Rabu, 31 Januari 2018

Sekolah Tanpa Seragam, Tanpa Guru, dan Tanpa Mata Pelajaran di Yogya


Oleh: Titah AW | foto oleh: Umar Wicaksono

Sanggar Anak Alam (SALAM) di Yogyakarta punya kurikulum berbasis riset, mendekatkan lagi sekolah ke kehidupan, dan memerdekakan siswanya.



Angin sepoi dari sawah menyusup lewat rongga dinding bambu menuju ruang kelas di Sanggar Anak Alam (SALAM). Tak ada bangku-bangku berjejer kaku, di ruangan itu hanya ada satu meja kayu panjang yang dipakai bersama layaknya meja makan di rumah. Nane, salah satu siswa kelas 7 sedang duduk tepekur membaca buku soal tanaman obat herbal. Semester ini ia memilih riset soal obat herbal,
“Semester lalu aku riset soal tanaman, baru semester ini aku kembangkan riset soal tanaman herbal. Nanti pengin bikin obat batuk sendiri.”
Buku yang ia pegang berhias lipatan di ujung-ujung halamannya. 

Duduk di sampingnya, Jeno tengah meriset soal Tari Salsa. Ia sedang membuat sketsa seorang penari berkostum warna-warni. Ada juga Ellena yang belajar soal shampo organik, Nil yang meneliti kopi, dan teman-teman lain yang sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Tak ada komando dari guru untuk membuka buku di halaman tertentu atau ujian kelas tiap minggu, begitulah rutinitas sehari-hari sekolah di SALAM.

Lalu pelajarannya apa? Gurunya ngapain? Tugas-tugasnya mana?

Jawaban dari semua pertanyaan itu singkat saja. Tidak ada.

Sekolah yang didirikan di tengah area persawahan di daerah Nitiprayan , Yogyakarta, ini membalik tatanan pendidikan yang selama ini kita tahu. Sri Wahyaningsih (akrab disapa Wahya), pendiri SALAM memulai sekolah ini pada tahun 2000 lalu dengan kurikulum yang berbeda, yaitu berbasis riset. Jika di sekolah formal, tiap semester anak-anak wajib mengikuti 8-10 mata pelajaran yang sudah ditentukan oleh sekolah, di SALAM mereka memilih sendiri topik riset mereka, baru mengembangkan risetnya ke pengetahuan lain.

Nane misalnya, dari riset soal obat herbal, ia jadi harus belajar juga soal jenis tanaman herbal, cara bertanam, sakit-penyakit, metode pengobatan, industri obat-obatan, bahkan soal roda ekonomi yang bergulir di isu soal obat. Dari satu topik, pengetahuan meluas meliputi berbagai macam hal. Dengan metode seperti ini, pengetahuan yang muncul adalah pengetahuan yang benar-benar dibutuhkan oleh siswa. 
Tak akan ada pertanyaan galau macam “Kemaren itu susah-susah belajar fisika gunanya buat apa ya?” atau “Ujian matematika disuruh ngitung ribet banget, padahal tiap hari yang kepakai gini doang?”

Suasana kelas di SALAM

Menurut Wahya, dengan riset, anak-anak jadi punya pemikiran kritis dan punya solusi. Karena mereka memilih sendiri topiknya, jadi tidak ada pengetahuan yang dipaksakan. Bahkan banyak dari mereka yang sudah punya penghasilan sendiri, karena tak jarang produk hasil riset mereka bisa langsung dijual. SALAM juga punya kegiatan bernama Pasar Legi dan Pasar Ekspresi di mana siswa-siswanya boleh menjual produk hasil buatan mereka sendiri.

Di SALAM, mata pelajaran di sekolah formal justru dianggap seperti kotak yang membatasi insting eksplorasi siswa. Tak cukup dengan diberi batas, siswa dipaksa memenuhi beban nilai yang sangat berat. Menelan ilmu-ilmu yang sebenarnya tidak mereka butuhkan. 
“Di sekolah formal saya melihat mereka banyak belajar sesuatu yang belum pas di usianya. Misalnya anak SD belajar tugas MPR-DPR, prosedur cari KTP, Pemilu, itu ngapain? Untuk apa? Harusnya kan mereka belajar soal diri sendiri, potensi diri, apa yang dia lakukan, dan kebutuhan dasar mereka,” ujar Wahya.
Kesadaran Wahya soal model pendidikan yang tidak efektif pertama kali muncul saat ia mengikuti kegiatan Romo Mangun (YB Mangunwijaya) di bantaran Kali Code, Yogyakarta. Namun, embrio SALAM justru ia bentuk di daerah Lawen, Banjarnegara.
Saat itu ia yang baru menikah memutuskan pindah ke sana. Di Lawen yang saat itu masih merupakan desa terpencil, ia melihat banyak anak putus sekolah, menikah dini, dan tingkat kemiskinan yang tinggi. Akhirnya, pada 1988 terbentuklah SALAM yang pertama dengan format kelompok belajar.

Menurutnya, orang di desa tidak termotivasi untuk menyekolahkan anak mereka, karena biasanya ketika anak sudah jadi siswa sekolah, mereka tidak mau lagi membantu keluarga di sawah. 
“Kita itu negara agraris, tapi pemerintah malah bikin program cuci tangan dengan sabun, kesannya tanah itu jadi kotor dan tidak higienis. Anak jadi jauh dengan sawah. Di Papua juga, dulu kaki-kaki mereka nggak apa-apa kena duri di hutan, tapi sejak ada sekolah lalu mereka wajib pakai sepatu kaki jadi manja, malah nggak biasa masuk hutan lagi. Padahal itu lingkungan mereka. Menurut saya, sekolah justru mencabut mereka dari akarnya, menjauhkan mereka dari lingkungan dan kehidupan yang sesungguhnya,” ujar Wahya.

Sekolah SALAM tampak dari samping

Berdirinya SALAM di Yogya pun bertahap dan terus berkembang secara organik. Pada tahun pertamanya, SALAM baru membuka kelas pendampingan remaja tiap sore. Baru pada 2004, didirikan PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini), dan Taman Anak tahun 2006. Jenjang Sekolah Dasar (SD) juga baru ada tahun 2008. Diikuti SMP tahun 2011.

Bertahan agak lama, baru pada 2017 orang tua murid meminta Wahya untuk mendirikan SMA. Saat ini status hukum SALAM masuk kategori Pendampingan Kegiatan Belajar Mengajar (PKBM) sebagai sekolah non-formal. Kategori ini masih di bawah Dinas Pendidikan Nasional.

Tapi demi urusan legalitas dan birokrasi, siswa SALAM masih mengikuti ujian kejar paket penyetaraan dari pemerintah. Jadi ketika mereka di kelas 6 SD, 3 SMP, dan 3 SMA yang mereka lakukan untuk persiapan ujian adalah riset soal Ujian Nasional. Tapi alih-alih menjawab soal, mereka justru mengevaluasi soal Ujian Nasional itu.
“Anak-anak itu nemu banyak soal UN yang salah, jawabannya salah, juga banyak yang sebenernya nggak perlu ditanyakan, malah mengevaluasi soal pemerintah,” cerita Wahya tertawa. Dengan evaluasi soal UN ini, mereka ingin siswanya tidak terjebak pada metode hafalan.
Alih-alih guru, tiap kelas di SALAM diampu oleh 3 fasilitator. Tugas mereka hanya mendampingi riset yang dilakukan oleh siswa. Mereka bahkan tak berhak mengatur jalannya kelas. Karena kelas berjalan sesuai dengan kesepakatan yang dibuat oleh siswanya sendiri. Pelajaran agama tak diberikan di sekolah karena menurut Wahya itu jadi tanggung jawab orang tua. Selama risetnya, anak-anak dibatasi menggunakan gadget. 

Buku dan narasumber dijadikan rujukan pertama, baru jika sudah benar-benar kesulitan siswa boleh menggunakan gawai berinternet. Di akhir semester, hasil riset dipresentasikan dalam berbagai bentuk seperti pameran atau pertunjukan. Dengan metode seperti ini, anak-anak dilatih untuk memerdekakan diri mereka. Belajar apa yang mereka sukai, menemukan pengetahuannya sendiri.

Satu-satunya batas yang diberikan ke anak adalah pemilihan topik riset, yaitu harus apa yang sehari-hari mereka lihat atau pegang. 
“Masak iya di sini mau belajar roket, padahal kita enggak pernah lihat roket beneran, itu enggak akan ngaruh ke masa depan mereka. Kami nggak minta riset yang gede kok, supaya tidak terlalu berjarak dengan lingkungan,” cerita Erika, fasilitator relawan yang mendampingi kelas 7.
“Di sini aku jadi menghargai proses anak-anak, ada yang cepet, ada yang lambat. Di titik itu aku mengerti anak-anak berkembang dengan cara sendiri-sendiri,” ujar Erika.
Andy Hermawan, fasilitator kelas 5 SD juga bercerita soal siswa-siswanya.
“Kami sedang riset soal kangkung dan kemangi lewat dua media tanam, tanah dan aquaponik. Nah dari situ, kita belajar bahwa kangkung dan kemangi banyak tumbuh di Asia Selatan. Jadi belajar geografi juga, negara di Asia Selatan apa aja, ibu kotanya apa aja, mata uangnya apa. Jadi meluas gitu,” ujarnya sumringah.
Dalam evaluasi siswa, mereka menghindari menghakimi menggunakan angka. Semua laporan berbentuk naratif dan menyoroti perkembangan siswa, bukan kecakapan siswa dalam sebuah topik tertentu. Dengan begini, siswa tak merasa rendah diri, dan terhindar dari sifat kompetitif dengan temannya.

Meski pengetahuan yang ada di SALAM terlihat sangat sporadis, sebenarnya Wahya dan para fasilitator merancang empat pilar pengetahuan pokok yang wajib ada: pangan, kesehatan, lingkungan, dan sosial budaya. Empat pilar ini adalah hal yang menopang dan berhubungan langsung dengan kehidupan keseharian kita.

Wahyaningsih dan cucunya

SALAM percaya bahwa cara belajar dan pengetahuan yang dibutuhkan oleh tiap anak itu berbeda. Penyeragaman pendidikan justru akan mematikan potensi dan kepribadian anak itu sendiri. Maka kalau anak terjebak pada sistem pendidikan tersebut, bukan tak mungkin ia hanya akan jadi sekrup-sekrup di pabrik yang kapan saja bisa diganti dengan mudahnya. Pendidikan kita yang praktikal dan generik mengarahkan kita jadi produk-produk industri, seperti yang diilustrasikan Pink Floyd di lagu “Another Brick in The Wall”. Seolah antara ‘terpelajar’ dan ‘berijazah’ adalah dua hal yang sama sekali berbeda.
“Pemerintah kita nggak mendesain pendidikan sesuai dengan Bhineka Tunggal Ika. Penyeragaman itu kan sebenarnya menodai slogan itu sendiri. Pendidikan di sini sama di Papua kan harusnya beda, tapi sekarang disamakan. Kalau standarnya dibuat satu, jadinya memarjinalkan. Itu luar biasa bahaya,” ujar Wahya berapi-api.
Menurutnya, harusnya pemerintah cukup menentukan capaian atau kompetensi dasar untuk pendidikan, “Cukup blueprint-nya aja, prakteknya harusnya diserahkan pada institusi pendidikan. Nah tiap sekolah harusnya punya visi misi sendiri, jadi yang daftar juga berarti sepakat dengan visi institusi itu.”

Ada yang bermain, ada yang baca buku

Saat ini, mulai muncul banyak sekolah alternatif baru di berbagai daerah. Di Yogyakarta saja, selain SALAM ada Sekolah Akar Rumput, Sekolah Tumbuh, dan lainnya. Belum lagi sekolah-sekolah yang muncul di daerah lain di Indonesia. Oktober 2016 lalu, beberapa pegiat sekolah alternatif se-Indonesia berkumpul di SALAM untuk membentuk Jaringan Pendidikan Alternatif dan kegiatan Pertemuan Nasional Pendidikan Alternatif untuk menularkan semangat ini ke publik yang lebih luas. 
“Sekolah itu harus kritis, kalau enggak nanti kayak sekolah gajah. Gajah dulu kan ngamuk pas hutan mereka di rusak, eh setelah dididik, sekarang mau disuruh ngangkutin gelondongan kayu atau main sirkus. Kalau nggak kritis, kita cuma akan jadi buruh-buruh aja. Enggak punya inisiatif, enggak punya ketrampilan, enggak punya ciri khas masing-masing. Kami sangat menghindari penyeragaman dalam bentuk apapun.”
Vice 

0 komentar:

Posting Komentar