Rudi Hartono | 28 FEBRUARI
2018 | 10:42
Memasuki abad ke-20, di Hindia-Belanda memang sudah
berdiri banyak sekolah. Namun, mereka yang bisa mengakses sekolah itu hanya
orang keturunan Eropa dan segelintir rakyat jajahan.
Di sisi lain, agar bisa mengejar kemajuan, rakyat jajahan mesti diberi pengetahuan. Seperti dikatakan tokoh pencerahan Indonesia, Kartini: “pemberian pendidikan yang baik kepada anak Negeri sama halnya dengan memberi lentera di tangannya, agar dia menemukan sendiri jalan yang benar menuju hidup mulia dan bermartabat.”
Hanya saja memang, disamping diskriminatif dan eksklusif,
pendidikan kolonial itu tidak berorientasi memajukan rakyat Indonesia.
Pendidikan kolonial berorientasi pada pemenuhan tenaga terdidik untuk industri
dan adminisrasi kolonial. Disamping itu, pendidikan kolonial juga memisahkan
anak didik dan rakyat banyak
Melihat kondisi itu, pada 1921, SI cabang Semarang
mendirikan sekolah alternatif bagi rakyat. Namanya SI school atau Sekolahan
SI Semarang. Tan Malaka, yang baru bergabung dengan SI cabang Semarang kala
itu, menjadi pengajar utama di sekolah ini.
SI Semarang memang sudah lama bersuara lantang soal
pendidikan. Dalam koran propaganda SI Semarang, Sinar Hindia, bertanggal
23 Agustus 1921, disebutkan bahwa sejak tahun 1916 SI cabang Semarang sudah
mengusulkan agar pengajaran rakyat Hindia diatur dengan secara standenschool (sekolah
negeri).
Lalu pada tahun 1917, SI mengusulkan agar semua rakyat
tanpa pengecualian bisa diterima di HIS (Hollandsch-Inlandsche School).
Pasalnya, sekolah milik kolonial Belanda zaman itu hanya menerima anak dari
keturunan bangsawan dan pegawai tinggi.
Semua usulan SI semarang itu diabaikan penguasa kolonial.
Akan tetapi, SI semarang juga menyadari, bahwa tidak mungkin penguasa kolonial
mau menyelenggarakan sebuah sistem pengajaran yang mencerdaskan seluruh rakyat.
“Keperluan rakyat pertama-tama harus diperhatikan oleh rakyat sendiri dan
dengan kekuatan rakyat sendiri,” begitulah sikap SI Semarang.
Muncullah ide membuat sekolah sendiri. Dan, berkat andil
Tan Malaka dan Semaun, ide itu berhasil diwujudkan tahun 1921. Tan Malaka
sendiri adalah alumnus Kweekschool (Sekolah Guru) di Negeri Belanda.
Ia banyak makam asam garam soal sistem pengajaran.
Menurut Hary A Poeze, Tan Malaka mendapatkan inspirasi
mengenai sekolah SI ini dari Belanda dan Rusia. Kata Poeze, Tan sempat membaca
tulisan seorang Rusia mengenai kurikulum sekolah komunis. Selain itu, kata
Poeze, Tan juga mendapat pengalaman saat bekerja di perkebunan tembakau di
Deli.
SI School itu resmi dibuka tanggal 21 Juni 1921.
Pendaftar pertamanya berjumlah 50-an orang. Koran Soeara Ra’jat, yang
memberitakan pembukaan Sekolah SI tersebut, menyebutkan bahwa sekolahan baru
tersebut menggunakan ruang rapat SI semarang sebagai ruang belajar.
Saat pembukaan sekolah, beberapa anak bercelana merah berdiri
membentuk saf di depan hadirin. Tak lama kemudian mereka menyanyikan lagu Internasionale,
lagu kelas pekerja sedunia. Beberapa hadirin menitikkan air mata saat
menyaksikan kejadian itu. Tak lama kemudian, sorak dan tepuk tangan bergemuruh
menyambut defile yang dilakukan anak-anak sekolahan SI tersebut.
Tak hanya itu, SI juga membuka pengumuman menerima donasi
melalui wesel dengan alamat kantor SI Semarang dan atas nama Semaun.
Dengan demikian, orang-orang dari luar Semarang yang bersimpati dengan sekolah
SI bisa mengulurkan bantuan.
Puncaknya, pada 13 November 1921, SI Semarang kembali
menggelar vergadering besar. Ribuan orang menghadiri vergadering
yang, antara lain, membahas nasib sekolah SI. Dalam waktu singkat, anggota SI
menyatakan dukungan penuh bagi keberlanjutan sekolah SI. Mereka pun rela
mengumpulkan dana bagi mendanai sekolah.
Pada bulan November 1921, terinspirasi oleh sukses
sekolah SI di Semarang, cabang SI di daerah lain juga melakukan hal serupa.
Pada awal November 1921, berdirilah Sekolah SI cabang Salatiga dengan 75 murid.
Selain itu, pada akhir September 1921, sekolahan SI juga berdiri di Kaliwungu
dan Kendal. Pada awal Januari 1922, sekolah SI juga berdiri di Bandung, Jawa
Barat, dengan 120-an murid. Jauh di Sumatera sana, tepatnya di Padang Panjang,
juga berdiri Sekolah Rakyat.
Sayang, Tan Malaka tidak bisa terus mendampingi
perkembangan sekolah SI tersebut. Pada bulan Maret 1922, setelah rapat umum
bersama kaum buruh di Semarang, Tan Malaka ditangkap di Bandung. Penangkapan
itu berlangsung tepat setelah ia usai mengajar di sekolah SI Bandung.
Terhadap penangkapan itu, surat kabar De
Locomotief menulis, “Tan Malaka, yang ditangkap karena mengeluarkan
tulisan-tulisan anti-Belanda, anggota dewan gemeente Semarang, Kepala Sekolah
SI di sini…Siapa yang pegang kaum muda, pegang masa depan…maka sekolah-sekolah
SI sepenuhnya dibawa ke arah anti-Belanda, dan inilah yang sudah tentu menjadi
alasan pokok mengapa Ia (Tan Malaka) tidak boleh tinggal lebih lama lagi di
Jawa.”
SI Semarang memprotes penangkapan tersebut. Anak didik
dan orang tua juga turut meluapkan protes atas penangkapan Tan. Surat kabar
ISDV, Het Vrije Woord, tertanggal 1 Mei 1922, memuji keberhasilan Tan
Malaka berhasil mendirikan sekolah bagi anak-anak kaum pribumi di Hindia
yang haus pendidikan.
Namun, penangkapan Tan Malaka terbukti tidak berhasil
menahan laju gerakan rakyat di tanah Hindia, termasuk perkembangan
sekolah-sekolah SI yang mendidik rasa merdika. Setelah penangkapan
dan pembuangan Tan, sekolah SI berdiri di 12 kota di Hindia, termasuk Ternate.
Tiap-tiap kota rata-rata menampung 250-an murid.
Saat itu, selain sekolah rakyat yang dibangun oleh SI,
tokoh pergerakan seperti Ki Hajar Dewantara juga mendirikan sekolah rakyat
bernama Taman Siswa. Kemudian beberapa lembaga Islam, seperti Muhammadiyah,
mendirikan lembaga pendidikan sendiri. Dengan demikian, sekolah-sekolah mandiri
yang didorong oleh bangsa jajahan sendiri mulai berkembang pesat saat itu.
Tak heran, penguasa kolonial mulai khawatir dengan
perkembangan “Sekolah-Sekolah Liar” tersebut. Di Semarang, sejak tahun 1923,
penguasa kolonial mengeluarkan Ordonasi Pengawasan, yang mengharuskan
sekolah-sekolah yang mau berdiri maupun yang sudah setahun berdiri untuk
melapor ke pemerintah setempat. Dalam laporan tersebut, harus dicantumkan sifat
pendidikan yang diberikan dan tempatnya. Dengan begitu, penguasa kolonial punya
dalih untuk mengontrol dan mengawasi sekolah-sekolah SI di berbagai daerah.
Tak hanya itu, penguasa kolonial juga menggunakan
milisi-milisi sipil bentukan mereka, seperti Sarekat Hidjo (semacam FPI di
zaman sekarang), untuk menghalangi dan mengintimidasi guru, murid, dan orang
tua di sekolah-sekolah SI. Seperti ditulis Tan Malaka:
“Akan tetapi, sekolah itu digencet dengan kekerasan. Dengan alasan yang tak cukup setiap waktu guru-guru di sekolah itu dilarang mengajar, dan orang tua murid-murid ditakut-takuti. Pukulan penghabisan dijatuhkan Serikat Hijau (sebuah kumpulan penyamun yang dikerahkan, diupah dan dipimpin oleh pemerintah dan orang-orangnya). Penyamun upahan ini disuruh membakar sekolah, menakut-nakuti dan menganiaya orang, murid dan guru-gurunya. Dan perintah dijalankan oleh mereka dengan sungguh-sungguh.”
Pasca perpecahan di tubuh SI, yang melahirkan SI merah
dan SI putih, sekolah SI juga mengalami perubahan. Kelak, SI merah berganti
nama menjadi Sarekat Rakyat. Maka Sekolah SI pun berganti nama menjadi Sekolah
Rakyat. Sarekat Rakyat dan Sekolah Rakyat dekat dengan politik Partai Komunis
Indonesia (PKI) yang tegas anti-kolonial dan anti-kapitalisme.
Pada tahun 1932, sehubungan dengan pertumbuhan
Sekolah-Sekolah Rakyat dan sekolah-sekolah alternatif yang dibangun kaum
pergerakan, pemerintah kolonial mengeluarkan Toezicht Ordonnantie Particulier atau
sering disebut Ordonansi Sekolah Liar, yang mengharuskan sekolah yang
tidak menerima biaya (subsidi) dari pemerintah tidak memulai aktivitasnya
sebelum mendapat ijin dari pemerintah kolonial.
Ordonansi itu berusaha mencekal pendirian Sekolah-Sekolah
Rakyat maupun sekolah-sekolah mandiri yang dibangun oleh kaum pergerakan.
Memang, sejak pendirian sekolah SI di Semarang, kaum pergerakan mulai melihat
sekolah rakyat sebagai sarana untuk mendidik anak kaum pribumi dan menyiapkan
mereka sebagai calon aktivis pergerakan.
Meski demikian, benih sekolah Rakyat yang ditabur oleh
Tan Malaka dan SI Semarang sudah terlanjur menyentuh tanahnya, yakni kehendak
Rakyat untuk mendapat pendidikan yang mencerdaskan dan membebaskan.
0 komentar:
Posting Komentar