Selasa, 03 Mei 2016

Dilarang Berkreasi dan Berinovasi

Opini di Koran Tempo, Selasa 3 Mei 2016 Oleh: Darmaningtyas



Publik tentu masih ingat kasus pembuat mobil listrik (Dasep Ahmadi Direktur PT Sarimas Ahmadi Pratama) yang tahun 2015 divonis tujuh tahun penjara karena didakwa merugikan negara Rp.28,99 miliar untuk pembuatan mobil listrik. Hakim juga memerintahkan Dasep membayar uang pengganti sebesar Rp.17,18 miliar atau diganti hukuman penjara dua tahun.

Terlepas dari persoalan substansi yang menyebabkan Dasep Ahmadi dihukum penjara, yang pasti, kasus tersebut langsung memadamkan wacana pengembangan mobil listrik karena orang takut untuk berkreativitas dan berinovasi dalam bidang teknologi yang padat modal dan bila gagal akan terkena dampak yang sama, yaitu masuk penjara karena didakwa merugikan uang negara puluhan miliar rupiah.

Kecenderungan menempuh zona aman dan tidak mau berkreasi maupun berinovasi, demi menghindari jaretan hukum banyak terjadi di dunia pendidikan kita, dari dasar sampai perguruan tinggi. Bagi para guru SDN di daerah yang kekurangan guru memilih diam, membiarkan kondisi buruk tetap terjadi daripada berinisiatif mencari guru honorer dan dibayar dengan dana BOS tapi akhirnya mereka terjerat kasus hukum. Hal itu mengingat dana BOS yang dapat digunakan untuk honorarium hanya 15% saja. Bila dalam satu SD hanya punya 80 anak, berarti dana BOS yang diterima hanya Rp. 64 juta/tahun atau hanya Rp. 9,6 juta yang dapat dipakai untuk bayar tenaga honorer. Jika guru honornya hanya satu orang agak lumayan dapat Rp. 800.000,- perbulan. Tapi kalau lebih dari satu, tentu nilainya jauh dibawah upah minimum.

Meskipun dengan kreativitasnya Kepala SD dapat mengelola dana BOS dengan baik sehingga tidak ada yang dikorbankan, tapi kalau besaran dana BOS yang dapat dipakai untuk gaji guru honorer lebih dari 15%, mereka lebih baik cari amannya saja, membiarkan kekurangan guru itu tetap berlangsung daripada nanti terjerat kasus hukum.

Kasus SMK dan P4TK

Beberapa SMK Pertanian di Cianjur, Jawa Barat yang memiliki unit produksi dan telah menjalin kerjasama dengan perusahaan swasta untuk pemasaran produknya terpaksa terhenti lantaran, kali ini perusahaannya yang dipersalahkan oleh auditor bahwa dengan membeli produk-produk SMK itu berarti membeli produk illegal karena ditanam di tanah milik negara yang tidak dikenai pajak. Daripada maksudnya baik, membantu pengembangan SMK tapi dipersalahkan, maka lebih baik tidak perlu membantu, karena tujuannya bukan profit. Itu bagian dari tanggung jawab sosial perusahaan. Akhirnya yang terjadi, SMK itu SMK Sastra, lantaran hanya teori saja, kurang praktek. Tempat praktek mereka adalah berproduksi di lahan pertanian, tapi karena saat giliran menjual produknya bermasalah, akhirnya mereka memilih tidak berproduksi.

Kondisi yang penuh ironi itu juga dialami oleh semua P4TK (Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidikan dan Tenaga Kependidikan) yang merupakan Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Sejumlah P4TK Kejuruan, seperti Bisnis Pariwisata, Otomotif, Listrik, Seni dan Budaya, Teknologi, serta Pertanian itu sejak didirikan awal dekade 1980-an dengan nama PPPG (Pusat Pengembangan Penataran Guru) sudah dilengkapi dengan unit produksi dan alat-alat yang modern, sehingga saat itu betul-betul menjadi rujukan bagi SMK-SMK di seluruh Indonesia.

Mereka juga sudah sempat berproduksi sesuai dengan bidang masing-masing, produksi mereka laku di pasaran, bahkan untuk P4TK Seni dan Budaya di Yogyakarta, banyak produknya yang diekspor ke luar negeri. Tapi semua itu sekarang harus dikubur dalem-dalem karena dipersalahkan oleh Irjen maupun auditor dari BPK. Irjen mempersalahkan bahwa pengembangan unit produksi bukan tugas dan fungsi (Tusi) P4TK, sedangkan auditor BPK mempersoalkan transaksi yang ada di unit produksi tersebut. Ini betul-betul konyol karena kreativitas dan inovasi itu dimatikan begitu saja oleh pertanyaan “tidak sesuai dengan tugas dan fungsi”nya sehingga harus dibubarkan!

Kekonyolan para auditor yang hanya memakai kacamata kuda itu terlihat ketika mengaudit P4TK Pertanian Cianjur yang memiliki unit produksi barang hidup dan bisa berkembang, seperti misalnya peternakan sapi, ayam, kambing, pengembangan kolam ikan, dan pengolahan hasil pertanian. Menurut kaca mata pengembang, keberhasilan unit produksi itu diukur dari berkembangnya produksi, kuantitas maupun kualitas, seperti ternak sapi, ayam, dan kambing yang bertambah jumlah maupun besarannya sehingga harganya semakin tinggi. Tapi sang auditor justru mempersoalkan penyusutan barang, jelas kontradiktif. Akhirnya daripada pusing menghadapi teguran maupun temuan dari Irjen dan auditor BPK, lebih baik semua unit produksi ditutup. Ini sayang sekali karena lembaga Diklat (pendidikan dan latihan) tidak punya laboratorium yang nyata dan dapat diperlihatkan kepada para guru SMK yang dilatih, bahwa inilah contoh pengembangan unit produksi yang baik di SMK-SMK kita.

Inpres SMK

Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah memisahkan urusan Pendidikan Tinggi dari Pendidikan Dasar dan Menengah dengan maksud agar hasil-hasil riset di Perguruan Tinggi (PT) dapat diimplementasikan oleh industri. Pemerintahan Jokowi juga berencana akan mengeluarkan instruksi presiden (Inpres) untuk pengembangan SMK. Keduanya itu hanya akan melahirkan kesia-siaan jika tidak diikuti dengan regulasi yang mendukung. Pertama, agar industri mau memakai hasil-hasil riset dari PT, hasil riset tersebut telah melalui proses uji coba. Proses uji coba tidak cukup sekali berhasil, butuh berulang kali. Bila uji coba pertama dan gagal lalu penelitinya dikriminalisasi dengan tuduhan menghamburkan uang negara, seperti yang terjadi pada kasus mobil listrik, tentu banyak peneliti kita memilih jalur aman, tidak mau mengadakan uji coba untuk menguji kehandalan temuannya.

Pengalaman pribadi, mengubah bentuk becak tradisional di Yogya yang berat kosong 135 kg dan diubah menjadi 85 kg tanpa mesin, dengan tempat duduk yang lebih lebar dan nyaman memerlukan waktu sepuluh tahun dan mengalami perubahan 14 kali prototype . Jika suatu inovasi sudah divonis gagal saat diwujudkan pertama kalinya, dan inovatornya dikriminalisasi, maka orang enggan untuk berinovasi.

Kedua, pada kasus SMK dan P4TK yang memiliki unit produksi perlu dilindungi dengan regulasi agar unit produksi tetap bisa berkembang tanpa menimbulkan masalah pengelolaan. Kebijakan menerapkan PNBP (Pendapatan Negara Bukan Pajak) bukan jalan yang tepat, karena kalau PNBP semua pendapatan dari unit produksi tersebut disetor ke kas negara, tidak bisa dipakai untuk proses produksi lagi, sedangkan untuk proses produksi harus mengajukan anggaran ke negara. Cara ini selain tidak efisien, juga tidak melatih SMK dan P4TK-P4TK Kejuruan tersebut berkembang berdasarkan kreativitas dan inovasinya, mereka hanya mengandalkan anggaran negara saja.

Inpres tentang SMK yang akan dibuat oleh Pemerintahan Jokowi itu semoga sampai ke perlindungan regulasi tersebut, sebab kalau soal content pendidikan SMK sejak dulu sudah bagus, seperti yang diperlihatkan oleh STM Pembangunan empat tahun, tapi kebijakan yang tidak konsisten lah yang merusak kualitas dan perkembangan SMK kita.

https://www.facebook.com/darmaningtyas.instran/posts/1116592471715935

0 komentar:

Posting Komentar