- Catatan Ulang Tahun SRMB Ke-16
WAYANG GOLEK: Dalang Ki Basuki Hendro Prayitno tengah memainkan wayang golek corak "kebumenan" di sela Sarasehan Seni Pedalangan yang digelar dalam rangka Milad 16 Tahun Sekolah Rakyat MeluBae (SRMB, 13/1/2019) [Foto: BY Hand]
Seni Pedalangan di Kebumen ternyata memiliki genre, gaya atau
gagrag tersendiri, yang karakternya agak berbeda dengan seni pedalangan yang
berkembang secara umun di Jawa atau bahkan di Indonesia. Secara umum kita
mengenal ada seni pedalangan Gagrag
Surakarta, Yogyakarta, Tegalan, Banyumasan dan banyak lagi lainnya.
Akan tetapi seni pedalangan Gagrag Kebumen, yang disinyalir sebagai cikal bakalnya seni
pedalangan gagrag banyumasan itu, justru kurang dikenal. Barangkali salah satu
penyebabnya adalah minimnya penelitian dan tidak adanya forum-forum yang secara
intens berusaha membedah adanya seni pedalangan gagrag kebumenan.
Ini dipandang sebagai memprihatinkan. Bagi Sekolah Rakyat
MeluBae (SRMB) kondisi seperti ini perlu disikapi oleh berbagai elemen
masyarakat Kebumen, dengan melakukan berbagai upaya untuk secara intens berusaha
menggali, mendedah dan membedah keberadaan seni tradisi pedalangan gagrag kebumenan.
Dalam kerangka pemikiran ini, SRMB menggelar Rubungan dengan Dopokan Gayeng Maton dalam ulang tahunnya yang ke 16. Secara khusus,
dalam milad dwi-windu SRMB
menghadirkan pembicara praktisi pedalangan Ki Basuki Hendro Prayitno dari
Amalresmi. Sebagaimana diketahui, dalang Basuki bukan hanya seniman wayang
kulit melainkan juga piawai memainkan wayang golek Menak.
Menyegarkan
Ingatan
Terhadap sinyalemen seni pedalangan gagrag kebumenan ini, Ketua
pelaksana Milad SRMB ke 16, Darmawan Riyadi dalam sambutannya berharap rubungan yang digelar di Balai Kelurahan
(13/1) malam itu dapat menyegarkan kembali ingatan masyarakat akan keberadaan
seni tradisi pedalangan gagrag kebumenan,
baik wayang kulit maupun wayang golek menak.
Pemahaman terhadap ingatan sejarah seni tradisi ini pada
gilirannya akan dapat menumbuhkan kebanggaan di kalangan masyarakat terutama
pada generasi muda.
Sejalan dengan itu, Jatmiko Krisnajati mengulas aspek
sejarah lokal seni dengan apa yang pada masanya disebut wayang gagrag pesisiran. Pada masa lampau,
wayang gagrag pesisiran ini memiliki
banyak perbedaan dengan wayang gagrag lainnya.
Baik dari aspek garap, tokoh-tokoh wayang, narasi lakon maupun gending-gending pengiringnya.
“Wayang gagrag kebumenan memiliki karakter sendiri”, ungkapnya.
POTONG TUMPENG: Ultah SRMB Ke-16 ditandai pemotongan salah satu dari 16 tumpeng oleh Daryono Cengkim dan diserahkan kepada dalang Ki Basuki Hendro Prayitno yang pada peringatan malam itu didaulat menjadi pembicara sarasehan [Foto: Arpan]
Penonton Sebagai
Guru
Ihwal corak pewayangan yang khas dan berbeda dengan
wayang-wayang yang ada ini banyak diungkap oleh Ki Basuki Hendro Prayitno.
Dalang senior dari Ambal ini bahkan membawa serta beberapa koleksi tokoh wayang golek miliknya. Tak hanya itu, praktisi pedalangan yang tak henti
belajar ini pun memainkan penggalan episode sejarah Kebumenan di masa lampau.
Wayang terutama wayang golek di tangan Ki Basuki lebih
bisa berbicara banyak hal sesuai dengan konteks jaman. Dalam kaitan sejarah
lokal, ia mengangkat penggalan cerita Bupati Kebumen pada masanya Kolopaking,
yang tengah menerima tamu koleganya Bupati Purworejo; Cokronegoro IV. Adegan menariknya,
tema yang dibahas dalam pertemuan 2 tokoh sejarah “menak” malam itu adalah
seputar sikap para punggawa terhadap pemerintah kolonial Hindia Belanda pada
masanya.
“Narasi ini kan berisi sejarah perjuangan, bernilai kepahlawanan”, ungkap Ki Basuki di depan peserta sarasehan.
“Penonton sekarang itu lebih pinter dari dalang. Bedanya hanya penonton tak bisa mendalang. “Penonton itu guru yang baik”, sambungnya.
Filosofi ini mengandung tuntutan dan konsekuensi pada
para praktisi pedalangan untuk bukan saja memahami keahlian mendalangnya,
melainkan juga belajar menguasasi pengetahuan tentang ilmu-ilmu lainnya;
seperti ilmu sosial, sejarah, pendidikan dan lainnya.
Artinya, jika seni pedalangan ingin berkembang, maka mau tak
mau ia mesti menyesuaikan dengan konteks zaman. Karena, menurut seniman yang
kini berusia 75 tahun ini; jika tidak memiliki korelasi dengan perkembangan
jaman, maka ia –seni pedalangan itu- tak mustahil bakal ditinggalkan penontonnya.
Proyeksi Ke Depan
Jagad pewayangan, khususnya wayang golek “menak” merupakan
bentuk kesenian wayang golek yang sangat khas. Kekhasan ini tidak ditemukan di
daerah lain. Ki Basuki merefleksikan semasa mendiang mertua beliau Ki Sindhu Jotaryono,
ihwal wayang golek menak gagrag pesisiran
ini sudah pernah dikaji oleh peneliti.
Hasil penelitian akademik ini kemudian didokumentasikan
menjadi tulisan ilmiah yang bahkan menjadi materi pengajaran di ISI (Institut
Seni Indonesia) Surakarta dan ISI Yogyakarta yang semula dikenal sebagai ASRI Yogya.
Bahkan tulisan tersebut telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Sayangnya,
hasil penelitian sejarah seni ini tak juga dipublikasikan misalnya dalam bentuk
buku cetak yang bisa jadi referensi bagi masyarakat secara luas.
REFLEKSI: Perjalanan 16 tahun SRMB diulas dalam refleksi singkat yang disampaikan Aris Panji Ws. Refleksi menyiratkan suatu tantangan "PR" ke depan bagi komunitas ini dalam memelihara keberadaan dan sumbangsihnya bagi upaya pengembangan berkesenian [Foto: BY Hand]
Barangkali ini lah tantangan bagi pengembangan seni
tradisi di masa mendatang. Sebagaimana harapan Ki Basuki Hendro Prayitno yang pada
malam sarasehan itu sempat berimprovisasi memainkan wayang golek menak dengan corak
atau gagrag pesisiran.
Menurutnya, menjadi dalang harus memiliki keberanian
untuk melakukan inovasi, selain kesediaan untuk menghargai masyarakat penontonnya.
Pengembangan seni tradisi, dalam konteks yang lebih luas, bukan melulu
kewajiban pemerintah; meski memang masih relatif kecil perhatiannya. Ia mencontohkan
profil tokoh wayang golek Marmoyo atau
Umar Maya maupun Menak Jayengrono.
Dalam pakem
pedhalangan wayang golek yang bersumber pada babon seperti Serat Menak misalnya
pun tak ada disebut kedua tokoh wayang ini. Artinya, ini murni hasil inovasi
atau pembaharuan yang dikorelasikan pada konteks jaman dan kebudayaan dimana
seni tradisi itu tumbuh.
“Mengadakan sesuatu yang baru (pembaharuan_Red) berdasarkan bahan yang sudah ada”, demikian pesan Ki Basuki menutup sarasehan dalam rangka Milad Dwi-Windu SRMB.
_____
Penulis: Pekik Sat Siswonirmolo
Editor: Aris Panji
Ws
0 komentar:
Posting Komentar