Akmal Uro - 30/10/2019
Pendidikan merupakan salah satu hal penting dalam
kehidupan seseorang. Pendidikanlah yang menentukan, menuntun masa depan dan
arah hidup seseorang. Dengan pendidikan, dapat menciptakan manusia-manusia yang
berkualitas, berintelektual, dan jauh dari kebodohan.
Meskipun tidak semua orang berpendapat seperti itu, namun
pendidikan tetaplah menjadi kebutuhan nomor wahid. Bagi Tan Malaka sendiri,
pendidikan merupakan perkakas membebaskan rakyat dari keterbelakangan dan
kebodohan.
Karena kemajuan suatu bangsa tak lepas dari pendidikan,
maka dari itu dituangkanlah beberapa kebijakan yang memberikan peluang bagi
seluruh rakyat Indonesia untuk mengenyam pendidikan, seperti pada Undang-Undang
Dasar 1945 Pasal 31 Ayat 1 yang berbunyi: “Setiap Warga Negara Berhak Mendapatkan
Pendidikan”.
Selain itu, juga dituangkan dalam cita-cita bangsa ini
yang terdapat pada Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yakni “Mencerdaskan
Kehidupan Bangsa”.
Namun, hingga saat ini, cita-cita ‘Mencerdaskan Kehidupan
Bangsa” masih ‘terasa’ jauh dari kata terwujud. Pasalnya, masih banyaknya
anak-anak Indonesia yang belum mengenyam pendidikan formal menjadi salah satu
alasan. Berdasarkan Data UNICEF tahun 2016, sebanyak 2,5 Juta anak Indonesia
tidak dapat menikmati pendidikan lanjutan, yakni sebanyak 600 Ribu anak usia
Sekolah Dasar (SD) dan 1,9 juta anak usia Sekolah Menengah Pertama (SMP).
Memang, ada beberapa faktor yang membuat anak-anak
Indonesia tidak dapat menikmati pendidikan, seperti karena faktor ekonomi yang
berdampak pada tidak teraksesnya pendidikan bagi rakyat kecil, paradigma
masyarakat yang menganggap pendidikan tidak penting, sarana dan prasarana,
kurikulum yang diterapkan, dan beberapa faktor yang lain.
Faktor ekonomi menjadi penghambat utama untuk melanjutkan
pendidikan.
Padahal, dalam
komitmen tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals
(SDGs) 2030 di Bidang Pendidikan, setiap negara harus bisa memastikan tidak ada
seorang pun yang tertinggal dalam hal pendidikan.
Dari hasil survei Badan Pusat Statistik, ada sekitar 73
Persen kasus putus sekolah terjadi akibat faktor ekonomi. Hal ini sangat
disayangkan, padahal pemerintah Indonesia sangat serius melaksanaan kebijakan
pembangunan di sektor pendidikan yang bertujuan untuk Mencerdaskan Kehidupan
Bangsa, terutama pada pengalokasian anggaran pendidikan yang mencapai 20% dari
total anggaran pembangunan.
Program yang diprioritaskan antara lain, untuk
pembangunan sarana dan prasarana pendidikan, perpustakaan, pengadaan buku-buku,
biaya operasional, beasiswa, pendidikan gratis bagi masyarakat miskin. Tapi toh
nyatanya masih banyak anak-anak Indonesia yang belum bisa mengenyam pendidikan.
Pendidikan yang tidak bisa terjangkau karena biayanya
yang mahal masih sangat dirasakan bagi rakyat kecil, seperti anak-anak jalanan
yang kurang beruntung untuk mendapatkan pendidikan.
Sangat sulit bagi mereka untuk menghapus dampak
pendidikan bagi mereka yang tidak didapatkannya. Karena mereka harus memikirkan
bagaimana caranya untuk membayar uang iuran sekolah, untuk membeli perlengkapan-perlengkapan
sekolah, sedangkan untuk makan sehari-hari saja sangat susah.
Apakah dengan nilai-nilai yang bagus semasa duduk di
bangku sekolah ‘Mencerdaskan kehidupan bangsa’ akan terwujud? Ataukah lulus
dengan IPK yang tinggi ‘Mencerdaskan kehidupan bangsa’ akan terwujud? Tentu itu
bukanlah sebuah tolok ukur.
Bagi Sultan Ibrahim atau lebih dikenal Tan Malaka sendiri
berpendapat bahwa Pendidikan bukanlah semata-mata alat untuk kecerdasaan
pribadi saja, tetapi juga sebagai alat kecerdasan sosial agar mengetahui bentuk
ketertindasaan di dalam masyarakat. Selain itu, ia juga berpendapat bahwa
pendidikan harus bersifat transformatif sebagai alat untuk keluar dari segala
jeratan praktik diskriminasi dan penindasan
Lantas, di mana nilai-nilai demokrasi yang menjamin
seluruh rakyat Indonesia untuk merasakan bangku sekolah sebagaimana yang
tertuang pada Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 31 Ayat 1? Apakah itu hanya sebuah
‘pajangan’ dalam konstitusi negara?
Tentu, pendidikan yang merata dan bisa diakses oleh semua
kalangan rakyat Indonesia adalah bentuk perwujudan nilai-nilai demokrasi dalam
ranah Pendidikan.
Oleh karena itu, Sekolah Rakyat bisa menjadi alternatif
pendidikan bagi ‘mereka’ yang termarginalkan. Sekolah yang bisa menjadi
‘lumbung’ ilmu bagi anak-anak bangsa yang tidak dapat mengenyam pendidikan
layaknya anak sebayanya. Gudang ilmu dan tempat berkreasi bagi pemuda yang
‘terpaksa’ meninggalkan bangku sekolah karena himpitan ekonomi.
Dengan menyusun kurikulum sesuai dengan budaya,
kebutuhan, dan kondisi masyarakat, Sekolah Rakyat tersebut diharapkan bisa
membangkitkan kesadaran rakyat untuk peduli dan kritis terhadap segala
persoalan yang terjadi dalam lingkungan mereka.
Sebut saja seperti persoalan kemiskinan maupun penindasan
yang dilakukan penguasa terhadap mereka. Caranya adalah melalui sebuah
pembangunan berpikir yang mampu memecahkan persoalan-persoalan yang ada dalam
dirinya, yang selanjutnya dibenturkan dengan realitas pahit yang mereka alami.
Salah satu contoh dari Sekolah alternatif yang ada di
Indonesia adalah Cahaya Anak Negeri, sebuah wadah kegiatan dan pendidikan untuk
membantu anak jalanan meraih cta-cita. Adalah Andi Suhandi dan Nadiah Abidin,
aktor di balik lahirnya sekolah jalanan tersebut. Mereka mendirikan sekolah
tersebut bermula dari keprihatinan terhadap pendidikan dan masa depan anak-anak
jalanan di Kota Bekasi.
Sekolah seperti Cahaya Anak Negeri ini perlu dan
semestinya untuk didukung keberadaannya. Agar ke depannya, pemandangan
anak-anak jalanan yang berlarian jika dikejar Satuan Polisi Pamong Praja
(Satpol PP) atau anak yang mengulurkan tangan untuk mengisi isi perutnya tak
terlihat lagi dengan hadirnya sekolah-sekolah alternatif untuk mereka.
Jika mencerdaskan kehidupan bangsa diukur dari banyaknya
sarjana, maka rakyat yang memilih Sekolah Rakyat tidak akan mampu untuk
mewujudkannya. Akan tetapi, jika mencerdaskan kehidupan bangsa diukur dari
kemajuan pola berpikir rakyat Indonesia, maka Sekolah Rakyat bisa dan mampu
untuk mewujudkan itu.
Permasalahan pendidikan bukanlah tugas pokok pemerintah
semata, akan tetapi juga pada rakyat yang sadar untuk mewujudkan nilai-nilai
demokrasi dalam ranah pendidikan. Terwujudnya pendidikan yang bisa diakses oleh
seluruh rakyat Indonesia, tanpa diskriminasi, pendidikan yang tak kenal
golongan adalah wujud nyata realisasi konsitusi negara di bidang pendidikan
seperti yang diamanatkan pada Pasal 31 Ayat 1.
0 komentar:
Posting Komentar