Penulis: Aguk Irawan MN Senin, 15 Oktober 2018
Kenapa orang selalu takjub pada laut, sungai, tebing juga
gunung? Antropolog Peter Berger menjawab dalam sebuah karyanya yang
masyhur, The Social Reality of Religion (1969). Apa kata Berger dalam
buku itu?
Menurutnya, manusia tiap zaman selalu terdorong untuk
meciptakan makna dari simbol-simbol yang suci (the sacred canopy). Berger
sebagai Feuerbachian menegaskan, bahwa pada hakikatnya manusia adalah makhluk
religius, maka tak aneh jika laut atau sungai dimaknai sebagai pertautan antara
alam yang suci dengan kehidupan yang tak selalu suci dan bersambung
seperti gelombang air.
Kesan itu pula yang didapat oleh seorang pengelana Yunani
zaman purba, Herodotus (484-425 SM) ketika pertama kali mengunjungi Mesir,
Babilonia, Palestina dan Syiria. Ia menceritakan pengalamannya betapa orang
Mesir amat mecintai sungai Nil dan orang Babilonia selalu terkagum dengan ombak
laut Macedonia.
Mereka berkumpul dan pawai untuk melarungkan
sesajen ke sungai dan laut disertai dengan panjat
doa dengan khusu’ untuk Litany (para Dewa). Pengalaman yang sama
didapat oleh Megasathtnes (302-288 SM) saat mengunjungi jazirah Arab dan
Antropolog Tacitus (55-117 SM) saat mengungjungi Asia Tengah.
Maka tak aneh, jika kajian etnografi selalu saja menarik,
kerena menurut Berger, manusia tak bisa menghindar dari alam dan kekuatan
adikodrati yang tak terbatas, dan dari sanalah terciptalah dunia
simbol. Terlebih tentang Nusantara, dimana pulau-pulaunya berjejer dan
terhubung oleh laut. Itulah kenapa Artefak yang ditinggalkan
di candi-candi, terutama Borobudur, berupa relief-relief perahu cadik dan
gambar garis gelombang laut.
Sebuah catatan dari Cina abad ke-15 juga menggambarkan
Majapahit, yang dicatatnya adalah istana yang megah: bersih dan terawat,
ornamen temboknya bergambar gelombang laut. Pasang dan surut. Atap bangunan
terbuat dari sirap yang dibentuk seperti perahu cadik. Kitab Negarakartagama
yang ditulis di masa itu juga menyebut ”kuwu”: unit permukiman yang dikelilingi
sungai, juga terbentang sepanjang pantai.
Sebagaimana diketahui, orang Nusantara, pada zaman
pra-sejarah yang beragama Kapitayan, setiap kali terjadi perubahan siklus
kehidupan, mereka gemar mengadakan ritual Selametan atau Wilujengan
dengan menggunakan –salah-satunya laut sebagai simbol, juga memakai aneka benda
dan makanan sebagai simbol penghayatan, rasa syukur dan pengharapannya kepada
Tuhan.
Ini semua adalah bahan sejarah dan pra-sejarah kita
sebagai manusia Nusantara, dan setiap zaman punya cara untuk mempertahankan dan
mengarifi kebudayaannya. Meskipun Nabi-nabi telah datang, petuah dan perintah
pendeta juga dimaklumatkan, kemudian dicoba revolusi dan diperkenalkan penemuan
teknologi —tapi tak pernah ada aksi brutal yang menantang prosesi
adat, sampailah mencuatnya aksi segerombolan orang yang sengaja merusak
piranti tradisi Sedekah Laut di Pantai Baru, Bantul atas dalih anti kemusyrikan
(12/10/18).
Pertanyaan besar sejarah —yang sebenarnya tiap agama
pernah datang silih berganti —adalah, bagaimana bisa peristiwa kebudayaan
seperti itu dianggap anomali, sesuatu yang tak pantas bagi yang beragama?
Dengan kata lain, bagaimana bisa pemahaman agama yang sepotong dan sepihak
digunakan merusak tatanan sosial yang mengakar dengan riwayat manusia Nusantara
yang telah demikian panjang? Tentu saja ada paradoks, jika kita memaknai agama,
dalam teori antropologi (Eliade, 1966; Douglas 1966, Geertz 1966; dan V.
Turner, 1969) sebagai sebuah pencarian makna yang terselubung dalam simbol.
Pengamatan saya dari dekat saat menyaksikan prosesi
Sedekah Laut di dusun Ngentak, Desa Poncosari, Kecamatan Srandakan,
Bantul, tak ada yang perlu dikhawatirkan terkait akidah atau keimanan.
Berdasarkan pengalaman tahun lalu, biasanya acara Sedekah
Laut dimulai dengan pembakaran kemenyan dan doa-doa, baik berbahasa Jawa maupun
arab, sesekali diselingi dengan shalawat Nabi. Doa itu dipimpin oleh Mbah Cokro
sebagai Juru Kunci petilasan HB VII. Sebelum membakar kemenyan terlebih dahulu
Mbah Cokro duduk bersila menghadap ke laut lalu merunduk dan pasembah.
Makna Simbolik
Tentu selain ada bahasa verbal, yaitu kalimat puja
dan doa yang terkandung dalam prosesi Sedekah Laut, yang itu langsung bisa
dimengerti, juga ada bahasa simbolik di dalamnya, seperti prosesi pembakaran
kemenyan, ia juga berupa doa, tetapi dalam bahasa lain. Orang Islam
Pesisir biasanya menyebutnya sebagai talining iman, urubing cahya kumara
kukuse ngambah swarga, ingkang nambi dzat ingkang Maha Kuwaos. (Sebagai tali
pengikat keimanan. Nyalanya diharapkan sebagai cahaya petunjuk, asapnya
diharapkan sebagai harum bau surga, mudah-mudahan dapat diterima oleh Dzat yang
Maha Kuasa).
Perahu tempel, yang nantinya dipakai untuk membawa sesaji
yang akan dilabuh ke tengah laut, sebagai lambang kehidupan ini yang sementara,
karena tiap yang berlabuh ada saatnya berhenti. Tampah/tambir, bentuknya bulat
dari anyaman bambu untuk tempat sesaji sebagai simbol, bahwa
kehidupan ini berputar, kadang di bawah, kadang di atas. Begitu
juga yang terdapat dalam ubarampe, semuanya adalah bahasa simbolik.
Seperti telur sebagai simbol atau lambang dari
“wiji dadi” (benih) terjadinya makhluk hidup. Bumbu Megana sebagai simbol
dari embrio dan ruh-manusia. Cabe Merah sebagai lambang kebulatan tekad dan
keberanian menegakkan kalimat Tauhid. Ingkung sebagai lambang manunggal,
dengan njungkung, yakni bersujud dan manekung,
yakni bermuhasabah dan khalwat. Kacang Panjang sebagai simbol
harusnya manusia sebelum bersikap, harus berpikir panjang, sehingga
bijaksana. Tomat sebagai simbol kesadaran mad-sinamadan, yaitu saing
mengingatkan. Kangkung simbol dari sifat linakung, sifat pemurah
atau dermawan, dan lain sebagainya.
Jika mengetahaui bahasa agama yang tersimpan dalam
simbol prosesi Sedekah Laut yang begitu mulia seperti ini, masihkah
ada yang menghakimi prosesi macam itu adalah anomali bagi sikap keberislaman
kita? Padahal bukankah Islam, tidak melulu tentang yang halal
dan haram, mubah dan bid’ah, murtad dan musyrik? Akan
tetapi, juga tentang pentingnya membangun tatanan sosial, kebudayaan dan
peradaban?
Disisi lain, dalam wajah Islam juga berlimpah bahasa
simbolik, serta kearifan lokal, seperti adanya anjuran walimah
(upacara tradisi) yang tertuang dalam pilihan hadis shahih Imam Bukhari,
dalam al-Bayan nomer hadis 825, dan al-nikah nomer hadis 4756 dan
lain sebagainya. Wallahu’lam bishawab.
Kasongan-Bantul, 14 Oktober
2018
Sumber: Alif.Id
0 komentar:
Posting Komentar