Selasa, 30 September 2014

Menjadi Bagian Takdir Puisi | Aris Panji Ws



Pengantar Kumpulan Puisi “Bulan Menggantung” karya Pitra Suwita

Selalu ada hal yang bisa ditulis dari apa yang dipikirkan dan dirasakan, dari apa yang dialami dan dilakoni manusia. Ihwal lakon kemanusiaan, dengan begitu, menjadi laman kandung bagi nilai-nilai etika dan estetika.
Yang pada gilirannya melahirkan ide-ide, pemikiran serta spirit kecintaan seorang penulis pada dunianya. Kecintaan seorang penyair pada jagad perpuisiannya. Interest cinta dan kemanusiaan memang menjadi sumber tema atas inspirasi yang tak kunjung mengering; sepanjang hayat penyair.

Begitu pun, saat membaca puisi-puisi Pitra Suwita dan menggelagati di kedalamannya atas adanya dua perkara; nilai dan makna atas pusinya.
Saya mengantarkan hadirnya kumpulan puisi “Bulan Menggantung” ini, bukan dalam kapasitas sebagai esais sastra. Melainkan lebih karena romantisme perkariban. Sebuah keintiman yang tak bisa diukur dan dibelenggu dengan lamanya waktu, melainkan oleh intensitas proses berkesenian yang dilandasi prinsip-prinsip kesetaraan.

Intensitas keintiman yang memungkinkan saya untuk bergaul pula dengan ide-ide serta pemikiran kepenyairannya.

Menggauli pemikiran kepenyairan, menurut hemat saya, bukan dengan meminta penyair mengurai-jelaskan proses kreatif puisi karyanya di hadapan sidang pembaca. Ihwal yang acapkali dianggap merupakan tanggungjawab moral penyair, bukan lah “benang kusut” epistimologi keterasingan jagad kepenyairan itu sendiri; yang lantas mewajibkan sang penyair membumikan imajinasi transformatifnya.

Saya lebih mengimani pendapat sebagian kritikus sastra, bahwa selepas puisi dari tangan dan ruang cipta sang penyair, maka ia –puisi itu- tengah meniti takdirnya sendiri.

Hal ini berlaku pula bagi 59 puisi karya Pitra Suwita dalam kumpulan ini. Dimana nilai dan makna menjadi taut bagian dari perjalanan takdir itu. Menilai dan memaknai puisi, adalah wilayah apresian yang tak pernah cukup memahaminya dengan melulu membaca secara tekstual saja. Memahami sebuah karya sastra mesti lah dicerna dengan membaca singkap konteksnya juga.

Beberapa puisi Pitra Suwita, disamping sebagian kuat nuansa dan idiom kejawaannya, memang memadat pada pilihan kata-kata yang sublim. Bahkan nyaris tanpa makna jika dibaca teks verbalnya semata. Pada kesempatan ini saya mesti katakan bahwa membaca –secara tekstual- saja atas puisi; tidak lah cukup sampai pada maknawiahnya. Pembaca dapat menjadi bagian riwayat atas puisi itu sendiri, di tempat dan ruang mana puisi jadi bertutur dengan bernas.  
Menjadi bagian dari riwayat tutur sastra puisi adalah ciri dasar entitas masyarakat apresian.

Kalau lah pengantar ini tak cukup halaman buat mendeskripsikan panjang lebar pergumulan saya dengan puisi dan pemikiran penyairnya, maka semata-mata karena ihwal interpretasi atas puisi-puisi dalam kumpulan ini merupakan wilayah yang dimerdekakan sepenuh-penuhnya ke haribaan pembacanya. Kemerdekaan penuh itu, tentu, meniadakan tafsir tunggal atas karya. Dimungkinkan ada ambiguitas makna atau bahkan keberagaman interpretasi, karena pembaca juga memiliki kedaulatannya sendiri.             

0 komentar:

Posting Komentar