Selasa, 30 September 2014

Pendidikan Seni Diminta Tidak Terdikte Pasar

30 September 2014 23:16 WIB

SEMINAR PENDIDIKAN : Dosen Universitas Sanata Darma Dr Haryatmoko (tengah) saat berbicara dalam seminar nasional “Spirit of The Future : Art for Humanizing” di ISI Yogyakarta, Sabtu (27/9).(suaramerdeka.com/Sony Wibisono)

YOGYAKARTA, suaramerdeka.com – Pendidikan seni diminta tidak terjebak dalam sikap pragmatis untuk pemenuhan kebutuhan pasar. Pasalnya, seni bukan semata-mata persoalan teknis saja. Oleh karena itu pendidikan seni diharapkan tidak
meninggalkan ilmu seni yang konseptual.

Salah satu wacana tidak seimbangnya antara teknik dan konseptual adalah dalam pendidikan seni musik. Banyak lembaga pendidikan yang kemudian terlalu mengejar keterampilan teknik. Persoalan teknik ini menjadi ironis, ketika keberhasilannya hanya diukur dengan seberapa banyak si pemain mengiringi penyanyi populer, atau masuk televisi.
“Memang ada sebagian orang yang memang hanya memilih bermain musik saja. Ada juga yang terus berproses dan ingin

menciptakan mazhab tertentu. Ada pula yang menjadi pemikir seni, dan ini tidak banyak,” kata dosen Universitas Sanata Darma Dr Haryatmoko. Dia memaparkan hal itu, saat seminar nasional  “Spirit of The Future : Art for Humanizing” di ISI Yogyakarta, Sabtu (27/9).

Menurut Haryatmoko, kreativitas seni akan mandeg ketika temuan-temuan baru itu melulu dikerahkan untuk meneguk keuntungan finansial atau popularitas (komodifikasi). Pragmatisme dalam pendidikan seni pun tidak terlepas dari adanya tuntutan memenuhi kebutuhan pasar. Maka pendidikan seni pun lebih menekankan teknik seni. “Pendidikan seni yang terlalu menekankan teknik akan sepi dari perdebatan intelektual. Perdebatan aliran-lairan dalam seni hanya akan muncul ketika seni tidak didikte pasar,” katanya

Prof Bambang Sugiharto mengatakan, bahwa jika mengacu pada peristilahan klasik dunia pendidikan, pendidikan calon seniman atau pemikir seni akan mencakup dimensi afektif, motorik, kognitif dan imajinatif. Hanya saja isi subtansi dapat disesuaiakan dengan zaman yang  berubah.

“Saat ini pada bagian afektif pendidikan seni kini perlu meatih ketajaman kepekaan aesthesis. Ini terkait dengan penguatan pencerapa penginderaan. Selain itu juga kepekaan synaesthesis atau keterampilan mengaitkan asosiasi sensasi imajinatif antar beragam indera,” terangnya.

Bambang melanjutkan pada bidang motorik perlu pencanggihan dan terobosan teknis. Pada bidang kognitif intelektual diperkuat dengan ketrampilan multidisiplin yang menyangkut pengalaman, teks, dan wawasan.

Sedangkan pada unsur imajinatif diperlukan terobosan morphogenetic field. “Morphogenetic field ini istilah dari Ruppet Sheldrake yang artinya medan penciptaan bentuk dan cara pandang baru atas realitas yang efeknya bisa menjadi massif dan menembus raung dan waktu.” paparnya.(Sony Wibisono/CN40)

http://berita.suaramerdeka.com/pendidikan-seni-diminta-tidak-terdikte-pasar/

0 komentar:

Posting Komentar