Rabu, 06 Maret 2019

S. Tijab | Rest in Peace, Rest in Power

Made Supriatma

Foto: S. Tijab (Hariadi Saptono/Kompas)

S. Tijab dan Tutur Tinular: Diam-diam tanpa banyak yang memperhatikan, penulis sandiwara radio, S. Tijab meninggal dunia. Dia adalah seorang yang tidak mau tampil didepan. Dia orang dibalik layar. Tidak heran, tidak banyak yang mengenalnya.
Namun satu generasi Indonesia pasti pernah mendengar sandiwara radio Tutur Tinular. Sandiwara yang berlatar belakang sejarah tanah Jawa ini menampilkan tokoh sentral yakni, Arya Kamandanu.
Sandiwara ini mengambil latar belakang runtuhnya kerajaan Singasari dan mulai berdirinya kerajaan Majapahit. Sandiwara ini sesungguhnya adalah kisah petualangan dan percintaan.
Saya masih ingat betapa saya terlekat dengan banyak tokoh sandiwara ini. Tokoh-tokoh seperti Mei Shin, Mpu Tong Bajil, Raden Dwipangga, dan lain sebagainya.
Tidak ada pagi yang saya lewatkan tanpa menunggu kelanjutan tayangan serial ini di radio. Daya pesonanya luar biasa. Imajinasi yang dimunculkannya juga memukau.
Ketika itu, radio memang sedang dalam masa kejayaannya. Sandiwara produksi Sanggar Cerita ini menjadi populer luar biasa.
Jaman itu sudah hilang. Sekarang hampir tidak mungkin untuk memiliki cerita hanya berupa audio. Sama seperti jaman sebelumnya dimana imajinasi orang dibentuk oleh media cetak, yang saat ini juga semakin pudar.
Saat ini, orang hidup nyaris sepenuhnya dalam dunia audio visual yang terdigitalisasi. Teknologi memberi kemudahan orang untuk merekam dalam resolusi yang tinggi. Hampir semuanya bisa dilihat sekaligus didengar. Hanya satu yang belum bisa dilakukan, yakni membaui.
Sekarang ini, orang bisa 'hadir' dalam satu peristiwa tanpa 'ada' didalamnya secara fisik. Anda bisa menangis karena melihat Luna Maya umrah setelah ditinggal kawin kekasihnya misalnya. Sebaliknya, Anda ikut merasa hadir dan bergembira dalam perkawinan Syahrini dengan mantannya Luna Maya.
Saya tidak mengatakan bahwa jaman ini lebih buruk. Atau kita sedang mengalami kemunduran. Saya juga tidak sedang meromantisasi masa lalu.
Namun saya menangkap ada yang hilang dari jaman 'hadir tanpa ada' ini. Yang hilang itu adalah imajinasi.
Itulah sebabnya kenangan saya terpatri amat kuat dengan Tutur Tinular karena ia mengijinkan saya berimajinasi.
Mengapa hal ini menjadi penting? Karena imajinasi itu milik saya. Jika Anda mendengarkan Tutur Tinular saat itu, Anda memiliki imajinasi Anda sendiri, yang tentu tidak sama dengan imajinasi saya.
Bagaimanakah Anda membayangkan Mei Shin? Anda dipersilahkan untuk memiliki imajinasi sendiri tentangnya. Hal itu tidak ada jika Anda mendengar dongeng modern seorang yang mengaku princess yang bernama Syahrini, misalnya. Dia sudah ada dan semua tentangnya sudah terbentuk lengkap, dengan bentuk pipinya, bulumata palsunya, contact lens-nya yang biru, dan lain sebagainya.
Syahrini adalah sesuatu yang sudah 'fix' yang sudah tetap. Anda tidak boleh memiliki imajinasi atasnya. Syahrini memiliki otoritas untuk menentukan bentuknya -- dan citra itulah yang disodorkan kepada Anda dan (umumnya) Anda telan mentah-mentah.
Dia juga bebas memanipulasi citra itu menurut kehendaknya. Anda menerima begitu saja (seperti media mainstream di Indonesia!) bahwa dia adalah princess, bukan? Dengan pipinya ... ah sudahlah. Saya tidak mau terlalu jauh.
Tapi Mei Shin? Andalah otoritas dari imajinasi Anda sendiri. Citranya Mei Shin adalah bentukan Anda sendiri. Mei Shin Anda boleh pipinya tembam selayak bakpao, boleh tirus, boleh sedikit kotak, atau jajaran genjang. Terserah Anda. Dia milik Anda.
Dengan kebebasan itulah, saya memiliki Mei Shin. Untuk itu, saya berterima kasih pada S. Tijab yang memberikan kesempatan saya untuk berimajinasi.
Saya tidak pernah menonton film atau sinetron Tutur Tinular. Saya tidak mau kehilangan imajinasi saya.
Selamat jalan Om S. Tijab!
PS. Ada banyak audio Tutur Tinular dipasang di Youtube. Saya tidak berani memasangnya disini karena saya tidak tahu apakah pemasangnya menghormati hak cipta atau tidak.

Sumber: Made Supriatma

0 komentar:

Posting Komentar