerobak jadi minimalis aspek fungsional ketimbang kelengkapan formal panggungnya.

Karya Molliere di tangan sutradara Bangkit Kurniawan ini masih kembali mengingatkan orang pada Margin tentang cacat sedikit pada tidak maksimalnya eksplorasi dialog. Kesan kesusu, meski tak mengganggu, seperti rentet petasan yang masih juga tersisa asapnya di sana. Padahal, sebenarnya, kendala khas pertama dalam memainkan lakon klasik semacam ini, yakni mengularnya dialog telah diatasi dengan baik oleh masing-masing pemeran.
Mungkinkah ini sebuah kekhawatiran akan durasi pentas yang dapat berekses pada kejenuhan audiens ?

Pembelajaran Akal "Scapin" Molliere

Kegemparan bisa bermula dari ruang yang tak diperhitungkan. Orang yang tidak dimanusiakan dapat menjadi bumerang di ranah humanism. Begitulah Scapin, yang berteman dengan sang idiot untuk lebih dari sekedar membedakan kecerdikan. Ia belajar dari situasi sosial yang termarjinalkan. Inikah alasan teater "Margin" memilih materi pementasan, yang cukup mewakili spirit berteaternya itu.
Scapin adalah perwujudan manusia yang mewakili kelas sosialnya, tetapi ia belajar dengan membaca fakta empiris kesehariannya. Di Latin juga ada pomeo lain, bahwa kaum budak selalu menemukan bahasanya sendiri. Ada pembelajaran di panggung "Margin" malam itu.
Penulis sekaliber Molliere tak keluar dari penjara dan kelas yang berbeda dengan inspirator Revolusi Perancis; Voltaire.

0 komentar:

Posting Komentar