Oleh: Titah AW | foto oleh: Umar Wicaksono
Jan 31 2018, 3:08 sore
Sanggar Anak Alam (SALAM) di Yogyakarta punya
kurikulum berbasis riset, mendekatkan lagi sekolah ke kehidupan, dan
memerdekakan siswanya.
Angin sepoi dari sawah menyusup lewat rongga dinding bambu menuju ruang
kelas di Sanggar Anak Alam (SALAM). Tak ada bangku-bangku berjejer kaku, di
ruangan itu hanya ada satu meja kayu panjang yang dipakai bersama layaknya meja
makan di rumah. Nane, salah satu siswa kelas 7 sedang duduk tepekur membaca
buku soal tanaman obat herbal. Semester ini ia memilih riset soal obat herbal,
“Semester lalu aku riset soal tanaman, baru semester ini aku kembangkan riset soal tanaman herbal. Nanti pengin bikin obat batuk sendiri.”
Buku yang ia pegang berhias lipatan di ujung-ujung halamannya.
Duduk di sampingnya, Jeno tengah meriset soal Tari Salsa. Ia sedang membuat
sketsa seorang penari berkostum warna-warni. Ada juga Ellena yang belajar soal
shampo organik, Nil yang meneliti kopi, dan teman-teman lain yang sibuk dengan
kegiatannya masing-masing. Tak ada komando dari guru untuk membuka buku di
halaman tertentu atau ujian kelas tiap minggu, begitulah rutinitas sehari-hari
sekolah di SALAM.
Lalu pelajarannya apa? Gurunya ngapain? Tugas-tugasnya mana?
Jawaban dari semua pertanyaan itu singkat saja. Tidak ada.
Sekolah yang didirikan di tengah area persawahan di daerah Nitiprayan ,
Yogyakarta, ini membalik tatanan pendidikan yang selama ini kita tahu. Sri
Wahyaningsih (akrab disapa Wahya), pendiri SALAM memulai sekolah ini pada tahun
2000 lalu dengan kurikulum yang berbeda, yaitu berbasis riset. Jika di sekolah
formal, tiap semester anak-anak wajib mengikuti 8-10 mata pelajaran yang sudah
ditentukan oleh sekolah, di SALAM mereka memilih sendiri topik riset mereka,
baru mengembangkan risetnya ke pengetahuan lain.
Nane misalnya, dari riset soal obat herbal, ia jadi harus belajar juga soal
jenis tanaman herbal, cara bertanam, sakit-penyakit, metode pengobatan,
industri obat-obatan, bahkan soal roda ekonomi yang bergulir di isu soal obat.
Dari satu topik, pengetahuan meluas meliputi berbagai macam hal. Dengan metode
seperti ini, pengetahuan yang muncul adalah pengetahuan yang benar-benar
dibutuhkan oleh siswa.
Tak akan ada pertanyaan galau macam “Kemaren itu susah-susah belajar fisika gunanya buat apa ya?” atau “Ujian matematika disuruh ngitung ribet banget, padahal tiap hari yang kepakai gini doang?”
Suasana kelas di SALAM
Menurut Wahya, dengan riset, anak-anak jadi punya pemikiran kritis dan
punya solusi. Karena mereka memilih sendiri topiknya, jadi tidak ada
pengetahuan yang dipaksakan. Bahkan banyak dari mereka yang sudah punya
penghasilan sendiri, karena tak jarang produk hasil riset mereka bisa langsung
dijual. SALAM juga punya kegiatan bernama Pasar Legi dan Pasar Ekspresi di mana
siswa-siswanya boleh menjual produk hasil buatan mereka sendiri.
Di SALAM, mata pelajaran di sekolah formal justru dianggap seperti kotak
yang membatasi insting eksplorasi siswa. Tak cukup dengan diberi batas, siswa
dipaksa memenuhi beban nilai yang sangat berat. Menelan ilmu-ilmu yang
sebenarnya tidak mereka butuhkan.
“Di sekolah formal saya melihat mereka banyak belajar sesuatu yang belum pas di usianya. Misalnya anak SD belajar tugas MPR-DPR, prosedur cari KTP, Pemilu, itu ngapain? Untuk apa? Harusnya kan mereka belajar soal diri sendiri, potensi diri, apa yang dia lakukan, dan kebutuhan dasar mereka,” ujar Wahya.
Kesadaran Wahya soal model pendidikan yang tidak efektif pertama kali
muncul saat ia mengikuti kegiatan Romo Mangun (YB Mangunwijaya) di bantaran
Kali Code, Yogyakarta. Namun, embrio SALAM justru ia bentuk di daerah Lawen,
Banjarnegara.
Saat itu ia yang baru menikah memutuskan pindah ke sana. Di Lawen yang saat
itu masih merupakan desa terpencil, ia melihat banyak anak putus sekolah,
menikah dini, dan tingkat kemiskinan yang tinggi. Akhirnya, pada 1988
terbentuklah SALAM yang pertama dengan format kelompok belajar.
Menurutnya, orang di desa tidak termotivasi untuk menyekolahkan anak
mereka, karena biasanya ketika anak sudah jadi siswa sekolah, mereka tidak mau
lagi membantu keluarga di sawah.
“Kita itu negara agraris, tapi pemerintah malah bikin program cuci tangan dengan sabun, kesannya tanah itu jadi kotor dan tidak higienis. Anak jadi jauh dengan sawah. Di Papua juga, dulu kaki-kaki mereka nggak apa-apa kena duri di hutan, tapi sejak ada sekolah lalu mereka wajib pakai sepatu kaki jadi manja, malah nggak biasa masuk hutan lagi. Padahal itu lingkungan mereka. Menurut saya, sekolah justru mencabut mereka dari akarnya, menjauhkan mereka dari lingkungan dan kehidupan yang sesungguhnya,” ujar Wahya.
Sekolah SALAM tampak dari samping
Berdirinya SALAM di Yogya pun bertahap dan terus berkembang secara organik.
Pada tahun pertamanya, SALAM baru membuka kelas pendampingan remaja tiap sore.
Baru pada 2004, didirikan PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini), dan Taman Anak
tahun 2006. Jenjang Sekolah Dasar (SD) juga baru ada tahun 2008. Diikuti SMP
tahun 2011.
Bertahan agak lama, baru pada 2017 orang tua murid meminta Wahya untuk
mendirikan SMA. Saat ini status hukum SALAM masuk kategori Pendampingan
Kegiatan Belajar Mengajar (PKBM) sebagai sekolah non-formal. Kategori ini masih
di bawah Dinas Pendidikan Nasional.
Tapi demi urusan legalitas dan birokrasi, siswa SALAM masih mengikuti ujian
kejar paket penyetaraan dari pemerintah. Jadi ketika mereka di kelas 6 SD, 3
SMP, dan 3 SMA yang mereka lakukan untuk persiapan ujian adalah riset soal
Ujian Nasional. Tapi alih-alih menjawab soal, mereka justru mengevaluasi soal
Ujian Nasional itu.
“Anak-anak itu nemu banyak soal UN yang salah, jawabannya salah, juga banyak yang sebenernya nggak perlu ditanyakan, malah mengevaluasi soal pemerintah,” cerita Wahya tertawa. Dengan evaluasi soal UN ini, mereka ingin siswanya tidak terjebak pada metode hafalan.
Alih-alih guru, tiap kelas di SALAM diampu oleh 3 fasilitator. Tugas mereka
hanya mendampingi riset yang dilakukan oleh siswa. Mereka bahkan tak berhak
mengatur jalannya kelas. Karena kelas berjalan sesuai dengan kesepakatan yang
dibuat oleh siswanya sendiri. Pelajaran agama tak diberikan di sekolah karena
menurut Wahya itu jadi tanggung jawab orang tua. Selama risetnya, anak-anak
dibatasi menggunakan gadget.
Buku dan narasumber dijadikan rujukan pertama, baru jika sudah benar-benar
kesulitan siswa boleh menggunakan gawai berinternet. Di akhir semester, hasil
riset dipresentasikan dalam berbagai bentuk seperti pameran atau pertunjukan.
Dengan metode seperti ini, anak-anak dilatih untuk memerdekakan diri mereka.
Belajar apa yang mereka sukai, menemukan pengetahuannya sendiri.
Satu-satunya batas yang diberikan ke anak adalah pemilihan topik riset,
yaitu harus apa yang sehari-hari mereka lihat atau pegang.
“Masak iya di sini mau belajar roket, padahal kita enggak pernah lihat roket beneran, itu enggak akan ngaruh ke masa depan mereka. Kami nggak minta riset yang gede kok, supaya tidak terlalu berjarak dengan lingkungan,” cerita Erika, fasilitator relawan yang mendampingi kelas 7.
“Di sini aku jadi menghargai proses anak-anak, ada yang cepet, ada yang lambat. Di titik itu aku mengerti anak-anak berkembang dengan cara sendiri-sendiri,” ujar Erika.
Andy Hermawan, fasilitator kelas 5 SD juga bercerita soal siswa-siswanya.
“Kami sedang riset soal kangkung dan kemangi lewat dua media tanam, tanah dan aquaponik. Nah dari situ, kita belajar bahwa kangkung dan kemangi banyak tumbuh di Asia Selatan. Jadi belajar geografi juga, negara di Asia Selatan apa aja, ibu kotanya apa aja, mata uangnya apa. Jadi meluas gitu,” ujarnya sumringah.
Dalam evaluasi siswa, mereka menghindari menghakimi menggunakan angka.
Semua laporan berbentuk naratif dan menyoroti perkembangan siswa, bukan
kecakapan siswa dalam sebuah topik tertentu. Dengan begini, siswa tak merasa
rendah diri, dan terhindar dari sifat kompetitif dengan temannya.
Meski pengetahuan yang ada di SALAM terlihat sangat sporadis, sebenarnya
Wahya dan para fasilitator merancang empat pilar pengetahuan pokok yang wajib
ada: pangan, kesehatan, lingkungan, dan sosial budaya. Empat pilar ini adalah
hal yang menopang dan berhubungan langsung dengan kehidupan keseharian kita.
Wahyaningsih dan cucunya
SALAM percaya bahwa cara belajar dan pengetahuan yang dibutuhkan oleh tiap
anak itu berbeda. Penyeragaman pendidikan justru akan mematikan potensi dan
kepribadian anak itu sendiri. Maka kalau anak terjebak pada sistem pendidikan
tersebut, bukan tak mungkin ia hanya akan jadi sekrup-sekrup di pabrik yang
kapan saja bisa diganti dengan mudahnya. Pendidikan kita yang praktikal dan
generik mengarahkan kita jadi produk-produk industri, seperti yang
diilustrasikan Pink Floyd di lagu “Another Brick in The Wall”. Seolah antara
‘terpelajar’ dan ‘berijazah’ adalah dua hal yang sama sekali berbeda.
“Pemerintah kita nggak mendesain pendidikan sesuai dengan Bhineka Tunggal Ika. Penyeragaman itu kan sebenarnya menodai slogan itu sendiri. Pendidikan di sini sama di Papua kan harusnya beda, tapi sekarang disamakan. Kalau standarnya dibuat satu, jadinya memarjinalkan. Itu luar biasa bahaya,” ujar Wahya berapi-api.
Menurutnya, harusnya pemerintah cukup menentukan capaian atau kompetensi
dasar untuk pendidikan, “Cukup blueprint-nya aja, prakteknya
harusnya diserahkan pada institusi pendidikan. Nah tiap sekolah harusnya punya
visi misi sendiri, jadi yang daftar juga berarti sepakat dengan visi institusi
itu.”
Ada yang bermain, ada yang baca
buku
Saat ini, mulai muncul banyak sekolah alternatif baru di berbagai daerah.
Di Yogyakarta saja, selain SALAM ada Sekolah Akar Rumput, Sekolah Tumbuh, dan
lainnya. Belum lagi sekolah-sekolah yang muncul di daerah lain di Indonesia.
Oktober 2016 lalu, beberapa pegiat sekolah alternatif se-Indonesia berkumpul di
SALAM untuk membentuk Jaringan Pendidikan Alternatif dan kegiatan Pertemuan
Nasional Pendidikan Alternatif untuk menularkan semangat ini ke publik yang
lebih luas.
“Sekolah itu harus kritis, kalau enggak nanti kayak sekolah gajah. Gajah dulu kan ngamuk pas hutan mereka di rusak, eh setelah dididik, sekarang mau disuruh ngangkutin gelondongan kayu atau main sirkus. Kalau nggak kritis, kita cuma akan jadi buruh-buruh aja. Enggak punya inisiatif, enggak punya ketrampilan, enggak punya ciri khas masing-masing. Kami sangat menghindari penyeragaman dalam bentuk apapun.”Sumber: Vice
0 komentar:
Posting Komentar