Sabtu, 18 Desember 2010

Karedok di Rumah Kosong


Entah karena apa, saya lebih ngeh menjuduli tulisan ini dengan Karedok di Rumah Kosong sebagai catatan apresiatif atas pementasan Teater Ego Kebumen (14/12). Malam itu, pementasan belum lagi dimulai, tetapi aula Gedung Haji, tempat pentas, telah “digelapkan” lebih dulu. Seperti ruang dapur yang sudah tak dipakai masak malam, tapi pemilik rumah amat patuh pada himbauan hemat listrik. Sama patuhnya dengan 70-an penonton yang memasuki dan duduk lesehan, diam, menanti sajian drama tiga babak yang naskahnya ditulis Humam Rimba Palangka.

Di tangan sutradara Putut AS, durasi 45 menit “Rumah Kosong” lebih terasa karedoknya ketimbang menu matengan. Bagaimana ia harus mengolah dalam -rentang 12 hari- proses yang dikerangkai peringatan visioner anti kekerasan terhadap perempuan. Begitu karedok, seperti lotek, mirip lutis. Karena memang terasa betapa bahan-bahan dalam sajian malam itu tak dimatangkan dulu. Sehingga melihat “Rumah Kosong” nampak celah spasial yang menyisakan ruang lega, tetapi mangkrak; tak tersentuh. Dan waktu telah melibasnya, berlalu.

Realitas Tergesa

Realitas yang dipanggungkan melalui “Rumah Kosong” adalah realitas sehari-hari. Humam Rimba Palangka, penulis naskah, mengerti kebebasan yang jadi haknya dalam menulis. Tetapi apakah antara kemengertian dan kebebasan itu menghasilkan situasi estetis yang bakal mampu menstimulus pelaku dan penonton pementasan naskahnya. Itulah makna realitas tergesa. Mungkin memang ini wilayah penyutradaaan. Tetapi, sekali lagi, bingkai pesan anti kekerasan juga jadi muatan yang ditimbang di sana.

Penulis “Rumah Kosong” ini seakan menyorongkan kedaulatan ruang ciptanya kepada suatu sub-ordinari luaran. Yakni tema yang membekuk. Mungkin ia punya puluhan ide liar dan pilihan opsi. Puluhan dan pilihan dalam realitas “Rumah Kosong” nya, adalah realitas yang sipit. Akibatnya, situasi tematik lebih mengemuka ketimbang kebebasan mengeksplorasi aspek estetika. Dan di depan waktu, tak menyisakan kisi-kisi berekspresi.

Saat "produk" ini jatuh ke tangan sutradara, -justru melalui revisi penulisan- dan serangkaian proses serta situasi yang dikerangkai itu, terbentang pasar audiens yang seakan telah menunggu pesanannya disaji. Karedok itu. Sutradara menjadi fihak yang berwajib sekaligus berwenang. Tetapi kewajiban dan kewenangannya semata dimuarakan kepada kebutuhan yang menjamin kiriman pesan itu sampai ke alamat di jagad audiens. Sekali lagi, dalam atmosfir dan tema anti kekerasan terhadap perempuan yang dipersiapkan sosialisasinya.

Padahal, cakupan ruang karya, dikerangkai atau tidak; punya kedaulatan eksplorasi pada wilayah dan konflik-konflik yang potensial bagi syarat pemahaman tematik. Jika perteateran telah jadi sebuah disiplin empiris, semua bakal berinteraksi dengan pemahaman estetik. Perbedaan pemahaman tematik dan pemahaman estetik; sulit berjalan selaras. Dalam makna saling menguatkan. Itulah beban naskah “Rumah Kosong”, realitas tematik yang membekuk. Dan ketika proses belum membebaskan tahapan ini, makin jadilah kesan tergesa itu. Tema kekerasan yang menjadi muatan buat dipahami kadarnya, mengambang di permukaan, tak dalam. Mentah seperti karedok.

Catatan “Rumah Kosong” Lain

Catatan lain atas pementasan Teater Ego yang mengangkat naskah bertema Kekerasan Terhadap Perempuan, yakni “Rumah Kosong” nya Rimba Palangka, makin berwarna. Upaya manis mengusung serpih realitas keseharian di atas panggung, telah membikin Putut AS, seperti Koki yang bekerja tetapi tidak di dapur rumah miliknya. Betapa pun kerasnya upaya itu, tetap belum berkedalaman, bahkan terkesan terengah dikerumuni waktu yang bergulir. Juga, upaya mentransformasikan dua realitas panggung, antara panggung halaman gedung dengan panggung di depan penonton; jadi kurang punya taut yang kuat.

Eko Sajarwo melihatnya sebagai upaya visualisasi yang secara teknis, lemah di semua lini. Unsur-unsur dramaturgi yang tak optimal dieksplorasi, baik secara personal maupun dalam relasi kelompok. Ujung penglihatan kritisnya merambah hingga wilayah teknis. Dan pementasan “Rumah Kosong” disebutnya sebagai tanpa ruh, tanpa greget, lemah karakter penokohan. Para pemain masih sebagai dirinya sendiri dan belum selaku peran lakon yang mesti dimainkan.

Kalaupun pementasan itu diterima dan harus ditempatkan pada visi anti kekerasan terhadap perempuan, kata Pekik Sasinilo, dan menjadi mata dari serangkaian upaya sosialisasi; pun belum bermakna pencerahan bagi audiens. Rupanya ia menangkap keinginan yang mendalam tentang hadirnya sentuhan estetis pada pesan yang ingin disampaikan. Tema ini urung untuk sampai pada pemahaman estetis. Wilayah audiens yang tak diharu-biru.

Sedangkan Pitra Suwita menyebut “Rumah Kosong” sebagai naskah yang “berat” buat sutradara. Bukan berat untuk dipentaskan, tapi berat untuk dimainkan dalam pesan tematik yang menjadi muatan kontennya. Kedaulatan estetis telah dirampas oleh proses yang tak cukup buat mematangkan. Dan keberadaan truk sebagai properti pendukung tak banyak menolong. Secara parsial, ia menyebut pertolongan ada pada peran Kemad yang bermain cukup dialektis.

Ada Anto Batoussae yang terlibat dalam proses. Ia membaca kecenderungan dalam tradisi sastrawi. Pada perspektif ini, penonton teater lebih fokus pada aspek “kejadian” ketimbang “proses” atau konflik di kedalamannya. Dengan analogi lakon klasik “Abimanyu Kerem”, ia menjelaskan kecenderungan dominan itu. Dan pementasan naskah Rimba “Rumah Kosong” ini, lebih didekati dengan dominasi “kejadian” ketimbang proses atau aspek konflik personalnya. Tetapi sebagai sebuah keberanian sutradara dalam bekerja, ia merasa telah melaksanakannya dengan baik. Selamat.

0 komentar:

Posting Komentar