TRIBUTE TO KUNES: Repertoar Ronggeng Kunes digelar oleh komunitas "Titik Kumpul" di Roemah Martha Tilaar Gombong (16/3) mengingatkan pada tragedi politik 1965 yang memicu gelombang "genosida" dan merambah wilayah budaya di Banyumas [Foto: Ar]
Keberanian mbarang
lengger komunitas “Titik Kumpul” di Roemah Martha Tilaar, pantas
mendapatkan apresiasi luas. Pilihan mengangkat repertoar berbingkai Tribute to Kunes yang dipersiapkan bagi
panggung Asia di Taiwan April-Mei mendatang; membuat penonton terpengarah
(16/3/2019) malam itu. Namun sedikit dari yang terpengarah itu memahami kesima
“Kunes” dalam konteks sejarah dan lokalitasnya. Penari tradisi bumi Banyumas
selatan yang lahir seabad lalu, sedikit diketahui, pada zaman berikutnya telah
menjadi bagian langsung dari sejarah kelam kejahatan atas kemanusiaan (crimes against humanity) pada medio
dekade 60-an.
Dalam perspektif genosida
dimana pembasmian meluas atas sekelompok tertentu manusia di sebuah negara,
maka tragedi yang dalam idiom lokal
disebut Geger Gestok 65, telah merambah masuk pula ke dalam wilayah
budaya sebagai obyek penghancurannya. Perjalanan penari Ronggeng Kunes yang
berhilir tragis; memang jadi linier dengan apa yang pernah ditulis novelis Ahmad
Tohari pada novel triloginya Ronggeng
Dukuh Paruk (berikut 2 novel lainnya, Lintang
Kemukus Dinihari, Jentera Bianglala) yang usai melampaui batas bahasa di beberapa
negara itu.
Pada kasus booming novel
karya sastranya Ahmad Tohari mengakui realitas masih lekatnya communisto-phobia, yang pada gilirannya telah
cukup membuat repot penulisnya. Bahwa masa itu telah lewat, ya. Tetapi sejarah
memiliki cara tutur dan jalan takdirnya sendiri, termasuk dalam berhadapan
dengan segala phobia; yang mungkin hari ini pun masih ada karena memang
dipelihara. Tak terkecuali perjalanan tragik Ronggeng Kunes yang sepintas nampak sebagai kisah personal yang
literer dengan segala romantismenya.
Namun Ronggeng
Kunes dalam dimensi sejarah memiliki alur dan memori kolektif yang lebih dari
sekedar magnet ingatan akan segala kisahnya. Karena “karir dan marwah” Kunes sebagai penari tradisi tidak lah
berdiri sendiri. Meskipun -boleh jadi- komunitas “Titik Kumpul” tak bertendensi
lebih jauh, tetap saja kisah tragis Ronggeng
Kunes yang dipanggungkan, lepas dari apakah kisi-kisi kelam ini tersingkap;
repertoar ini akan menemukan pijak dan kekuatan konteksnya yang menyejarah itu.
Kedaulatan
Panggung
Pemahaman atas Tribute
to Ronggeng Kunes boleh datang kemudian dalam berbagai interpretasinya. Demikian
ini bukan hanya berlaku bagi siapa pun yang menonton repertoar ini, namun juga
bagi komunitas “titik kumpul” dalam proses kreatifnya. Proses yang telah
menghasilkan perform seputar kebiasaan-kebiasaan ronggeng seperti gilir sampur
hingga kedaulatannya dalam menghidupkan gairah panggung.
Ronggeng Kunes yang
dinarasikan tak terpisah dengan fenomena indang
seperti tersirat melalui properti ambeng
yang dibawa keluar penarinya telah cukup menjelaskan kekuatan magis
tradisionalnya. Kebanyakan seni tradisi memang senantiasa lekat dengan aspek
itu. Kesinambungannya terjaga melalui ritual-ritual sebagai manifestasi
nilai-nilai yang berlaku di masyarakat kebudayaanya.
Repertoar Ronggeng
Kunes mengangkat relasi di lapangan kebudayaan itu dari timbulnya ketimpangan
yang menjadi bidikannya. Bagaimana Ronggeng
membangun kedaulatan gender dengan
mengeksplorasi tata nilai menjadi bias hegemoni dalam relasi sosialnya ke atas
panggung. Pentas tribute ini
menampilkan Ronggeng Kunes yang
tengah mencapai puncak emasnya, saat sang ronggeng menjadi kiblat puja.
Tapi makin tinggi pohon tumbuh, makin besar tiupan angin
menerpanya; begitu pepatah berkata. Realitas sejarah tak pernah bisa sepenuhnya
lepas dari intervensi berbagai kepentingan, termasuk kepentingan politik. Nah,
pandangan pragmatis akan bisa menjerumuskan perjalanannya. Bias ini dialami Ronggeng Kunes dalam masa yang
menenggelamkannya dan menjadi tonggak yang menandai genosida budaya pasca 1965, khususnya di daerah Banyumas.
Ronggeng Kunes terbelenggu
bukan oleh lintasan balok yang memasung kakinya, melainkan oleh badai politik
yang memicu gelombang genosida budaya yang
mengiringi Geger Gestok pada masa
itu. [ap]
0 komentar:
Posting Komentar