SEKAPUR SIRIH
Pada akhirnya penerbitan 82 puisi yang dihimpun dari 13
penyair Kebumen ini terlaksana, di tengah keinginan tak pernah pupus guna
melakukan kerja-kerja dokumentasi sastra di daerah. Upaya ini menjadi bagian
yang dinilai penting, meskipun lebih didorong pada pendekatan kuantitas agar
sebanyak mungkin para penyair daerah tergerak dengan cara mempublish karyanya.
Penerbitan buku antologi puisi Kuputarung 2 ini merupakan
kelanjutan dari apa yang telah dilakukan terdahulu, yang rintisannya berdiri
pada landasan kemandirian penyair sesudah ia menekuni ruang ciptanya. Selain
itu, pada proses kreatif kepenyairan, setiap kelahiran karya dapat lah
dianalogikan sebagai orok buah pergulatan batin penyairnya.
Pada awalnya, puisi adalah bagian utuh dari sosok penyair
yang memuat asa dan kemenyerahan, cinta dan kegelisahan, sunyi dan kesejatian.
Atau juga muatan-muatan lain yang dipungut dari kejadian sehari-hari,
remah-remah peristiwa hari ini, kenangan yang mengendap-endap; bahkan hal-hal
yang bagi khalayak dianggap biasa saja.
Setiap penyair memperlakukan apa yang diinderakannya
memasuki tabir intuisi, sehingga setiap teks
yang ditorehnya memiliki konteks
kesastraan.
Begitu lah karya. Bahwa apakah ia -karya itu- menemukan
kekuatannya untuk tumbuh dan memiliki kesanggupan buat menemui serta mewarnai
ragam jagad pembacanya. Bahkan dalam perjalannya yang seiring dan bakal melampaui
lintasan berdimensi waktu. Maka takdir itu, sesungguhnya, telah terbawa
semenjak kapan, pada intensitas dan kedalaman seperti apa; puisi itu terlahir.
Beberapa puisi dalam buku antologi kali ini kental dengan
aura romantisme masa muda, boleh jadi
karena itu memang cara penyair mengaktualisasi diri di tengah konteks masa dan
usianya. Itu yang kemudian memunculkan idiom puisi remaja di ranah publik pembaca.
Tetapi kerja penyelia puisi-puisi ini bukan diproyeksikan bagi pembedaan
dikotomis tua-muda.
Satu-satunya perekat kepenyairan yang mewadahi kiprah,
karya cipta dan menyetarakan persepsi mereka adalah spirit komunitas. Itu
sebabnya ada Komunitas Penyair Kebumen
(KPK), yang menjadi ruang menghimpun karya serta mengkomunikasikan
pemikirannya.
Hasilnya mendapati 13 penyair diantaranya: Daryono
Cengkim, Dodottiro, Dwi Agus Setiawan, Eko Sajarwo, Fajar Muzaki, Masindro,
Nasikhatun Sulfiyani, Teguh Hindarto, Pekik Sat Siswonirmolo, Kata Hankena,
Pitra Suwita, Naomi dan Bambang Indrajeet.
Ada nuansa beragam, karena memang antologi ini dihadirkan
bukan dalam kerangka (baca: kerangkeng)
tematik. Namun kegelisahan para penyair yang melahirkan puisi-puisi, bukan
berarti telah menihilkan tema atas karyanya. Dari keberagaman yang toleran, cinta
dan pengingkaran, kesucian yang hasut, kerinduan yang tragik, kematian yang
melangit, hingga akidah teologi yang dibumikan.
Membaca puisi-puisi dalam buku antologi ini, pada derajat
tertentu, serasa menemukan kembali nilai kemanusiaan yang tiap hari seakan makin
terkikis fitrahnya. Dan saya ikut mengantarkannya bukan dalam kapasitas sebagai
sastrawan apalagi kritikus yang memiliki kelaikan menilai atau mengulitinya.
Biarlah itu menjadi wilayah kedaulatan sidang pembaca beserta para ahli sastra.
Buku antologi puisi “Kuputarung 2” ini, sedikit banyak, bakal
memfasilitasi post kelahiran puisi
itu. Dengan beragam latar belakang penyairnya. Ada banyak warna berpendaran,
seperti pelangi yang tetap dipercaya sebagaimana falsafah kebhinekaan kita.
Semua dapat diraih, dipetik dan direaktualisasi dalam keseharian kita sebagai
manusia dan warga bangsa.
Salam Sastra.
·
Aris Panji Ws
arispanji@gmail.com
0 komentar:
Posting Komentar