Jumat, 01 Mei 2009

Menghargai Puisi

Saat puisi dibacakan dan mendapat cemooh audiens maka saat itulah muncul pertanyaan sederhana. Mengapa?
Ilustrasi di atas lebih bersifat kasuistik dan tak terjadi pada semua event pembacaan puisi. Saat SRMB memfasilitasi penyelenggaraan arisan teater IV tahun 2008, juga ada seorang tamu komunitas yang menyatakan risi atas cemooh pada pembacaan puisi, sementara sang tamu ingin menikmatinya dengan suasana tenang. Tetapi bagi tamu lainnya, seorang lebda suku Mandar yang juga sesepuh Teater Flamboyant dari Polewali terhenyak di tempat lesehannya. Beliau, Alisyahbana datang bersama sahabat mudanya, Ridwan Ali, yang penulis buku Orang Mandar Orang Laut lebih terkesan dengan tampilan Seni Topeng "Cepet Alas" yang diboyong dari lereng barat laut pegunungan Condongcampur.
Mengapa harus ribut dengan kegaduhan yang muncul saat orang baca puisi?
Ya. Peristiwa itu bukanlah berdiri sendiri dan tentu ada sebab musababnya, ada relasinya. Mungkin orang telah jenuh dengan sajian yang itu-itu saja. Atau mungkin puisi telah disajikan kepada segmen yang berbeda dalam hal selera, misalnya. Atau boleh jadi memang penontonnya yang tidak sopan? Dengan kata lain tidak menghargai puisi?
Apa pun sebabnya, itu merupakan fenomena yang menarik buat disimak. Hal terbaik dari semua fikiran kita harus lepas dari asumsi benar-salah untuk menilai keduanya. Kuncinya tetap di tangan pelaku berkesenian itu. Bagaimana menyiasatinya.

0 komentar:

Posting Komentar