Senin, 15 Oktober 2018

Budayawan Sebut Sedekah Laut Wujud ‘Hablun Minal Alam’


Senin, 15 Oktober 2018 19:45

Ilustrasi sedekah laut (via plukme)

Jakarta - Budayawan Yogyakarta M. Jadul Maula mengatakan bahwa tradisi sedekah laut yang dipraktikkan di Jawa telah berlangsung lama dan turun-temurun. Sedekah laut disebutnya sebagai praktik kosmologi, yakni hubungan antara manusia dan alam (hablun minal alam). 
“Itu terkait dengan filosofi kosmologi Mataram Islam kalau di Yogyakarta. Mungkin di Jawa dan Nusantara kan umum satu pemahaman kosmologi hubungan manusia dengan alam. Jadi upacara sedekah laut, sedekah bumi, itu bagian dari ajaran tentang hablun minal alam, bagaimana manusia menjalin hubungan secara harmonis dengan alam,” kata kata Jadul kepada NU Online, melalui sambungan telepon, Senin (15/10).
Oleh karena itu, ia mengaku heran jika ada sekelompok orang yang menyalahkan, bahkan menganggap upacara sedekah laut sebagai perbuatan syirik. Sebab, upacara tersebut berisi ungkapan syukur kepada Tuhan atas hasil yang diperolehnya dari laut.
“Namanya saja sedekah. Sedekah itu kan konsep Islam, itu bagian dari ungkapan syukur, di dalamnya terkandung doa keselamatan dan tolak bala. Jadi para nelayan, para pelaut mereka tiap hari memperoleh rezeki dari laut, karena itu mereka mengungkapkan rasa syukurnya kepada Tuhan itu melalui sedekah laut,” terang Jadul.
Pria yang juga Pengurus Lesbumi PBNU itu pun sempat menjelaskan makna sedekah laut. Menurutnya, sedekah laut merupakan pemberian sedekah kepada penghuni laut, seperti ikan dan plankton.
“Itu syukur kepada Tuhan, caranya adalah dengan memberi sedekah kepada makhluk hidup,” ucapnya.
Praktik upacara sedekah laut pun, kata Jadul, dapat dilihat secara empirik dan rasional. Ia menjelaskan keberadaan kepala kerbau yang menjadi salah satu suguhan dalam prosesi sedekah laut. Menurutnya, kepala kerbau itu memberi makan kepada plangton-plangton. Plangton-plangton dimakan ikan sehingga ikan di laut berkembang.
“Jadi mengungkapkan syukur dengan bahasa yang kongkrit, mengapresiasi yang tampak kepada makhluk. Melalui upacara itu terjalin hubungan harmonis antara manusia dan alam. Jadi itu sebenarnya budaya yang tinggi yang adi luhung,” ucapnya. (Husni Sahal/Fathoni)

Sumber: NU.Or.Id 

0 komentar:

Posting Komentar