Oleh: Hendra Friana - 9 Oktober 2019
Potret Eka Kurniawan saat hadir di Indonesia International Book Fair di
JCC, Jakarta, Sabtu (15/9/18). tirto.id/Hafitz Maulana
Eka Kurniawan menilai negara belum serius menghargai
kerja-kerja seni dan kebudayaan, dan menolak penghargaan yang diberikan
Kemendikbud kepadanya.
Novelis Eka Kurniawan menolak Anugerah Kebudayaan dan
Maestro Seni Tradisi 2019 yang bakal diberikan Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan (Kemendikbud) kepadanya pada Kamis (10/10/2019) malam.
Sikap yang ia sampaikan secara terbuka melalui akun
Facebook pribadinya itu dilandasi sejumlah alasan. Salah satunya, karena
pemerintah tak sungguh-sungguh memberi apresiasi kepada pekerja sastra dan
seni, dan pegiat kebudayaan secara umum
"Suara saya mungkin terdengar arogan, tapi percayalah, Negara ini telah bersikap jauh lebih arogan, dan cenderung meremehkan kerja-kerja kebudayaan," tulisnya.
Ketidakseriusan negara dalam mengapresiasi kerja-kerja
seni dan kebudayaan, kata Eka, pertama-tama terlihat dari kontrasnya hadiah
yang ia terima dengan para atlet atau olahragawan yang memenagi olimpiade.
Para penerima
anugerah dari Kemendikbud tersebut hanya mendapat, antara lain, pin dan uang
Rp50 juta --yang dipotong pajak. Sementara peraih emas dalam Asean Games,
misalnya, memperoleh Rp1,5 miliar dan peraih perunggu memperoleh Rp250 juta.
"Kontras semacam itu seperti menampar saya dan membuat saya bertanya-tanya, Negara ini sebetulnya peduli dengan kesusastraan dan kebudayaan secara umum tidak, sih?" keluh Eka.
Tapi, terlepas dari kekesalan dan perasaan dianaktirikan
itu, alasan paling penting yang dipaparkan Eka adalah absennya negara dalam
melindungi iklim intelektual secara luas. Beberapa waktu, tulis Eka, sejumlah
toko buku kecil digeruduk dan buku-buku dirampas oleh aparat. Tapi negara abai
dan tak pernah turun tangan untuk menghentikan tindakan
"anti-intelektualitas" tersebut.
Padahal, kejadian itu bukan yang pertama dan kemungkinan
akan terus terjadi di masa mendatang. Negara juga dinilai mangkir dalam
melindungi industri perbukuan, terutama penerbit-penerbit kecil dan para
penulis, yang menjerit dalam ketidakberdayaan menghadapi pembajakan buku.
Menurut Eka, jika perlindungan kebebasan berekspresi
masih terengah-engah, setidaknya pemerintah bisa memberikan perlindungan secara
ekonomi dan meyakinkan semua orang di industri buku bahwa hak-haknya tidak
dirampok.
"Memikirkan ketiadaan perlindungan untuk dua hal itu, tiba-tiba saya sadar, Negara bahkan tak punya komitmen untuk melindungi para seniman dan penulis [bahkan siapa pun] atas hak mereka yang paling dasar: kehidupan," lanjutnya.
Lantaran hal-hal itu lah, beberapa hari lalu, Eka
membalas surat dari Direktur Warisan dan Diplomasi Budaya Kemendikbud untuk
menegaskan dirinya tak akan datang malam penganugerahan dan menolak penghargaan
yang diberikan kepadanya.
Menerima
penghargaan tersebut, menurutnya, menjadi semacam "anggukan kepala"
untuk kebijakan-kebijakan negara yang sangat tidak mengapresiasi kerja-kerja
kebudayaan, bahkan cenderung represif.
"Kesimpulan saya, persis seperti perasaan yang timbul pertama kali ketika diberitahu kabar mengenai Anugerah Kebudayaan, Negara ini tak mempunyai komitmen yang meyakinkan atas kerja-kerja kebudayaan," tegas Penulis novel Cantik itu Luka tersebut.
Reporter: Hendra Friana
Penulis: Hendra Friana
Editor:
Gilang Ramadhan
Negara tak punya komitmen
untuk melindungi para seniman dan penulis atas hak dasar mereka: kehidupan.
Tirto.ID
0 komentar:
Posting Komentar