1 Juni 2019 - 23:58 - ap
Meski tak keseluruhannya bisa hadir, namun para pendiri,
pegiat serta pendukung komunitas SRMB (Sekolah Rakyat MeluBae) berkumpul pada
Sabtu (1/6) di tempat dimana komunitas pembelajar ini didirikan 16 tahun silam.
Komunitas pegiat seni, sastra dan teater yang semula ‘hanya’ berupa majelis
pembelajaran bersama, sebelum akhirnya bernama SRMB ini; menggelar acara buka
puasa bersama untuk yang kedua kalinya.
Gelaran sore hingga malam itu, juga gelaran serupa
sebelumnya, menjadi momen yang menarik. Karena diikuti pula oleh “angkatan
muda” komunitas ini, yang juga memiliki latar aktivitas berkesenian sendiri;
terutama pada bidang tari. Rupanya ketertarikan anak milenial yang nampak antusias mengikuti diskusi informal yang
difasilitasi dalam rangka buka puasa bersama, lebih didorong oleh kesadaran
kolektif pentingnya saling belajar dalam kebersamaan.
Persepsi kebersamaan demikian ini terbentuk karena
beberapa diantara anak milenial ini memang
telah terlibat dalam proses sebelumnya bahkan kemudian merintis kelompok pembelajaran
seni tersendiri. Sedangkan kelompok “angkatan lama” yang absen dari gelaran
sore itu adalah kelompok seni pernafasan yang pernah intens pada separuh
perjalanan yang usai terlampaui.
Di tengah pasang surut tradisi berkeseniannya pun, SRMB
telah kehilangan salah satu mata rantai kegiatannya, yakni tarekat spiritual
yang dijalankan di wilayah pesisir desa Jagasima; berdekatan dengan bedhahan muara sungai Lukulo. Suatu
lokasi yang dijadikan ‘laboratorium alam’ komunitas ini, dimana selama 4 tahun
terakhir orang-orang menanam investasi untuk usaha tambak udang yang bertebaran
petak-petaknya.
Dianggap mati suri
Jargon “Sekolah mBayar Karep” yang menjadi pomeo dasar
pendirian SRMB memang selalu berhadapan dengan tantangan pada dimensi waktu
sepanjang perjalanannya. Tak terkecuali bagi ‘tuan rumah’ Pitra Suwita yang
menilai kemunculan greget berkesenian kalangan milenia sebagai jawaban terhadap problem regenerasi pelaku seni.
“Saya senang bergabungnya milenia di tengah persiapan repertoar dangsak yang tengah direncanakan”, sambut Pitra.
Dangsak (cepet
alas, tongbreng) adalah salah satu cabang seni topeng tradisi yang dianggap
sebagai icon seni khas kebumenan, pernah menjadi obyek riset
dan pengembangan di kalangan para pegiat relawan Dewan Kesenian Daerah (DKD) Kebumen.
Dalam upaya ini, DKD telah melakukan kajian dan bahkan pengembangan naratif dengan
metode kolaborasi yang menggabungkan ketoprak
dengan dangsak.
Pekik Sat Siswonirmolo, Ketua Umum DKD yang juga
terbilang sebagai pendiri SRMB bersama 13 perintis lainnya, merespons
bergabungnya milenia dalam proyek
repertoar dangsak sebagai bagian dari opsi pembaharuan. Pekik yang menulis
lakon Reksa Mustika Bumi berharap SRMB
tak dianggap telah menemui ajalnya. Faktanya, secara personal para pamong dan pegiat SRMB tetap istiqamah berkesenian,
diantaranya dengan membuka kelas musik, pantomim, baca puisi; terutama bagi kalangan
anak-anak.
Di sisi lainnya, dinamika pasang-surut berkesenian, selain merupakan resiko dalam berkomunitas,
juga merupakan tantangan bagi keberkelanjutannya.
“Saya berharap ide repertoar dangsak tak berhenti sebatas gagasan”, kata Daryono Cengkim, yang dalam proyek ini ketiban sampur sebagai ‘kepala sekolah’, didampingi pecarikan Dodi “Dodotiro” Suryo Handaru.
Sebuah Repertoar
Sebuah repertoar yang menempatkan tradisi cepetan atau dangsak sebagai basis eksploran memang tengah dipersiapkan. Ini menjadi
perekat baru dalam proses produksi pertunjukan berikutnya. Keterlibatan angkatan
muda milenia bakal menjadi rona
tersendiri, selain dukungan baru dari Jatmiko Krisna Jati dan Bambang
Indrajeet. Keduanya memang telah memberikan sokongan partisipasinya dalam
proses kolektif sejak sebelumnya, terutama pada pentas drama anekdot “Jago Tengsiang”, proyek
pembelajaran batu akik serta penerbitan buku antologi puisi.
Menurut keduanya, masuknya 9-10 milenia: Wiwied, Arum, Afdol, Selsa, Mita, Shelvi, Anjun, Valen,
Randy dan Ivan; dalam proyek
repertoar berikutnya bakal menjadi momentum pertunjukan lintas generasi SRMB. Proyeksi
tentang repertoar ini juga didukung Darmawan “Dalwan” Riyadi, Toro Mantara, Oni
Suwita, Sugeng Jon Carlo, Rusmiati, Ary Susanto, Farida Tan, Badiyo Sriyono,
Sutardjo, Dono Suwarso, Darto Badarbesi, Soni Wijaya, Ahmad Nurohim, BY Handoko, Indriotomo Brigandono, Aris Panji dan lainnya.
Sehingga kelahiran pertunjukan bersama lintas generasi
ini memang layak ditunggu.. [ap]
0 komentar:
Posting Komentar