Kamis, 01 Agustus 2019

Kuputarung# | Sekapur Sirih oleh Aris Panji Ws



SEKAPUR SIRIH

Pada akhirnya penerbitan 82 puisi yang dihimpun dari 13 penyair Kebumen ini terlaksana, di tengah keinginan tak pernah pupus guna melakukan kerja-kerja dokumentasi sastra di daerah. Upaya ini menjadi bagian yang dinilai penting, meskipun lebih didorong pada pendekatan kuantitas agar sebanyak mungkin para penyair daerah tergerak dengan cara mempublish karyanya.

Penerbitan buku antologi puisi Kuputarung 2 ini merupakan kelanjutan dari apa yang telah dilakukan terdahulu, yang rintisannya berdiri pada landasan kemandirian penyair sesudah ia menekuni ruang ciptanya. Selain itu, pada proses kreatif kepenyairan, setiap kelahiran karya dapat lah dianalogikan sebagai orok buah pergulatan batin penyairnya.

Pada awalnya, puisi adalah bagian utuh dari sosok penyair yang memuat asa dan kemenyerahan, cinta dan kegelisahan, sunyi dan kesejatian. Atau juga muatan-muatan lain yang dipungut dari kejadian sehari-hari, remah-remah peristiwa hari ini, kenangan yang mengendap-endap; bahkan hal-hal yang bagi khalayak dianggap biasa saja.

Setiap penyair memperlakukan apa yang diinderakannya memasuki tabir intuisi, sehingga setiap teks yang ditorehnya memiliki konteks kesastraan.

Begitu lah karya. Bahwa apakah ia -karya itu- menemukan kekuatannya untuk tumbuh dan memiliki kesanggupan buat menemui serta mewarnai ragam jagad pembacanya. Bahkan dalam perjalannya yang seiring dan bakal melampaui lintasan berdimensi waktu. Maka takdir itu, sesungguhnya, telah terbawa semenjak kapan, pada intensitas dan kedalaman seperti apa; puisi itu terlahir.

Beberapa puisi dalam buku antologi kali ini kental dengan aura romantisme masa muda, boleh jadi karena itu memang cara penyair mengaktualisasi diri di tengah konteks masa dan usianya. Itu yang kemudian memunculkan idiom puisi remaja di ranah publik pembaca. Tetapi kerja penyelia puisi-puisi ini bukan diproyeksikan bagi pembedaan dikotomis tua-muda.

Satu-satunya perekat kepenyairan yang mewadahi kiprah, karya cipta dan menyetarakan persepsi mereka adalah spirit komunitas. Itu sebabnya ada Komunitas Penyair Kebumen (KPK), yang menjadi ruang menghimpun karya serta mengkomunikasikan pemikirannya.

Hasilnya mendapati 13 penyair diantaranya: Daryono Cengkim, Dodottiro, Dwi Agus Setiawan, Eko Sajarwo, Fajar Muzaki, Masindro, Nasikhatun Sulfiyani, Teguh Hindarto, Pekik Sat Siswonirmolo, Kata Hankena, Pitra Suwita, Naomi dan Bambang Indrajeet.

Ada nuansa beragam, karena memang antologi ini dihadirkan bukan dalam kerangka (baca: kerangkeng) tematik. Namun kegelisahan para penyair yang melahirkan puisi-puisi, bukan berarti telah menihilkan tema atas karyanya. Dari keberagaman yang toleran, cinta dan pengingkaran, kesucian yang hasut, kerinduan yang tragik, kematian yang melangit, hingga akidah teologi yang dibumikan.

Membaca puisi-puisi dalam buku antologi ini, pada derajat tertentu, serasa menemukan kembali nilai kemanusiaan yang tiap hari seakan makin terkikis fitrahnya. Dan saya ikut mengantarkannya bukan dalam kapasitas sebagai sastrawan apalagi kritikus yang memiliki kelaikan menilai atau mengulitinya. Biarlah itu menjadi wilayah kedaulatan sidang pembaca beserta para ahli sastra.        

Buku antologi puisi “Kuputarung 2” ini, sedikit banyak, bakal memfasilitasi post kelahiran puisi itu. Dengan beragam latar belakang penyairnya. Ada banyak warna berpendaran, seperti pelangi yang tetap dipercaya sebagaimana falsafah kebhinekaan kita. Semua dapat diraih, dipetik dan direaktualisasi dalam keseharian kita sebagai manusia dan warga bangsa.

Salam Sastra.

·      Aris Panji Ws
arispanji@gmail.com

0 komentar:

Posting Komentar