Selasa, 16 Januari 2018

Ketika Puisi Menjadi Senjata Petani

Oleh Siti Maemunah

Puisi selalu dihubungkan dengan seni, perasaan yang diungkapkan dengan narasi yang simbolis dan indah. Dalam buku ini, penulis menggambarkan perjuangan petani yang keras sebagai perlawanan politik seindah puisi, puitik. Puisi bisa menjadi senjata perlawanan petani.
Mohamad Sobary, atau biasa disapa Kang Sobary, memperkenalkan perlawanan petani dalam berbagai penanda kejadian, ruang, waktu, dan pengalaman ketubuhan yang puitik dari para petani tembakau Temanggung. Salah satu penanda itu, kembang beraneka warna dan dupa menyala pada saat para petani, rohaniwan, kepala adat, pejabat desa hingga kecamatan yang kecewa dan marah terhadap kebijakan pemerintah, datang bersama ke Tuk Budoyo, salah satu ritus tradisi tempat mereka berdoa. Mereka hendak mengadukan pemerintah sebagai penguasa bumi yang abai dan tidak bertanggung jawab kepada penguasa langit, Tuhan Yang Maha Kuasa. Penulis memaknai penanda tersebut sebagai simbol perlawanan politik yang puitik. Inilah kekuatan narasi buku ini.
Metode yang digunakan untuk mendapat makna puitik perlawanan, kekuatan lain buku ini. Penulis membandingkan laku dan semangat perlawanan petani tembakau dengan makna puisi, kidung, tarian karya seni yang lahir jauh sebelumnya pada perjuangan yang berbeda zaman. Lewat kidung tradisi lisan sebelum masa kemerdekaan, karya-karya Chairil Anwar di masa perjuangan kemerdekaan, juga puisi Taufiq Ismail dan Wiji Thukul pada perlawanan masa Orde Baru.
Kembang beraneka warna dimaknai sebagai keberanian dan kesucian, sebanding dengan kembang dalam puisi Sia-Sia milik Chairil Anwar. Sementara dupa menyala dengan asapnya yang menari di udara, sebanding keindahan sebuah kidung lisan tradisi pedesaan di Jawa yang memaknai wangi kembang dan asap dupa, penghubung bumi dan langit. Keduanya mewakili keberanian dan niat suci para petani dan pendukungnya, yang menumpahkan perasaan dan berharap pengaduan mereka didengar penguasa langit.
Membutuhkan imajinasi budayawan seperti Sobary untuk menangkap makna puitik perlawanan politik lewat kehadiran kembang dan dupa, tumpeng tulak dan ingkung putih mulus, ataupun kepulan asap dari 10.0000 petani yang mengisap kretek bersamaan di suatu pagi di lereng Gunung Sumbing, sebagai bentuk protes kepada pemerintah.
Buku ini memaparkan perlawanan politik petani Temanggung menolak peraturan pemerintah (PP) yang membatasi produk tembakau. Perlawanan yang berlangsung sepanjang empat periode kepresidenan. Tepatnya sejak keluar Keppres Nomor 81 Tahun 1999 tentang Pengamanan Rokok bagi Kesehatan di masa Presiden Habibie. Namun, pelaksanaan aturan itu ditunda Presiden Abdurrahman Wahid, bahkan dicabut di masa Presiden Megawati Soekarnoputri. Akan tetapi, pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono justru dihidupkan lagi melalui UU No 36/2009 tentang Kesehatan, yang berlanjut dengan keluarnya PP No 109/2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan. PP tak hanya membatasi peredaran rokok, tetapi juga produksi, cara mengemas, dan mengonsumsinya. Tindakan yang menurut para petani akan memukul industri rokok, dan merugikan petani tembakau di dalamnya.
Selain kerugian, buku ini juga menyuarakan protes petani terhadap campur tangan asing saat keluarnya PP tersebut, termasuk dukungan donor asing pada kampanye global anti tembakau. Mereka menuduh pemerintah mengambil mentah-mentah pasal-pasal FCTC atau Kerangka Kerja Konvensi Kontrol terhadap Tembakau yang dibuat pada 1999. Empat tahun kemudian, kerangka kerja ini menjadi konvensi PBB. Meski menjadi penggagas FCTC, Indonesia menjadi satu-satunya negara di Asia yang belum meratifikasi konvensi ini.
Jejak kolonial
Namun, buku ini menyisakan pertanyaan, apakah politik produksi-konsumsi tembakau adalah medan yang tepat untuk memeriksa relasi opresif antara petani dan negara. Narasi perlawanan politik dalam buku ini menyederhanakan kerumitan politik pertembakauan, menjadikannya seolah hanya dua pelaku tunggal yang berhadapan, pemerintah dan petani tembakau yang pertama regulator, yang kedua pekerja. Di mana kapital tembakau dan produk olahannya? Padahal, skala bisnis mereka meraksasa, 2 dari 10 besar korporasi yang terdaftar di Bursa Saham Indonesia (IDX) adalah perusahaan rokok. Pada 2014, konsumsi rokok Indonesia mencapai 344 miliar batang, sekitar dua kali lipat konsumsi pada 2005.
Pemerintah juga punya banyak wajah dan kepentingan, pun petani tembakau. Ada petani bertanah dan tak bertanah, ada petani laki-laki dan perempuan. Belum lagi hubungan keduanya dengan korporasi besar macam Djarum, Philip Morris, dan lainnya. Juga tekanan publik yang menuntut dibatasinya peredaran tembakau. Semua itu menunjukkan rumitnya kontestasi dalam politik pertembakauan. Serumit jejak kolonial, yang membawa masuk komoditas global ini, membuat Indonesia menjadi salah satu produsen dan konsumen rokok terbesar dunia.
Dalam artikelnya, ”From Betel-Chewing to Tobacco-Smoking in Indonesia,” Anthony Reid (1985) memaparkan bagaimana Belanda memperkenalkan tembakau tanaman asal Meksiko pada para penguasa Hindia Belanda di pertengahan abad ke-15 saat budaya sirih pinang mendominasi bangsa kepulauan Asia Pasifik, juga Indonesia. Budaya menyirih pinang kerap dipakai Belanda menunjukkan superioritas bangsa penjajah. Mereka menyebut orang yang menyirih pinang lebih mirip kelakuan monyet dibandingkan manusia. Pada akhir abad ke-18, tembakau berhasil menjadi pelengkap sirih pinang. Belanda berhasil membuat merokok yang semula gaya hidup orang Eropa diadopsi para raja dan kelas menengah kota, terus menjalar ke kampung-kampung.
Pendidikan dan gaya hidup menjadi faktor utama budaya sirih pinang ditinggalkan. Pengguna tembakau yang dicitrakan sebagai lebih modern menjadi cara efektif menggusur budaya sirih pinang. Budaya patriarki di Jawa yang mengutamakan laki-laki mendapatkan pendidikan dan informasi, membuat mereka lebih cepat meninggalkan budaya sirih pinang berpaling ke rokok. Inilah wajah maskulinitas rokok.
Maskulinitas begitu terasa dalam buku yang sepi dari pandangan dan pengalaman perempuan Temanggung. Meski narasi yang dibahas mengutip pemikiran Kartini tentang puisi, bahkan menyebut feminisme sebagai salah satu teori yang dirujuk, tetapi karya ini tidak memberikan pelaku perempuan bersuara.
Ayolah Kang, masa peran yang ditampilkan oleh perempuan tidak terlihat? Suara perempuan juga puitik lho.
Resensi tersebut telah diterbitkan oleh Kompas 14 Januari 2017, halaman 24. Versi PDF nya bisa di unduh DI SINI.

0 komentar:

Posting Komentar