Rabu, 14 Februari 2018

Umbu Landu Paranggi Sang “Maramba Ngilu”

14 Feb 2018 | Latief S. Nugraha

Menyebut peran individu dalam masyarakat sastra sentra Yogyakarta dan Bali adalah menyebut nama Umbu Landu Paranggi. Tokoh yang juga disebut sebagai "bidan dua angkatan sastra Indonesia modern" oleh Korrie Layun Rampan.
Dan cakrawala di atas itu kembali menggoda, bahkan menyiksa batin kita. Terlambat lagi, tapi tak mengapalah. Karena memang senantiasa kita ketinggalan dengan waktu, ruang, dan peristiwa demi peristiwa. Sayang sekali, tapi dengan berkeluh kesah begini, dengan cegatan begitu, dengan gempar, terperanjat, dan keterasingan yang demikian itu kiranya masih ada kemungkinan terbuka, ribut-ribut dan bertemu kembali satu dialog satu tatapan. Di bawah cakrawala, dan betapa kita rindukan semuanya itu tempat yang terbuka, telanjang, dan lenggang. Barangkali inilah padang yang kita impikan sejak mula pertama, barangkali engkau akan bertanya-tanya dan aku pun pasti bertanya-tanya, memandang engkau sebagai engkau, memandang aku sebagai aku, dan akhirnya memandang kita sebagai kita: Manusia…
(“Merangkum Kembali Elan Kesenimanan Kita”, Pelopor Yogya)

BEGITULAH bunyi sepenggal Catatan Budaya dari Umbu Landu Paranggi di rubrik “Sabana” Mingguan Pelopor Yogya. Sepenggal. Hanya sepenggal. “...karena sesuatu hal catatan ini dilanjutkan minggu mendatang...” demikian tulisnya pada baris terakhir. Namun entah, setelah satu minggu kemudian terbit kelanjutannya atau tidak. Meskipun demikian, dari kutipan di atas kita dapat mengambil nilai, bahwa yang telah, tengah, dan akan dikerjakan oleh Umbu adalah menerang-jelaskan hakikat manusia.
Syahdan, siapa sesungguhnya sosok yang disebut-sebut oleh Emha Ainun Nadjib, “makhluk zuhud yang dihadirkan Tuhan dalam wujud manusia dan bertugas membuat manusia memahami tugasnya sebagai manusia” itu? Siapa sesungguhnya sosok yang oleh keluarganya dijuluki “Batu Diam” itu? Siapa sesungguhnya sosok yang dilantik oleh banyak kalangan menjadi “Presiden Malioboro” itu? Yang jelas, tidak akan pernah ada Persada Studi Klub (PSK) jika tidak ada Umbu Landu Paranggi di Yogyakarta. Artinya, tidak akan pernah ada Iman Budhi Santosa, Ragil Suwarna Pragolapati, Teguh Ranusastra Asmara, Emha Ainun Nadjib, Linus Suryadi Ag., Korrie Layun Rampan, dan seterusnya, dan selenjutnya. Tidak akan pernah ada puisi di Malioboro.
Sungguhpun Umbu Landu Paranggi yang dilahirkan di Waikabubak, Sumba Barat, 10 Agustus 1943 itu, pada tahun 1975 telah meninggalkan Yogyakarta sebagai tanah tumpah darah kelahiran kedua dan tahun 1978 datang ke Bali menjadikannya sebagai tanah tumpah darah kelahiran ketiga tanpa pernah kembali lagi ke Yogyakarta —maupun ke kampung halamannya, Sumba.
Meskipun demikian, ruh Umbu seakan tetap berdiam di sini. Sepanjang jalan Malioboro, atau jalan-jalan raya pusat kota, atau lorong-lorong kampung belakang pertokoan, setiap kali dilalui seperti bercerita, “pada suatu hari Umbu Landu Paranggi pernah lewat sini. ‘Kuda Sumba’ itu hampir setiap malam pasti berjalan kaki melalui jalan ini. Orang-orang Malioboro sering menghabiskan malam di sini....” Dan berbagai kesaksian lainnya yang selalu disampaikan jalan-jalan bersejarah itu pada suatu malam sunyi kepada setiap orang (sebagian kecil dari meraka adalah penyair) yang berlalu. Umbu senantiasa hadir dalam kisah-kisah masa silam sebagai mitos legenda, bayang-bayang yang senantiasa mengikuti ke mana pun murid-muridnya berada.

Kesiur
Majalah Sastra Sabana edisi ke VI, Februari 2015, secara khusus menghadirkan ulasan dan kesaksian-kesaksian para murid serta sahabat Umbu Landu Paranggi sebagai perwujudan rasa terima kasih atas pendidikan, persahabatan, dan kekeluargaan yang terjalin. Dalam kata pengantar, Iman Budhi Santosa menyatakan bahwa Umbu telah berhasil memotivasi, mendorong, membimbing, mendukung, dan mengarahkan ratusan—bahkan ribuan anak muda sehingga berhasil membentuk pribadi yang tangguh, kreatif, berwawasan, serta menjadi sastrawan, penulis, seniman, yang berprestasi pada zamannya. Maka, tanpa rikuh prekewuh dan ragu-ragu lagi masyarakat sastra Indonesia di Yogyakarta dan Bali menyebut Umbu Landu Paranggi “Sang Guru”.
Edisi tersebut seakan menjadi usaha kecil tindak lanjut Emha Ainun Nadjib Cs. atas terbitnya buku Orang-orang Malioboro: Refleksi dan Pemaknaan Kiprah Persada Studi Klub 1969-1977 di Yogyakarta pada tahun 2007. Orang-orang Malioboro menjadi satu identitas khas bagi penyebutan para sastrawan eks anggota Persada Studi Klub (PSK) yang notabene adalah murid Umbu Landu Paranggi. Orang-orang Malioboro adalah (mengutip pengantar buku tersebut) orang-orang hasil pendidikan jiwa karakter spartan, yang tak mengenal waktu dan tempat. Orang-orang yang ide dan penghayatan hidupnya mendidih dan makin dididihkan sebagai manusia kreatif yang matang, tidak gumunan, dan kaya strategi untuk survive di masa depan.  
Walhasil, jarak ruang dan waktu yang panjang membentang dari masa lalu itu dapat hadir bagai tanpa batas penghalang di zaman postmodern ini. Catatan-catatan peristiwa yang terjadi puluhan tahun silam, dikisahkan seperti baru saja dialami kemarin malam. Mereka begitu dekat satu sama lain, serasa tengah duduk bersama di atas tikar pandan, beradu lutut, dan masing-masing mata menatap arah yang sama. Segala perasaan, penilaian, sanjung puji membubung ke cakrawala. Maka, “terbukalah medan laga sekaligus kubu” sosok misterius Umbu.
Yogya dan Bali adalah “rimba rahasia” yang membuat Umbu “terus mengembara”. Dan pengembaraan itu tidak pernah selesai. Puisi-puisinya tidak pernah selesai. Umbu tidak pernah selesai.
Jika di Yogyakarta ia membina para (calon) penyair melalui Mingguan Pelopor Yogya, di Bali ia melanjutkan pola yang sama melalui Bali Post. Dalam catatan Ragil Suwarna Pragolapati, Persada Studi Klub memiliki anggota yang luar biasa banyaknya mencapai angka 1.555. Mereka layaknya siswa-siswi pada sebuah sekolahan, datang pergi, tambal sulam, silih ganti sejak periode Iman Budhi Santosa hingga Boedi Ismanto S.A. Di Bali, Umbu membina Sanggar Minum Kopi (SMK) yang kemudian melahirkan Tan Lioe Ie, Warih Wisatsana, Putu Fajar Arcana, Wayan Jengki Sunarta, dan masih banyak lagi. Setelah SMK bubar Umbu menemukan Nuryana Asmaudi S.A., Riki Dhamparan Putra, Raudal Tanjung Banua di Inspirasi Tendangan Sudut Bedahulu (InTenSBeh). Dengan tekun ia semai bibit-bibit penyair hingga tumbuh berbuah ruah puisi. Tidak keliru jika Putu Fajar Arcana menyatakan bahwa Umbu merupakan tokoh penting yang berada di balik layar kemunculan para sastrawan Indonesia sejak generasi 1960-an sampai 2000-an. Senada dengan itu, Korrie Layun Rampan menahbiskan Umbu sebagai bidan dua angkatan sastra Indonesia modern.
Lebih terperinci mengenai lintasan demi lintasan Umbu di arena sastra Indonesia, terutama di Yogyakarta dan Bali itu telah hadir dalam kajian sastra dari meja akademis Universitas Gadjah Mada. Kajian tersebut adalah tesis dengan judul “Persada Studi Klub: Disposisi dan Pencapaiannya dalam Arena Sastra Nasional” oleh Asef Saeful Anwar dan “Pergulatan Umbu Landu Paranggi dalam Arena Sastra di Bali: Tinjauan Sosiologi Pierre Bourdieu” oleh I Made Astika. Penelitian yang dikerjakan Asef Saeful Anwar membahas posisi PSK sebagai komunitas sastra yang dibentuk oleh Umbu dengan semboyan “Arena Kreasi dan Persahabatan Remaja Indonesia” yang telah melahirkan para penyair kenamaan Indonesia. Penelitian yang dilakukan bergerak pada aktivitas anggota, peran sentralnya membesarkan nama PSK dan sejumlah anggota di dalamnya, hingga prestasinya dalam arena sastra nasional. Sementara penelitian yang dikerjakan  I Made Astika mendeskripsikan posisi Umbu dalam arena sastra nasional, pergulatan Umbu dalam arena sastra di Bali, dan strategi-strategi yang dilakukan oleh Umbu dalam menghadapi arena sastranya. Di Bali, Umbu juga berhasil membina sejumlah calon penulis yang kemudian dikenal sebagai sastrawan di tingkat nasional.
Umbu Landu Paranggi, berhasil menyatukan para pemuda dan pemudi dari generasi ke generasi tanpa jarak pandangan, identitas, agama, suku bangsa, golongan, adat, pendidikan, dan usia. Dari ribuan murid Umbu di zaman (meminjam istilah Emha Ainun Nadjib) ketika orang masih mengerti bagaimana menghormati keindahan, di kurun waktu tatkala manusia masih punya perhatian yang jujur kepada rohani, masih menjunjung kebaikan, dan masih percaya kepada kebenaran itu, banyak murid Umbu yang membumi bahkan tidak sedikit yang melangit.
Bahkan, sampai hari ini Umbu masih membina dan memotivasi para penyair dan calon penyair di Bali dan di seluruh penjuru Indonesia melalui rubrik sastra di Bali Post. Itulah fenomena Umbu sebagai guru. Setiap yang mengenal dan tahu sosoknya akan berkata satu suara; Umbu adalah guru kehidupan puisi, Umbu adalah guru kehidupan hakiki.
Begitulah persona dan pesona Umbu yang hingga kini diliputi mitos-mitos misterius, sehingga kisah-kisah mengenainya tidak pernah jelas dan tuntas. Dan secara tegas Iman Budhi Santosa meneguhkan bahwa; sejarah sastra Indonesia harus mencatat dan mengakui Umbu Landu Paranggi sebagai ‘Guru Besar Sastra Indonesia’, khususnya untuk sentra sastra di Yogyakarta dan Bali.

Desau
Satu kisah menarik diceritakan langsung oleh Umbu Wulang Tanaamahu, putra  kandung lelaki bernama lengkap Umbu Wulang Landu Paranggi itu. Konon, saat upacara pemakaman sang istri tercinta di Sumba, Umbu tidak pulang. Ia tidak berdaya untuk pulang. Namun, beberapa orang yang ada dalam upacara pemakaman itu, melihat Umbu. Suatu peristiwa yang ganjil tapi tidak mengherankan bagi masyarakat setempat. Karena mereka tahu gelar kebangsawanan Umbu Landu Paranggi adalah “Maramba Ngilu” atau “Pangeran Angin”.  
Bayang-bayang. Ya, bayang-bayang Umbu sering kali berkelebat bahkan melekat di balik sejumlah peristiwa dan juga sejumlah nama. Umbu hadir dari masa lalu, sebagaimana masa lalunya hadir dalam setiap puisi yang diciptakannya. Di dalam “Sajak Kecil” misalnya, ia berkata:
hidup takkan pernah aman
kapan dan di mana pun
selamanya terancam bahaya
dan kebenaran sunyi itu
penawar duka bersahaja
selalu risau mengembara
mustahil seperti misteri
bayang-bayang rahasia
bayang-bayang bersilangan
bayang lintas bayang
pelintasanku
Dan puisi-puisi Umbu, tidak hanya berwujud teks puisi semata. Puisi-puisi Umbu mewujud dalam diri setiap penyair yang dibesarkannya. Demikianlah esensi dari bayang-bayang yang oleh masyarakat disebut wayang.
Menariknya, wujud bayang-bayang Umbu—diakuinya dalam wawancara dengan I Made Astika—semasa di Yogyakarta tercermin pada tiga sosok, yakni Iman Budhi Santosa, Darwis Khudori, dan Emha Ainun Nadjib. Entah tiga nama itu yang tiba-tiba saja terbersit atau memang demikian adanya. Namun, Ragil Suwarna Pragolapati mengakui bahwa paling khas, unik, otentik sebagai citra PSK, nyaris tipikal cetakan Umbu ada pada diri Iman Budhi Santosa. Menurutnya, hanya Iman Budhi Santosa yang paling total berpuisi dan memuisi, paling otentik sosok kepenyairannya, paling unik dan paling berbobot.
Hal yang sama juga disampaikan oleh Emha Ainun Nadjib, Iman Budhi Santosa adalah puisi. Darah daging, urat syaraf, dan getaran batinnya adalah puisi. Sebagaimana kehidupan Umbu menurut Emha. Umbu adalah “manusia puisi”. Kehidupan Umbu adalah kehidupan puisi. Hidup Umbu adalah kehidupan rohani. Ia tidak terikat pada harta benda, konstelasi apa pun, esksistensi, popularitas, dan sejenisnya. Umbu bebas dari ikatan-ikatan dan segala hal seperti anggapan dan penilaian umum.
Sementara, Emha adalah manusia esai. Kehidupannya adalah kehidupan esai. Esai yang harus ilmiah tapi tidak digolongkan karya ilmiah, esai yang harus puitis tapi tidak digolongkan puisi, esai yang prosais tapi tidak masuk golongan prosa. Emha tidak masuk golongan mana pun, walau dirinya menulis dan berada di semua bidang.
Mungkin memang benar jika bayang-bayang Umbu paling pekat hanya ada pada satu dua nama saja. Namun, ratusan bahkan ribuan nama lainnya tentu saja tidak luput diliputi bayang-bayang sang guru. Umbu telah menitis dalam hasil proses kreatif yang berada satu jalur dengan model karakternya.
Dari arsip dokumentasi berupa majalah, koran, kliping, naskah-naskah hasil tulisan tangan, ketikan, dan stensilan warisan Ragil Suwarna Pragolapati terekam jelas bukti ketulusan Umbu selaku kakak pengasuh kepada setiap adik-adik didikannya. Meski kertas-kertas itu telah usang dimakan usia dan rayap, namun berkas-berkas yang masih selamat benar-benar telah mengembalikan lagi waktu, ruang, dan peristiwa masa lalu itu. Setiap Minggu dengan tekun ditulis pesan singkat dan pengumuman kepada para penulis asuhannya di Pos Persada Studi Klub. Suatu bentuk perhatian yang total bagi setiap muridnya tanpa pandang bulu, memberi kesan mendalam, dan terus membayang dalam ingatan.
Terkait dengan itu, satu hal yang rasa-rasanya tidak boleh terlewat adalah peranan Umbu yang berhasil menciptakan poros baru sastra Indonesia di Yogyakarta dan Bali agar tidak melulu berpusat di Jakarta. Rubrik “Sabana” di Pelopor Yogya adalah wadah kompetisi yang drajat gengsinya sama dengan Majalah  Sastra Horison. Sementara di Bali, Umbu membuat rubrik “Posbud” atau “Pos Budaya” di Bali Post yang derajat gengsinya juga sama dengan Majalah SastraHorison.
Majalah Sastra Horison memang memiliki nilai legitimasi yang cukup besar bagi sastrawan Indonesia bertahun-tahun lamanya. Sejarahnya yang panjang dan hegemoni kekuasaan di Jakarta membuatnya berada di menara gading. Namun, menariknya ketika memutuskan untuk berhenti cetak1 pada usia 50 tahun, tepatnya tanggal 26 Juli 2016, Majalah Sastra Horison mengundang Emha Ainun Nadjib untuk berorasi budaya. Apa alasan panitia memilih murid kinasih Umbu Landu Paranggi itu untuk menjadi narasumber utama? Rasa-rasanya kini jarum jam telah berbalik arah, Emha Ainun Nadjib, apalagi Umbu Landu Paranggi telah menjadi padang sabana yang luas terbuka merangkum siapa dan apa saja.

Embus

Terakhir, melalui tulisan ini, izinkan saya mendaku Umbu sebagai guru. Selain karena banyak belajar kepada para murid —titisan Umbu Landu Paranggi di Yogyakarta, secara pribadi ada garis penghubung yang entah bagaimana awal mulanya bisa terjadi. Bersama Fitri Merawati dan Afrizal Oktaputra, kami seperti mendapat pekerjaan rumah tatkala Umbu mengirimkan sepucuk surat dititipkan Ririen Pranabuwani Khudi Iswari (putri Ragil Suwarna Pragolapati) yang tengah berkunjung ke Bali. Isi surat itu adalah sebuah nama berupa tulisan tangan Umbu dengan cat berwarna hijau berbunyi NanKiNun. Entah apa artinya. Tapi maknanya jelas, sebuah pekerjaan rumah yang ditugaskan guru kepada muridnya.
Seperti Ekalawya berguru kepada patung Drona, kepada bayang-bayang Umbu saya berguru. Dan dengan takzim beriring doa saya kirimkan buku Menoreh Rumah Terpendam berisi puisi-puisi saya ke Bali. Dari situlah terbit satu kisah yang bagi saya menakjubkan. Tidak seperti Drona yang meminta persembahan ibu jari Ekalawya setelah tahu ada seseorang yang memberhalakannya, tanpa disangka-sangka, pada tanggal 25 April 2017 malam hari, dering telepon gengam saya menyala dan setelah saya angkat langsung terdengar pertanyaan dengan suara berat “Bagaimana Bukit Menoreh?” Saya diam saja dan bertanya-tanya. “Ini saya, dari Denpasar!” Betapa kaget mendengar pernyataan itu. Tidak salah lagi, Umbu!
Kami pun berbincang. Ia banyak bertanya mengenai kondisi saya dan Bukit Menoreh, serta dinamika sastra di Yogyakarta. Terakhir Umbu meminta saya menulis prosa, percik permenungan, dan esai mengenai 90 tahun Sumpah Pemuda untuk dikirimkan ke Bali Post. Lagi-lagi sebuah pekerjaan rumah. Entah kesialan atau keberuntungan. Bayang-bayang Umbu, juga pekerjaan rumah itu pun “kembali menggoda, bahkan menyiksa batin kita.
Catatan Kaki:
Mulai tahun 2018 Majalah Sastra Horison terbit lagi dengan format triwulan, atau tiga bulan sekali.
__

Latief S. Nugraha, Carik di Studio Pertunjukan Sastra dan Balai Bahasa DIY. Buku kumpulan puisinya "Menoreh Rumah Terpendam" (Interlude, 2016).

Sumber: Pocer.Co 

0 komentar:

Posting Komentar