Oleh: Bonari Nabonenar
23 Juni 2019, 15:48:53 WIB
Ilustrasi: Budiono/Jawa Pos
MENJADI guru sekolah dasar adalah cita-cita Sutragi
sejak ia masih duduk di bangku kelas rendah. Sekolah dasar. Sebab, hanya itu profesi
paling terhormat yang ia lihat. Sutragi kecil tidak pernah bertemu pegawai
bank, dokter, pegawai kecamatan, dan lain-lain. Di Desa Jumawut, tempat Sutragi
lahir dan menamatkan sekolah dasarnya, ada tiga orang pegawai negeri yang bukan
guru. Mereka masing-masing bekerja sebagai: kuli ratan, mandor ratan, dan
seorang lagi mandor kawat. Tetapi, guru tetaplah profesi dambaan Sutragi. Ia
lahir dari rahim perempuan yang kemudian menjadi guru.
Orang tua biasanya menginginkan anak-anaknya menjadi
orang dengan capaian-capaian lebih dari yang mereka dapatkan. Tetapi, tidak
demikian orang tua Sutragi.
Ibu Sutragi seorang guru sekolah dasar, yang hanya
mengidamkan anaknya menjadi guru. Guru yang mendapatkan posisinya dengan
terlebih dulu membuktikan lulus dari sekolah pendidikan guru. Bukan seperti
dirinya, yang menjadi guru karena keberuntungan. Sebagai salah seorang siswi
yang menonjol di kelasnya, pak kepala sekolah menganjurkannya segera mengikuti
kelompok belajar paket agar mendapatkan ijazah setara SMP. Lalu meneruskan
kursus pendidikan guru sambil menjadi guru sukarelawati.
Ibu Sutragi memang diuntungkan situasi yang baru saja
merenggut nyawa suaminya. Dalam situasi yang merenggut nyawa suaminya itu,
negara kehilangan banyak tenaga guru. Maka, dibutuhkan guru-guru baru sebagai
pengganti mereka. Kebutuhan itu tidak akan segera dapat dipenuhi jika harus
menunggu mereka yang secara reguler lulus dari sekolah pendidikan guru.
Sejak mampu memahami persoalan di sekitarnya, Sutragi
menyaksikan betapa profesi guru sedemikian dihormati di desanya. Beberapa guru
baru datang dari kota atau dari desa lain. Ada yang baru berstatus sukarelawan.
Ada pula yang sudah mengantongi SK sebagai pegawai negeri. Melalui rerasan para
orang tua, Sutragi tahu betapa banyak yang berharap menjadi mertua guru-guru
baru. Yang masih lajang itu. Tak peduli sudah berstatus pegawai negeri atau
masih sukarelawan.
Sejak sekolah dasar, dari tahun ke tahun Sutragi selalu
tercatat sebagai anak paling pintar. Di kelasnya ia selalu juara. Kepintarannya
tidak hanya dicatat di dalam buku rapor, tapi juga menjadi pembicaraan di
kalangan guru. Lalu sampai pula ke telinga orang tua Sutragi. Mereka bangga.
Orang tuanya semakin berharap kelak Sutragi bisa menjadi guru.
Lulus sekolah dasar dengan nilai terbaik, Sutragi tidak
dapat melanjutkan studi ke sekolah negeri. SMP negeri hanya ada di kota
kabupaten. Jarak dari desanya hampir 50 kilometer dan tidak ada angkutan umum
setiap hari. Andai waktu itu sudah ada pun, pasti akan terlalu mahal. Akhirnya,
sebagai lulusan terbaik sekolahnya, Sutragi hanya bisa masuk SMP swasta. Itu
pun jaraknya belasan kilometer dari desanya. Tidak ada pula angkutan umum untuk
menjangkaunya. Tetapi, ada kerabat jauh yang mau menampung Sutragi. Selain
dibebaskan dari kewajiban membayar uang kos, Sutragi masih bisa menumpang makan
pula. Syaratnya, di luar jam belajarnya Sutragi harus membantu bekerja di
rumah, di toko, kadang juga di sawah atau di ladang. Cukup berat untuk seorang
anak lulusan sekolah dasar, tetapi Sutragi melakukan semuanya dengan senang
hati. Demi cita-citanya.
Lagi-lagi, Sutragi lulus dari SMP swasta itu dengan nilai
gemilang. Tetapi ternyata masih belum cukup untuk menembus SPG negeri.
Sepertinya sebagian besar warga kabupaten bercita-cita menjadi guru. Seperti
Sutragi. Sekolah pendidikan guru negeri hanya ada satu di kabupaten. Kelas
paralelnya bisa sampai delapan atau sembilan. Hitung saja, kalau satu kelas
sekurangnya dihuni 40 orang siswa, berapa kalau dikalikan delapan atau
sembilan? Itu belum yang swasta. Ada empat SPG swasta di kabupaten. Saking
kuatnya cita-cita untuk menjadi guru, banyak lulusan SMP yang potensial
menembus SMA negeri malah lebih memilih masuk SPG swasta. Salah satu contohnya:
Sutragi. Ia masuk salah satu di antara SPG swasta itu.
Lagi-lagi, Sutragi keluar sebagai lulusan terbaik.
Tetapi, itu bukan sepenuhnya kabar baik. Sebab, atas nama peningkatan mutu
pendidikan, pemerintah merasa lulusan SPG tidak lagi kapabel untuk menjadi
tenaga guru di sekolah dasar. Maka, didirikanlah wadah baru untuk mendidik para
calon guru sekolah dasar. Namanya PGSD (pendidikan guru sekolah dasar),
ditempelkan di institut keguruan dan ilmu pendidikan.
Ilustrasi: Budiono/Jawa Pos
Agar dapat menjadi guru sekolah dasar, para lulusan SPG
harus menempuh jenjang pendidikan lanjutan, sekurang-kurangnya PGSD. Atau boleh
langsung menempuh program sarjana. Tetapi, tidak ada keistimewaan bagi para
lulusan SPG itu. Untuk dapat masuk PGSD, mereka harus mengikuti ujian, bersaing
dengan para lulusan SMA, SMEA, dan yang sederajat. Banyak lulusan SPG yang
memilih berhenti. Lalu memasuki dunia kerja seadanya. Mereka pada umumnya
berasal dari keluarga kurang mampu.
Sutragi masih tergolong lumayan. Ibunya masih mendapatkan
gaji setiap bulan. Walau bukan lagi seorang guru. Bersama sekian banyak guru
lainnya di seluruh kabupaten, ibu Sutragi dipindahkan ke bagian administrasi di
kantor dinas yang ada di kota kecamatan masing-masing. Beberapa item tunjangan
pendapatannya sebagai guru pun hilang. Lagi pula, setiap hari harus
pergi-pulang dengan menumpang kendaraan umum. Itu berarti gajinya yang tidak
seberapa mesti dipotong ongkos transportasi. Tetapi, ada tambahan penghasilan
lumayan signifikan. Pohon-pohon cengkih di pekarangan mulai berbunga. Itulah
yang kemudian sangat menolong Sutragi untuk berangkat mendaftarkan diri sebagai
calon mahasiswa baru di sebuah perguruan tinggi yang mencetak calon guru.
Lulus tes saringan, Sutragi diterima sebagai mahasiswa
baru. Ia senang bukan main. Ibunya menangis seharian. Sedih dan gembira. Sedih
karena membayangkan ongkosnya. Walaupun perguruan tinggi negeri jauh lebih
murah dibanding swasta. Itu akan tetap berat baginya. Tetapi, siapa yang tidak
merasa bangga? Kelak Sutragi akan menjadi orang pertama yang lulus sebagai
sarjana di desanya. Dari perguruan tinggi negeri pula. Sutragi tidak akan
menjadi guru SD atau SMP. Tetapi guru SMA. Atau SPG.
Tanaman cengkih yang mulai berbuah pada musimnya sangat
menolong. Ditambah hubungan sosial orang tuanya yang bagus dengan para
kerabat dan tetangga, Sutragi tidak pernah mendapatkan penolakan ketika
berkirim surat untuk dikirimi tambahan uang. Orang tuanya harus pula jungkir
balik gali lubang tutup lubang. Mungkin itu harga yang layak untuk sebuah
cita-cita dan kebanggaan.
Setelah menyelesaikan KKN dan praktik mengajar, Sutragi
menyempatkan pulang kampung. Menikmati musim liburan. Sekaligus menengok orang
tuanya. Ia merasa akan membawa kabar baik bagi seluruh keluarganya. Kuliahnya
akan kelar sebentar lagi dan gelar sarjana pun akan disandangnya. Tetapi,
begitu sampai di rumah, ia mendapati suasana yang aneh. Wajah orang tuanya
tidak berbinar-binar seperti sebelumnya setiap kali ia datang dari kota.
Setelah makan, malam itu ibu Sutragi membuka pembicaraan.
Dengan suara pelan, ”Jangan kaget, ya Nak? Ini kabar buruk buat kita.”
Sudah diminta untuk tidak terkejut, Sutragi tetap saja
terkejut.
”Ada apa, Bu?”
”Ibu sekarang sudah pensiun.”
”Oh, bukankah seharusnya masa kerja Ibu masih sepuluhan
tahun lagi?”
”Orang menyebutnya pensiun dini, Nak. Tepatnya
dipensiunkan dini. Ada peraturan baru. Harus begitu. Ya, kita tinggal terima
saja.”
”Memang kenapa, Bu?”
”Sudahlah, Nak. Ibu kan sudah tua. Sudah lelah. Tetapi,
kamu …?”
”Ada apa denganku, Bu?”
”Kabarnya, negara juga telah mencatat namamu, beserta
ribuan orang lain sebayamu, sebagai orang-orang yang tidak akan diterima
menjadi pegawai negeri.”
”Oh! Lalu dasarnya apa, Bu?”
”Dasarnya ya peraturan itu. Peraturan pemerintah atau
undang-undang, persisnya ibu tidak tahu.”
”Loh?”
”Ini berkaitan dengan almarhum ayahmu.”
Sutragi kini mulai paham. Ia lalu terdiam. Membongkar
ingatan. Memunguti angan-angan. Yang berserakan. Tak keruan. Dilihatnya
berjuta-juta anak dilahirkan serentak. Dari rahim kemarahan. Yang tampil
kemudian di permukaan ingatannya ialah sosok gelandangan nyaris sarjana. Yang
ia pergoki di salah satu sudut alun-alun kota. Sedang bermain-main dengan
kunang-kunang. Bersama seorang gadis yang manja. ”Jangan-jangan aku telah
bertemu dengan diriku sendiri. Di waktu yang telah lewat itu!”
Lalu tahun demi tahun lewat. Sebagai malam gelap. Di
sanalah sesosok gelap yang lebih pekat daripada malam kadang berjalan tegap.
Kadang lunglai. Atau menggelepar di sudut alun-alun kota. Lalu bangkit
menggendong mayatnya sendiri. Dan mengatakan kepada semua orang, ”Aku sudah
mati!” Kalau ia ditanya, jawabnya hampir selalu, ”Aku sudah mati!”
Sesekali justru berupa pertanyaan balik, ”Di manakah
kubur yang tepat buat mayatku ini?” Tak peduli, tentang apa pun pertanyaannya.
Hanya dua kalimat itu yang dapat diucapkannya untuk keperluan apa saja. Di
warung nasi kadang ia mengangsurkan dirinya dan berkata, ”Aku sudah mati!” Lalu
ia dapatkan sebungkus nasi. Kalimat itu pula yang ia kemukakan untuk
mendapatkan sebatang rokok. Ia bahkan sudah lupa bahwa ia punya nama:
Sutragi. (*)
Trenggalek, 2019
—
BONARI NABONENAR, Menulis cerita pendek dalam bahasa
Jawa dan bahasa Indonesia. Dua buku cerpennya yang telah terbit: Cinta
Merah Jambu (2005) dan Semar Super (2006).
Editor : Dhimas Ginanjar
0 komentar:
Posting Komentar